• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Obyek dalam penelitian ini merupakan pengunjung Toko All Fresh Bogor yang melakukan pembelian dan mengkonsumsi sayuran organik selama tiga bulan terakhir. Sebanyak 100 pengunjung dipilih secara purposive sampling untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini. Karakteristik responden disajikan pada Tabel 4. Hasil wawancara menunjukkan bahwa 94 persen responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan memiliki peranan yang besar sebagai pengambil keputusan dalam

13 membeli suatu produk dan jasa untuk dirinya dan anggota keluarganya (Sumarwan 2011).

Jika dihubungkan dengan selera dan kesukaan terhadap suatu produk dalam hal ini adalah sayuran organik, ternyata responden yang memiliki usia di antara 27-36 tahun memiliki sebaran terbesar yakni 37 persen. Diikuti sebaran usia 17-26 tahun (25%) dan usia 37-46 tahun (23%). Secara keseluruhan sebagian besar usia responden yang berkisar antara 17-66 tahun yang merupakan usia produktif sehingga komposisi dan distribusi usia ini dapat menjadi target pasar yang potensial untuk mengembangkan pemasaran sayuran organik kembali.

Status pernikahan secara langsung juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam membeli produk dan jasa untuk kebutuhan sehari- harinya. Kondisi demografis yang didasarkan pada status pernikahan ini telah dimanfaatkan pemasar untuk membidik kelompok berdasarkan status pernikahan seseorang (Schiffman dan Kanuk 2007). Berdasarkan status pernikahan, bahwa sebanyak 69 persen responden menyatakan bahwa sudah menikah dan 31 persen belum menikah. Kedua kelompok ini memiliki situasi yang berbeda sebab seorang yang masih bujangan akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan seseorang yang sudah menikah. Perubahan situasi dari bujangan kemudian menikahakan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh seseorang yang masih bujangan. Ketika sudah menikah, maka seseorang itu harus menanggung kebutuhan anggota keluarganya.

Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga 2-3 orang di rumahnya (51%). Anggota keluarga ini akan mempengaruhi perubahan pola konsumsi sesorang akibat perubahan situasi tersebut. Pola konsumsi seseorang ini menggambarkan seberapa besar pengeluaran yang dikeluarkan oleh seseorang untuk membeli barang dan jasa untuk keluarganya.

Pola konsumsi seseorang erat kaitannya dengan seberapa besar pendapatan yang diterima seseorang untuk dialokasikan untuk kebutuhan hidupnya. Pendapatan juga sering dikombinasikan dengan variabel demografis lainnya seperti pendidikan dan pekerjaan. Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa ketiga variabel tersebut memiliki kecenderungan berkorelasi erat sebagai hubungan sebab akibat, misalkan saja pekerjaan tingkat tinggi akan menghasilkan pendapatan yang tinggi dan membutuhkan pelatihan pendidikan lanjutan dan sebaliknya. Sebagian besar responden bekerja sebagai karyawan swasta (40%) dan pendidikan terakhir responden adalah S1 (51%).

Sayuran organik yang memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan sayuran anorganik, bisa dikatakan bahwa hanya konsumen yang berpendapatan tinggi yang mampu membelinya. Engel et al. (1994) bahwa pembelian itu berkaitan dengan pendapatan konsumen. Distribusi pendapatan pada responden diketahui bahwa 33 persen berpendapatan Rp 0 - Rp 3 000 000; 26 persen berpendapatan Rp 3 000 001 - Rp 6 000 000; 20 persen berpendapatan Rp 6 000 000 - Rp 9 000 000; dan 21 persen berpendapatan lebih dari Rp 9 000 000. Jika dilihat dari distribusi pendapatan pada responden ini tidak berbeda jauh, berkisar 20-33 persen saja sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar tergolong kelas menangah ke atas dan sangat potensial sebagai konsumen sayuran organik.

