• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap berhasilnya suatu program pemuliaan tanaman. Hibridisasi atau persilangan dua tetua galur murni digunakan sebagai metode memperoleh keragaman genetik. Tetua yang digunakan merupakan tetua cabai keriting (IPB C120) dan cabai besar (IPB C5) yang memiliki jarak genetik cukup jauh. Selain itu, Istiqlal (2014) melaporkan bahwa IPB C120 dan IPB C5 memiliki daya gabung umum yang tergolong tinggi. Informasi daya gabung umum dari persilangan dialel dengan asumsi tidak ada

linkage, tidak ada epistasis dan tidak ada efek maternal dapat diketahui aksi gen

aditif (Kuczyñska et al. 2007). Aksi gen aditif berhubungan dengan lokus homozigot pada tanaman menyerbuk sendiri (Griffing 1956). Kedua tetua ini digunakan dalam pembentukan populasi persilangan biparental untuk mempelajari pewarisan karakter hasil dan komponen hasil. Selain itu, diharapkan juga mendapat kandidat galur harapan segregan transgresif.

Hasil segregasi generasi F2 terdapat genotipe-genotipe yang bersifat segregan transgresif, yaitu segregasi gen pada sifat-sifat kuantitatif dari zuriat hasil persilangan dua tetua yang memiliki jangkauan sebaran yang melampaui jangkauan sebaran kedua tetuanya (Poehlman dan Sleper 1996). Segregan transgresif dapat memangkas waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan. Fiksasi gen-gen homozigot pada awal generasi dapat dilakukan apabila memanfaatkan seleksi berdasarkan segregan transgresif, yakni dengan memilih individu F2 yang memiliki nilai tengah diluar jangkauan sebaran tetuanya. Pewarisan sifat tanaman menyerbuk sendiri yang berperan lebih besar adalah aksi gen aditif. Karakter-karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif pada individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua diduga efek dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua ketika dilanjutkan tidak bersegregasi kembali atau sudah seragam, hal ini dikarenakan telah terfiksasinya gen-gen homozigot dominan.

Segregan transgresif pada tanaman menyerbuk sendiri menjadi sangat efektif karena berhubungan dengan aksi gen aditif. Tanaman cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat penyerbukan silang alami yang tinggi. Ritonga (2013) melaporkan persentase penyerbukan silang alami berbasis benih pada genotipe cabai IPB C120 sebesar 16.76% dan IPB C5 sebesar 8.63% dan berbasis tanaman pada genotipe cabai IPB C120 sebesar 25.58% dan IPB C5 sebesar 14.46%. Tingkat penyerbukan silang alami yang tinggi biasanya berpengaruh pada aksi gen yang mengendalikan suatu karakter. Penyerbukan silang alami tanaman tomat sangat rendah yakni sebesar 0.07-12% dan umumnya terjadi pada varietas dengan tangkai putik yang panjang dan kepala putik yang terbuka (Delaplane dan Mayer 2000). Menurut Amaefula et al. (2014) karakter bobot buah per tanaman tomat lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif sedangkan menurut Saputra et al. (2014) jumlah buah pada tomat juga dikendalikan oleh aksi gen aditif. Sedangkan penyerbukan silang pada jagung yang tinggi, aksi gen non- aditif lebih berperan dalam pewarisan sifat. Hasil penelitian Sujiprihati et al. (2003) rasio non-aditif jauh lebih besar dibandingkan rasio aditif pada karakter hasil biji jagung. Tanaman-tanaman menyerbuk silang umumnya dikendalikan oleh aksi gen non-aditif sehingga memiliki nilai heterosis yang tinggi. Genotipe cabai dengan tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi mengikuti pola tanaman

menyerbuk silang, yakni memiliki nilai heterosis yang tinggi pada karakter tertentu. Riyanto et al. (2008) melaporkan karakter bobot buah per tanaman cabai memiliki nilai heterosis yang cukup tinggi mencapai 188.85%, sedangkan Daryanto et al.

(2010) melaporkan karakter jumlah buah pada cabai juga memiliki nilai heterosis yang cukup tinggi mencapai 74.50%.

Tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi pada cabai dapat mengakibatkan suatu karakter tidak lagi dikendalikan oleh aksi gen aditif, tetapi lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen non-aditif. Oleh karena itu segregan transgresif pada tanaman menyerbuk sendiri dengan tingkat penyerbukan silang alami tinggi dapat menjadi bias. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi tetua tertinggi belum tentu disebabkan oleh berkumpulnya gen homozigot dominan melainkan akibat dari aksi gen non-aditif atau dominan. Individu F2 tersebut merupakan individu dalam keadaan heterozigot yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua, ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya akan bersegregasi kembali atau bukan genotipe segregan transgresif.

Tingkat penyerbukan silang alami yang cukup tinggi mengakibatkan pada beberapa karakter pada penelitian ini menunjukkan rasio non-aditif lebih besar dibandingkan rasio aditif, yakni pada karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman. Karakter-karakter dengan aksi gen non-aditif menunjukkan individu F2 yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua lebih banyak dibandingkan karakter-karakter dengan aksi gen aditif. Individu F2 dengan nilai tengah melebihi kedua tetua diduga akibat aksi gen non-aditif atau dominan, sehingga individu F2 dalam keadaan heterozigot menunjukkan performa yang lebih baik dibandingkan individu F2 dalam keadaan homozigot dominan. Karakter jumlah buah merupakan karakter dengan individu F2 yang diduga segregan transgresif paling banyak, yakni sebesar 49.67% dengan total 149 individu. Karakter bobot per buah dan diameter buah berbanding terbalik dengan karakter jumlah buah, yakni tidak terdapat individu F2 yang diduga segregan transgresif untuk kedua karakter tersebut. Fenomena ini diduga akibat kedua karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif, selain itu diduga akibat menggunakan tetua yang sangat distinct (berbeda). Karakter bobot per buah dan diameter buah tetua cabai keriting IPB C120 sangat jauh berbeda dengan bobot per buah dan diameter buah tetua cabai besar IPB C5.

Genotipe terpilih yang diduga segregan transgresif terdapat pada karakter umur berbunga sebanyak 7 genotipe, umur panen sebanyak 23 genotipe, panjang tangkai buah 5 genotipe, panjang buah 5 genotipe, jumlah buah 29 genotipe, dan bobot buah per tanaman sebanyak 20 genotipe. Tiga puluh genotipe terpilih yang diduga segregan transgresif ini harus diverifikasi kembali kebenarannya. Melihat keragaman pada generasi lanjut genotipe F2 ini adalah salah satu cara verifikasi bahwa genotipe tersebut segregan transgresif. Genotipe F2 terpilih digalurkan masing-masing sebanyak 20 tanaman per genotipe. Genotipe F3 atau famili-famili F3 ini digunakan untuk verifikasi segregan transgresif. Menurut Jambormias dan Riry (2009) untuk mendeteksi famili-famili segregan transgresif dapat dilakukan dengan melihat famili-famili berkeragaan terbaik atau nilai tengah lebih tinggi dari tetua dan sudah seragam.

Pewarisan karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman merupakan karakter yang dikendalikan oleh aksi non-aditif lebih besar dibandingkan aksi gen aditif. Tujuh genotipe F2 diduga segregan transgresif

untuk karakter umur berbunga setelah verifikasi ternyata hanya tiga genotipe F3 yang segregan transgresif, sedangkan dari 23 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif untuk karakter umur panen terverifikasi empat genotipe F3 yang segregan transgresif. Karakter jumlah buah memiliki 29 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif terverifikasi 2 genotipe F3 yang segregan transgresif, sedangkan dari 20 genotipe F2 yang diduga segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman terverifikasi 10 genotipe F3 yang segregan transgresif. Segregan transgresif terverifikasi untuk karakter umur berbunga, umur panen, jumlah buah, dan bobot buah per tanaman pada genotipe F3 tidak sebanyak pendugaan awal. Hal ini diduga akibat dari aksi gen yang mengendalikan karakter umur berbunga, umur panen, dan jumlah buah. Ketiga karakter ini aksi gen non- aditif yang lebih berperan dalam pewarisan daripada aksi gen aditif. Genotipe F2 yang diduga segregan transgresif kemungkinan dalam keadaan heterozigot yang memiliki fenotipe lebih baik dari kedua tetua sehingga ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya kembali bersegregasi.

