• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Leukemia Inhibitory Factor dalam peningkatan kemampuan conditioned medium untuk pengarahan embryonic stem cells mencit menjadi cardiomyocyte

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Leukemia Inhibitory Factor dalam peningkatan kemampuan conditioned medium untuk pengarahan embryonic stem cells mencit menjadi cardiomyocyte"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM

PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM

UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS

MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE

DWI AGUSTINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Leukemia Inhibitory Factor Dalam Peningkatan Kemampuan Conditioned Medium Untuk Pengarahan

Embryonic Stem Cells Mencit Menjadi Cardiomyocyte adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

(3)

ABSTRACT

DWI AGUSTINA. The Potency of Leukemia Inhibitory Factor in Increasing the Ability of Conditioned Medium to Promote Mouse Embryonic Stem Cells into Cardiomyocyte. Under Direction of ITA DJUWITA and ADI WINARTO.

Embryonic stem cells (ESC) are self-renewing and pluripotent cells derived from the inner cell mass of blastocyst stage embryo that capable to differentiate into all type of cells including cardiomyocyte (cardiac muscle cell). Recently, there are several published methods to increase the number of cardiomyocyte differentiated from mouse ESC. In the present study, we examined the effect of conditioned medium (CM) collected from cardiomyocyte primary cultured of neonatal mouse modified with leukemia inhibitory factor (LIF), designed as CML, on the differentiation of mouse ESC toward cardiomyocyte. The media tested were: (1) DMEM, (2) DMEM+CML0, and (3)

DMEM+ CML10, with the ratio of DMEM and CML was 1:1. The three media

were tested on to ESC colonies, each consisting of 8 colonies. Differentiation of ESC into cardiomyocyte were indicated by: (1) the presence of beating area in ESC colonies, and (2) the genes expression of Nkx2.5 and -MHC in cardiomyocyte differentiated from ESC. The results of these research showed that: (1) ESC colony treated with DMEM+CML10 showed the number of

cardiomyocyte-like cells (indicated by beating area) was higher than the DMEM+CML0 and DMEM (P<0.05); and (2) both CML0 and CML10 increased

the mRNA band intensity of Nkx2.5 and -MHC genes. In conclusion, LIF supplemented in the cardiomyocyte primary cultured of neonatal mouse increased the potency of CM to promote ESC into cardiomyocyte.

(4)

DWI AGUSTINA. Potensi Leukemia Inhibitory Factor Dalam Peningkatan Kemampuan Conditioned Medium Untuk Pengarahan Embryonic Stem Cells

Mencit Menjadi Cardiomyocyte. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan ADI WINARTO.

Penggunaan sel punca atau stem cell sebagai terapi sel terhadap penyakit degeneratif seperti myocardial infarction, yang diakibatkan oleh rusaknya

cardiomyocyte atau sel otot jantung, telah mulai dikembangkan. Sel punca atau

stem cell adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk terapi sel yang mengalami kerusakan tersebut. Sel punca merupakan sel-sel yang belum berdiferensiasi serta memiliki kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi yang lebih spesifik. Salah satu jenis sel punca yang sering digunakan untuk penelitian biomedis adalah embryonic stem cells, merupakan sel punca yang berasal dari inner cell mass (ICM) embrio tahap blastosis. Setelah dikultur dan dikembangkan pada kondisi yang sesuai, ICM akan menghasilkan sel punca yang dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel tubuh, termasuk menjadi cardiomyocyte.

Penggunaan sel punca untuk mengatasi kerusakan cardiomyocyte telah dilaporkan keberhasilannya pada beberapa hewan coba yang mengalami

myocardial infarction. Namun perlu dilakukan suatu metode untuk mendapatkan

cardiomyocyte dalam jumlah yang banyak dari hasil pengarahan ESC tersebut. Beberapa metode telah dilakukan untuk meningkatkan pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain dengan penambahan faktor pertumbuhan, dan atau penggunaan conditioned medium (CM). Penggunaan CM tersebut pada kultur pengarahan ESC telah dilaporkan dapat meningkatkan jumlah

cardiomyocyte yang terbentuk, karena di dalam CM terdapat faktor pertumbuhan (protein) serta lingkungan kultur primer yang mendukung pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte. Penambahan faktor pertumbuhan pada kultur primer

cardiomyocyte untuk memproduksi CM telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dari CM untuk pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte, sehingga jumlah cardiomyocyte yang didapatkan akan lebih meningkat. Salah satu alternatif faktor pertumbuhan yang bisa ditambahkan pada kultur primer

cardiomyocyte adalah leukemia inhibitory factor (LIF). Leukemia inhibitory factor merupakan sitokin yang telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan sel cardiomyocyte pada kultur primer melalui 3 lintasan sinyal transduksi yang dipicu oleh aktivasi gp130. Namun perlu dilakukan pembuktian terhadap kemampuan CM, yang diproduksi dari kultur primer cardiomyocyte yang telah diinduksi LIF, dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte.

Pada penelitian ini diproduksi CM dari kultur primer cardiomyocyte

neonatal yang diinduksi dengan LIF. Kemudian dilihat kemampuan CM tersebut dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte. Adapun medium perlakuan dalam penelitian ini adalah: (1) DMEM+CML10, (2) DMEM+CML0, dan (3)

(5)

medium kultur primer cardiomyocyte yang diinduksi dengan 10 ng/mlLIF; CML0

berasal dari medium kultur primer cardiomyocyte tanpa induksi LIF. Ketiga medium perlakuan tersebut diberikan pada saat pengarahan ESC menjadi

cardiomyocyte. Parameter yang diamati adalah tingkat diferensiasi (pengarahan) ESC menjadi cardiomyocyte dengan cara pengamatan langsung terhadap jumlah area berdenyut setelah hari ke-7 kultur diferensiasi hingga hari ke-14 serta kemampuan ekspresi Nkx2.5 dan -MHC dari cardiomyocyte hasil pengarahan ESC, yang dilihat secara kualitatif dari intensitas pita mRNA hasil RT-PCR pada gel agarose.

Hasil pengamatan area berdenyut pada diferensiasi ESC dari koloni yang diberi perlakuan menunjukkan bahwa area berdenyut pada koloni ESC yang diberi perlakuan DMEM+CML0 dan DMEM+CML10 muncul lebih awal bila

dibandingkan dengan perlakuan DMEM. Jumlah rata-rata cardiomyocyte-like cells (CLC) hasil pengarahan ESC mencit yang diberi perlakuan DMEM+CML10

menunjukan hasil yang secara nyata lebih baik dibandingkan dengan kedua perlakuan yang lainnya (P<0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa LIF memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas dari CM yang dihasilkan, sehingga CM memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengarahkan ESC menjadi CLC. Sedangkan dari hasil evaluasi RT-PCR pada setiap kelompok perlakuan menunjukkan adanya ekspresi Nkx2.5 dan -MHC, namun terdapat perbedaan ketebalan pita dari tiap perlakuan. Pengarahan ESC yang diberi perlakuan DMEM+CML10 dan DMEM+CML0 menunjukkan pita ekspresi Nkx2.5 dan

-MHC yang lebih tebal bila dibandingkan dengan hasil pengarahan ESC yang diberi DMEM. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan CM pada medium kultur pengarahan ESC (DMEM) meningkatkan pengarahan ESC mencit menjadi

cardiomyocyte, dilihat dari ketebalan pita yang menunjukkan banyaknya koloni ESC yang mengandung gen dan faktor transkripsi yang spesifik pada jantung, dibandingkan dengan koloni ESC yang diberi perlakuan DMEM.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kultur primer

cardiomyocyte yang diinduksi LIF menghasilkan CM yang lebih berkualitas dibandingkan dengan CM tanpa induksi LIF, sehingga dapat meningkatkan kemampuan CM dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte. Hal tersebut diduga karena CM yang diinduksi dengan LIF mengandung lebih banyak faktor-faktor pertumbuhan yang menunjang dan kondusif untuk pengarahan ESC menjadi CLC. Selain itu, pemberian CM (baik yang diinduksi dengan LIF maupun tidak) pada medium kultur pengarahan ESC juga dapat meningkatkan pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte bila dibandingkan dengan medium kultur pengarahan saja. Hal tersebut diduga karena kandungan di dalam CM yang lebih mendekati kondisi in vivo dari cardiomyocyte.

