• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Terhadap Status Psikososial Menggunakan Indeks PIDAQ pada Siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Terhadap Status Psikososial Menggunakan Indeks PIDAQ pada Siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN DAMPAK MALOKLUSI ANTERIOR TERHADAP

STATUS PSIKOSOSIAL MENGGUNAKAN INDEKS PIDAQ

PADA SISWA SMA GLOBAL PRIMA NASIONAL PLUS

DAN SMA PANGERAN ANTASARI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

NATALIA

NIM: 110600055

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/

Kesehatan Gigi Masyarakat

Tahun 2015

Natalia

Perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan

indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran

Antasari

xi+47 halaman

Gigi berjejal (crowded), gigi tonggos (protrusi), gigi jarang (diastema) dan

protrusi bimaksiler merupakan jenis maloklusi anterior yang dapat menimbulkan

dampak terhadap aspek psikososial seseorang. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa

SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari menggunakan indeks

Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Rancangan

penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 91 orang yang dipilih

secara purposif dan memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan

pemeriksaan maloklusi dan wawancara menggunakan kuisioner PIDAQ. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jenis maloklusi yang paling banyak dijumpai adalah

crowded 44%, diikuti diastema 27,5%, protrusi 16,5% dan protrusi bimaksiler 12%. Persentase responden yang mengalami dampak maloklusi terhadap aspek

kepercayaan diri terhadap gigi geligi lebih banyak di SMA Global Prima Nasional

Plus (71,7%) daripada SMA Pangeran Antasari (46,7), sedangkan untuk aspek

lainnya lebih banyak tidak menimbulkan dampak pada kedua sekolah. Hasil analisis

statistik menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior yang signifikan

berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA

Pangeran Antasari (ρ = 0,289) maupun berdasarkan sekolah (ρ = 0,898). Hal ini

(3)

yang mengalami maloklusi tanpa membedakan jenis kelamin maupun status sosial

sekolah.

(4)

PERBEDAAN DAMPAK MALOKLUSI ANTERIOR TERHADAP

STATUS PSIKOSOSIAL MENGGUNAKAN INDEKS PIDAQ

PADA SISWA SMA GLOBAL PRIMA NASIONAL PLUS

DAN SMA PANGERAN ANTASARI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

NATALIA

NIM: 110600055

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 25 Mei 2015

Pembimbing : Tanda tangan

Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D ………...

(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 25 Mei 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Simson Damanik, drg., M.Kes

ANGGOTA : 1. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, skripsi ini selesai

disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan

pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. H Nazruddin, drg., C.Ort, Ph.D., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Gigi Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D., selaku Ketua Departemen Ilmu

Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,

pengarahan, serta dorongan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini

hingga selesai.

3. Simson Damanik, drg., M.Kes dan Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes selaku

dosen penguji skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan saran

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar FKG USU, terutama staf pengajar di Departemen

Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG-USU atas

bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik penulis yang

telah banyak memberikan motivasi, nasihat dan bimbingan selama penulis menjalani

masa studi perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

5. Amalia S.Si, M.Si yang telah membantu penulis mengolah data statistik.

6. Fransiskus HR selaku kepala sekolah SMA Global Prima Nasional Plus

(8)

SMA Global Prima Nasional Plus yang telah meluangkan waktu dan bersedia

menjadi subjek penelitian.

7. Suryani S.Pd selaku kepala sekolah SMA Pangeran Antasari Medan yang

telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan siswa-siswi SMA Pangeran

Antasari yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi subjek penelitian.

Rasa hormat dan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua penulis,

Hendry S.E, M.M dan Melya atas segala doa, kasih sayang, bimbingan, nasihat dan

dukungan moril maupun materiil yang selama ini diberikan kepada penulis. Terima

kasih juga kepada adik penulis, Novelina atas segala kasih sayang, doa dan dukungan

yang diberikan kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat tersayang,

terutama Angelia Stefani, Fellicia Lestari, Jessica, Melissa, Herbert Oeinata, Bang

Willy Tanjaya, Bang Ricky Winardo serta teman-teman seperjuangan di Departemen

Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat FKG-USU yang telah

membantu saya dan memberi motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan

skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat

memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan

masyarakat.

Medan, 25 Mei 2015

Penulis,

(Natalia)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

2.1.1 Maloklusi Gigi Anterior... 10

2.1.2 Protrusi Bimaksiler... 13

2.2 Psikososial Remaja ... 14

2.3 Pengukuran Status Psikososial dengan Indeks PIDAQ ... 16

(10)

3.2.2 Waktu Penelitian ... 21

3.3 Populasi dan Sampel ... 21

3.3.1 Populasi ... 21

3.3.2 Sampel... 21

3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 22

3.5 Metode Pengumpulan Data... 26

3.6 Pengolahan Data dan Analisa Data ... 26

3.7 Etika Penelitian ... 26

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 28

4.2 Jenis Maloklusi Anterior ... 28

4.3 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Kepercayaan Diri terhadap Gigi Geligi ... 29

4.4 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Sosial ... 31

4.5 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Psikososial ... 32

4.6 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Pertimbangan Estetis ... 34

4.7 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

4.8 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Sekolah pada Siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 37

BAB 5 PEMBAHASAN ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik responden SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA

Pangeran Antasari ... 28

2. Persentase jenis maloklusi anterior yang dijumpai pada siswa SMA

Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 29

3. Status psikososial ditinjau dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi

geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 30

4. Dampak maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi

geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 30

5. Status psikososial ditinjau dari aspek sosial pada siswa SMA Global

Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 31

6. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial pada siswa SMA

Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 32

7. Status psikososial ditinjau dari aspek psikososial pada siswa SMA

Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 33

8. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek psikososial pada siswa

SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 34

9. Status psikososial ditinjau dari aspek pertimbangan estetis pada siswa

SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) 35

10. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek pertimbangan estetis pada

siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari .. 35

11. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin

antarsiswa SMA Global Prima Nasional Plus (n=19) ... 36

12. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin

(12)

13. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antara siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=37) ... 37

14. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki di sekolah

SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=12) ... 37

15. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa perempuan di

sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=21) ... 38

16. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa sekolah SMA Global

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Derajat keparahan gigi berjejal ... 11

2. Kasus-kasus diastema anterior ... 12

3. Protrusi anterior maksila akibat menghisap jempol dan bibir ... 13

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuisioner dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan

indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

2. Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

3. Surat Penyataan Persetujuan Izin Penelitian dari SMA Global Prima Nasional Plus

4. Surat Penyataan Persetujuan Izin Penelitian dari SMA Pangeran Antasari

(15)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/

Kesehatan Gigi Masyarakat

Tahun 2015

Natalia

Perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan

indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran

Antasari

xi+47 halaman

Gigi berjejal (crowded), gigi tonggos (protrusi), gigi jarang (diastema) dan

protrusi bimaksiler merupakan jenis maloklusi anterior yang dapat menimbulkan

dampak terhadap aspek psikososial seseorang. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa

SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari menggunakan indeks

Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Rancangan

penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 91 orang yang dipilih

secara purposif dan memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan

pemeriksaan maloklusi dan wawancara menggunakan kuisioner PIDAQ. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jenis maloklusi yang paling banyak dijumpai adalah

crowded 44%, diikuti diastema 27,5%, protrusi 16,5% dan protrusi bimaksiler 12%. Persentase responden yang mengalami dampak maloklusi terhadap aspek

kepercayaan diri terhadap gigi geligi lebih banyak di SMA Global Prima Nasional

Plus (71,7%) daripada SMA Pangeran Antasari (46,7), sedangkan untuk aspek

lainnya lebih banyak tidak menimbulkan dampak pada kedua sekolah. Hasil analisis

statistik menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior yang signifikan

berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA

Pangeran Antasari (ρ = 0,289) maupun berdasarkan sekolah (ρ = 0,898). Hal ini

(16)

yang mengalami maloklusi tanpa membedakan jenis kelamin maupun status sosial

sekolah.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigi berperan penting dalam pada proses pengunyahan, berbicara dan estetis.

Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai

fungsi rongga mulut. Salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau disebut

maloklusi.1 Maloklusi adalah penyimpangan susunan gigi dan atau malrelasi

lengkung gigi (rahang) yang tidak sesuai, baik secara estetis maupun fungsional dari

oklusi normal.1,2,3 Oklusi dikategorikan normal bila susunan gigi teratur dalam

lengkung rahang atau hubungan gigi atas dan gigi bawah harmonis dan seimbang,

tulang rahang, tulang tengkorak dan otot sekitarnya dapat membentuk keseimbangan

fungsional sehingga menghasilkan estetis yang baik. Gigi berjejal (crowded), gingsul

(caninus ectopic), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil (mesio oklusi), gigitan silang (crossbite), gigi jarang (diastema) merupakan jenis maloklusi.4 Selain itu, terdapat

juga jenis maloklusi protrusi bimaksiller dento-alveolar.5 Protrusi bimaksiler adalah

suatu maloklusi yang memperlihatkan inklinasi anterior yang berlebihan dari

insisivus rahang atas dan rahang bawah. Orang dengan protrusi bimaksiler biasanya

mengalami kesulitan menutup bibir dan mengalami gigi berjejal, serta profil wajah

tidak estetis.5,6

Maloklusi disebabkan oleh beberapa faktor berbeda, yaitu genetik dan

lingkungan. Menurut Proffit, secara umum maloklusi disebabkan karena 1) faktor

luar/ekstrinsik, yaitu herediter, kelainan kongenital, perkembangan dan pertumbuhan

yang salah saat pre dan postnatal, penyakit sistemik, kebiasaan jelek, dan 2) faktor

dalam/intrinsik, yaitu anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi,

frenulum labii tidak normal, kehilangan dini gigi desidui, terlambat erupsi gigi

permanen, erupsi abnormal, ankilosis, karies gigi dan restorasi tidak baik.4

Hasil penelitian Marpaung tahun 2006 menunjukkan prevalensi maloklusi

(18)

penelitian Dewi tahun 2007 menunjukkan prevalensi maloklusi remaja SMU di kota

Medan dengan menggunakan indeks HMA sebanyak 60,5% dengan jenis maloklusi

yang terbanyak adalah gigi berjejal, baik pada segmen anterior rahang bawah

(41,89%) maupun rahang atas (30,75%).4

Maloklusi tidak membahayakan hidup seseorang, namun sangat berdampak

terhadap ketidaknyamanan, keadaan sosial dan keterbatasan fungsi.7 Dampak

maloklusi berupa terganggunya faktor estetis, fungsi dan bicara, serta tidak hanya

berdampak terhadap susunan gigi geligi, namun juga mempengaruhi penampilan

wajah.8 Banyak faktor yang berpengaruh terhadap persepsi estetis wajah, yaitu

susunan gigi anterior, warna, bentuk dan posisi gigi, ketebalan bibir, kesimetrisan

gingiva atau kontur gingiva, profil bibir, overjet dan lain-lain.9

Penampilan wajah yang tidak menarik dapat mempengaruhi perkembangan

psikologi seseorang, terutama pada usia remaja. Remaja lebih mengutamakan daya

tarik fisik dalam bersosialisasi. Penampilan wajah yang kurang baik dapat

menyebabkan rasa tertekan sehingga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial,

keluarga, pekerjaan dan aktivitas sekolah karena malu bertemu dengan orang lain

atau merasa diejek.Hal ini dapat mengganggu psikososialnya. Mereka akan merasa

rendah diri, menganggap dirinya tidak berharga, terganggu prestasi akademisnya atau

sengaja tidak masuk sekolah.4,10 Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bull dan

Rumsey di New York pada tahun 1988 menunjukkan bahwa penampilan dentofasial

merupakan kunci penentu menarik atau tidaknya seseorang, dimana kelompok yang

mengalami maloklusi cenderung merasa sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan

sekolahnya.11

Penampilan wajah dan susunan gigi merupakan bagian terpenting dari

penampilan fisik remaja, karena masa remaja merupakan tahap perkembangan

psikososial yang pesat. Penampilan fisik, terutama dentofasial muncul sebagai pusat

pencarian jati diri mereka. Kemudian, mulai muncul kepedulian akan tanggapan

orang lain tentang penampilan dan identitas dirinya. Pandangan dari orang lain ini

(19)

Dampak maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara remaja

yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi seperti

umur, jenis kelamin dan kelas sosial.4 Orang dengan usia yang semakin bertambah

akan semakin memperhatikan kondisi gigi dan mulutnya. Perempuan lebih

memperhatikan gigi-geligi mereka dibandingkan laki-laki.14 Pada kelas sosial yang

semakin tinggi, maka kualitas hidupnya akan semakin baik, karena pengetahuan,

sikap dan perilaku mencari perawatan kesehatan gigi juga lebih baik.4

Hasil penelitian Dewi mengenai hubungan jenis kelamin dengan kualitas

hidup menunjukkan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan

ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidakmampuan sosial.

Remaja perempuan lebih banyak mengeluh dibandingkan laki-laki (p<0,05). Ini

disebabkan karena perempuan lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya,

terutama masalah estetis.4 Penelitian Anosike dkk juga menunjukkan perbedaan yang

signifikan berdasarkan jenis kelamin antara maloklusi dengan kualitas hidup, namun

penelitiannya menunjukkan laki-laki lebih perhatian terhadap dirinya (22,3%), lebih

canggung dengan kondisi maloklusi yang terjadi (17%) dan lebih malu terhadap

keadaan rongga mulutnya (18,7%).7

Beberapa alat ukur telah dikembangkan beberapa tahun terakhir ini untuk

pengukuran kualitas hidup yang dihubungkan dengan kesehatan rongga mulut,

meliputi Oral Health-Related Quality of Life (OHRQoL), Condition-Specific Oral

Impacts on Daily Performances (CS-OIDP), Oral Health Impacts Profile (OHIP) dan

14-items short form Oral Health Impact (OHIP-14).15 Indeks tersebut digunakan untuk mengukur kualitas hidup secara keseluruhan, namun ada indeks yang lebih