14

Tabel 4 Karakteristik responden (n=100 orang)

Karakteristik Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 6

Perempuan 94 Usia 17-26 25 27-36 37 37-46 23 47-56 12 57-66 3

Status pernikahan Belum menikah 31

Menikah 69 Jumlah anggota keluarga (orang) 0-1 7 2-3 51 4-5 36 >5 6 Pendidikan terakhir SMP 2 SMA 19 D3 10 D4 3 S1 54 S2 12

Pekerjaan Tidak bekerja 3

Ibu rumah tangga 27

Mahasiswa 9

Pegawai negeri sipil 6

Pegawai BUMN 2 Karyawan swasta 40 Wiraswasta 8 Dokter 2 Apoteker 1 Notaris 2 Pendapatan Rp 0 - Rp 3 000 000 33 Rp 3 000 001 - Rp 6 000 000 26 Rp 6 000 001 - Rp 9 000 000 20 >Rp 9 000 000 21

Persepsi Konsumen terkait Sayuran Organik

Pangan organik adalah pangan berkaitan dengan cara-cara produksi organik hanya apabila pangan tersebut berasal dari suatu lahan pertanian organik yang menerapkan praktik-praktik pengelolaan yang bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan, dan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit, melalui berbagai cara seperti daur ulang residu tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, pengelolaan pengairan, pengolahan lahan dan penanaman serta penggunaan bahan-bahan hayati (Otoritas Kompeten Pangan Organik-OKPO 2007). Salah satu ciri dari produk organik adalah harganya lebih mahal dibanding sayuran organik dan ini

15 merupakan salah satu permasalahan dalam pengembangan sayuran organik di pasar. Sebanyak 63 persen, responden menyatakan bahwa mereka menginginkan penyesuaian harga sayuran organik itu sesuai dengan kondisi sayuran itu sendiri. Mereka menyatakan jika sayuran organik tersebut memang sudah sedikit layu sebaiknya diturunkan harganya. Kemudian penyesuaian harga disesuaikan dengan harga umum di pasar (32%) yang disajikan pada Gambar 4, dalam hal ini adalah pasar sayuran organik. Perbedaan merek menyebabkan perbedaan harga yang cukup jauh. Hal inilah yang menyebabkan konsumen sedikit enggan membeli sayuran organik.

Gambar 4 Distribusi responden memilih penyesuaian harga sayuran organik Kurangnya pengetahuan umum tentang produk organik dan kebingungan yang disebabkan oleh proliferasi label (Diaz et al. 2010) juga menjadi salah satu permasalahan dalam pemasaran produk organik (sayuran organik) di Indonesia. Padahal informasi yang menghubungkan kesehatan dan konsumsi sayuran organik akan meningkatkan konsumsi (Sinne dan Laura 2012). Label ini merupakan indentitas produk atau merek suatu produk bahwa produk tersebut yang secara fisik dengan mudah diamati oleh konsumen.Organik ini adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standard

produksi dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi (BSN 2010). Program pelabelan ini akan memberikan kesempatan bagi para

petani lokal untuk menciptakan pasar yang layak yang memberikan label pada produk mereka dengan informasi asal atau menggunakan tempat atau regional (Gumirakiza dan Curtis 2013). Pelabelan organik dapat dilakukan dengan menempelkan pada kemasan produk atau pada produk itu sendiri sehingga dapat dengan pasti dibedakan dengan produk anorganik.

Secara konstitusi sebenarnya pemerintah Indonesia melalui Otoritas Kompeten Pangan Organik melalui peraturan SNI yang dikeluarkannya, telah mengeluarkan kebijakan mengenai sertifikasi organik bagi produk-produk organik di Indonesia. Tujuan sertifikasi ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk-produk organik sehingga konsumen tidak ragu-ragu lagi untuk membeli produk organik. Pangan organik sebagai makanan yang dikembangkan dengan metode khusus (Thio et al. 2008) yang diproduksi tanpa pestisida, herbisida, pupuk anorganik, antibiotik, dan hormon pertumbuhan (Honkanen et al. 2006) sehingga perlu penanganan khusus lainnya seperti sertifikasi organik dan mencantumkan pelabelan organik pada kemasan pangan organik.

