• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Rumput Laut E. cottonii

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut jenis E. cottonii yang diperoleh dari perairan di daerah Provinsi Banten. Rumput laut yang digunakan merupakan rumput laut yang sudah dikeringkan. Karakteristik rumput laut E. cottonii tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 1 Karakteristik E. cottonii kering Komponen Kandungan (%) Kadar Air Karbohidrat Abu Protein Serat Kasar 8,01 48,93 13,79 3,59 19,66 Sumber : Astari (2012)

Kadar karbohidrat pada rumput laut yang digunakan sebesar 48,93%. Kadar karbohidrat ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Widyastuti (2010) yang menyatakan kandungan karbohidrat pada E. cottoni

sebesar 37,15%, sementara menurut Goh et al (2010) menyatakan kandungan karbohidrat Eucheuma spp. sebesar 70%. Karbohidrat berupa galaktan merupakan komponen utama yang digunakan dalam proses konversi menjadi gula sederhana yaitu berupa galaktosa pada proses hidrolisis, yang selanjutnya digunakan oleh khamir pada proses fermentasi. Semakin tinggi kadar karbohidrat diharapkan semakin banyak gula yang dihasilkan, sehingga potensi etanol yang dihasilkan akan semakin baik.

Kadar air pada bahan baku adalah 8,01%. Kadar air akan mempengaruhi daya simpan bahan baku sebelum digunakan. Bahan baku dengan kadar air tinggi atau pengeringan yang tidak sempurna akan mudah rusak. Selain itu, kadar air akan mempengaruhi jumlah padatan E. cottonii yang digunakan pada saat hidrolisis. Kadar air yang tinggi pada bahan baku berarti jumlah padatan yang digunakan semakin kecil dan akan mempengaruhi kekentalan hidrolisat.

Kadar abu merupakan komponen-komponen anorganik pada suatu bahan. Kadar abu pada bahan baku sebesar 13,79%. Kadar abu terkait dengan kandungan mineral bahan baku. Mineral tersebut bisa berupa garam organik maupun garam non organik. Kadar protein pada bahan baku adalah 3,59%. Kadar protein mempengaruhi tingkat kelarutan hidrolisat setelah proses hidrolisis. Pada saat hidrolisis terjadi pemutusan ikatan peptida menjadi molekul sederhana.

Hasil karakterisasi bahan baku, serat sebesar 19,66%. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hemiselulosa merupakan salah satu penyusun dinding sel tanaman yang terdiri dari beberapa unit gula. Hemiselulosa terikat dengan polisakarida, protein dan lignin dan lebih mudah larut dibandingkan dengan selulosa. Komponen lain yang cukup penting pada bahan baku adalah kandungan selulosa. Selulosa merupakan komponen utama dinding sel tanaman. Selulosa terdiri dari unit monomer D-glukosa yang terikat pada ikatan 1,4-glikosidik. Selulosa bisa dihidrolisis menjadi glukosa, yang kemudian bisa digunakan pada proses fermentasi.

Detoksifikasi

Overliming

Hidrolisis merupakan pemecahan kimiawi suatu polisakarida menjadi monomer yang lebih sederhana. Pada hidrolisis rumput laut E. cottonii, komponen

yang dirombak adalah polisakarida berupa galaktan menjadi galaktosa dengan melibatkan air dan katalis asam. Hasil hidrolisis yaitu berupa hidrolisat yang membutuhkan proses detoksifikasi untuk mengurangi kandungan toksik pada hidrolisat tersebut. Hidrolisis asam pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan asam H2SO4 3%, kemudian dilakukan overliming dengan dua jenis basa NH4OH dan Ca(OH)2.

Tabel 2 Karakteristik hidrolisat pada proses detoksifikasi Metode Jenis Basa o Brix Gula Pereduksi (% b/v hidrolisat) Gula Pereduksi (% b/b E. cottonii Kering) Salinitas (0/00) Netralisasi (Kontrol) NH4OH 16,75a 8,85a 24,62a 160a Ca(OH)2 11,50b 11,34a 29,46a 125b Overliming NH4OH 16,25 a 10,24a 32,07a 110b Ca(OH)2 11,25b 11,27a 29,71a 70b a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 2 menunjukkan kadar gula pereduksi tertinggi yang dihasilkan yaitu 11,34% (b/v hidrolisat) melalui proses netralisasi dengan Ca(OH)2 dan kadar gula pereduksi terendah sebesar 8,85% (b/v hidrolisat) pada perlakuan netralisasi dengan NH4OH. Gula pereduksi yang diperoleh pada proses hidrolisis menyatakan tingkat konversi dari polisakarida menjadi gula sederhana akibat adanya perombakan. Kondisi ini dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi asam yang digunakan, suhu dan tekanan, dan lama proses hidrolisis.