spesifik untuk mengukur dampak psikososial dalam bidang ortodonti, yaitu indeks

Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Indeks PIDAQ merupakan suatu alat ukur yang tepat untuk mengetahui dampak psikososial dari

estetika gigi dan mulut pada anak-anak, remaja dan dewasa muda yang mengalami

maloklusi.15,16

Beberapa penelitian telah menggunakan Indeks PIDAQ dengan skala Likert

(20)

penelitian terdapat perbedaan dampak psikososial dari estetis gigi, dimana remaja

dengan skor Dental Aesthetic Indeks (DAI) yang lebih tinggi mempunyai skor

dampak yang lebih besar pula. Pada skor DAI 4, skor rerata PIDAQ adalah 24,9 ± 12,

sedangkan pada skor DAI 1, reratanya hanya 14,1 ± 10,2. Sebaliknya, remaja dengan

pertumbuhan gigi yang kurang menarik mempunyai dampak psikososial dan masalah

estetis yang kurang baik.15,17 Penelitian Bellot-Arcis dengan menggunakan Index of

Orthodontic Treatment Need (IOTN) dan PIDAQ menunjukkan bahwa maloklusi berdampak terhadap status psikososial remaja, dampaknya terus meningkat seiring

keparahan maloklusinya. Pada IOTN –DHC grade 4-5, skor rerata PIDAQ 38,5 (35,6

– 41,3), sedangkan pada grade 1-2, skornya hanya 30,09 (28,6 – 31,6) dan dampak

terhadap status psikososial lebih besar pada perempuan.18 Penelitian Khan dan Fida

dengan menggunakan Aesthetic Component of the Index of Orthodontic Treatment

Need (IOTN-AC) dan PIDAQ menunjukkan bahwa terdapat dampak psikososial yang sangat besar terhadap perubahan estetis dari gigi. Aspek yang terlihat berdampak

sangat signifikan adalah aspek kepercayaan terhadap diri sendiri dan dampak

psikologis.19

Mengingat dampak maloklusi yang dapat mempengaruhi penampilan estetis

dan perkembangan mencari identitas diri remaja, maka perlu dilakukan penelitian

untuk mengetahui akibat maloklusi dan pengaruhnya terhadap psikososial remaja

dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini penting dilakukan karena masih

tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi, serta dampaknya dalam

mengakibatkan hambatan dalam perkembangan psikologi dan kehidupan sosial.8

Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang dampak

maloklusi anterior terhadap psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan

SMA Pangeran Antasari dengan menggunakan indeks PIDAQ. Alasan dipilihnya

siswa SMA untuk mewakili remaja karena termasuk dalam batasan usia remaja

pertengahan, dimana terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat

berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Mereka lebih mementingkan daya

tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi, dan mulai mengembangkan

(21)

dengan teman sebaya. Peneliti menggunakan dua sekolah sebagai parameter, yaitu

SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.

SMA Global Prima Nasional Plus merupakan sekolah bergengsi dengan

reputasi tinggi dan berkualitas dengan taraf nasional plus. Kurikulum yang diterapkan

adalah gabungan kurikulum nasional dan internasional. Sekolah ini menggunakan

bahasa Inggris (70%), Indonesia (20%) dan Mandarin (10%) sebagai bahasa

pengantar dengan guru yang berkualifikasi S1/S2 dari dalam maupun luar negeri.

Jumlah murid tiap kelas tidak terlalu banyak sehingga proses belajar lebih efektif dan

ditunjang oleh fasilitas yang unggul, seperti ruang full AC, kolam renang, tempat

bermain, laboratorium sains, laboratorium komputer, klinik, perpustakaan, wi-fi,

ruang tari, lapangan olahraga dan auditorium. Kebanyakan murid di sekolah ini

berasal dari golongan status sosial-ekonomi yang relatif menengah ke atas karena

uang sekolah 2 kali lipat lebih tinggi dari sekolah nasional biasa, seperti SMA

Pangeran Antasari yang mempraktikkan 100% kurikulum nasional dengan bahasa

pengantar bahasa Indonesia. Jumlah murid tiap kelas lebih banyak sehingga proses

belajar-mengajar kurang efektif. Fasilitasnya juga terbatas, hanya seperti lapangan

olahraga, ruang komputer, perpustakaan dan ruang kelas tanpa pendingin udara.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui persentase maloklusi anterior pada siswa SMA Global

Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.

2. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima

(22)

3. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

dari aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran

Antasari.

4. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

dari aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA

Pangeran Antasari.

5. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

dari aspek estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran

Antasari.

6. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status

psikososial berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus

dan SMA Pangeran Antasari.

7. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status

psikososial berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan

SMA Pangeran Antasari.

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA

Pangeran Antasari.

2. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial

berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA

Pangeran Antasari.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai

dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial pada siswa SMA di Medan

(23)

sehari-hari bahwa penampilan gigi geligi berpengaruh terhadap perkembangan

psikososial remaja.

2. Bagi institusi pendidikan

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai dampak maloklusi

anterior terhadap status psikososial remaja SMA dan sebagai kontribusi untuk

perkembangan ilmu kedokteran gigi.

3. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan acuan bagi

peneliti lain untuk dikembangkan lebih lanjut.

4. Bagi remaja dan masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada remaja dan

masyarakat mengenai dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dan

memberikan pengetahuan pengetahuan kepada remaja dan masyarakat bahwa

pentingnya perawatan ortodonti untuk meningkatkan status psikososial remaja

sehingga dapat dilakukan pencegahan maloklusi yang lebih parah agar tidak terjadi

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Maloklusi

Istilah maloklusi pertama kali diperkenalkan oleh Guilford, dimana pengertian

maloklusi adalah penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung geligi (rahang) di

luar batas kewajaran yang dapat diterima, yang ditandai dengan tidak tepatnya

hubungan antar lengkung atau anomali abnormal di setiap regio.3,20,21 Oklusi

dikategorikan normal bila susunan gigi teratur dalam lengkung rahang atau hubungan

gigi atas dan gigi bawah harmonis dan seimbang, tulang rahang, tulang tengkorak dan

otot sekitarnya dapat membentuk keseimbangan fungsional sehingga menghasilkan

estetis yang baik.4 Maloklusi juga dapat merupakan variasi biologi, namun letak gigi

yang mudah diamati dan menganggu estetis dapat menarik perhatian dan

menimbulkan keinginan melakukan perawatan.3

Sebagaimana diketahui, prevalensi maloklusi semakin meningkat. Hal ini

diyakini merupakan suatu proses evolusi akibat meningkatnya variabilitas gen dalam

populasi yang bercampur dalam kelompok ras. Maloklusi dapat disebabkan oleh

adanya kelainan gigi dan malrelasi rahang.3

Kelainan gigi berupa kelainan letak, ukuran, bentuk, dan jumlah gigi.