63% 32%

5% Sesuai dengan

kondisi sayuran Sesuai dengan harga umum di pasar Sesuai dengan fasilitas dan pelayanan

16

Pelabelan itu sendiri diartikan sebagai upaya pencantuman atau pemasangan segala bentuk tulisan, cetakan atau gambar berisi keterangan atau identitas produk tersebut yang tertera pada label yang menyertai produk pangan atau dipajang dekat dengan produk pangan, termasuk yang digunakan untuk tujuan promosi penjualan (BSN 2010). Otoritas Kompeten Pangan Organik telah mengeluarkan peraturan mengenai logo organik untuk pelabelan produk-produk organik. Namun kenyataannya kebijakan ini belum berjalan sesuai harapan, khususnya untuk produk sayuran organik. Berdasarkan survei di beberapa pusat perbelanjaan yang ada di Kota Bogor, hanya satu merek sayuran organik yang menggunakan label resmi dari pemerintah berdasarkan SNI “Organik Indonesia”. Selebihnya hanya menggunakan label dalam bentuk tulisan “Organik” atau “Free Pesticide”. Label ini justru lebih banyak dicantumkan pada kemasan produk organik lainnya seperti beras, kedelai, dan kacang-kacangan.

Gambar 5 Label organik berdasarkan SNI (Otoritas Kompeten Pangan Organik- OKPO 2007)

Gambar 6 menggambarkan distribusi responden dalam memilih sayuran yang berlabel atau tidak berlabel. Sebanyak 85 persen menyatakan lebih memilih sayuran yang berlabel dibandingkan yang tidak berlabel meskipun selama ini responden mengartikan label pada sayuran organik hanya dalam bentuk tulisan “Organik” atau “Free Pesticide”. Mereka mengaku percaya dengan label tersebut meskipun bukan merupakan label resmi dari pemerintah. Namun ada juga yang tidak mempercayai label tersebut, mereka justru percaya bahwa sayuran yang dibelinya memang benar-benar organik karena melihat tempat ia beli dan asal sayuran tersebut.

Gambar 6 Distribusi responden dalam memilih sayuran organik

Pembelian produk organik dipengaruhi oleh ketersediaan mereka di gerai ritel, diikuti oleh pendapatan konsumen, pertimbangan kesehatan dan lingkungan,

85% 15%

Berlabel organik Tidak berlabel organik

17 dan daya tarik visual produk (Kuhar dan Juvancic 2010). Ketersediaan produk organik yang masih terbatas disebabkan volume produksinya masih rendah akibat biaya produksinya yang masih mahal sehingga harga produk organik relatif mahal dibanding dengan produk anorganik (Subroto 2008) sehingga hanya pada tempat- tempat tertentu saja konsumen dapat menjumpai produk organik. Berbeda halnya dengan yang terjadi di Jerman, pasokan produk organiknya tinggi namun penjualan makanan organik di supermarket Jerman masih tertinggal potensi pasarnya. Hal ini dikarenakan frekuensi pembelian yang rendah untuk produk organik yakni hanya sekitar 50 persen dari seluruh pelanggan supermarket dan hanya 8 persen pelanggan tersebut yang menjadi kategori pelanggan berat (Luth et al. 2004).

Berdasarkan hasil wawancara, selain di Toko All Fresh Bogor sebagian besar responden menyatakan sering membeli sayuran organik di tempat selain yang disebutkan pada Gambar 5 (22.43%), diikuti Giant Botani Square (21.50%) dan Yogya Bogor Junction (17.76%). Jika diperhatikan dari Gambar 7 tersebut, tempat pendistribusian sayuran organik di Kota Bogor berkisar tidak jauh dari pusat kota dan perumahan elit yang ada di Kota Bogor. Hal ini memang jelas adanya, mengingat kalangan yang berada di pusat Kota adalah kalangan menangah ke atas sehingga pendistribusian ini jelas efektif. Namun variasi dari sayuran organik yang didistribusikan di Kota Bogor belum lengkap, hanya sayur- sayuran tertentu saja yang memang disesuaikan dengan yang diminati oleh masyarakat.

