• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur Primer Cardiomyocyte

Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal dikarenakan kultur primer cardimyocyte neonatal mengandung lebih banyak sel-sel prekursor dan memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari cardiomyocyte mencit dewasa. Selain itu, keuntungan lain dari penggunaan cardiomyocyte dari mencit neonatal adalah kestabilan dari fenotipnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan cardiomyocyte dari mencit dewasa (Wang

et al. 1999). Berdasarkan hal tersebut, diharapkan conditioned medium yang dikoleksi dari kultur primer cardiomyocyte neonatal memiliki kemampuan yang lebih baik dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte dibandingkan dengan

cardiomyocyte mencit dewasa.

Sebanyak 70 mencit neonatal, yang berasal dari 10 induk, dikoleksi jantungnya. Isolasi cardiomyocyte dilakukan menurut Lin et al. (2005). Total

cardiomyocyte yang didapat adalah 3,9 juta sel/ml DMEM yang kemudian dibagi ke dalam 6 cawan petri 35 mm yang telah dilapisi gelatin sebelumnya dan ditambahkan media kultur primer cardiomyocyte hingga 2 ml. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dua hari setelah penanaman awal, hampir seluruh

cardiomyocyte telah melekat pada cawan petri dan secara spontan berdenyut akibat depolarisasi gelombang yang diinisiasi oleh pacemaker. Adapun struktur dari cardiomyocyte memiliki sedikit perbedaan dengan cardiomyocyte mencit dewasa yang sudah memiliki ikatan myofibril yang lebih baik serta bentuk sel yang memanjang.

Setelah 48 jam, medium kultur tersebut diganti dengan medium kultur bebas serum dan dikultur selama 24 jam. Kemudian kultur primer cardiomyocyte

tersebut dikultur dalam medium kultur yang diinduksi LIF dengan konsentrasi 0 dan 10 ng/ml. Total conditioned medium yang didapat pada tiap pemberian LIF adalah masing-masing sebanyak 24 ml (CML0 dan CML10). Tiap jenis CM tersebut kemudian difilter dengan filter 0.22 m dan disimpan pada suhu 4oC sebelum digunakan untuk perlakuan pada pengarahan ESC.

24

Penyediaan Embryonic Stem Cells

Koleksi Blastosis dan Isolasi Inner Cell Mass

Untuk mendapatkan sumber ESC, yaitu ICM pada embrio tahap blastosis, dilakukan koleksi embrio pada hari ke-3.5 setelah penyuntikan hormon hCG. Dari hasil koleksi, terdapat embrio yang belum mencapai tahap blastosis (Tabel 2).

Tabel 2 Persentase Rata-rata Perolehan Blastosis dan ICM

Jumlah Embrio Blastosis

(%) Blastosis (24 jam kultur) (%) Blastosis yg Di-immunosurgery (%) ICM yang Dikultur (%) 215+19.92 43.88+12.06 72.71+5.13 100+4.04 95.95+0

Persentase rata-rata blastosis yang didapat pada tiap pengulangan adalah 43.88% dari total embrio yang dikoleksi. Setelah seluruh embrio yang dikoleksi dikultur selama 24 jam, persentase blastosis meningkat menjadi 72.71%. Oleh karena itu isolasi ICM dilakukan 24 jam setelah proses koleksi embrio. Menurut Nagy et al. (2003), pada hari ke-3.5 days postcoitum (dpc) embrio mencit mencapai tahap blastosis. Namun dengan adanya perkembangan embrio pada tiap individu yang tidak sama maka embrio yang didapat pada hari ke-3.5 dpc bervariasi dari embrio tahap morula hingga blastosis ekspan.