Kata kunci: conditioned medium, cardiomyocyte, embryonic stem cells mencit,

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

POTENSI LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR DALAM

PENINGKATAN KEMAMPUAN CONDITIONED MEDIUM

UNTUK PENGARAHAN EMBRYONIC STEM CELLS

MENCIT MENJADI CARDIOMYOCYTE

DWI AGUSTINA

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Potensi Leukemia Inhibitory Factor Dalam Peningkatan Kemampuan Conditioned Medium Untuk Pengarahan Embryonic Stem Cells Mencit Menjadi Cardiomyocyte

Nama : Dwi Agustina N R P : B151060061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Ita Djuwita, M. Phil drh. Adi Winarto, Ph.D Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sains Veteriner

Dr. drh. Bambang Pontjo. P., M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis dengan judul

‘Potensi Leukemia Inhibitory Factor Dalam Peningkatan Kemampuan Untuk

Pengarahan Embryonic Stem Cells Menjadi Cardiomyocyte’ dapat diselesaikan.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 ini

ialah analisis pengarahan stem cell atau sel punca yang berasal dari embrio mencit

menjadi cardiomyocyte dengan menggunakan conditioned medium yang diinduksi

leukemia inhibitory factor (LIF) dalam pembuatannya. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat bermanfaat untuk mendapatkan kondisi yang optimal dan efisien

dalam pengarahan embryonic stem cells mencit menjadi cardiomyocyte.

Dalam penelitian dan penulisan tesis ini, berbagai kendala dan

permasalahan dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan, dukungan,

dorongan, dan kerjasama dari semua pihak yang telah membantu hingga

berakhirnya semua kegiatan penelitian. Dengan penuh kerendahan hati, penulis

menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua

pihak yang langsung mau pun tidak langsung turut andil dan memotivasi

penyelesaian tesis ini, antara lain kepada:

1. Ibu Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak drh. Adi Winarto, Ph.D., selaku Anggota Komisi Pembimbing. Di

tengah aktivitas yang padat, beliau berkenan membimbing dan mengarahkan

penulis dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Bapak drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D., atas kesediaannya sebagai penguji

luar komisi pada ujian tesis serta masukan dan sarannya kepada penulis.

3. Bapak Dr. drh. Bambang Pontjo P., M.S., selaku Ketua Program Studi Sains

Veteriner dan segenap staf P.S. SVT serta Sekolah Pasca Sarjana IPB, atas

bantuannya selama penulis menempuh pendidikan Strata 2.

4. Bapak Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D., Bapak drh. M. Fakhrudin, Ph.D.,

Bapak drh. Kusdiantoro Mohammad, M.Si., Ibu drh. Wahono Esthi

(11)

masukan, dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan Strata 2.

5. Bapak dr. Boenjamin Setiawan, Ph.D., Bapak Ferry Sandra, drg., Ph.D., dan

Ibu dr. Caroline T. Sardjono, Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada

penulis untuk melanjutkan pendidikan Strata 2.

6. Stem Cell and Cancer Institute dan PT. Kalbe Farma, Tbk., atas bantuan

beasiswanya; serta rekan-rekan di SCI atas dukungannya selama penulis

melakuan penelitian.

7. Andina Bunga Lestari, M.Si., Dini Budhiarko, S.Si., Riris Lindiawati, M.Si.,

R. Harry Murti, S.Si., Nuril Farizah, S.Pi., M.Si., Bapak Dr. Ir. Thomas Mata

Hine, M.Si., Bapak Ir. Bayu Rosadi, M.Si., Ibu Yani, dan Bapak Wahyu, serta

rekan-rekan P.S. SVT 2006 dan P.S. BRP 2004-2006, atas masukan, bantuan,

dan dukungannya selama ini.

8. Rekan-rekan Perwira 50, Twin House, Tantry, Amel, Rani, Fina, Terry, dan

Dina, atas dukungan, bantuannya, dan semangatnya selama ini.

9. Keluargaku tercinta: Bapak Eddy Kuseni, Ibu Riyanti, Mbak Henny Purwanti,

A’ Ade Yana Kurniawan, dan Rezaeka Putra Kurniawan, atas bantuan moril

dan spirituil yang telah diberikan selama ini.

Serta kepada seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu

persatu dalam tulisan ini, semoga amal baiknya dibalas oleh Allah SWT, dengan

cara dimudahkan segala urusannya dan dilimpahkan rizqinya, Amin.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Namun dengan lapang dada dan semangat memperbaiki, penulis

menerima segala kritikan yang membangun demi perbaikan tesis ini. Semoga

tesis ini dapat berguna dalam rangka pengembangan sel punca untuk terapi

mengatasi penyakit degeneratif, khususnya pengarahan embryonic stem cells

menjadi cardiomyocyte.

Bogor, September 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 18 Agustus 1982,

dari Ayahanda Eddy Kuseni dan Ibunda Riyanti. Penulis merupakan putri kedua

dari dua bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bandung dan pada tahun

yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pendidikan Indonesia melalui jalur

Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Biologi,

Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia dan menyelesaikan studinya

pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains.

Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program Magister diperoleh

pada tahun 2006. Biaya penelitian sepenuhnya didukung oleh Stem Cell and

Cancer Institute, tempat penulis bekerja sebagai Research Assistant sejak tahun

(13)

DAFTAR ISI

Kultur Primer Cardiomyocyte... 22

Penyediaan Embryonic Stem Cells ... 23

Koleksi Blastosis dan Isolasi Inner Cell Mass ... 23

Kultur Inner Cell Mass dan Uji Pluripotensi ... 25

(14)
(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Myocardial infarction ... 5

2. Bagian-bagian embrio stadium blastosis ... 7

3. Metode immunosurgery untuk mengisolasi ICM dari blastosis mencit ... 9

4. Perkembangan ICM menjadi ESC dan pembentukan EB ... 11

5. Inkubasi blastosis dalam pronase ... 24

6. Proses immunosurgery ... 25

7. Kultur ICM ... 26

8. Hasil pewarnaan alkaline phosphatase terhadap koloni ICM... 27

9. Koloni ESC yang membentuk EB pada hari ke-9 diferensiasi ... 29

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampai saat ini, pengobatan terhadap penyakit degeneratif seperti

myocardial infarction, Parkinson’s, dan diabetes masih terus dikembangkan.

Timbulnya penyakit degeneratif tersebut disebabkan adanya sel-sel yang tidak

berfungsi sebagaimana mestinya karena mengalami kerusakan atau kematian.

Alternatif pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan terapi sel

untuk menggantikan sel-sel yang rusak dalam tubuh dengan sel-sel yang secara

sel punca pada mencit dan hewan laboratorium lainnya diantaranya adalah:

myocardial infarction, hati (Guasch & Fuchs 2005), Alzheimer, diabetes, dan

Parkinson (Doss et al. 2004).

Sel punca adalah sel-sel yang belum berdiferensiasi serta memiliki

kemampuan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel

dengan fungsi yang lebih spesifik. Kemampuan tersebut disebabkan adanya daya

plastisitas yang dimilikinya (Yu & Thomson 2006). Sampai saat ini telah dikenal

tiga jenis sel punca, yaitu embryonic stem cells (ESC), adult stem cells, dan

embryonic germ cells. Salah satu jenis sel punca yang sering digunakan untuk

penelitian biomedis adalah ESC, merupakan sel punca yang berasal dari inner cell

mass (ICM) embrio tahap blastosis (Wobus & Boheler 2005). Setelah dikultur

dan dikembangkan pada kondisi yang sesuai, ICM akan menghasilkan sel punca

yang belum berdiferensiasi dan bersifat pluripoten, yaitu memiliki kemampuan

untuk berproliferasi, dan dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel tubuh,

termasuk menjadi cardiomyocyte (sel otot jantung). Sel-sel tersebut dapat

digunakan dalam terapi sel untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti

(17)

2

Kerangka Pemikiran

Penelitian pemanfaatan ESC untuk menggantikan cardiomyocyte yang

rusak telah banyak dilakukan, terutama dengan menggunakan mencit sebagai

model (Murashov et al. 2005). Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk

mengarahkan perkembangan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain

dengan penambahan faktor pertumbuhan (seperti retinoic acid, activin-a,

epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor (Schuldiner et al. 2000),

telah digunakan dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte karena mudah

dalam pembuatannya dan lebih ekonomis. Penggunaan CM tersebut pada kultur

pengarahan ESC dapat meningkatkan jumlah cardiomyocyte yang terbentuk,

karena di dalam CM terdapat faktor pertumbuhan (protein) serta lingkungan

kultur primer yang mendukung pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte (Miwa et

al. 2003). Penambahan faktor pertumbuhan dalam memproduksi CM untuk

pengarahan ESC telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dari CM untuk

pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte, sehingga jumlah cardiomyocyte yang

didapatkan akan lebih meningkat (Behfar et al. 2002). Leukemia inhibitory factor

(LIF) dapat dijadikan sebagai alternatif faktor pertumbuhan yang dapat

ditambahkan dalam memproduksi CM, karena penambahan LIF pada kultur

primer cardiomyocyte dapat meningkatkan sintesis protein dari cardiomyocyte

dalam kultur primer tersebut (Kodama et al. 1997). Namun demikian, hal itu

masih perlu dibuktikan lebih lanjut dalam pengarahan ESC menjadi

cardiomyocyte dengan penggunaan CM yang diberi penambahan LIF pada

pengarahan ESC tersebut.