Gambar 7 Distribusi tempat responden membeli sayuran organik selain di Toko All Fresh Bogor

Selain pilihan tempat, konsumen juga memperhatikan kualitas sayuran organik yang akan dibelinya. Hosen (2005) menyatakan bahwa kualitas produk sayuran organik yang dipilih oleh konsumen diantaranya disesuaikan dengan selera atau kebiasaan kesukaan, harga produk, lama ketahanan, kesegaran alami sayuran, kandungan atau nilai gizi atau vitamin, dan mutu produk (pandangan konsumen terhadap residu bahan kimia). Sedangkan atribut sayuran organik meliputi kesegaran, warna, rasa, merek, kandungan zat, manfaat bagi kesehatan, harga, kemasan, kemudahan memperoleh, bentuk, ukuran, kelembutan tekstur, dan keamanan (Rifai et al. 2008; Utama dan Antara 2013).

Hasil wawancara yang disajikan pada Gambar 8menyatakan bahwa responden paling sering membeli sayuran organik seperti brokoli (24.69%). Brokoli diminati oleh konsumen karena memiliki kandungan gizi yang baik untuk mencegah kanker dan juga harga brokoli yang relatif sama mahalnya baik yang

2,8 14,95 7,48 5,61 17,76 7,48 21,5 22,43

Total Buah Segar Jalan Baru Total Buah Segar Ekalokasari Farmer Market Yogya Plaza Bogor Yogya Bogor Junction Giant Yasmin Giant Botani Square Lainnya

18

dibudidayakan organik maupun anorganik, sehingga konsumen lebih cenderung memilih yang organik dengan kualitas gizi yang lebih tinggi dibanding yang dibudidayakan secara anorganik. Kol mendapat perhatian paling kecil dari responden, hanya 3.35 persen. Responden menyatakan bahwa tidak sering membeli kol karena tingginya kandungan gas pada kol sehingga menyebabkan gangguan pada pencernaan. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa responden tidak sering bahkan tidak menyukai kol.

Gambar 8 Distribusi pilihan sayuran organik yang sering dibeli responden

Preferensi Konsumen pada Sayuran Organik

Preferensi konsumen menurut Kotler (1997 dalam Utami 2011) adalah pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk (barang atau jasa) yang dikonsumsi. Analisis preferensi konsumen adalah analisis yang bertujuan untuk mengetahui apa yang disukai dan tidak disukai konsumen, dan juga untuk menentukan urutan kepentingan dari suatu atribut produk maupun produk itu sendiri (Utami 2011).

Pengkajian perilaku konsumen melalui pendekatan konsep atribut produk akan diperoleh apa saja karakteristik kualitas produk yang diinginkan oleh konsumen. Analisis preferensi pada penelitian ini menggunakan tiga atribut meliputi jenis sayuran, harga, dan kemasan masing-masing memiliki tiga level, tiga level, dan dua level sehingga didapatkan 3x3x2 kombinasi. Analisis preferensi menggunakan pendekatan full profile approach. Nilai koefisien yang dihasilkan pada analisis regresi sebagaimana disajikan pada Lampiran 2, kemudian digunakan untuk menghitung tingkat utilitas masing-masing level dan tingkat kepentingan relatif masing-masing atribut, yang disajikan pada Lampiran 3 dan hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 5.