Sebelum dilakukan isolasi ICM, terlebih dahulu seluruh blastosis yang telah dikoleksi dihilangkan zona pellucida-nya. Proses menghilangkan zona pellucida dilakukan dengan inkubasi blastosis dalam enzim pronase 0.25% selama 7-10 menit. Waktu yang diperlukan untuk menghilangkan zona pellucida pada tiap blastosis menunjukkan perbedaan, tergantung pada ketebalan dari zona pellucida. Menurut Nagy et al. (2003), blastosis pada umumnya memiliki zona pellucida dengan ketebalan sekitar 7 m. Namun pada blastosis hasil koleksi didapatkan ketebalan zona pellucida yang tidak seragam. Perbedaan ketebalan

zona pellucida tersebut berkaitan dengan tahapan dari blastosis itu sendiri. Dalam perkembangannya blastosis memiliki tiga tahapan perkembangan, yaitu blastosis awal, blastosis, dan blastosis ekspan. Ketika blastosis mencapai tahapan ekspan, akan terjadi penipisan dari zona pellucida (Montag et al. 2000). Hal tersebut

berhubungan dengan mendekatinya proses implantasi pada perkembangan in vivo, pada saat ini sel-sel trofoblas akan mensintesis enzim yang menyerupai tripsin yang akan mencerna lapisan glikoprotein dari zona pellucida (Nagy et al. 2003). Hasil kerja enzim pronase selama proses pelisisan zona pellucida diamati di bawah miskroskop untuk melihat keberadaan zona peluucida. Blastosis yang sudah tidak dilapisi zona pellucida segera dipindahkan ke drop yang berisi DMEM plus FBS untuk menghentikan kerja enzim pronase.

Gambar 5 Inkubasi blastosis dalam pronase: (a) lisisnya zona pellucida dari blastosis eksplan, (b) zona pellucida yang belum lisis. Pronase 0.25% selama 7 menit. Bar = 50 m.

Setelah proses penghilangan zona pellucida, selanjutnya dilakukan isolasi ICM dengan menggunakan metode immunosurgery (Gambar 6). Pada proses

immunosurgery, rabbit anti-mouse antibody dan complement sera from guinea pig

terlebih dahulu dilarutkan dalam medium DMEM tanpa FBS dengan perbandingan 1:3, dan waktu inkubasi tiap serum adalah 90 menit. Konsentrasi serum dan waktu inkubasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil optimasi dari beberapa konsentrasi serum dan waktu inkubasi. Saat blastosis diinkubasi dalam rabbit anti-mouse antibody, antibodi tersebut akan mengenali sel-sel trofoblas dan akan berikatan dengannya. Ikatan tersebut kemudian akan dilisiskan oleh complement sera from guinea pig, sehingga hanya akan tersisa ICM saja ( Nagy et al. 2003). Hasil immunosurgery didapatkan 95.95% ICM atau

a b

b

26

150 ICM dari tiap ulangan yang kemudian dikultur dalam medium kultur ESC yang diinduksi dengan LIF untuk mempertahankan sifat pluripotensinya serta tetap berproliferasi.

Gambar 6 Proses immunosurgery: (a) blastosis dengan zona pellucida, (b) blastosis setelah inkubasi dengan pronase 0.25%, (c) lisisnya

trofoblas setelah immunosurgery, (d) ICM. Bar = 50 m.

Kultur Inner Cell Mass dan Uji Pluripotensi

Hasil pengamatan selama 7 hari kultur ICM menunjukkan bahwa rata-rata terdapat 25 koloni ICM yang terbentuk dari penanaman 150 ICM di awal kultur (Gambar 7). Hal tersebut diakibatkan terjadinya penggabungan antara ICM yang satu dengan yang lain membentuk koloni. Selain itu, rendahnya ICM yang berkembang dalam kultur bisa jadi diakibatkan kerusakan ICM pada saat proses isolasinya. Kerusakan ICM pada metode immunosurgery umumnya terjadi pada blastosis yang selama proses penghilangan zona pellucida mengalami pengkerutan, yang mengindikasikan bahwa ikatan antara sel trofoblas sudah terputus. Ketika blastosis yang demikian diinkubasi pada kedua serum yang

a. b.

digunakan dalam metode immunosurgery, maka kedua serum tersebut selain melisiskan trofoblas yang ada di bagian luar juga akan dapat masuk ke dalam blastosis dan menyebabkan kerusakan ICM.