Berdasarkan pemikiran di atas, dalam penelitian ini dilakukan analisis

pengaruh penggunaan LIF terhadap kemampuan CM dalam peningkatan

pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte. Adapun ESC yang digunakan dalam

(18)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penggunaan LIF

terhadap kemampuan CM dalam pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendapatkan kondisi yang

optimal dan efisien dalam pengarahan ESC mencit menjadi cardiomyocyte.

Aplikasi pengarahan ESC mencit ini juga dapat dikembangkan sebagai model

dalam penelitian medis, terutama yang berhubungan dengan myocardial

infarction.

Hipotesis Penelitian

Pada penelitian ini diajukan hipotesis bahwa penambahan LIFpada kultur

primer cardiomyocyte mencit neonatal dapat meningkatkan kemampuan CM

(19)

4

cardiomyocyte (sel otot jantung) tersebut meninggal karena serangan jantung

(NIH 2001; WHO 2007). Myocardial infarction terjadi akibat kerusakan

permanen otot jantung pada bagian tertentu dari jantung yang diakibatkan

penyakit coronary artery. Penyakit ini merupakan penyempitan pembuluh darah

arteri yang mengalirkan darah ke cardiomyocyte akibat adanya penimbunan lemak

dan pengapuran pada pembuluh darah tersebut (Gambar 1). Tidak tercukupinya

suplai darah dan oksigen ke cardiomyocyte secara terus-menerus akan

menyebabkan kerusakan bahkan kematian dari cardiomyocyte. Cardiomyocyte

yang telah mati tidak dapat melakukan regenerasi kembali, sehingga hal tersebut

akan mempengaruhi kerja jantung dan dapat meningkatkan disfungsi jantung

karena berkurangnya cardiomyocyte yang membantu jantung berfungsi (NIH

2001; NHLBI 2008).

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi myocardial infarction,

seperti prosedur pembedahan, terapi pengobatan, serta pencangkokkan organ.

Namun lebih dari setengah pasien yang didiagnosis mengalami gagal jantung

meninggal 5 tahun kemudian setelah diagnosis awal (Ryan et al. 1999; Smits et al.

2005). Langkah yang kini banyak dilakukan untuk memperbaiki kerusakan

jaringan pada jantung adalah dengan menghambat kematian cardiomyocyte dan

melakukan transplantasi cardiomyocyte pada daerah jantung yang mengalami

infarct. Salah satu sumber cardiomyocyte untuk transplantasi sel yang digunakan

pada para penderita gagal jantung berasal dari sel punca, dimana dengan kondisi

tertentu dapat berkembang menjadi sel-sel khusus yang sehat dan dapat berfungsi

dengan baik menggantikan sel-sel yang rusak atau tidak berfungsi sebagaimana

(20)

Gambar 1 Myocardial infarction: (A) jantung yang mengalami kerusakan

cardiomyocyte dan (B) penyempitan pembuluh darah arteri yang menyebabkan kerusakan cardiomyocyte (NHLBI 2008).

Embryonic Stem Cells

Sel punca adalah sel pembangun setiap organ dan jaringan tubuh kita;

merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan dengan kondisi tertentu dapat

berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dengan fungsi khusus

(NIH 2001). Dengan demikian, karakteristik penting yang membedakan sel punca

dengan tipe sel tubuh lainnya adalah kemampuan berproliferasi dalam periode

waktu yang panjang, dan dapat diinduksi untuk berkembang menjadi tipe sel

tertentu (Fischbach & Fischbach 2004).

Saat ini terdapat tiga jenis sel punca, yaitu embryonic stem cells (ESC),

adult stem cells (ASC), dan embryonic germ cells. Dari ketiga jenis sel punca

tersebut, yang paling banyak digunakan dalam penelitian biomedis adalah ESC

dan ASC. Embryonic stem cells diperoleh dari inner cell mass (ICM) yang

terdapat pada embrio stadium blastosis. Sel-sel ini bersifat pluripoten atau

memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi semua tipe sel penyusun tubuh

fetus dan organisme dewasa (Wobus & Boheler 2005). Adult stem cells adalah

sel-sel yang belum berdiferensiasi yang terdapat pada jaringan yang telah

(21)

6

organisme dewasa lainnya. Sel-sel tersebut dapat berproliferasi dalam tubuh dan

membuat klon yang identik dengan mereka selama kehidupan organisme, atau

menjadi khusus untuk menghasilkan tipe sel dari jaringan asal (Guasch & Fuchs

2005). Beberapa jaringan dewasa yang telah dilaporkan mengandung sel punca

adalah retina, hati (Rafii & Lyden 2003), ginjal (Lakshmipathy et al. 2004), otak,

kulit, usus, pankreas (Guasch & Fuchs 2005), dan sumsum tulang (Cedar et al.

2007). Sel punca juga telah ditemukan pada umbilical cord blood dan plasenta

(Bornstein et al. 2005). Pada organ lain, seperti jantung, tidak ditemukan sel

punca (Hughes 2002). Beberapa dari ASC tersebut bersifat multipoten, yakni

dapat berdiferensiasi menjadi beberapa tipe sel tertentu. Penggunaan ESC

memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan ASC, yaitu sifatnya yang

pluripoten, jumlahnya yang banyak sehingga mudah untuk dikembangkan dalam

kultur, serta kecilnya penolakan dari sistem immun tubuh penderita. Selain itu,

sel-sel tersebut memiliki kemampuan untuk memperbanyak diri tanpa batasan

dengan karyotype yang relatif stabil (Xu et al. 2002; Gallo et al. 2006).

Penelitian terhadap ESC dari mencit telah dilakukan sejak tahun 1981

dengan dilaporkannya keberhasilan Evans dan Kaufman mengisolasi sel punca

dari embrio mencit. Sel-sel tersebut diketahui dapat berproliferasi dalam jangka

waktu yang lama dan memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi

berbagai tipe sel. Sejak saat itulah ESC mencit menjadi salah satu sumber yang

diperlukan untuk penelitian biomedis (Downing & Battey 2007).

Hingga saat ini, pemanfaatan ESC mencit sebagai model penelitian terapi

penyakit degeneratif, dimana perlakuan diberikan pada beberapa hewan

percobaan, telah mengalami kemajuan yang pesat. Hasil dari penelitian ESC

mencit untuk terapi penyakit degeneratif yang telah dilakukan meliputi penyakit

myocardial infarction, hati (Guasch & Fuchs 2005), Alzheimer, diabetes, dan

Parkinson (Doss et al. 2004). Penelitian-penelitian tersebut dijadikan dasar untuk

pengembangan ESC dari manusia yang nantinya dapat diterapkan pada manusia

(22)

Isolasi Inner Cell Mass sebagai Sumber Embryonic Stem Cells

Sumber ESC mencit diperoleh dengan mengisolasi ICM dari embrio

stadium blastosis, yaitu pada hari ke-4 perkembangan embrio mencit (Wobus &

Boheler 2005). Pada perkembangan embrionik, stadium blastosis terbentuk saat

terdapat rongga di antara sel-sel morula yang berisi cairan yang disebut blastosol.

Blastosis tersusun oleh dua jenis sel, yaitu trofektoderm yang terdapat pada bagian

luar dan ICM pada bagian dalam, serta terdapat lapisan yang menyelimuti

blastosis yang disebut zona pellucida (ZP) (Gambar 2). Inner cell mass

digambarkan sebagai suatu koloni dengan ukuran sel yang kecil, memiliki nukleus

berukuran besar, dan sitoplasma yang sedikit. Pada perkembangannya,

trofektoderm akan menghasilkan sel-sel trofoblas, yang selanjutnya akan

berkembang menjadi plasenta. Sedangkan ICM akan berkembang menjadi semua

jaringan tubuh embrio, dan juga jaringan non trofoblas yang menunjang

perkembangan embrio (jaringan ekstraembrionik, termasuk kantung kuning telur,

allantois, dan amnion) (NIH 2001; Park et al. 2004; Kim et al. 2005).

Gambar 2 Bagian-bagian embrio mencit stadium blastosis: (a) ICM, (b) trofoblas, (c) blastosol, (d) ZP. Bar = 40 m.

Terdapat beberapa metode isolasi ICM yang telah dikenal dan dilakukan

oleh para peneliti hingga saat ini, yaitu metode immunosurgery (Lee et al. 2005),

pembedahan mikro atau microsurgery (Georgiades & Rossant 2006), enzimatik

(Schoonjans et al. 2003), dan dengan menggunakan sinar laser (Tanaka et al.