Tingkat utilitas dan kepentingan tersebut dapat digunakan untuk mengetahui preferensi konsumen yang menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada, yang tentunya adalah produk yang disukai dan yang tidak disukai. Produk yang disukai konsumen adalah produk yang mampu memenuhi atau memuaskan keinginan atau kebutuhan konsumen (Adiyoga dan Nurmalinda 2012). Hasil analisis menunjukkan bahwa brokoli, penyesuaian harga sesuai dengan harga umum di pasar, dan kemasan yang berlabel organik memiliki tingkat utilitas tertinggi. Atribut kemasan memiliki tingkat kepentingan relatif

3,35 24,69 18,83 5,86 18,41 15,48 13,39 Kol Brokoli Wortel Kembang kol Selada Pakchoy Lainnya Persentase (%)

19 tertinggi bagi konsumen dalam menentukan preferensinya pada saat membeli sayuran organik dengan persentase 44.01 persen, diikuti atribut jenis (37.91%) dan harga (18.09%).

Tabel 5 Tingkat utilitas dan kepentingan relatif

Atribut Level Tingkat

utilitas (%) Tingkat kepentingan relatif (%) Jenis Kol -55.40 Wortel 21.30 Brokoli 34.10 37.91

Harga Sesuai kondisi sayuran 9.10 Sesuai harga umum di pasar 16.80 sesuai fasilitas dan pelayanan -25.90

18.09

Kemasan Berlabel organik 51.95

Tidak berlabel organik -51.95

44.01

Model Kualitas Produk Sayuran Organik dan Kepuasan Konsumen terhadap Loyalitas Pelanggan

Model hubungan ketiga peubah laten yaitu kualitas produk (KP), kepuasan konsumen (KK), dan loyalitas pelanggan (LP) dianalisis menggunakan SMART PLS versi 2.0 terhadap model awal, sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Perbaikan model dilakukan dengan melihat koefisien masing-masing indikator maupun hubungan antara peubah laten pada model outer, disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 9 menunjukkan hasil analisis awal pada model outer reflektif, di awal model dilakukan evaluasi perbaikan dengan melihat masing-masing koefisien peubah laten dengan indikatornya, nilai keofisien di bawah 0.7 harus dikeluarkan dari model. Penilaian model outer reflektif dilakukan dengan membandingkan factor loading dengan nilai standardnya. Jika terdapat indikator yang memiliki factor loading di bawah standard maka harus dikeluarkan dari model. Proses dikeluarkannya indikator dari model ini dilakukan secara berkala dengan mengeluarkan terlebih dahulu indikator yang memiliki factor loading terkecil yang tidak memenuhi nilai standard hingga didapatkan model terbaik sesuai standard. Model hubungan ketiga peubah laten kualitas produk (KP), kepuasan konsumen (KK), dan loyalitas pelanggan (LP) dengan indikatornya masing-masing adalah model outer reflektif.

Kualitas produk adalah evaluasi pelanggan secara menyeluruh terhadap kebaikan kinerja barang atau jasa (Mowen dan Minor 2002). Dimensi produk yang digunakan pada penelitian ini sebagai indikator peubah kualitas produk adalahkinerja, fitur, daya tahan, kehandalan, pelayanan, estetika, dan kesesuaian dengan spesifikasi. Dimensi-dimensi kualitas produk tersebutkemudian dihubungkan dengan karakteristik sayuran organik yang sudah disebutkan sebelumnya sehingga didapatkan 12 indikator. Analisis model awal menunjukkan

20

bahwa indikator fitur sayuran organik yang ditunjukkan dengan merek jelas (KP2) memiliki factor loading terkecil dan di bawah standard, sehingga harus dikeluarkan dari model. Padahal secara teoritis, merek tersebut merupakan salah satu dimensi pembeda pada produk atau jasa dengan produk atau jasa lainnya yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan yang sama (Kotler dan Keller 2009). Namun pada penelitian ini, justru merek bukanlah dimensi yang mencerminkan kualitas produk sayuran organik.