Gambar 7 Kultur ICM: (a) hari ke-0, (b) hari ke-7)

Hasil ICM di atas selanjutnya dikultur dengan menggunakan medium kultur yang diberi tambahan 20ng/ml LIF. Seperti telah diketahui bahwa pada kultur ESC mencit, LIF memiliki peranan untuk menjaga sel tetap berproliferasi tanpa berdiferensiasi. Hal ini dikarenakan adanya ikatan LIF dengan reseptor-reseptor spesifiknya pada sel punca (LIFR dan gp130) yang memicu terjadinya aktivasi dari faktor transkripsi STAT3, yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan proliferasi ESC dari mencit secara in vitro (Wobus et al. 2005; Pan & Thomson 2007). Adapun penambahan LIF dalam medium kultur ESC dengan konsentrasi di atas rata-rata (biasanya 10ng/ml) dilakukan untuk mengatasi kekurangan suplai LIF dalam medium yang biasanya terpenuhi oleh feeder layer

yang digunakan, yaitu mouse embryonic fibroblast (MEF) (Xu et al. 2005). Fungsi MEF untuk mensekresikan faktor pertumbuhan yang penting untuk proliferasi dan mempertahankan pluripotensi dari ESC (bFGF dan LIF), pada penelitian ini digantikan dengan penambahan konsentrasi LIF dalam medium kultur untuk menjaga kelangsungan proliferasi ESC tanpa berdiferensiasi. Sedangkan fungsi MEF sebagai substrat tempat sel melekat sehingga sel dapat berproliferasi dengan baik (Heng et al. 2004), dalam penelitian ini digantikan oleh gelatin tipe B yang berasal dari kulit sapi, merupakan substansi protein yang berasal dari kolagen, protein alami yang ada di tendon, ligamen, dan jaringan

50 m 250 m

28

hewan mamalia. Gelatin mampu untuk membentuk lapisan gel yang kuat, trasnparan, dan fleksibel, serta mampu berperan sebagai substrat tempat sel melekat sehingga sel dapat berproliferasi dengan baik (Ulloa-Montoya et al. 2005).

Hasil ESC yang didapat terlebih dahulu diuji terhadap tingkat pluripotensi yang ada sebelum dilakukan pengarahan. Uji pluripotensi dari ICM yang telah berproliferasi dilakukan dengan menggunakan pewarnaan alkaline phosphatase

(AP). Hasil yang didapat adalah sebanyak 94.12% dari 11 koloni ICM yang telah dikultur selama 7 hari menunjukkan hasil yang positif terhadap pewarnaan AP, yaitu berwarna merah (Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa ESC masih bersifat pluripoten dan belum berdiferensiasi.

Gambar 8 Hasil pewarnaan alkaline phosphatase terhadap koloni ICM; (a) Negatif, (b) Positif. Bar = 50 m.

Menurut Wei et al. (2005), ESC mencit yang belum berdiferensiasi memiliki enzim AP yang tinggi dan dengan melakukan inkubasi dalam larutan AP akan menginduksi enzim AP untuk mengkatalisis substrat yang terkandung dalam larutan AP (naphtol AS-MX phosphate dan Fast Red TR Salt), sehingga akan menimbulkan warna merah pada koloni sel tersebut (mengindikasikan ESC tersebut masih bersifat pluripoten). Terdapatnya beberapa koloni ICM yang menunjukkan hasil negatif terhadap pewarnaan AP mengindikasikan rendahnya enzim AP yang terkandung dalam koloni ICM tersebut.

b. a.

Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Cardiomyocyte-like Cells

Pengamatan Area Berdenyut

Proses diferensiasi dimulai saat hasil tripsinasi koloni ICM dikultur dalam medium kultur ESC tanpa LIF, ditandai dengan terbentuknya embryoid bodies

(EB) pada hari ke-2 setelah dimulainya diferensiasi. Pembentukan EB dapat dilakukan dengan metode kultur ESC secara hanging drop atau dengan mengkultur ESC yang telah ditripsinasi dalam petri yang telah dilapisi dengan gelatin 0.1%. Di dalam EB, seluruh derivat dari ketiga lapisan kecambah terbentuk (Bader et al. 2000). Namun tentu saja jumlah dari tiap jenis sel tidak banyak (Boheler et al. 2002). Upaya meningkatkan jumlah cardiomyocyte yang terbentuk dari EB, maka diberikan medium perlakuan pada kultur EB dimulai dari hari ke-3 setelah dimulainya diferensiasi.