2006). Perbedaan dari tiap-tiap metode tersebut adalah alat dan bahan yang

digunakan, serta waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ICM. Bahan utama

b

a

c

(23)

8

pada metode immunosurgery yaitu rabbit anti-mouse antibody (untuk ESC dari

embrio mencit) atau rabbit anti-human antibody (untuk ESC dari embrio

manusia) dan complement sera from guinea pig. Pada metode microsurgery

diperlukan mikromanipulator dan keterampilan dalam penggunaan alat tersebut.

Metode isolasi ICM secara enzimatik dilakukan dengan cara menginkubasi

blastosis tanpa ZP dalam larutan tripsin 0.25%. Sedangkan untuk isolasi ICM

dengan sinar laser, selain dibutuhkan mikromanipulator juga dibutuhkan peralatan

laser yang harganya cukup mahal, biasanya metode ini digunakan pada blastosis

yang berasal dari manusia (Agustina et al. 2008).

Pada metode immunosurgery, microsurgery, dan enzimatik, diperlukan

proses penghilangan ZPterlebih dahulu untuk mempermudah dalam proses isolasi

ICM. Zona pellucida merupakan lapisan material ekstraselular yang disintesis

selama perkembangan oosit dan memiliki ketebalan sekitar 7 m (Nagy et al.

2003). Bahan yang biasanya digunakan untuk menghilangkan ZPblastosis adalah

enzim pronase dengan konsentrasi 0.25 - 0.5% (Oh et al. 2005). Pada penelitian

yang menggunakan blastosis manusia, penggunaan pronase biasanya digantikan

dengan tyrode’s acid (Cowan et al. 2004). Hal ini dilakukan untuk mengurangi

kontak blastosis dengan bahan-bahan yang berasal dari hewan. Namun

penggunaan tyrode memerlukan penanganan yang cepat agar blastosis tidak

terlalu lama terpapar dengan larutan asam tersebut. Setelah ZPlisis akibat kontak

dengan tryode’ acid, blastosis dicuci beberapa kali untuk menghilangkan sisa-sisa

asam yang tertinggal (Skottman & Hovatta 2006). Blastosis yang telah

dihilangkan ZP-nya, baik dengan menggunakan enzim pronase ataupun tyrode’s

acid, selanjutnya dapat dilakukan isolasi ICM.

Isolasi ICM menggunakan metode immunosurgery (Gambar 3),

merupakan metode isolasi ICM dengan menggunakan antibodi yang hanya

mengenali trofoblas. Mula-mula dilakukan inkubasi blastosis tanpa ZP dalam

rabbit anti-mouse antibody kemudian dilanjutkan dengan inkubasi dalam

complement sera from guinea pig. Immunosurgery dapat melisiskan sel-sel

trofoblas sehingga sel-sel ICM yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah

(24)

kondisi tertentu sehingga menghasilkan ESC yang bersifat pluripoten (Solter &

Knowles 1975; Nagy et al. 2003; Park et al. 2004).

Gambar 3 Metode immunosurgery untuk mengisolasi ICM dari blastosis mencit: (a) blastosis diinkubasi dalam rabbit anti-mouse serum, (b) diinkubasi dengan guinea pig complement, (c) sel-sel trofoblas (TE) akan lisis dan ICM dapat diisolasi (Nagy et al. 2003).

Kultur Embryonic Stem Cells Mencit

Embryonic Stem Cells memiliki karakter yang spesifik yakni mampu

untuk terus berproliferasi selama periode yang panjang dan tetap menjaga

pluripotensinya (Doss et al. 2004). Oleh karena itu dibutuhkan suatu kondisi

kultur yang kondusif untuk pertumbuhan ESC. Pada umumnya, medium kultur

ESC yang biasanya digunakan adalah dulbecco’s modified eagle’s medium

(DMEM) (Sigma, USA) yang diberi tambahan 10-20% fetal bovine serum (FBS)

(Sigma, USA), 5 l/ml penicillin-streptomycin (Sigma, USA), 1% nonessential

amino acids (Sigma, USA), 0.1 mM -mercaptoethanol, dan 10 ng/ml leukemia

inhibitory factor (LIF). Penambahan LIF, sitokin yang tergabung dalam famili

interleukin-6 (IL-6), pada kultur ESC mencit berperan untuk menjaga sel tetap

berproliferasi tanpa berdiferensiasi. Hal ini dikarenakan adanya ikatan LIF

dengan 2 bagian reseptor yang komplek, yaitu LIF receptor (LIFR) dan reseptor

glikoprotein 130 (gp130). Adanya ikatan tersebut memicu terjadinya aktivasi dari

factor transkripsi signal transducer and activator of transcription 3 (STAT 3),

yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan proliferasi ESC dari mencit

secara in vitro (Pan & Thomson 2007).

(25)

10

Pada beberapa penelitian, mouse embryonic fibroblast (MEF) digunakan

sebagai feeder layer dari kultur ESC. Selama kultur, MEF mensekresikan

faktor-faktor pertumbuhan, seperti basic fibroblast growth factor (bFGF) dan LIF, yang

penting untuk proliferasi dan mempertahankan sifat pluripotensi dari ESC.

Namun, penggunaan feeder layer memiliki resiko terjadinya kontaminasi pada

kultur ESC, karena terjadi kontak langsung antara feeder layer dengan ESC

(Ulloa-Montoya et al. 2005). Pada beberapa penelitian, fungsi feeder layer telah

digantikan oleh penggunaan conditioned medium yang diperoleh dari kultur

primer fibroblast, penambahan faktor pertumbuhan (misalnya bFGF), atau

kombinasi keduanya (Xu et al. 2005). Adapun penambahan LIF pada medium

pluripotensi dari ESC akan semakin menurun seiring dengan lamanya kultur

(Wobus & Boheler 2005).

Uji Pluripotensi dari Embryonic Stem Cells Mencit

Untuk mengetahui apakah ESC yang dikultur masih belum berdiferensiasi,

maka dapat dilakukan pengujian dengan penanda yang spesifik pada ESC yang

masih bersifat pluripoten. Penanda yang umumnya digunakan adalah Octamer-4

(Oct4), Nanog, Sox-2, Foxd3, stage-specific embryonic antigen 1 (SSEA1), dan

reseptor yang berikatan dengan membran seperti gp130 (O’Shea 2004; Keller

2005). Selain itu, ESC juga dapat diuji pluripotensinya dengan melihat tingkat

aktivitas telomerase (Thomson et al. 1998) dan aktivitas enzim alkaline

phosphatase-nya (Wei et al. 2005).

Pewarnaan alkaline phosphatase merupakan salah satu uji pluripotensi

ESC yang paling sederhana. Pewarnaan ini dilakukan untuk mengetahui

(26)

spesifik, dan kuantitatif dari ESC yang tingkat pluripotensinya masih tinggi

(O’Connor et al. 2008).

Diferensiasi Embryonic Stem Cells menjadi Cardiomyocyte

Menurut Boheler et al. (2002), ESC akan berdiferensiasi membentuk suatu

koloni yang disebut embryoid bodies (EB) jika LIF ditiadakan dalam kultur ESC.

Kemampuan tersebut disebabkan sifat pluripoten atau daya plastisitas yang

dimilikinya (Wobus & Boheler 2005). Embryoid bodies merupakan sekumpulan

atau agregat sel yang menyerupai embrio yang tersusun oleh derivat dari ketiga

lapisan kecambah embrio, yaitu ektoderm, endoderm, dan mesoderm (Gambar 4).

Menurut Baharvand et al. (2006), proses terjadinya diferensiasi dari sel punca

dapat diketahui dengan adanya formasi dari EB, yang melanjutkan proliferasi dan

diferensiasi menjadi berbagai jenis sel, termasuk cardiomyocyte.

(27)

12

Pengarahan ESC untuk dapat berdiferensiasi menjadi sel tipe tertentu

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diregulasi oleh faktor pertumbuhan yang

sesuai. Sampai saat ini telah dilaporkan beberapa metode untuk mengarahkan

perkembangan ESC mencit menjadi cardiomyocyte, antara lain dengan

penambahan faktor pertumbuhan, seperti activin-a, epidermal growth factor

(Schuldiner et al. 2000), retinoic acid, fibroblast growth factor (FGF), bone

morphogenic proteins (BMP) 2 & 4, transforming growth factor (TGF) - , nitric

oxide, erythropoietin, ascorbic acid, dimethyl sulfoxide (DMSO), dan oxytocin

(Singla & Sobel 2005), dan atau penggunaan conditioned medium (CM) (Miwa et

al. 2003).

