• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dijumpai 100% responden adalah laki-laki, meskipun penelitian ini tidak mengeksklusikan wanita dari kriterianya. Hal ini mungkin disebabkan karena proporsi perokok dalam populasi lelaki (67%) lebih tinggi dibandingkan proporsi perokok dalam populasi wanita (3%), sebagaimana disebut pada laporan pengguna rokok Indonesia oleh WHO 2011 dan didukung oleh data RISKESDAS 2013. Selain itu, kebanyakan profesi supir angkot dan tukang becak didominasi oleh laki-laki.3

Berdasarkan kelompok usia, persentase terbanyak adalah 41-50 tahun dengan lama merokok >15 tahun, yaitu 82% pada tukang becak dan 86% pada supir angkot. Hal ini sesuai dengan data WHO 2011 yang melaporkan bahwa rerata usia perokok harian 45-65 tahun, sedangkan perokok sewaktu lebih banyak di usia muda (15-24 tahun). WHO 2011 membagi perokok harian (daily smoker) dan perokok sewaktu (occasional smoker).3

Baik pada kelompok perokok supir angkot maupun tukang becak termasuk perokok berat (84%). Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan supir angkot dan tukang becak tidak memerlukan tempat khusus untuk merokok. Hal ini sesuai dengan penelitian Singh yang membuat pembagian kategori perokok berat terkait dari jumlah rokok perhari dan lama merokok, di mana pada penelitian ini persentase yang merokok lebih dari 18 batang dengan lama merokok >15 tahun sebanyak 84%.17

Pada penelitian ini semua responden menggunakan rokok kretek. Tidak seorangpun responden yang menggunakan rokok putih. Hal ini mungkin disebabkan rokok kretek lebih banyak tersedia di pasaran, sebagaimana WHO juga menyatakan pada tahun 2011 bahwa 79,8% perokok kretek membeli rokok di pasaran dengan harga relatif tidak mahal. Data perokok Indonesia oleh WHO 2011 menyatakan bahwa penggunaan rokok kretek di Indonesia ini meningkat berdasarkan usia, yaitu

WHO bahwa prevalensi perokok kretek di antara orang berpendidikan tinggi lebih rendah (25,6%) daripada orang yang berpendidikan rendah (33,9%). Dalam proses pendidikan, kesempatan dan paparan terhadap merokok lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak mengikuti pendidikan formal. Hal ini mungkin yang mendasari sedikitnya ditemukan perokok non kretek dalam penelitian ini.3

Prevalensi karies gigi spesifik dijumpai sebanyak 43%. Persentase ini sedikit lebih rendah dari penelitian Farida tahun 1999 tentang karies gigi spesifik pada perokok yang menjumpai sebanyak 55,8%. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian terdahulu seluruh sampelnya adalah supir angkot.11 Pada penelitian ini, persentase karies gigi spesifik pada supir angkot sebesar 52%, tidak jauh berbeda dengan penelitian Farida sementara prevalensi karies gigi spesifik pada tukang becak 34%. Hal ini mungkin juga disebabkan seluruh responden menggunakan rokok kretek. Rokok kretek memiliki komposisi cengkeh yang cukup besar (40%), di mana cengkeh mengandung eugenol yang dianggap berpotensi menyebabkan karies spesifik pada rongga mulut.11.21 Selain itu, salah satu faktor penyerta yang mungkin

berperan adalah kebersihan gigi dan mulut oral higiene. Secara umum oral higiene diketahui berperan terhadap timbulnya karies. Meskipun peneliti tidak memasukkan faktor kebersihan gigi dan mulut dalam aspek penilaian, kemungkinan besar hal ini ada pengaruhnya dalam persentase karies gigi spesifik pada perokok.

Berdasarkan pemeriksaan gigi yang dilakukan terlihat bahwa karies gigi spesifik dijumpai hampir pada semua elemen gigi, baik pada permukaan gigi anterior maupun posterior, terutama pada gigi molar satu rahang atas dan gigi premolar dua di rahang bawah. Hasil ini berbeda dari penelitian Farida yang menyatakan bahwa karies gigi spesifik dijumpai pada gigi kaninus, premolar, molar dua, dan molar tiga di bagian bukal dan palatal.11 Meskipun tidak dijumpai perbedaan yang bermakna, namun ada gigi yang memiliki persentase karies gigi spesifik sedikit lebih tinggi dari yang lain, yaitu molar satu rahang atas sekitar 5,48% dari total responden memiliki karies gigi spesifik pada bagian tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian Farida, jumlah rokok yang paling banyak digunakan per hari adalah 7-12 batang

6

sebanyak 33,3%, sementara pada penelitian ini, seluruh sampel perokok yang merokok lebih dari 18 batang per hari.

Jumlah dan lama merokok adalah salah satu hal yang berpengaruh dalam penelitian ini, dimana data distribusi karies gigi spesifik berdasarkan jumlah rokok menunjukkan bahwa responden supir angkot dengan persentase karies gigi spesifik 52%, dan sebagian besar merokok dengan jumlah lebih dari 36 batang per harinya. Sebaliknya tukang becak dengan prevalensi 34% hanya merokok sekitar 18-36 batang per harinya. Penelitian yang dilakukan Farida pada supir angkot, menunjukkan bahwa jumlah batang rokok yang dihisap per hari memiliki pengaruh terhadap timbulnya karies spesifik, dimana pada penelitian tersebut didapati peningkatan relative risk

2,96 (p<0.0001) pada yang merokok lebih dari 18 batang per hari. Lama merokok juga berpengaruh terhadap karies gigi spesifik, sesuai penelitian Farida yang menemukan bahwa pada perokok yang merokok lebih dari 15 tahun ditemukan prevalensi karies gigi spesifik sebesar 89,3%.11

Pada penelitian ini diperoleh rata-rata karies gigi spesifik anterior pada supir angkot adalah 0,30 ± 0,16 dan tukang becak 0,22 ± 0,12. Karies gigi spesifik pada bagian anterior kemungkinan terjadi karena paparan langsung dari asap rokok, sehingga kerusakan gigi cepat terjadi. Namun hal ini berbeda sama sekali dengan penelitian Farida yang menyatakan tidak ada sama sekali ditemukan karies gigi spesifik pada bagian anterior pada perokok. Hal ini mungkin disebabkan karena pada penelitian Farida, jumlah rokok yang paling banyak digunakan per hari adalah 7-12 batang, yaitu 33.3% dari total sampel. Sementara pada penelitian ini, seluruh sampel merupakan perokok aktif yang berat merokok lebih dari 18 batang per hari.11

Pada penelitian ini untuk bagian posterior, diperoleh hasil uji statistik yang menunjukkan adanya perbedaan rata-rata karies gigi spesifik antara supir angkot 0,23 ± 0,23 dengan tukang becak 0,08 ± 0,03 dengan p<0.05. Perbedaan ini kemungkinan terjadi karena adanya perbedaan jumlah sampel yang terkena karies gigi spesifik pada tukang becak relatif jauh lebih sedikit daripada supir angkot.

peringkat ke tiga laki-laki yang merokok terbanyak. Indonesia juga merupakan satu-satunya negara di regio Asia Tenggara yang belum bekerja sama dengan FTC (Framework Convention on Tobacco Control)dalam membuat peraturan resmi dalam merokok di negara. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang masih memiliki risiko tinggi terhadap paparan rokok, dan berpotensi untuk meningkat setiap tahunnya. Tidak hanya terbatas pada kesehatan gigi dan mulut, tetapi juga kesehatan organ tubuh lainnya.3

28

Dokumen terkait