Kelainan letak gigi yaitu mesioversi (letak gigi lebih ke mesial daripada letak

normalnya), palatoversi (letak gigi lebih palatal daripada letak normalnya),

infraversi/infraoklusi/infraposisi (gigi tidak bisa mencapai bidang oklusal),

protrusi/proklinasi, retrusi/retroklinasi, mesioklinasi, distoklinasi, transversi/

transposisi (dua gigi yang bertukaran tempatnya), torsiversi/rotasi dan gigi yang

ektopik, yaitu gigi yang tidak pada tempatnya.3

Ukuran gigi yang normal, secara umum mempunyai ukuran tertentu, yaitu

insisivus sentralis permanen atas 8-10 mm, insisivus lateralis atas 6-8 mm, premolar

pertama dan kedua masing-masing ± 7 mm dan molar ± 10 mm. Untuk rahang

(25)

premolar ± 6 mm dan molar ± 10 mm. Ukuran gigi yang di atas rerata disebut

makrodonti, sedangkan di bawah rerata disebut mikrodonti. Insisivus lateralis maksila

mempunyai ukuran yang paling bervariasi, yaitu cenderung lebih kecil dari ukuran

normal.3

Kelainan bentuk gigi dapat berupa geminasi, fusi dan dilaserasi. Geminasi

adalah satu benih gigi bertumbuh menjadi dua benih gigi secara utuh atau sebagian

tetapi akarnya satu. Fusi adalah dua benih gigi bertumbuh menjadi satu gigi dengan

mahkota besar tapi akarnya tetap dua. Bila terjadi geminasi atau fusi, berarti jumlah

gigi tidak normal. Dilaserasi adalah akar gigi yang tidak normal bentuknya dan

biasanya bengkok.3

Kelainan jumlah gigi dapat berupa kelebihan gigi (hiperdontia) atau

kekurangan gigi (hipodontia). Kelebihan gigi mesiodens paling sering ditemukan di

maksila, yaitu di antara insisivus sentralis. Selain mesiodens, laterodens juga dapat

terjadi, yaitu di sebelah insisivus lateralis. Ada juga premolar tambahan terutama di

rahang bawah.3

Malrelasi rahang dapat terjadi pada tiga bidang orientasi, yaitu sagital,

transversal dan horizontal. Klasifikasi yang paling sering digunakan hingga saat ini

ialah klasifikasi menurut Angle. Klasifikasi menurut Angle didasarkan atas relasi

lengkung gigi atas dan bawah pada bidang sagital. Dasar klasifikasi ini adalah relasi

molar pertama permanen yang pada keadaan normal tonjol mesiobukal molar pertama

permanen atas terletak pada lekukan (groove) bukal.3

Berikut ini etiologi maloklusi menurut Moyers, yaitu:22

1. Herediter, seperti: sistem neuromuskular, tulang, gigi dan bagian lain di

luar otot dan saraf

2. Gangguan pertumbuhan

3. Trauma, yaitu trauma sebelum lahir, trauma saat dilahirkan dan trauma

setelah dilahirkan

4. Keadaan fisik, seperti prematur ekstraksi gigi permanen

5. Kebiasan buruk, seperti menghisap jari, menjulurkan lidah, menggigit

(26)

6. Penyakit, yaitu penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit lokal

(gangguan saluran pernafasan, penyakit gusi, dan jaringan penyangga gigi, tumor,

dan gigi berlubang)

7. Malnutrisi

Kelainan maloklusi dapat disebabkan oleh faktor herediter atau lingkungan

atau dapat disebabkan oleh keduanya. Salah satu dari beberapa penyebab umum

maloklusi adalah tidak proporsionalnya ukuran antara rahang dan gigi atau rahang

atas dan rahang bawah. Seorang anak yang mewarisi ukuran rahang yang kecil dari

ibunya dan ukuran gigi yang besar dari ayahnya dapat memiliki ukuran gigi yang

terlalu besar untuk rahangnya, sehingga menyebabkan gigi berjejal. Kebiasaan buruk

seperti menghisap jari, menggigit bibir dan bernafas dari mulut juga dapat

menyebabkan maloklusi dengan memperburuk pertumbuhan oklusi normal.20

Maloklusi yang terjadi dapat berupa banyak jenis. Beberapa ciri umum pada

maloklusi, seperti gigi berjejal, celah (diastema) antargigi, gigitan yang tidak tepat

antara rahang atas dan rahang bawah dan tidak proposionalnya ukuran dan

kesejajaran antara rahang atas dan rahang bawah. Namun tidak semua maloklusi

memerlukan perawatan, seperti kasus maloklusi yang tidak begitu menggangu estetis,

kesehatan gigi dan jaringan periodontal.20

2.1.1 Maloklusi Gigi Anterior

1. Gigi anterior berjejal (Crowded Teeth)

Sejauh ini, gigi berjejal merupakan kasus yang paling umum dikeluhkan oleh

para pasien yang mencari perawatan ortodonti, apalagi bila terletak di bagian anterior

yang mempengaruhi penampilan wajah.20 Gigi berjejal adalah keadaan berjejalnya

gigi di luar susunan yang normal karena lengkung basal yang terlalu kecil daripada

lengkung koronal. Lengkung basal merupakan lengkung prosesus alveolaris dari

apeks gigi yang tertanam, sedangkan lengkung koronal merupakan lengkung yang

paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari

(27)

Gigi berjejal dapat terlihat di bagian anterior maupun posterior pada satu atau

kedua lengkung rahang. Crowded yang terjadi dapat ringan atau parah, unilateral atau

bilateral, lokal atau umum. Menurut beberapa teori dari para ortodontis, banyak

penyebab gigi berjejal, di antaranya: evolusi, keturunan, maupun faktor

lingkungan.12,20,23,24

Kasus gigi berjejal dibedakan berdasarkan derajat keparahannya, yaitu

(gambar 1):12,23,24

a) Gigi berjejal ringan, yaitu hanya sedikit gigi yang berjejal, sering terjadi

pada anterior mandibula, dianggap suatu variasi normal dan tidak memerlukan

perawatan. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam kisaran 2 sampai 3 mm.

b) Gigi berjejal sedang. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam

kisaran 4 sampai 6 mm.

c) Gigi berjejal berat, yaitu gigi-gigi sangat berjejal sehingga menimbulkan

kebersihan mulut yang buruk. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam

kisaran <6 mm.

Gambar 1. Derajat keparahan gigi berjejal.20 (A) Gigi berjejal

ringan (B) Gigi berjejal sedang (C) Gigi berjejal berat

2. Gigi anterior bercelah (diastema)

Diastema anterior merupakan suatu keadaan dimana terdapat ruang di antara

gigi geligi anterior yang seharusnya berkontak. Diastema dapat terlihat pada satu atau

(28)

kedua lengkung rahang. Dapat terjadi secara lokal maupun umum dan unilateral atau

bilateral dalam lengkung gigi. Diastema di antara dua gigi insisivus maksila di

midline disebut sebagai diastema midline. Diastema dapat terjadi karena kebiasaan

buruk seperti menghisap jempol atau menggigit lidah. Penyebab lainnya adalah lidah

yang besar, mikrodonsia dan makrognathia.20,23,24

Diastema ada dua jenis (gambar 2):23,24

a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya adalah frenulum

labialis yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan jelek dan persistensi.

b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi dan dapat disebabkan oleh

faktor keturunan, makroglosia dan oklusi yang traumatis.