Secara umum, CM diartikan sebagai medium yang telah digunakan dalam

kultur sel tertentu. Diperkirakan CM mengandung faktor-faktor pertumbuhan

yang disekresikan oleh sel-sel dalam kultur sebelumnya. Conditioned medium

dilaporkan telah digunakan dalam beberapa penelitian, diantaranya penggunaan

CM dari fibroblas untuk menggantikan feeder layer (Xu et al. 2005), CM dari

neural stem cell untuk pengarahan sel punca menjadi neuron (Zhang et al. 2006),

CM dari kultur primer cardiomyocyte tikus neonatal untuk pengarahan sel punca

menjadi cardiomyocyte (Miwa et al. 2003).

Conditioned medium yang dimaksud dalam penelitian ini adalah medium

yang didapat dari kultur primer cardiomyocyte yang berasal dari jantung mencit

umur 1-3 hari. Penggunaan CM tersebut pada kultur pengarahan ESC dapat

meningkatkan cardiomyocyte yang terbentuk, karena di dalam CM terkandung

sejumlah senyawa penting yang dihasilkan oleh cardiomyocyte dari kultur primer

dan dapat menginduksi dan mendukung pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte

(28)

Leukemia Inhibitory Factor

Leukemia Inhibitory Factor (LIF) merupakan sitokin yang tergabung

dalam famili interleukin-6 (IL-6) dan faktor pertumbuhan serta diferensiasi

dengan aktivitas pleiotropik (Bader et al. 2000). Sitokin ini memiliki dua

isoform, yaitu diffusible molecule (D-LIF) dan extracellular matrix-bound

(M-LIF). Adapun reseptor LIF yang spesifik berikatan dengan LIF adalah LIFR- ,

yang membentuk heterodimer dengan subunit yang umumnya spesifik pada

seluruh reseptor dari anggota famili tersebut, yaitu subunit gp130. Ikatan tersebut

akan memicu terjadinya aktivasi dari JAK/STAT (Janus kinase/Signal transducer

and activator of transcription) cascades (Bader et al. 2000; Wobus et al. 2005).

Salah satu peranan LIF adalah bertindak sebagai faktor pertumbuhan di

hematopoiesis, tulang, jaringan neuroektodermal, dan diperkirakan juga

mempengaruhi tahapan perkembangan dari sistem kardiovaskular dalam cara

yang berlawanan (Bader et al. 2000). Salah satu isoform LIF, yaitu M-LIF,

diketahui berperan sebagai inhibitor diferensiasi mesodermal selama proses

gastrulasi, sehingga sebelum proses gastrulasi biasanya terjadi penekanan

terhadap jumlah LIF untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, LIF juga

bertindak sebagai inhibitor diferensiasi pada ESC mencit. Hal ini dikarenakan

adanya ikatan LIF dengan LIFR dan gp130 yang memicu terjadinya aktivasi dari

faktor transkripsi STAT3, yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan

proliferasi ESC dari mencit secara in vitro (Wobus et al. 2005; Pan & Thomson

2007).

Pada kultur primer cardiomyocyte neonatal, terdapat peningkatan ekspresi

dari M-LIF yang menyebabkan antiapoptotic serta peningkatan pertumbuhan dan

perkembangan dari cardiomyocyte melalui jalur STAT3 (Kodama et al. 1997).

Menurut Kodama et al. (2000), terdapat 3 lintasan sinyal transduksi dalam

perkembangan cardiomyocyte yang dimediasi oleh gp130, yang menghasilkan

peningkatan sintesis protein dari cardiomyocyte. Lintasan yang pertama terjadi

karena adanya ikatan antara LIF dengan reseptornya yang mengaktivasi JAK,

diikuti dengan fosforilasi dari gp130, menghasilkan binding sites untuk

protein-protein daerah Src-homology 2 (SH2), seperti growth factor receptor bound

(29)

14

Ras/Raf/MEK/ERK/p90RSK. Lintasan berikutnya adalah melalui STAT yang juga

merupakan daerah SH2 yang memiliki faktor yang mampu untuk berikatan

dengan fosforilasi gp130. Ikatan tersebut akan mengalami fosforilasi dan

translokasi ke dalam nukleus. Lintasan ketiga dipicu oleh aktivasi gp130 pada

fosforilasi dan aktivasi dari phosphatidylinositide 3-kinase (PI3K). PI3K

mengaktifkan Akt kinase dan berperan penting dalam sintesis protein melalui p70

S6 kinase (p70S6K).

Cardiomyocyte

Cardiomyocyte merupakan sel otot jantung yang secara autoritmik

membantu dalam kontraksi jantung untuk memompa darah dari dan keluar

jantung. Secara in vivo, sel ini memiliki lima komponen utama, yaitu (1)

membran plasma (sarkolema) dan T-tubules, untuk konduksi impuls, (2)

sarcoplasmic reticulum, penyimpan kalsium yang diperlukan untuk pergerakan

otot, (3) contractile elements, (4) mitokondria, dan (5) nukleus. Cardiomyocyte

tidak multinucleate, bagian belakang tiap sel saling bergabung membentuk

struktur yang disebut intercalated discs. Tiap cakram memiliki gap junctions

yang secara elektrik berpasangan dengan sel-sel tetangganya. Terjadinya

kontraksi spontan pada cardiomyocyte diatur oleh daerah pacemaker di bagian

atrium kanan jantung. Daerah pacemaker ini akan menginduksi gelombang

depolarisasi yang akan menyebar ke seluruh bagian jantung untuk menghasilkan

denyut jantung (Boheler et al. 2002; Becker et al. 2006).

Pada umumnya kultur primer cardiomyocyte yang digunakan sebagai

sumber conditioned medium diisolasi dari jantung hewan yang baru dilahirkan

(neonatal). Ketika dikultur, jantung neonatal lebih mudah terdispersi,

mengandung lebih banyak sel-sel prekursor dan memiliki kemampuan proliferasi

serta daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan jantung hewan dewasa. Tingkat

kesulitan untuk mendapatkan sel yang relatif mudah berproliferasi ini biasanya

meningkat sejalan dengan meningkatnya umur hewan. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain: onset terjadinya diferensiasi, peningkatan bahan

(30)

Cardiomyocyte yang didapatkan dari pengarahan ESC dapat diidentifikasi

secara langsung dengan kemunculan dari area berdenyut, biasanya dimulai dari

hari ke-4 setelah dimulainya proses diferensiasi. Area berdenyut mengandung

sel-sel yang mononukleat dan berbentuk batang, serta memiliki sel-sel-sel-sel yang saling

berhubungan satu sama lain sama sepeti yang ditemukan pada cardiomyocyte

yang berkembang di jantung secara in vivo. Terdapat 3 tahapan perkembangan

cardiomyocyte dari pengarahan ESC, yaitu tahap awal (terbentuknya

pacemaker-like cells atau primary myocardial-like cells), tahap menengah, dan tahap akhir

(terbentuknya atrial-, ventricular-, nodal-, His-, dan Purkinje-like cells). Pada

diferensiasi tahap awal, cardiomyocyte berbentuk kecil dan membulat. Namun

seiring dengan tingkat kematangannya, cardiomyocyte tersebut akan memanjang

dengan perkembangan myofibril dan sarkomer yang lebih baik (Boheler et al.

2002). Pada diferensiasi tahap akhir, akan ditemukan ikatan myofibril yang telah

terbentuk dengan baik, dan juga sarkomer yang secara jelas telah dapat dibedakan

antara A bands, I bands, dan Z disks. Secara keseluruhan, baik dari ukuran dan

bentuknya, cardiomyocyte yang berasal dari pengarahan ESC telah dilaporkan

memiliki kesamaan dengan cardiomyocyte pada hewan pengerat neonatal (Banach

et al. 2003).

Analisis RT-PCR pada sel-sel yang diisolasi dari EB dengan area yang

berdenyut memeperlihatkan adanya ekspresi dari gen-gen dan faktor transkripsi

yang spesifik pada jantung, seperti Nkx2.5, GATA-4, , –myosin heavy chain

(MHC), atrial natriuretic factor (ANF), cardiac troponin, myosin light chains

(MLC) -1a, -1v, -2a, -2v, sarcomeric Ca2+ -ATPase 2 (SERCA2), type 2

ryanodine receptor (RyR2), Na/Ca exchanger 1 (Nex1), calsequestrin (Csq),

phospholamban, dan connexins 40, 43, dan 45 (Wei et al. 2005; Bidez 2006).

Sama seperti pada perkembangan awal myocardial, mRNA terlebih dahulu

mengkode faktor transkripsi GATA-4 dan Nkx2.5 sebelum mengkode atrial

natriuretic factor (ANF), MLC-2v, - dan -MHC, Na+-Ca+ exchanger, dan

phospholamban (Boheler et al. 2002).