Kepuasan sebagai penilaian evaluatif pascapemilihan akibat seleksi pembelian khusus dan pengalaman dalam mengkonsumsi barang atau jasa serta berhubungan erat dengan penilaian kualitas produk (Mowen dan Minor 2002). Model hubungan kepuasan konsumen (KK) dan indikatornya menunjukkan bahwa salah satu indikatornya yaitu KK2 memiliki koefisien di bawah 0.7 sehingga harus dikeluarkan dari model. KK2 yakni indikator yang menggambarkan variasi produk sudah memenuhi harapan konsumen bukan merupakan indikator yang merefleksikan kepuasan konsumen sayuran organik. Padahal kepuasan merupakan evaluasi pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih dinilai mampu memenuhi atau melebihi harapan (Engel et al. 1995). Hal ini terjadi kemungkinan konsumen tersebut cenderung tidak terlalu memikirkan variasi produk yang ada pada saat membeli sayuran organik karena berdasarkan hasil wawancara sebagian besar responden justru membeli sayuran organik pada jenis-jenis tertentu saja seperti brokoli, wortel, selada (disajikan pada Gambar 8) sejalan dengan pernyataan Hosen (2005) yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu mungkin adanya pilihan yang terbatas pada variasi sayuran organik menyebabkan konsumen tidak puas sehingga salah satu alasan utama yang mencegah konsumen dari membeli makanan organik adalah pilihan yang terbatas (Makatouni 2002dalam Ozguven 2012). Rasa senang ketika berbelanja sayuran organik (KK1), rasa percaya pada kualitas sayuran organik (KK3), dan rasa puas konsumen terhadap sayuran organik yang dibelinya (KK4) merupakan indikator yang merefleksikan kepuasan konsumen sayuran organik.

Analisis pada model awal pada model hubungan peubah laten loyalitas pelanggan dan indikatornya menunjukkan bahwa nilai koefisien loyalitas pelanggan (LP) dan indikatornya memiliki koefisien di atas 0.7 sehingga tidak ada indikator yang harus dikeluarkan. Loyalitas pelanggan yang memiliki 4 indikator yaitu kecenderungan untuuk mengatakan hal positif mengenai kualitas sayuran organik (LP1), memberikan rekomendasi ke pihak lain untuk mengkonsumsi sayuran organik (LP2), kemungkinan untuk membeli sayuran organik pada waktu tiga bulan yang akan datang (LP3), dan niat untuk sering mengkonsumsi sayuran organik memang benar merefleksikan loyalitas pelanggan sayuran organik (LP4). Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarwan (2011) yang menyatakan bahwa loyalitas pelanggan menggambarkan kepuasan konsumen terhadap suatu produk atau merek yang dikonsumsinya dan akan melakukan pembelian berulang terhadap produk tersebut. Loyalitas pelanggan jika didasarkan pada kepuasan yang murni dan terus-menerus juga merupakan aset terbesar yang mungkin didapatkan oleh perusahaan (Engel et al. 1995) dan kunci menghasilkan pelanggan yang memiliki loyalitas yang tinggi adalah menyerahkan nilai pelanggan yang tinggi (Kotler dan Keller 2009).

21

Gambar 9 Hasil analisis model awal

Evaluasi terhadap nilai koefisien pada model reflektif telah dilakukan dengan dikeluarkannya indikator di atas, kemudian diilakukan proses ulang tanpa indikator yang sudah dikeluarkan untuk memperolah model yang terbaik. Model akhir yang didapatkan disajikan pada Gambar 10. Kualitas produk sayuran organik hanya direfleksikan dengan empat indikator, kepuasan konsumen direfleksikan dengan tiga indikator, dan loyalitas pelanggan direfleksikan dengan empat indikator.