Gambar 2. Kasus-kasus diastema anterior.25 (A) Diastema midline

akibat tingginya perlekatan frenulum (B) Diastema

anterior akibat hilangnya gigi insisivus lateralis dengan kebiasaan mendorong lidah

3. Protrusi anterior

Protrusi adalah gigi anterior yang posisinya lebih maju ke depan lebih dari 4

mm. Overjet normal adalah 2-4 mm. Overjet berlebihan terutama gigi insisivus

maksila yang terlalu ke anterior menyebabkan insisivus maksila tidak mengenai

insisivus mandibula dan terjadi kontak prematur antara insisivus atas dan bawah.

Protrusi dapat disebabkan oleh faktor keturunan, kebiasaan jelek seperti menghisap

jari dan menghisap bibir bawah, mendorong lidah ke depan, kebiasaan menelan yang

salah, serta bernafas melalui mulut (gambar 3).23,24,26

(29)

Gambar 3. Protrusi anterior maksila akibat menghisap jempol dan bibir20

2.1.2 Protrusi Bimaksiler

Protrusi bimaksiler dento-alveolar adalah suatu kelainan dimana rahang atas

dan rahang bawah terlalu maju ke depan disertai majunya seluruh gigi pada kedua

rahang, tetapi hubungan oklusi giginya kelas I. Pada protrusi bimaksiler

dento-alveolar ditemui kelainan dento-dento-alveolar pada sistim neuromuskular dimana terdapat

relasi bibir yang terbuka (lip incompetence) karena ketidakseimbangan hubungan

antara otot lidah dan bibir. Akibat otot-otot lidah yang relatif hiperaktif, maka terjadi

inklinasi gigi anterior ke labial sehingga membuat penampilan keseluruhan wajah

menjadi tidak menarik.5,20

Protrusi bimaksiler sering terlihat pada populasi orang Asia. Ciri klinis

protrusi bimaksiler adalah menurunnya sudut nasolabial akibat proklinasi anterior

dari maksila, semakin dangkalnya sulkus mentolabial akibat proklinasi anterior

mandibula, bibir menjadi inkompeten dan profil wajah konveks (gambar 4).20

b

Gambar 4. Gambaran ekstra oral protusi bimaksiler.20 (A) Berkurangnya

sudut nasolabial akibat majunya anterior maksila (B) Dangkalnya sulkus mentolabial akibat majunya anterior mandibula

(30)

2.2 Psikososial Remaja

Remaja berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti “tumbuh untuk

mencapai kematangan”. Remaja sudah tidak tergolong anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima sebagai orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali dikenal

dengan fase “mencari jati diri” karena belum mampu menguasai dan mengfungsikan

perannya secara maksimal. Fase remaja juga merupakan fase perkembangan yang

sedang berada dalam masa sangat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi

maupun fisik. Secara psikologis, remaja adalah suatu masa di mana individu

terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, anak merasa tidak berada di bawah tingkat

orang yang lebih tua, melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.27

Periode remaja menurut para ilmuwan sosial dapat dikelompokkan menjadi

tiga, berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu periode remaja awal (usia 11-14 tahun),

periode remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan periode remaja akhir (usia 18-21

tahun). Menurut analisis perkembangan remaja di Indonesia, masa perkembangan

remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun, yang dibagi menjadi masa remaja

awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir

(18-21 tahun).12 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), batasan

usia remaja yaitu 10-14 tahun adalah remaja awal dan 15-24 tahun adalah remaja

akhir.

Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang

bersifat psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. Masalah

kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, akibat

terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat

menimbulkan gangguan jiwa.28

Psikososial merupakan keterkaitan antara 2 aspek yaitu aspek psikologis dan

sosial. Aspek psikologis berkaitan dengan perkembangan emosi dan kognitif yang

berhubungan dengan kemampuan belajar, merasakan dan mengingat. Sedangkan,

aspek sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan

(31)

Salah satu ahli psiko-analisis, Erickson pada tahun 1950 memperkenalkan

teori perkembangan psikososial manusia. Perkembangan psikososial manusia

menurut beliau terjadi sepanjang hidup seiring dengan peningkatan usia, yang

dikelompokkan menjadi delapan tahap perkembangan karakter, yaitu:12

1. Tahap percaya lawan tidak percaya (trust vs mistrust)

2. Tahap otonomi lawan perasaan malu dan ragu-ragu (autonomy vs shame,

doubt)

3. Tahap inisiatif lawan rasa bersalah (initiative vs guilt)

4. Tahap industri lawan perasaan rendah diri (industry vs inferiority)

5. Tahap identitas lawan kebingungan identitas (identity vs identity

confusion)

6. Tahap kedekatan lawan kesendirian (intimacy vs isolation)

7. Tahap generatifitas lawan stagnasi (generativity vs stagnation)

8. Tahap identitas ego lawan keputusasaan (ego identity vs despair)

Tahap identitas lawan kebingungan identitas (identity vs identity confusion)

terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun. Pada tahap inilah remaja

mengekplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya. Remaja dihadapkan

dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya dan menuju kemana

mereka dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Mereka

dihadap-kan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa, misalnya pekerjaan

dan romantisme.12,13

Disamping itu, mulai muncul kepedulian akan tanggapan orang lain tentang

penampilan dan identitas diri. Pandangan dari orang lain ini akan berpengaruh dalam

pembentukan konsep diri. Konsep diri yaitu suatu pandangan individu tentang seluruh

keadaan dirinya, yang mencakup dimensi fisik, karakter, motivasi, kelemahan,

kegagalan, kepandaian, dan lain sebagainya. Konsep diri terdiri dari berbagai

komponen, yaitu subject self (kita melihat diri sendiri seperti apa), body image

(kesadaran tentang penampilan diri), ideal self (gambaran diri yang ideal), real self

(32)

kita). Jika remaja menjajaki peran-peran yang ada dengan cara yang sehat dan positif

untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai. Bagi mereka yang

menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan

mandiri dan kontrol dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak

yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan

bingung terhadap diri dan masa depannya.12,13

2.3 Pengukuran Status Psikososial dengan Indeks PIDAQ

Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ) merupakan suatu instrumen atau alat untuk mengukur dampak psikososial dari estetika gigi dan

kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan mulut pada dewasa muda.18,29 Butir

pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner PIDAQ ini telah teruji validitas dan

reliabilitasnya oleh Ulrich, dkk.13,24,29 Kuesioner PIDAQ ini terdiri atas 6 butir

pertanyaan tentang aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi, 8 butir pertanyaan

mengenai aspek sosial, 6 butir pertanyaan mengenai dampak psikologis dari estetika

gigi-geligi, dan 3 butir pertanyaan mengenai estetika wajah.29

Faktor pertama dari kuesioner PIDAQ ini yaitu rasa percaya diri terhadap

gigi-geligi (dental self-confidence) yang menunjukkan dampak dari estetika gigi geligi

terhadap keadaan emosional seseorang. Rasa percaya diri (self-confidence)

merupakan suatu keyakinan akan diri sendiri yang ditandai dengan sikap menerima

dan menghargai diri, optimis akan kemampuan yang dimiliki, menerima kekurangan

yang dimiliki dan merasa tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain.