Pada perkembangan embrio in vivo, Nkx2.5 pertama kali diekspresikan

antara hari ke-3 dan ke-6 days postcoitum (dpc), dan tetap terekspresi hingga

(31)

MLC-16

2v, cardiac ankyrin repeat protein (CARP), dan HAND1, yang tidak akan

terdeteksi apabila Nkx2.5 mengalami mutasi. Secara in vitro, Nkx2.5 terdeteksi

setelah hari ke-2 dimulainya proses diferensiasi ESC. Sedangkan -MHC secara

in vitro akan mulai terekspresi pada hari ke-8 setelah dimulainya proses

diferensiasi, sedangkan pada perkembangan embrio in vivo mulai terdeteksi pada

(32)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen

Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan

Januari 2009 hingga Juni 2009, dengan penelitian pendahuluan dilaksanakan dari

bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak lengkap (RAL) dengan tiga

kali pengulangan. Koloni ESC yang diberi perlakuan adalah 24 koloni yang

dibagi dalam 3 kelompok perlakuan. Sebagai perlakuan adalah (1)

DMEM+CML10, (2) DMEM+CML0, dan (3) DMEM (sebagai kontrol). Adapun

DMEM adalah Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium yang diberi tambahan 5

l/ml penicillin-streptomycin (Sigma, USA), 1% nonessential amino acids

(Sigma, USA), dan 0.1 mM -mercaptoethanol; CML10 berasal dari medium

kultur primer cardiomyocyte yang diinduksi dengan 10 ng/ml LIF; CML0 berasal

dari medium kultur primer cardiomyocyte tanpa induksi LIF.

Ketiga medium perlakuan tersebut diberikan pada saat pengarahan ESC

menjadi cardiomyocyte. Parameter yang diamati adalah tingkat diferensiasi

(pengarahan) ESC menjadi cardiomyocyte dengan cara pengamatan langsung

terhadap jumlah area berdenyut setelah hari ke-7 kultur diferensiasi hingga hari

ke-14 serta kemampuan ekspresi Nkx2.5 dan -MHC dari cardiomyocyte hasil

pengarahan ESC, yang dilihat secara kualitatif dari intensitas pita cDNA hasil

(33)

18

Tahapan dan Prosedur Kerja

Pembuatan Conditioned Medium

Conditioned medium (CM) didapatkan dari cairan supernatan medium

kultur primer cardiomyocyte dari mencit putih (Mus musculus) betina galur ddy

umur 1-3 hari (neonatal). Isolasi cardiomyocyte dilakukan menurut Lin et al.

(2005). Bagian ventrikel jantung dicacah halus menjadi berukuran 1-2 mm

dengan menggunakan pisau bedah (Surgical Blade No.10, General Care).

Kemudian jaringan diinkubasi selama beberapa waktu dalam Dulbecco’s

Phosphatase-Buffered Saline (dPBS) (Gibco, USA) yang mengandung tripsin

0.25% (Gibco, Canada) dan EDTA 1mM (Merck, Darrnstadt, Germany) selama

15 menit pada suhu 37°C. Suspensi sel disaring dan dicucikemudian disentrifus

dengan kecepatan 200 g selama 8 menit. Pelet yang didapatkan kemudian

dikultur pada cawan petri yang telah berisi medium kultur, yaitu Dulbecco’s

Modified Eagle’s Medium (DMEM) (Sigma, USA) yang diberi tambahan 20%

fetal bovine serum (FBS) (Sigma, USA), 5 l/ml penicillin-streptomycin (Sigma,

USA), 1% nonessential amino acids (Sigma, USA), dan 0.1 mM

-mercaptoethanol (Sigma, USA). Kultur kemudian diinkubasi dalam inkubator

dengan suhu 37oC dan kadar CO2 5% selama 2 jam. Supernatan, yang berisi

sel-sel yang tidak melekat pada cawan petri, dipindahkan ke cawan petri baru yang

berisi medium kultur dan diinkubasi kembali selama 2 jam. Hal tersebut

dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Setelah itu dilakukan penanaman akhir sel-sel

tersebut pada cawan petri yang telah dilapisi 0.1% gelatin (Sigma, USA).

Setelah 48 jam, medium kultur primer cardiomyocyte diganti dengan

medium kultur bebas serum dan dikultur selama 24 jam. Kemudian kultur primer

cardiomyocyte tersebut dikultur dalam medium kultur yang diinduksi leukemia

inhibitory factor (LIF) (Sigma, USA) dengan konsentrasi 0 dan 10 ng/ml.

Conditioned medium (CML0 dan CML10) ditampung pada hari ke-4 sampai ke-7

dan disimpan pada suhu 4oC sebelum digunakan untuk perlakuan pada

(34)

Penyediaan Embryonic Stem Cell

a. Superovulasi dan isolasi blastosis hasil fertilisasi in vivo

Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih (Mus

musculus) betina galur ddy umur 8-12 minggu sebanyak 10 ekor tiap ulangannya.

Superovulasi dilakukan menurut Nagy et al. (2003), dengan menyuntikan secara

intraperitoneal 5 IU Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin (PMSG) (Intervet

International BV, Folligon, Boxmeer, Holland) lalu diikuti 46 jam kemudian

dengan menyuntikan 5 IU Human Chorionic Gonadotropin (hCG) (Intervet

International BV, Chorulon, Boxmeer, Holland). Setelah penyuntikan hCG,

setiap mencit betina dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1.

Keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan vaginal plug untuk mengidentifikasi

mencit yang melakukan perkawinan (terjadi kopulasi). Mencit-mencit yang

memiliki vaginal plug disatukan dalam satu kandang dan dilakukan pemanenan

embrio tahap blastosis pada hari keempat setelah penyuntikan hCG. Blastosis

dipanen dengan cara membilas tanduk rahim (kornua uterus) dengan medium

dPBS. Sambil dievaluasi di bawah mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan),

blastosis dicuci berturut-turut dalam medium dPBS dan DMEM masing-masing

sebanyak 2 kali ulangan. Selanjutnya blastosis dikultur dalam medium DMEM,

yang diberi tambahan 10% FBS (Sigma, USA), 5 l/ml penicillin-streptomycin

(Sigma, USA), 1% nonessential amino acids (Sigma, USA), dan 0.1 mM

-mercaptoethanol (Sigma, USA), kemudian diinkubasi dalam inkubator (Sanyo,

MCO-95, Japan) dengan suhu 37oC dan kadar CO2 5%.

b. Isolasi inner cell mass

Isolasi inner cell mass (ICM) dilakukan menurut Nagy et al. (2003)

dengan beberapa modifikasi. Embrio yang telah mencapai stadium blastosis

dihilangkan zona pellucida-nya dengan menggunakan enzim pronase 0.25%

selama 7-10 menit, kemudian blastosis dipindahkan ke dalam medium dPBS

untuk menghentikan aktivitas pronase. Selanjutnya blastosis tanpa zona pellucida

tersebut dicuci dalam DMEM tanpa serum sebanyak dua kali. Isolasi ICM

dilakukan dengan menginkubasi blastosis tanpa zona pellucida dalam rabbit

anti-mouse antibody (Sigma, USA) selama 90 menit dan complement sera from guinea

(35)

20

CO2 5%. Kedua serum yang digunakan terlebih dahulu telah dilarutkan dalam

DMEM tanpa serum dengan perbandingan volume 1:3. Setelah terpisah dari

sel-sel trofoblas, ICM sel-selanjutnya dipindahkan ke dalam DMEM kultur untuk

menghilangkan pengaruh serum dan menghilangkan sisa-sisa sel trofoblas yang

masih menempel pada ICM.

c. Kultur embryonic stem cell

Setelah diisolasi, ICM dikultur dalam cawan petri yang telah dilapisi 0,1%

gelatin (Sigma, USA). Medium kultur ESC yang digunakan adalah DMEM high

glucose (Sigma, USA) yang diberi tambahan 20% FBS (Sigma, USA), 1%

nonessential amino acids (Sigma, USA), 5 l/ml penicillin-streptomycin (Sigma,

USA), 0.1 mM -mercaptoethanol (Sigma, USA), dan 20 ng/ml mLIF (Sigma,

USA) (Passier & Mummery 2005). Medium kultur diganti setiap 2-3 hari dan

pada hari ke-7 dilakukan pengecekan uji pluripotensi dari ICM yang telah

berproliferasi dengan menggunakan pewarnaan alkaline phosphatase.

d. Pewarnaan alkaline phosphatase

Pewarnaan ini merupakan uji pluripotensi terhadap ESC (O’Connor et al.