Pengamatan hasil pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte-like cells

(CLC) dilakukan setelah hari ke-7 hingga hari ke-14 diferensiasi, yang ditandai dengan terdapatnya area berdenyut, baik dalam koloni maupun pada bagian

outgrowth dari koloni ESC tersebut (Gambar 9). Munculnya area berdenyut pada pengarahan ESC merupakan salah satu keistimewaan dari sel cardiomyocyte yang dapat diamati secara langsung dengan bantuan kamera video (Sony, SSC-DC398p, Japan) yang menghubungkan mikroskop inverted (Olympus, IX70, Japan), yang memiliki Hoffman Modulation optics, dengan monitor. Kontraksi yang terjadi tidak diaktifkan oleh adanya impuls dari syaraf, seperti pada otot rangka, akan tetapi kontraksi terjadi akibat depolarisasi gelombang yang diinisiasi oleh pacemaker. Ion dan sinyal elektrik tersebut akan menyebar dari sel

cardiomyocyte yang satu ke yang lain melalui intercalated discs, yang merupakan penghubung antara sel cardiomyocyte yang satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan terjadinya denyutan yang bersamaan dalam satu koloni ESC yang terdapat sel-sel cardiomyocyte di dalamnya (Boheler et al. 2002; Becker et al. 2006).

30

Gambar 9 Koloni ESC yang membentuk EB pada hari ke-9 diferensiasi; (a) EB, (b) Outgrowth.

Hasil pengamatan area berdenyut pada diferensiasi ESC menunjukkan area berdenyut pada koloni ESC yang diberi perlakuan DMEM+CML0 dan DMEM+CML10 muncul lebih awal bila dibandingkan dengan perlakuan DMEM. Selain itu, terdapat perbedaan letak area berdenyut pada tiap perlakuan, yaitu pada koloni ESC yang diberi perlakuan DMEM tidak ditemukan koloni yang memiliki area berdenyut, hanya bagian outgrowth saja yang berdenyut, yang menunjukkan terjadinya diferensiasi spontan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Heo et al. (2005), ESC yang dibiarkan berdiferensiasi tanpa penambahan penambahan faktor apapun menunjukkan terjadinya diferensiasi spontan ESC menjadi cardiomyocyte. Diferensiasi spontan tersebut ditandai dengan adanya ekspresi dari gen-gen yang spesifik pada perkembangan jantung, yang mulai meningkat pada minggu pertama dan kedua kultur diferensiasi ESC. Namun, jumlah cardiomyocyte yang didapatkan dari diferensiasi spontan tersebut sangatlah sedikit. Sehingga banyak penelitian untuk mengembangkan beberapa metode pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain dengan penambahan faktor pertumbuhan (seperti retinoic acid, activin-a, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor (Schuldiner et al. 2000), transforming growth factor- dan bone morphogenic protein 2(Behfar et al. 2002), dimethy sulfoxide (Singla et al. 2005), cardiogenol C (Parker2004)) dan atau penggunaan conditioned medium (Miwa et

20 m

a

b

b

al. 2003). Metode pengarahan tersebut dilakukan untuk meningkatkan jumlah

cardiomyocyte hasil dari pengarahan ESC.

Secara keseluruhan, jumlah rata-rata cardiomyocyte-like cells (CLC) yang ditemukan pada setiap perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 3). Menurut Boheler et al. (2002), terbentuknya berbagai jenis sel dari hasil kultur ESC dikarenakan sifat pluripotensi dari ESC tersebut. Dalam perkembangan embrio secara in vivo, ICM akan berkembang menjadi berbagai macam jenis sel yang termasuk dalam ketiga lapis kecambah. Setelah proses diferensiasi dimulai, maka akan terbentuk suatu agregat yang menyerupai embrio (EB), yang dalam perkembangannya dapat mengarah pada sel-sel ektoderm, endoderm, dan mesoderm. Selama perkembangan EB, cardiomyocyte terletak di antara lapisan epitel dan lapisan basal dari sel-sel mesenkimal. Kultur EB lebih lanjut akan membentuk berbagai jenis sel tubuh, termasuk cardiomyocyte.