Individu yang memiliki penerimaan diri yang positif akan memiliki sikap yang positif

terhadap diri sendiri dan positif dalam menjalani hidup. Hal-hal yang dapat

mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri salah satunya karena faktor internal, yang

berasal dari dalam individu sendiri, seperti harga diri dan minat yang kurang.

Kemudian faktor lain yaitu faktor eksternal, yang berasal dari lingkungan di sekitar

anak, misalnya lingkungan keluarga yang protektif, maka anak akan memiliki rasa

(33)

Faktor kedua yaitu dampak sosial, yang menunjukkan masalah potensial

dalam lingkungan sosial seseorang yang dapat timbul karena persepsi subjektif

tentang penampilan gigi-geligi yang kurang baik baik dari diri sendiri maupun orang

lain. Maloklusi sering dihubungkan dengan kepribadian yang kurang menyenangkan

oleh orang lain. Hal ini yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan konsep diri

dalam diri individu.29

Persepsi akan penampilan gigi geligi dan wajah dipengaruhi oleh berbagai

faktor, di antaranya jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi dan usia. Perempuan

lebih memperhatikan gigi-geligi mereka dibandingkan laki-laki. Orang dengan sosial

ekonomi tinggi akan lebih memperhatikan kondisi gigi-geliginya dan lebih kritis

dalam menilai penampilan dentofasial mereka. Anak-anak dengan usia lebih muda

(±13 tahun) lebih kurang memperhatikan penampilan gigi-geligi mereka

dibandingkan usia remaja pertengahan (±17 tahun).14

Faktor ketiga yaitu dampak psikologis. Butir-butir pernyataan ini berkaitan

dengan perasaan rendah diri dan tidak bahagia pada saat individu membandingkan

diri sendiri dengan orang lain yang lebih baik estetika giginya.29

Faktor keempat yaitu dampak estetika, yang berisi pernyataan yang

menunjukkan perasaan tidak puas dengan keadaan gigi-geligi saat melihat gigi geligi

sendiri dengan cermin, foto ataupun video.29

Setiap butir pertanyaan pada keempat faktor di atas diukur dengan skala

Guttman yang diberi skor “1” atau “0”. Pemilihan skala Guttman karena bentuk

jawaban yang diberikan tegas, berupa jawaban “ya” atau “tidak”.30

2.4 Deskripsi Sekolah

2.4.1 Global Prima Nasional Plus

Global Prima Nasional Plus merupakan sekolah bergengsi dengan reputasi

tinggi dan berkualitas dengan taraf nasional plus. Sekolah ini telah berdiri sejak tahun

2009 dan telah berkembang pesat menjadi salah satu sekolah terbaik di kota Medan

yang telah melahirkan banyak siswa-siswi berprestasi. Global Prima Nasional Plus

(34)

dalam hal gender, etnik, ras dan budaya sehingga semua memiliki kesempatan yang

sama untuk menerima pembelajaran terbaik.

Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional dipadu dengan

kurikulum internasional. Sekolah ini menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan

Mandarin sebagai bahasa pengantar. Untuk itu maka staff pendidik, pembimbing dan

pelatih yang ada di sekolah ini dipilih yang berpengalaman, professional dan penuh

dedikasi dengan kualifikasi S1/S2, baik dari dalam maupun luar negeri.

Jumlah murid tiap kelas tidak terlalu banyak sehingga proses belajar lebih

efektif dan ditunjang oleh fasilitas yang unggul, seperti ruang full AC, kolam renang,

tempat bermain, laboratorium sains, laboratorium komputer, klinik, perpustakaan,

wi-fi, ruang tari, lapangan olahraga dan auditorium. Sekolah ini mempersiapkan siswanya menjadi pribadi yang kompetitif dan dapat mengembangkan keahliannya

sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan di

universitas dalam maupun luar negeri. Maka tidak heran bahwa murid di sekolah ini

kebanyakan dari golongan status sosial-ekonomi yang relatif menengah ke atas dan

berasal daerah kota Medan dan sekitarnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk

menjadi siswa di sekolah ini adalah sebesar ± 4 juta rupiah, termasuk uang sekolah

350.000 perbulan.

2.4.2 SMA Pangeran Antasari

Pangeran Antasari merupakan sekolah bertaraf nasional biasa yang ini telah

berdiri sejak tahun 1987. Kurikulum yang dipraktikkan 100% kurikulum nasional

yang berlaku. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Untuk

staff pendidik yang ada di sekolah ini dipilih yang berpengalaman dan professional

dengan kualifikasi S1 dan sederajat.

Jumlah murid tiap kelas lebih banyak sehingga proses belajar-mengajar

kurang efektif. Sekolah ini didukung oleh beberapa fasilitas penunjang, seperti

lapangan olahraga, ruang komputer, perpustakaan dan tempat bermain. Uang

sekolahnya relatif lebih murah sehingga kebanyakan murid sekolah ini berasal dari

(35)

Serdang dan sekitarnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi siswa di

(36)
(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan penelitian

cross-sectional. Pada rancangan penelitian ini, informasi mengenai maloklusi diperoleh secara bersamaan dengan data tentang status psikososial para siswa SMA.

3.2 Lokasi& Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA kota Medan, yaitu SMA Global Prima

Nasional Plus (Jl. Brigjend Katamso Sp. Ir. Juanda No.282-283, Kota Medan) dan

SMA Pangeran Antasari (Jl. Veteran No.1060/19, Helvetia, Kabupaten Deli

Serdang).

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai dari Juli 2014 hingga bulan Mei 2015.

3.3 Populasi & Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif dan yang memenuhi

kriteria inklusi sebanyak 91 orang, dimana 46 orang dari SMA Global Prima Nasional

(38)

A. Kriteria Inklusi

1. Bersedia sebagai responden

2. Mempunyai maloklusi anterior, yaitu protrusi, berjejal (crowded),

bercelah (diastema) dan protrusi bimaksiler

B. Kriteria Eksklusi

1. Sedang atau pernah mengalami perawatan ortodonti

2. Mempunyai kelainan gigi yang bukan maloklusi anterior, seperti karies

pada gigi depan dan hilangnya gigi depan

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

1. Usia, yaitu yang menjadi subjek penelitian adalah siswa SMA

berusia15-18 tahun.

2. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang dapat mempengaruhi

persepsi terhadap kelainan maloklusi yang berdampak pada perbedaan tingkatan

psikososialnya.

3. Status sosial adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok

sosial, yang dapat diukur melalui kekayaan, jabatan, pendidikan atau keturunan. SMA

Global Prima Nasional Plus merupakan salah satu sekolah yang berstatus sosial

menengah ke atas, sedangkan SMA Pangeran Antasari merupakan salah satu sekolah

dengan status sosial menengah ke bawah.