2008). Proses pewarnaan dimulai dengan mengeluarkan medium kultur dari

cawan petri kemudian koloni-koloni ICM dicuci dua kali dalam dPBS lalu

difiksasi dengan 4% paraformaldehide (dalam PBS) selama 20 menit pada suhu

ruang. Sel-sel yang terfiksasi dicuci dua kali dengan PBS dan diinkubasi dengan

larutan substrat AP yang mengandung 200 g/ml naphtol AS-MX phosphate

(Sigma) dan 1 mg/ml Fast Red TR Salt (Sigma) dalam 100 mM Tris Buffer, pH

8.2, selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian koloni-koloni ICM dicuci dalam

dPBS. Sel-sel yang berwarna merah menandakan positif AP dan

mengindikasikan bahwa sel-sel tersebut masih bersifat pluripoten.

Pengarahan Embryonic Stem Cells menjadi Cardiomyocyte

Pengarahan ESC atau tahap diferensiasi diawali dengan tripsinasi seluruh

koloni ICM hasil kultur selama 7 hari (0.25% tripsin dalam dPBS selama 1

menit), kemudian sel-sel hasil tripsinasi tersebut dibagi ke dalam 3 cawan petri

yang telah dilapisi dasarnya dengan 0.1% gelatin (Sigma, USA). Medium kultur

(36)

hari kultur akan terbentuk embryoid bodies (EB) dari kumpulan ESC pada

tiap-Pembuktian terjadinya ekspresi gen pada cardiomyocyte yang didapatkan

dari hasil pengarahan ESC, dilakukan deteksi mRNA dari Nkx2.5 dan -MHC

dengan menggunakan metode Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction

(RT-PCR). Keduanya berturut-turut merupakan faktor transkripsi dan gen yang

menghasilkan protein-protein sitoplasmik yang spesifik pada jantung (Kumar et

al. 2005).

Setelah diferensiasi hari ke-14, seluruh koloni ESC, khususnya koloni

ESC yang memiliki area berdenyut (Bin et al. 2006), diekstrak total RNA-nya

dengan menggunakan TRIZOL® (Invitrogen). Mula-mula cawan petri yang berisi

EB dicuci dengan dPBS dingin sebanyak 2 kali kemudian dimasukkan 1 ml

Trizol. Agar proses lisis pada sel-sel lebih sempurna maka dilakukan pengikisan

dasar cawan petri dengan menggunakan cell scraper, setelah itu diinkubasi selama

5 menit pada suhu ruang. Seluruh larutan isi cawan petri tadi dipindahkan ke

dalam tabung 2 ml lalu ditambah dengan 200 l kloroform, dicampur dan

diinkubasi 10 menit pada suhu ruang. Larutan kemudian disentrifus 12,000 g

selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro

baru kemudian ditambahkan 500 l isopropil alkohol (isopropanol), dicampur

hingga homogen kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 10 menit. Larutan

kemudian disentrifus 12,000 g selama 20 menit pada suhu 4oC, supernatan yang

didapat dibuang dan pelet RNA dikoleksi. Pada pelet yang didapat ditambahkan

etanol 75% dalam DPECdH2O (dingin) sebanyak 1,000 l kemudian

dihomogenkan dengan vortex dan disentrifus 12,000 g selama 20 menit pada suhu

4oC. Etanol (supernatan) dibuang dengan hati-hati dan pelet dikeringkan selama

(37)

22

l RNAse free water dan siap digunakan untuk amplifikasi PCR atau disimpan

pada suhu -20oC sebelum digunakan untuk amplifikasi PCR.

Reaksi RT-PCR menggunakan SuperScriptTM III One-Step RT-PCR

System with Platinum® Taq High Fidelity (Invitrogen). Primer yang digunakan

adalah Nkx2.5 dan -myosin heavy chain ( -MHC) (Tabel 1).

Tabel 1 Primer yang Digunakan dalam RT-PCR

Primer Urutan Basa Produk

Nkx2.5 AGC AAC TTC GTG AAC TTT G (sense)

CCG GTC CTA GTG TGG A (antisense) 345 bp

-MHC ACC GTG GAC TAC AAC AT (sense)

CTT TCG CTC GTT GGG A (antisense) 288 bp Sumber: Takahashi et al. (2003).

Total campuran reaksi RT-PCR adalah 25 l yang terdiri 12.5 l 2x

reaction mix, 0.5 l MgSO4, 2 l primer sense, 2 l primer antisense, 1 l

Platinum Taq, dan 7 l total RNA. Campuran tersebut dihomogenkan kemudian

dimasukkan ke dalam mesin PCR (GeneAmp PCR System 9600) dengan program

yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Produk PCR dianalisis pada gel agarose 1.5% yang mengandung ethidium

bromide (EtBr) 1.25 l/ml. Elektroforesis dilakukan pada voltase 100 volt selama

30-50 menit. Hasil elektroforesis dibaca dengan UV illuminator viewer.

Analisa Data

Data yang bersifat kualitatif akan disajikan secara deskriptif, sedangkan

data kuantitatif akan diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of

variance) dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk menentukan beda nyata antar

perlakuan. Analisis akan menggunakan software SPSS 17.0 for windows dan MS

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultur Primer Cardiomyocyte

Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung

mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal

dikarenakan kultur primer cardimyocyte neonatal mengandung lebih banyak

sel-sel prekursor dan memiliki kemampuan proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan

yang berasal dari cardiomyocyte mencit dewasa. Selain itu, keuntungan lain dari

penggunaan cardiomyocyte dari mencit neonatal adalah kestabilan dari fenotipnya

yang lebih tinggi dibandingkan dengan cardiomyocyte dari mencit dewasa (Wang

et al. 1999). Berdasarkan hal tersebut, diharapkan conditioned medium yang

dikoleksi dari kultur primer cardiomyocyte neonatal memiliki kemampuan yang

lebih baik dalam pengarahan ESC menjadi cardiomyocyte dibandingkan dengan

cardiomyocyte mencit dewasa.

Sebanyak 70 mencit neonatal, yang berasal dari 10 induk, dikoleksi

jantungnya. Isolasi cardiomyocyte dilakukan menurut Lin et al. (2005). Total

cardiomyocyte yang didapat adalah 3,9 juta sel/ml DMEM yang kemudian dibagi

ke dalam 6 cawan petri 35 mm yang telah dilapisi gelatin sebelumnya dan

ditambahkan media kultur primer cardiomyocyte hingga 2 ml. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa dua hari setelah penanaman awal, hampir seluruh

cardiomyocyte telah melekat pada cawan petri dan secara spontan berdenyut

akibat depolarisasi gelombang yang diinisiasi oleh pacemaker. Adapun struktur

dari cardiomyocyte memiliki sedikit perbedaan dengan cardiomyocyte mencit

dewasa yang sudah memiliki ikatan myofibril yang lebih baik serta bentuk sel

yang memanjang.

Setelah 48 jam, medium kultur tersebut diganti dengan medium kultur

bebas serum dan dikultur selama 24 jam. Kemudian kultur primer cardiomyocyte

tersebut dikultur dalam medium kultur yang diinduksi LIF dengan konsentrasi 0

dan 10 ng/ml. Total conditioned medium yang didapat pada tiap pemberian LIF

adalah masing-masing sebanyak 24 ml (CML0 dan CML10). Tiap jenis CM

tersebut kemudian difilter dengan filter 0.22 m dan disimpan pada suhu 4oC

(39)

24

Penyediaan Embryonic Stem Cells

Koleksi Blastosis dan Isolasi Inner Cell Mass

Untuk mendapatkan sumber ESC, yaitu ICM pada embrio tahap blastosis,

dilakukan koleksi embrio pada hari ke-3.5 setelah penyuntikan hormon hCG.

Dari hasil koleksi, terdapat embrio yang belum mencapai tahap blastosis (Tabel

2).

Tabel 2 Persentase Rata-rata Perolehan Blastosis dan ICM

Jumlah Embrio Blastosis

215+19.92 43.88+12.06 72.71+5.13 100+4.04 95.95+0

Persentase rata-rata blastosis yang didapat pada tiap pengulangan adalah

43.88% dari total embrio yang dikoleksi. Setelah seluruh embrio yang dikoleksi

dikultur selama 24 jam, persentase blastosis meningkat menjadi 72.71%. Oleh

karena itu isolasi ICM dilakukan 24 jam setelah proses koleksi embrio. Menurut

Nagy et al. (2003), pada hari ke-3.5 days postcoitum (dpc) embrio mencit

mencapai tahap blastosis. Namun dengan adanya perkembangan embrio pada tiap

individu yang tidak sama maka embrio yang didapat pada hari ke-3.5 dpc

bervariasi dari embrio tahap morula hingga blastosis ekspan.