Karakter yang lebih banyak dikendalikan aksi gen non-aditif menyebabkan genotipe yang diduga segregan transgresif ketika verifikasi bersegregasi kembali atau bukan segregan transgresif. Hal ini berbanding terbalik dengan karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan aksi gen aditif ketika verifikasi tidak bersegregasi kembali atau seragam. Karakter panjang buah diduga segregan transgresif sebanyak 7 genotipe F2 ketika verifikasi ketujuh genotipe tersebut sudah seragam, selain itu genotipe-genotipe lain yang memiliki nilai tengah tidak melebihi kedua tetua juga sudah seragam. Karakter panjang buah terverifikasi 19 genotipe F3 homozigot atau sudah seragam dari 30 genotipe yang diuji. Karakter bobot per buah dan diameter buah tidak terdapat genotipe yang diduga segregan transgresif untuk karakter tersebut, tetapi saat verifikasi karakter bobot per buah dan diameter buah sudah seragam. Karakter bobot per buah terdapat 24 genotipe F3 dan diameter buah terdapat 29 genotipe F3 yang sudah seragam. Genotipe F3 yang sudah seragam untuk karakter bobot per buah dan diameter buah diduga karena sudah berkumpulnya gen-gen homozigot dominan dan resesif, selain itu kedua karakter tersebut juga lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif.

Karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif akan menghasilkan genotipe segregan transgresif sesuai dugaan pada populasi F2 dengan individu yang memiliki nilai tengah melebihi kedua tetua. Hal ini berbanding terbalik dengan karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen non-aditif. Karakter-karakter yang lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen non- aditif belum tentu menghasilkan genotipe segregan transgresif sesuai dengan dugaan awal. Individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah melebihi tetua ketika dilanjutkan ke generasi selanjutnya bisa bersegregasi kembali dikarenakan individu tersebut dalam keadaan heterozigot. Salah satu upaya untuk mengurangi kesalahan dalam memilih individu segregan transgresif yakni dengan cara menurunkan intensitas seleksi. Intensitas seleksi yang diturunkan ini bertujuan agar selain individu-individu yang memiliki nilai tengah lebih tinggi dari kedua tetua juga ikut terpilih individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah cukup tinggi akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot.

7 SIMPULAN UMUM DAN SARAN

7.1 Simpulan

1. Karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh gen-gen yang berada didalam inti. Pewarisan karakter hasil dan komponen hasil cabai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non-aditif, dimana aksi gen non-aditif ini terdiri dari aksi gen dominan dan epistasis.

2. Terdapat genotipe diduga segregan transgresif pada populasi F2 terseleksi untuk karakter umur berbunga, umur panen, panjang tangkai buah, panjang buah, jumlah buah dan bobot buah per tanaman.

3. Segregan transgresif terverifikasi pada karakter hasil dan komponen hasil populasi F3. Genotipe terverifikasi segregan transgresif untuk karakter bobot buah per tanaman sebanyak 15 genotipe F3 dari 20 genotipe F2 terpilih yang diduga segregan transgresif. F3120005-3, F3120005-16, F3120005-74, F3120005-87, F3120005-120, F3120005-136, F3120005-146, F3120005-176, F3120005-184, dan F3120005-199 merupakan genotipe yang direkomendasikan sebagai kandidat galur harapan.

7.2 Saran

Hasil analisis segregan transgresif menunjukkan tidak semua genotipe yang diduga segregan transgresif pada populasi F2 merupakan genotipe segregan transgresif pada genotipe atau famili-famili F3. Karakter-karakter dengan aksi gen non-aditif yang lebih berperan dalam pewarisan sifat perlu dilakukan perlakuan khusus yakni dengan menurunkan intensitas seleksi agar selain individu-individu yang memiliki nilai tengah lebih tinggi dari kedua tetua akibat aksi gen non-aditif juga ikut terpilih individu-individu F2 yang memiliki nilai tengah cukup tinggi akibat dari berkumpulnya gen-gen homozigot dominan. Tetua dengan jarak genetik yang tidak terlalu jauh sebagai tetua persilangan disarankan untuk meningkatkan peluang mendapatkan genotipe segregan transgresif.

Dokumen terkait