4. Jenis maloklusi anterior adalah ketidakteraturan susunan gigi depan yang

dapat dilihat secara kasat mata, meliputi :

a) Protrusi anterior: posisi gigi atau rahang lebih ke depan lebih dari 4 mm.

b) Crowded anterior: gigi berjejal pada bagian depan. Gigi berjejal karena kurang tempat sehingga untuk mengaturnya perlu digeser gigi-gigi lain yang ada

dalam rahang. Kebutuhan ruang yang diperlukan minimal berkisar -2 sampai -3 mm.

Pengukuran terhadap protrusi dan crowded anterior dilakukan dengan

menggunakan penggaris transparan dengan satuan millimeter, kemudian diukur jarak

gigitnya (protrusi) atau jarak antargigi (crowded), apabila lebih dari normal

(39)

c) Diastema anterior: adanya celah antara gigi-geligi anterior yang seharusnya

berkontak. Pengukuran terhadap diastema anterior dilakukan dengan meletakkan

kedua ujung kaliper penggaris pada celah yang akan diukur antargigi kemudian

kaliper dipindahan diatas penggaris, lalu diukur dalam satuan millimeter. Bila celah

yang terjadi >2 mm, itu termasuk diastema anterior.

d) Protrusi bimaksiler: rahang atas dan rahang bawah terlalu maju ke depan

disertai majunya seluruh gigi pada kedua rahang. Maloklusi ini dilihat dari gambaran

fisik bibir dan wajah yang cembung, saat istirahat tidak bisa menutup bibir.

Pengukuran terhadap protrusi bimaksiler dilakukan dengan menggunakan

penggaris transparan dengan satuan millimeter, kemudian diukur jarak gigitnya,

apabila lebih dari normal dan sesuai dengan ciri fisik maka dimasukkan dalam

kategori protrusi bimaksiler.

Apabila terdapat lebih dari satu maloklusi anterior pada seseorang yang

menjadi sampel penelitian, maka peneliti mencantumkan jenis maloklusi anterior

yang paling dominan menurut peneliti untuk dimasukkan ke dalam kategori jenis

maloklusi anterior yang terjadi.

5. Status psikososial adalah penilaian persepsi diri tentang dampak kelainan

gigi anterior dengan menggunakan indeks PIDAQ yang dilihat dari 4 aspek:

a) Kepercayaan diri terhadap gigi geligi adalah sikap menerima dan

menghargai diri, optimis akan kemampuan yang dimiliki, menerima kekurangan yang

dimiliki, serta merasa tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek kepercayaan diri terhadap

gigi geligi ada 6 butir pernyataan, yaitu:

1. Saya bangga dengan gigi saya

2. Saya tidak malu memperlihatkan gigi saya pada waktu saya tersenyum

3. Saya senang melihat gigi-gigi saya pada waktu bercermin

4. Orang-orang mengatakan gigi saya menarik

5. Saya puas dengan penampilan gigi saya

(40)

Pemberian skor pada aspek ini dilakukan dengan cara membalik penilaian,

yaitu skor 0 untuk jawaban “ya” dan skor 1 untuk jawaban “tidak”. Kemudian

dilakukan penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 1-6. Nilai maksimum adalah

6 dan nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,

dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥3) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <3) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.

b) Aspek sosial: masalah dalam lingkungan sosial timbul karena persepsi

subyektif tentang penampilan gigi-geligi yang kurang baik baik dari diri sendiri

maupun orang lain.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek sosial ada 8 butir

pernyataan, yaitu:

1. Saya menahan diri ketika saya tersenyum agar gigi-gigi saya tidak terlalu

terlihat Saya tidak malu memperlihatkan gigi saya pada waktu saya tersenyum

2. Pada beberapa orang yang tidak terlalu saya kenal dengan baik,

kadang-kadang saya khawatir tentang apa yang mereka pikirkan terhadap gigi saya

3. Saya takut orang lain membuat julukan yang menghina gigi saya

4. Saya agak malu bergaul karena gigi saya

5. Kadang-kadang saya menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan

gigi-gigi saya

6. Kadang-kadang saya berpikir orang-orang melihat gigi saya

7. Saya merasa jengkel bila orang-orang mengejek gigi saya walaupun maksud

mereka hanya bercanda

8. Kadang-kadang saya merasa khawatir terhadap apa yang dipikirkan lawan

jenis tentang gigi saya

Pemberian skor pada aspek sosial dilakukan dengan memberi skor 0 untuk

jawaban “tidak” dan skor 1 untuk jawaban “ya”. Kemudian dilakukan penjumlahan

skor dari butir pernyataan nomor 7-14. Nilai maksimum adalah 8 dan nilai minimum

(41)

skor ≥50% (atau ≥4) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <4) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.

c) Aspek psikososial: perasaan rendah diri dan tidak bahagia pada saat

individu membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih baik estetika

giginya.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek psikososial ada 6 butir

pernyataan, yaitu:

1. Saya iri dengan orang lain yang memiliki penampilan gigi yang baik

2. Saya tertekan ketika melihat gigi orang lain

3. Kadang-kadang saya merasa tidak senang dengan penampilan gigi saya

4. Kebanyakan orang yang saya kenal mempunyai gigi yang lebih baik daripada

gigi saya

5. Saya merasa jelek ketika saya berpikir tentang penampilan gigi saya

6. Saya berharap gigi saya terlihat lebih baik

Pemberian skor pada aspek psikososial dilakukan dengan memberi skor 0

untuk jawaban “tidak” dan skor 1 untuk jawaban “ya”. Kemudian dilakukan

penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 15-20. Nilai maksimum adalah 6 dan

nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,

dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥3) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <3) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.

d) Pertimbangan estetis: perasaan tidak puas dengan keadaan gigi-geligi saat

melihat gigi geligi sendiri dengan cermin, foto ataupun video.

Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek pertimbangan estetis ada 3

butir pernyataan, yaitu:

1. Saya tidak suka melihat gigi saya di depan cermin

2. Saya tidak suka melihat gigi saya di foto

3. Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video saya sendiri

Pemberian skor pada aspek pertimbangan estetis dilakukan dengan memberi

(42)

penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 21-23. Nilai maksimum adalah 3 dan

nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,

dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥2) termasuk dalam kategori “berdampak”,

sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <2) termasuk dalam kategori “tidak

berdampak”.

Untuk pengkategorian dampak psikososial secara keseluruhan juga digunakan

skala Guttman, dimana penjumlahan skor seluruh pernyataan (23 butir penyataan)

apabila ≥50% (atau ≥12) termasuk kedalam kategori “berdampak” dan apabila <50%

(atau <12) dimasukkan dalam kategori “tidak berdampak”.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pemeriksaan terhadap

maloklusi dan wawancara dengan alat bantu kuisioner PIDAQ untuk mengetahui

dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan secara komputerisasi dan analisis

data yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan (Independent T-Test) untuk

melihat perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial (indeks

PIDAQ) berdasarkan sekolah dan jenis kelamin.