22

Evaluasi Penilaian pada Model Outer Reflektif

Analisis model outer-reflective dilakukan terhadap peubah laten kualitas produk (KP), kepuasan konsumen (KK), dan loyalitas pelanggan (LP). Realibilitas komposit dari model ini untuk peubah laten kualitas produk, kepuasan konsumen, dan loyalitas pelanggan masing-masing sebesar 0.861; 0.906; dan 0.882 serta Cronbach’s alpha masing-masing peubah laten tersebut adalah 0.784; 0.844; dan 0.824 Nilai ini jauh di atas 0.7 yang menunjukkan bahwa kestabilan dan konsistensi internal indikator yang sangat baik, baik pada peubah laten kualitas produk, kepuasan konsumen, dan loyalitas pelanggan. Sedangkan realibilitas indikator ditunjukkan dengan nilai factor loading, yang merefleksikan kekuatan interelasi antara peubah laten kualitas produk, kepuasan konsumen, dan loyalitas pelanggan dengan masing-masing indikatornya. Model awal menunjukkan bahwa indikator kualitas produk yakni fitur sayuran organik yang ditunjukkan dengan merek yang jelas (KP2) memiliki nilai di bawah 0.7 sehingga harus dikeluarkan dari model dan dilakukan proses ulang kembali, hingga didapatkan model terbaik pada model akhir nilai factor loading indikator yang tersisa pada ketiga peubah laten reflektif memiliki nilai di atas 0.7 dan memiliki realibilitas indikator yang sangat baik.

Kualitas produk pada model akhir diketahui bahwa hanya direfleksikan oleh empat indikator yakni kinerja sayuran organik yang aman dikonsumsi (KP12), estetika sayuran organik yang tampak lebih segar (KP61), estetika sayuran yang memiliki rasa lebih enak, lunak, dan renyah (KP63), dan estetika sayuran organik yang tampak lebih alami (KP64). Keempat indikator ini memiliki nilai factor loading di atas 0.7 sehingga memang benar merefleksikan kualitas produk sayuran organik. Sejalan dengan pernyataan bahwa tanaman organik mengandung protein yang setara dengan tanaman konvensional, tetapi dengan kualitas yang lebih baik karena kandungan mineral pentingnya lebih rendah dan kadar logam beratnya lebih rendah (Worthington 2001) karena makanan atau pangan organik diproduksi tanpa pestisida, herbisida, pupuk anorganik, antibiotik, dan hormon pertumbuhan (Honkanen et al. 2006) sehingga aman dikonsumsi. Ozgen (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada keyakinan yang kuat pada masyarakat bahwa makanan organik lebih lezat dari makanan lain dan diyakini memiliki nilai yang lebih bergizi. Misalkan saja tomat mempunyai kandungan vitamin A 25 hingga 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan produk konvensional (Noorjannah 2010) serta secara morfologi, sayuran organik memiliki penampilan yang lebih alami, rasa yang lebih enak, renyah, lebih segar, rasa yang lebih baik, dan otentik (Zulkarnain 2010; Moser et al. 2011) namun tidak memiliki struktur yang lebih halus dan kurang berserat sebagaimana diungkapkan oleh Zulkarnain (2010).

Model akhir pada peubah laten kepuasan konsumen dan indikatornya, diketahui bahwa rasa senang ketika berbelanja sayuran organik (KK1 = 0.896) merefleksikan interelasi terbesar dalam menggambarkan kepuasan konsumen,

diikuti rasa puas konsumen terhadap sayuran organik yang dibelinya (KK4 = 0.884) dan rasa percaya pada kualitas sayuran organik (KK3 = 0.838).

Sedangkan pada peubah laten loyalitas pelanggan dan indikatornya, indikator yang memiliki realibilitas terbesar yang merefleksikan loyalitas pelanggan adalah kecenderungan untuk mengatakan hal positif mengenai kualitas sayuran organik

23 (LP1 = 0.892), diikuti indikator niat untuk sering mengkonsumsi sayuran organik (LP4 = 0.842), kemungkinan untuk membeli sayuran organik pada waktu tiga bulan yang akan datang (LP3 = 0.756), dan yang terakhir adalah memberikan rekomendasi ke pihak lain untuk mengkonsumsi sayuran organik (LP2 = 0.733). Hal ini sesuai dengan pendapat Kotler dan Keller (2009) yang menyatakan bahwa pelanggan yang puas pada umumnya memiliki kesetiaan yang lebih lama, membeli produk dalam jumlah banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan meningkatkan kapasitas produksinya, membicarakan hal-hal

Dokumen terkait