Analisis ragam menunjukkan bahwa detoksifikasi overliming dan jenis basa yang digunakan tidak memberikan pengaruh terhadap gula pereduksi yang dihasilkan (Lampiran 3). Hidrolisis asam dan dilanjutkan netralisasi dengan Ca(OH)2 menghasilkan gula pereduksi tertinggi pada hidrolisat. Semakin tinggi gula yang dihasilkan dari proses hidrolisis maka semakin besar potensi etanol yang diperoleh pada saat proses fermentasi. Secara teoritis etanol yang dihasilkan sebesar 0,51 g/g glukosa, sesuai dengan persamaan berikut :

C6H12O6 → 2 C2H5OH + 2 CO2

Nilai Brix yang tinggi tidak berbanding lurus terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Tingginya nilai brix terutama pada detoksifikasi dengan NH4OH. Nilai brix tertinggi sebesar 16,75oBx. Nilai brix merupakan jumlah zat padat yang larut dalam suatu larutan. Pengukuran brix dengan refraktometer ini menggunakan prinsip pembiasan cahaya ketika melalui suatu larutan. Tingginya nilai tersebut diduga karena selain gula, juga adanya kandungan garam dan zat terlarut lainnya yang terukur. Selain itu, NH4OH bersifat lebih larut dibandingkan dengan Ca(OH)2, sehingga nilai brixnya lebih tinggi.

Proses hidrolisis dengan asam dan perlakuan penetralan dengan basa berpotensi terjadi pembentukan garam. Garam terbentuk dari reaksi asam dan basa. Garam ini merupakan senyawa ionik yang terdiri dari ion positif dan ion negatif. Tingginya salinitas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 menunjukkan

adanya garam yang terbentuk dari proses tersebut. Salinitas tertinggi sebesar 1600/00 pada proses netralisasi dengan NH4OH, sementara pada detoksifikasi

overliming tingkat salinitas lebih rendah. Terjadinya penurunan salinitas pada

overliming disebabkan terjadinya pengendapan.

Detoksifikasi dengan overliming mampu menurunkan tingkat salinitas. Analisis ragam menunjukkan bahwa overliming dan jenis basa mempunyai pengaruh terhadap tingkat salinitas. Semakin tinggi kandungan garam pada hidrolisat maka akan mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pada proses fermentasi. Ini akan menyebabkan rendahnya yield ethanol yang dihasilkan. Alriksson 2006 menyebutkan salah satu faktor yang menjadi hambatan pertumbuhan S. cerevisiae adalah kandungan garam pada substrat. Garam yang terbentuk berupa CaSO4, sebagai efek dari detoksifikasi dengan basa Ca(OH)2. Penambahan 1 M NaCl pada media akan menurunkan tingkat pertumbuhan S. cerevisiae sebesar 70% (Garcia et al. 1997). Na+ and Cl- dapat menghambat pertumbuhan Z. mobilis, konsumsi glukosa, dan produksi etanol, tetapi penghambatan Na+ lebih besar (Vriesekoop et al. 2002).

Pada proses hidrolisis, pemisahan dilakukan dengan penyaringan vakum untuk memisahkan hidrolisat dan padatan sisa. Perlakuan netralisasi dan

overliming dengan Ca(OH)2 menghasilkan berat padatan sisa yang lebih tinggi. Padatan sisa tertinggi sebesar 25,85 g yaitu pada perlakuan overliming dengan Ca(OH)2. Beratnya padatan sisa pada perlakuan dengan Ca(OH)2 dikarenakan terbentuknya endapan kalsium sulfat. Padatan sisa terdiri dari ampas, kalsium sulfat dan senyawa-senyawa toksik yang terikat.Semakin berat padatan sisa yang dihasilkan, maka volume hidrolisat yang diperoleh juga semakin sedikit. Penggunaan Ca(OH)2 menghasilkan volume hidrolisat relatif lebih rendah dibandingkan NH4OH, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Volume hidrolisat dan berat padatan sisa pada detoksifikasi 0 5 10 15 20 25 30 0 20 40 60 80 100 120

NH4OH CaOH2 NH4OH CaOH2 Netralisasi Overliming

Volume Hidrolisat Berat Padatan Sisa

V ol um e hi dr o li sa t ( m l) B er at pad at an si sa ( g ) Ca(OH)2 NH4OH Ca(OH)2 NH4OH

Overliming dalam penelitian ini merupakan upaya untuk menghilangkan kandungan senyawa toksik yang ada pada hidrolisat. Pada Tabel 3 terlihat kandungan HMF terendah yaitu pada perlakuan overliming dengan Ca(OH)2

sebesar 1,39 g/l. Perlakuan overliming dengan Ca(OH)2 mampu menurunkan kandungan HMF sebesar 16,77%. Secara Umum, HMF yang dihasilkan lebih rendah pada proses netralisasi dan overliming dengan menggunakan Ca(OH)2

dibandingkan dengan menggunakan NH4OH.