3.7 Etika Penelitian

1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Peneliti melakukan pendekatan dan memberikan lembar persetujuan kepada

responden kemudian menjelaskan terlebih dulu tujuan penelitian, pemeriksaan yang

akan dilakukan, dan manfaat yang diperoleh dari hal-hal yang berkaitan dengan

(43)

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada

Komisi Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat

(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Hasil penelitian pada kedua sekolah (SMA Global Prima Nasional Plus dan

SMA Pangeran Antasari) menunjukkan bahwa dari 91 orang responden yang

memenuhi kriteria inklusi, secara keseluruhan responden perempuan lebih banyak

(57,1%) daripada responden laki-laki (42,9%), yaitu 63% di SMA Global Prima

Nasional Plus dan 51,1% di SMA Pangeran Antasari (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik responden SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA sekolah, jenis maloklusi anterior yang paling banyak dialami siswa SMA Global

Prima Nasional Plus adalah crowded sebesar 34,8%, begitu pula dengan siswa SMA

(45)

Tabel 2. Persentase jenis maloklusi anterior yang dijumpai pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)

Nama Sekolah

Jenis Maloklusi Anterior

n

Protrusi Crowded Diastema Protrusi

Bimaksiler

4.3 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Kepercayaan Diri terhadap

Gigi Geligi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan paling banyak dijawab oleh

responden dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi di SMA Global Prima

Nasional Plus adalah pernyataan “orang-orang mengatakan gigi saya menarik”, di

mana sebanyak 76,1% responden menjawab tidak. Begitu pula di SMA Pangeran

Antasari sebanyak 71,1% responden menjawab tidak untuk pernyataan tersebut

(Tabel 3).

Dampak maloklusi terhadap aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi antara

kedua sekolah terlihat lebih berdampak di SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%)

daripada di SMA Pangeran Antasari (46,7%) (Tabel 4). Jenis maloklusi anterior yang

paling berdampak dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi di SMA Global

Prima Nasional Plus adalah protrusi bimaksiler, yaitu sebesar 100%, diikuti dengan

crowded sebesar 81,3%, protrusi 70% dan diastema sebesar 46,2%. Sedangkan pada

SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi yaitu sebesar 80%,

(46)

Tabel 3. Status psikososial ditinjau dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi

Tabel 4. Dampak maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

Jenis Maloklusi

Anterior

(47)

4.4 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Sosial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab

oleh responden dari aspek sosial adalah “Kadang-kadang saya berpikir orang-orang

melihat gigi saya”, di mana sebanyak 50% responden di SMA Global Prima Nasional

Plus dan 55,6% responden di SMA Pangeran Antasari menjawab ya (Tabel 5).

Tabel 5. Status psikososial ditinjau dari aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)

Pernyataan

Saya agak malu bergaul karena gigi

(48)

Dampak maloklusi terhadap aspek sosial ditinjau dari kedua sekolah

menunjukkan bahwa di SMA Global Prima Nasional Plus sedikit lebih berdampak

(41,3%) daripada di SMA Pangeran Antasari (40%) (Tabel 6). Jenis maloklusi

anterior yang paling berdampak dari aspek sosial di SMA Global Prima Nasional Plus

adalah protrusi bimaksiler sebesar 71,4%, diikuti dengan diastema sebesar 46,2%,

protrusi 40% dan crowded sebesar 25%. Sedangkan pada SMA Pangeran Antasari,

yang paling berdampak adalah protrusi yaitu sebesar 60%, diikuti protrusi bimaksiler

sebesar 50%, lalu diastema 41,7% dan crowded sebesar 33,3%.

Tabel 6. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

Jenis

4.5 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Psikososial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab

oleh responden dari aspek psikososial adalah “Saya berharap gigi saya terlihat lebih

baik”, dimana sebanyak 87% responden dari SMA Global Prima Nasional Plus dan

86,7% responden dari SMA Pangeran Antasari menjawab ya atas pernyataan ini

(49)

Tabel 7. Status psikososial ditinjau dari aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)

Pernyataan

Saya iri dengan orang lain yang memiliki penampilan gigi yang

Dampak maloklusi terhadap aspek psikososial SMA Global Prima Nasional

Plus (56,5%) sedikit lebih berdampak dibandingkan SMA Pangeran Antasari (55,6%)

(Tabel 8), dimana jenis maloklusi anterior yang paling berdampak dari aspek

psikososial di SMA Global Prima Nasional Plus adalah protrusi bimaksiler sebesar

85,7%, diikuti dengan protrusi sebesar 60%, diastema 53,8% dan crowded sebesar

43,8%. Sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah

protrusi yaitu sebesar 80%, diikuti protrusi bimaksiler sebesar 75%, lalu diastema

(50)

Tabel 8. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

Jenis

4.6 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Pertimbangan Estetis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab

oleh responden dari aspek pertimbangan estetis di SMA Global Prima Nasional Plus

adalah pernyataan “Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video saya

sendiri” dengan responden yang menjawab “ya” sebanyak 47,8%, sedangkan

pernyataan yang paling berdampak di SMA PAngeran Antasari adalah pernyataan

“Saya tidak suka melihat gigi saya di depan cermin” dan “Saya tidak suka melihat

gigi saya di foto” yang keduanya dijawab ya oleh 40% responden (Tabel 9).

Dampak maloklusi terhadap status psikososial dari aspek pertimbangan estetis

menunjukkan di SMA Global Prima Nasional Plus (43,5%) sedikit lebih berdampak

daripada di SMA Pangeran Antasari (37,8%) (Tabel 10). Jenis maloklusi anterior

yang paling berdampak dari aspek ini adalah crowded 50%, diikuti diastema 46,2%,

protrusi 40% dan protrusi bimaksiler 28,6% di SMA Global Prima Nasional Plus,

sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi

(51)

Tabel 9. Status psikososial ditinjau dari aspek pertimbangan estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)

Pernyataan

Tabel 10. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek pertimbangan estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

Jenis

4.7 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 11 menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior

terhadap status psikososial yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan di

(52)

Tabel 11. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antarsiswa SMA Global Prima Nasional Plus (n=19)

Jenis kelamin

Tabel 12 menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior

terhadap status psikososial yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan di

SMA Pangeran Antasari dengan nilai ρ=0,401.

Tabel 12. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antarsiswa SMA Pangeran Antasari (n=18)

Tabel 13 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dampak yang signifikan

(53)

Tabel 13. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antara siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=37)

Jenis kelamin

4.8 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Sekolah pada

siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari

Hasil analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki SMA Global

Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari, tidak ditemukan adanya perbedaan

dampak yang signifikan, dengan nilai ρ = 0,833 (Tabel 14).

Tabel 14. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki di sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=12)

Nama sekolah

Hasil analisis dampak maloklusi anterior antara siswa perempuan SMA

Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari, tidak ditemukan adanya

Gambar

Gambar 1. Derajat keparahan gigi berjejal.20 (A) Gigi berjejal    ringan (B) Gigi berjejal sedang (C) Gigi berjejal berat
Gambar 3. Protrusi anterior maksila akibat menghisap jempol dan bibir20
Tabel 1. Karakteristik responden SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Tabel 2. Persentase jenis maloklusi anterior yang dijumpai pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
+7

Referensi

Dokumen terkait