Sebelum dilakukan isolasi ICM, terlebih dahulu seluruh blastosis yang

telah dikoleksi dihilangkan zona pellucida-nya. Proses menghilangkan zona

pellucida dilakukan dengan inkubasi blastosis dalam enzim pronase 0.25% selama

7-10 menit. Waktu yang diperlukan untuk menghilangkan zona pellucida pada

tiap blastosis menunjukkan perbedaan, tergantung pada ketebalan dari zona

pellucida. Menurut Nagy et al. (2003), blastosis pada umumnya memiliki zona

pellucida dengan ketebalan sekitar 7 m. Namun pada blastosis hasil koleksi

didapatkan ketebalan zona pellucida yang tidak seragam. Perbedaan ketebalan

zona pellucida tersebut berkaitan dengan tahapan dari blastosis itu sendiri. Dalam

perkembangannya blastosis memiliki tiga tahapan perkembangan, yaitu blastosis

awal, blastosis, dan blastosis ekspan. Ketika blastosis mencapai tahapan ekspan,

(40)

berhubungan dengan mendekatinya proses implantasi pada perkembangan in vivo,

pada saat ini sel-sel trofoblas akan mensintesis enzim yang menyerupai tripsin

yang akan mencerna lapisan glikoprotein dari zona pellucida (Nagy et al. 2003).

Hasil kerja enzim pronase selama proses pelisisan zona pellucida diamati di

bawah miskroskop untuk melihat keberadaan zona peluucida. Blastosis yang

sudah tidak dilapisi zona pellucida segera dipindahkan ke drop yang berisi

DMEM plus FBS untuk menghentikan kerja enzim pronase.

Gambar 5 Inkubasi blastosis dalam pronase: (a) lisisnya zona pellucida dari blastosis eksplan, (b) zona pellucida yang belum lisis. Pronase 0.25% selama 7 menit. Bar = 50 m.

Setelah proses penghilangan zona pellucida, selanjutnya dilakukan isolasi

ICM dengan menggunakan metode immunosurgery (Gambar 6). Pada proses

immunosurgery, rabbit anti-mouse antibody dan complement sera from guinea pig

terlebih dahulu dilarutkan dalam medium DMEM tanpa FBS dengan

perbandingan 1:3, dan waktu inkubasi tiap serum adalah 90 menit. Konsentrasi

serum dan waktu inkubasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil

optimasi dari beberapa konsentrasi serum dan waktu inkubasi. Saat blastosis

diinkubasi dalam rabbit anti-mouse antibody, antibodi tersebut akan mengenali

sel-sel trofoblas dan akan berikatan dengannya. Ikatan tersebut kemudian akan

dilisiskan oleh complement sera from guinea pig, sehingga hanya akan tersisa

ICM saja ( Nagy et al. 2003). Hasil immunosurgery didapatkan 95.95% ICM atau a

b

b

(41)

26

150 ICM dari tiap ulangan yang kemudian dikultur dalam medium kultur ESC

yang diinduksi dengan LIF untuk mempertahankan sifat pluripotensinya serta

tetap berproliferasi.

Gambar 6 Proses immunosurgery: (a) blastosis dengan zona pellucida, (b) blastosis setelah inkubasi dengan pronase 0.25%, (c) lisisnya

trofoblas setelah immunosurgery, (d) ICM. Bar = 50 m.

Kultur Inner Cell Mass dan Uji Pluripotensi

Hasil pengamatan selama 7 hari kultur ICM menunjukkan bahwa rata-rata

terdapat 25 koloni ICM yang terbentuk dari penanaman 150 ICM di awal kultur

(Gambar 7). Hal tersebut diakibatkan terjadinya penggabungan antara ICM yang

satu dengan yang lain membentuk koloni. Selain itu, rendahnya ICM yang

berkembang dalam kultur bisa jadi diakibatkan kerusakan ICM pada saat proses

isolasinya. Kerusakan ICM pada metode immunosurgery umumnya terjadi pada

blastosis yang selama proses penghilangan zona pellucida mengalami

pengkerutan, yang mengindikasikan bahwa ikatan antara sel trofoblas sudah

terputus. Ketika blastosis yang demikian diinkubasi pada kedua serum yang

a. b.

(42)

digunakan dalam metode immunosurgery, maka kedua serum tersebut selain

melisiskan trofoblas yang ada di bagian luar juga akan dapat masuk ke dalam

blastosis dan menyebabkan kerusakan ICM.

Gambar 7 Kultur ICM: (a) hari ke-0, (b) hari ke-7)

Hasil ICM di atas selanjutnya dikultur dengan menggunakan medium

kultur yang diberi tambahan 20ng/ml LIF. Seperti telah diketahui bahwa pada

kultur ESC mencit, LIF memiliki peranan untuk menjaga sel tetap berproliferasi

tanpa berdiferensiasi. Hal ini dikarenakan adanya ikatan LIF dengan

reseptor-reseptor spesifiknya pada sel punca (LIFR dan gp130) yang memicu terjadinya

aktivasi dari faktor transkripsi STAT3, yang berperan penting dalam menjaga

kelangsungan proliferasi ESC dari mencit secara in vitro (Wobus et al. 2005; Pan

& Thomson 2007). Adapun penambahan LIF dalam medium kultur ESC dengan

konsentrasi di atas rata-rata (biasanya 10ng/ml) dilakukan untuk mengatasi

kekurangan suplai LIF dalam medium yang biasanya terpenuhi oleh feeder layer

yang digunakan, yaitu mouse embryonic fibroblast (MEF) (Xu et al. 2005).

Fungsi MEF untuk mensekresikan faktor pertumbuhan yang penting untuk

proliferasi dan mempertahankan pluripotensi dari ESC (bFGF dan LIF), pada

penelitian ini digantikan dengan penambahan konsentrasi LIF dalam medium

kultur untuk menjaga kelangsungan proliferasi ESC tanpa berdiferensiasi.

Sedangkan fungsi MEF sebagai substrat tempat sel melekat sehingga sel dapat

berproliferasi dengan baik (Heng et al. 2004), dalam penelitian ini digantikan oleh

gelatin tipe B yang berasal dari kulit sapi, merupakan substansi protein yang

berasal dari kolagen, protein alami yang ada di tendon, ligamen, dan jaringan

50 m 250 m

Gambar

Gambar 1 Myocardial infarction: (A) jantung yang mengalami kerusakan cardiomyocyte dan (B) penyempitan pembuluh darah arteri yang menyebabkan kerusakan cardiomyocyte  (NHLBI 2008)
Gambar 2 Bagian-bagian embrio mencit stadium blastosis: (a) ICM, (b) trofoblas,         (c) blastosol, (d) ZP
Gambar 3 Metode immunosurgery untuk mengisolasi ICM dari blastosis mencit: (a) blastosis diinkubasi dalam rabbit anti-mouse serum, (b) diinkubasi dengan guinea pig complement, (c) sel-sel trofoblas (TE) akan lisis dan ICM dapat diisolasi (Nagy et al
Gambar 4 Perkembangan ICM menjadi ESC dan pembentukan EB yang dapat berdiferensiasi menjadi seluruh jenis tipe sel yang termasuk dalam ketiga lapis kecambah (Doss et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dekoratyviųjų menų, kurie nuo XIX amžiaus pradžios pradėti tapatinti su kaimo bendruomenių veikla, institucionalizavimas Indijos meno mokyklose ir teorinis jų viršenybės

A gyereknek azt kellene éreznie, hogy az anyanyelv grammatikájának szabályait, amelyeket az oktatás során felfedez, bizonyos értelemben ismeri, hiszen azok alapján

TESIS PENGARUH KOMBINASI HOME … ARUM DWI NINGSIH pengukuran nilai FEV1 sebagai data awal pre-test dan mengisi kuesioner COPD Assesment Test (CAT) untuk mengetahui

Menurut Muarif (2014), dalam lagu-lagu Efek Rumah Kaca ditemukan adanya bentuk perlawanan alternatif dari skema indie sebagai kelompok non-mainstream atau

Nilai PANSS akhir pada kelompok 2 minggu menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol memiliki rata-rata yang lebih besar yaitu 40 dibandingkan dengan kelompok perlakuan

Jika tombol S2 ditekan, kontaktor KM2 akan aktif menyebabkan kontak utama pada jalur 6 menutup yang membuat sebuah jumper, kontak NO pada jalur 11

Mengukir Mimpi di Langit Solear 165 pun saya masih harus menemani ketua untuk meminta tanda tangan ke Bapak Kepala Desa, untuk menandatangani proposal yang seharusnya

bahwa dengan adanya penggantian pejabat di Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di lingkungan Ristek yang di antaranya termasuk dalam keanggotaan pada Panitia Pelaksana