Tabel 3 Kadar HMF (g/l) pada proses netralisasi dan

overliming Jenis Basa HMF (g/l) Penurunan HMF (%) Netralisasi (Kontrol) Detoksifikasi (Overliming) NH4OH 1,89 1,87 1,06 Ca(OH)2 1,67 1,39 16,77

HMF mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan mikroba (Modig et al. 2002). Tingginya HMF akan mengganggu proses metabolisme khamir, sehingga kadar etanol yang dihasilkan pada proses fermentasi tidak maksimal. Kandungan HMF tertinggi adalah pada perlakuan netralisasi dengan NH4OH yaitu sebesar 1,89 g/l. Terbentuknya HMF merupakan hasil dehidrasi heksosa pada suasana asam dan suhu yang tinggi. Perlakuan awal pada bahan baku menyebabkan terjadinya pembentukan produk seperti gula pentosa, heksosa, asam-asam gula, asam-asam alifatik (asam asetat, asam format, asam levulinat), HMF dan furfural (Jonsson et al. 2013). Liu et al. (2009) menyebutkan hydroxy methylfurfural (HMF) merupakan penghambat utama terhadap pertumbuhan mikroba yang terbentuk dari dehidrasi heksosa. Menurut Wikandari et al. (2010) kandungan HMF dan furfural 1 g L-1 pada medium dapat menurunkan produktivitas etanol yang dihasilkan masing-masing sebesar 71,42% dan 73%. Analisis ragam menunjukkan hanya jenis basa yang memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan HMF. Uji lanjut BNJ (α=0,05), penggunaan Ca(OH)2 berbeda nyata terhadap NH4OH, sementara overliming tidak berbeda nyata terhadap netralisasi (Lampiran 7).

Hidrolisis menggunakan asam sulfat dan detoksifikasi overliming

menggunakan Ca(OH)2 menyebabkan terbentuknya endapan kalsium sulfat (gipsum) (Martinez et al. 2001). Mekanisme munculnya kemampuan untuk mendetoksifikasi terjadi karena adanya pengendapan senyawa-senyawa toksik yang terjadi akibat penggunaan Ca(OH)2.

Proses Fermentasi

Fermentasi dilakukan menggunakan khamir S. cerevisiae. Penggunaan S. cerevisiae untuk fermentasi mempunyai beberapa kelebihan. S. cerevisiae mampu bertahan pada tingkat toksisitas yang relatif tinggi karena mempunyai mekanisme yang menyebabkan turunnya tingkat toksisitas beberapa senyawa. Menurut Liu et al. (2004) beberapa strain khamir ini mampu mengubah HMF menjadi senyawa

yang toksisitasnya relatif lebih rendah seperti 2,5-bis-hydroxymethylfuran. Larsson et al. (2000) menyebutkan S. cerevisiae mampu memetabolisme beberapa senyawa fenol.

Tabel 4 menunjukkan etanol tertinggi yang dihasilkan pada perlakuan netralisasi dengan Ca(OH)2 sebesar 2,56% (v/v) dan efisiensi fermentasi 46,07%, sementara detoksifikasi overliming menghasilkan etanol yang lebih rendah. Uji lanjut BNJ terhadap kandungan etanol (% v/v hidrolisat) pada perlakuan netralisasi dengan Ca(OH)2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua perlakuan, sehingga netralisasi dengan Ca(OH)2 merupakan perlakuan terbaik (Lampiran 8).

Tabel 4 Pengaruh overliming terhadap fermentasi

Metode Jenis Basa Gula Pereduksi (% b/v) Etanol (%v/v) Etanol (g/g gula) Efisiensi Fermentasi (%) Efisiensi Substrat (%) Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi Netralisasi NH4OH 10,66 6,60 0,56bc 0,10b 22,87b 37,80b Ca(OH)2 12,85 3,19 2,56a 0,12b 46,07a 75,17a Overliming NH4OH 8,95 6,30 0,36c 0,10b 22,60b 30,17b Ca(OH)2 8,52 4,02 1,20b 0,20a 43,83a 52,79ab a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Konsentrasi gula pada hidrolisat relatif sesuai bagi pertumbuhan mikroba dan tidak menjadi faktor penghambat. Konsentrasi gula pereduksi yang paling sesuai bagi pertumbuhan S. cerevisiae adalah 10% (Wignyanto et al. 2001) dan menurut Maharjan et al. (2012) konsentrasi glukosa maksimum untuk pertumbuhan mikroba sebesar 20%. Konsentrasi etanol juga bukan menjadi faktor penghambat, karena masih pada batas toleran. Menurut Lin and Tanaka (2006) S. cerevisiae tahan terhadap konsentrasi etanol hingga 18%.