Tabel 3 Pengamatan Area Berdenyut pada Diferensiasi ESC Menjadi

Cardiomyocyte-like Cells (CLC) Perlakuan Hari Muncul Area Berdenyut Jumlah Rata-rata Koloni ESC Rata-rata CLC(%) Jumlah Rata-rata CLC(%) Koloni+Out -growth Outgrowth DMEM+CML10 7 8 45.83+0.58a 8.33+0.58a 54.17+0.58a DMEM+CML0 7 8 20.83+0.58b 8.33+0.58a 29.17+0.58b DMEM 8 8 - 4.17+0.58a 4.17+0.58c

Supercript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara jumlah area berdenyut yang ditemukan

Jumlah rata-rata CLChasil pengarahan ESC mencit yang diberi perlakuan DMEM+CML10 menunjukan hasil yang secara nyata lebih baik dibandingkan dengan kedua perlakuan yang lainnya (P<0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan LIF pada kultur primer cardiomyocyte memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas dari CM yang dihasilkan, sehingga CM memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengarahkan ESC menjadi CLC.

Seperti telah diketahui bahwa pada kultur primer cardiomyocyte dari mencit neonatal, LIF berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan

32

dengan reseptor-reseptor spesifiknya pada cardiomyocyte, yaitu LIFR dan gp130. Menurut Kodama et al. (2000), LIF berpengaruh positif terhadap perkembangan sel cardiomyocyte melalui 3 lintasan sinyal transduksi yang dipicu oleh aktivasi gp130. Lintasan yang pertama terjadi karena adanya ikatan antara LIF dengan reseptornya yang mengaktivasi JAK, diikuti dengan fosforilasi dari gp130, menghasilkan binding sites untuk protein-protein daerah Src-homology 2 (SH2), seperti growth factor receptor bound protein 2 (GRB2). Hal ini merupakan titik awal dari urutan aktivasi Ras/Raf/MEK/ERK/p90RSK. Lintasan berikutnya adalah melalui STAT yang juga merupakan daerah SH2 yang memiliki faktor yang mampu untuk berikatan dengan fosforilasi gp130. Ikatan tersebut akan mengalami fosforilasi dan translokasi ke dalam nukleus. Lintasan ketiga dipicu oleh aktivasi gp130 pada fosforilasi dan aktivasi dari phosphatidylinositide 3-kinase (PI3K). PI3K mengaktifkan Akt 3-kinase dan berperan penting dalam sintesis protein melalui p70 S6 kinase (p70S6K). Adanya ketiga lintasan tersebut menghasilkan peningkatan sintesis protein dan volume dari cardiomyocyte yang diinduksi LIF dalam kulturnya, sehingga CM yang dihasilkan akan lebih berkualitas dibandingkan dengan CM dari kultur primer tanpa induksi LIF.

Kemampuan Ekspresi Gen Cardiomyocyte

Analisa lebih lanjut dari CLC, dilakukan analisis cDNA dari koloni sel yang memiliki area berdenyut. Hasil RT-PCR menunjukkan terdapatnya ekspresi

Nkx2.5 dan -MHC, namun terdapat perbedaan ketebalan pita dari tiap perlakuan. Pengarahan ESC yang diberi perlakuan DMEM+CML10 dan DMEM+CML0

menunjukkan pita dari ekspresi Nkx2.5 dan -MHC yang lebih tebal bila dibandingkan dengan hasil pengarahan ESC yang diberi DMEM (Gambar 10). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan CM pada medium kultur pengarahan ESC meningkatkan pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, dilihat dari ketebalan pita yang menunjukkan lebih banyaknya koloni ESC yang mengandung gen dan faktor transkripsi yang spesifik pada jantung, dibandingkan dengan koloni ESC yang diberi perlakuan medium kultur pengarahan tanpa penambahan CM.

Gambar 10 Ekspresi Nkx2.5 dan -MHC pada Koloni ESC dengan Area Berdenyut

Berdasarkan hasil di atas, kultur primer cardiomyocyte yang diinduksi LIF menghasilkan CM yang lebih berkualitas dibandingkan tanpa induksi LIF, karena diduga mengandung lebih banyak faktor-faktor pertumbuhan yang menunjang dan kondusif untuk pengarahan ESC menjadi CLC. Selain itu, pemberian CM pada medium kultur pengarahan ESC juga dapat meningkatkan pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte bila dibandingkan dengan medium kultur pengarahan saja, dikarenakan kandungan di dalam CM yang lebih mendekati kondisi in vivo dari

cardiomyocyte.

Nkx2.5 (345bp)

-MHC (288bp)

34

Dokumen terkait