Konversi etanol tertinggi yang diperoleh dari penelitian ini adalah 0,20 g/g gula, yaitu pada perlakuan overliming Ca(OH)2, sementara pada netralisasi Ca(OH)2 sebesar 0,12 g/g gula. Menurut Goh et al. (2010), Eucheuma spp. mengandung 70% karbohidrat dan sebesar 56,2% galaktosa dapat diekstrak dari karbohidrat tersebut. Oleh karena itu bisa dihitung bahwa 0,3934 kg galaktosa didapat dari 1 kg rumput laut. Sementara menurut Meinita et al. (2011), hasil etanol dari hidrolisat K. alvarezii (cottonii) adalah 0,21 g/g galaktosa, dengan efisiensi fermentasi 41%.

E. cottonii merupakan penghasil kappa karagenan dan gula penyusunnya berupa galaktosa yang mempunyai jalur khusus pada proses konversi menjadi etanol. Pada proses fermentasi galaktosa menjadi etanol, galaktosa terlebih dahulu diubah menjadi glukosa 6-fosfat dan kemudian masuk jalur glikolisis atau Embden Meyerhof-Parnas Pathway (EMP) untuk menghasilkan etanol. Enzim-enzim yang bekerja pada jalur glikolisis secara khusus mengkonversi glukosa dan sering tidak sesuai untuk jenis gula yang lain sehingga gula-gula seperti galaktosa dan fruktosa dikonversi terlebih dahulu ke dalam jalur glikolisis intermediet. Galaktosa dimetabolisme melalui jalur Leloir (Frey 1996). Jalur inilah yang menghasilkan glukosa 6-fosfat dengan bantuan enzim-enzim seperti galaktose

mutarotase, galaktokinase, galaktose 1-phosphate uridyltransferase, UDPgalaktose 4-epimerase dan phosphoglucomutase (Timson 2007).

Penggunaan NH4OH untuk proses netralisasi dan overliming pada hidrolisat menghasilkan kandungan etanol yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan Ca(OH)2. Etanol yang dihasilkan masing-masing sebesar 0,56 % (v/v) dan 0,36% (v/v). Rendahnya etanol yang dihasilkan disebabkan karena kandungan HMF dan salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan Ca(OH)2.

Kandungan HMF pada netralisasi dan overliming dengan NH4OH masing-masing sebesar 1,89 dan 1,87 g/l. HMF pada konsentrasi 1 g/l sudah mampu menghambat proses fermentasi dengan S. cerevisiae (Alves et al. 1998). Penggunaan S.cerevisiae untuk fermentasi relatif menguntungkan karena lebih adaptif dan mempunyai mekanisme tertentu untuk bertahan pada suasana toksik. Menurut Taherzadeh et al (2000) S. cerevisiae mampu mengubah HMF menjadi 5-hydroxymethylfurfuryl alkohol.

Tingginya salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan khamir. Adanya garam terlarut mengakibatkan meningkatnya tekanan osmotik dan ion-ion bisa memberikan pengaruh hambatan jika konsentrasinya cukup tinggi (Helle et al. 2003). Reaksi pembentukan garam pada penggunaan NH4OH adalah sebagai berikut :

2NH4OH (aq) + H2SO4(aq) → (NH4)2SO4(aq) + 2H2O (l) Persamaan ioniknya adalah sebagai berikut :

2NH4+(aq) + 2OH- (aq) + 2H+(aq) + SO4 2-(aq) → 2NH4+(aq) + SO4 2-(aq) + 2H2O(l)

Berdasarkan Gambar 7, jumlah sel mengalami penurunan setelah proses fermentasi berlangsung. Penurunan jumlah sel pada netralisasi dan overliming

dengan NH4OH lebih tinggi dibandingkan dengan Ca(OH)2. Penurunan tersebut diduga terjadi karena sel-sel mengalami kematian akibat beberapa penghambatan baik berupa toksik dan garam-garam terlarut maupun hambatan produk seperti etanol, walaupun hambatan produk tidak terlalu memberikan pengaruh karena konsentrasinya rendah. Berdasarkan analisis juga menunjukkan tingkat salinitas dan HMF pada penggunaan NH4OH lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan Ca(OH)2. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan menggunakan hemasitometer. Penggunaan hemasitometer akan menghitung jumlah sel hidup dan sel yang mati, sehingga hasil yang didapat merupakan jumlah sel total. Kelemahannya adalah sel mikroba yang telah mati tidak bisa dibedakan dengan sel hidup. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa overliming, jenis basa dan interaksinya tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah sel (Lampiran 14).

Gambar 7 Jumlah sel khamir sebelum dan setelah fermentasi pada detoksifikasi overliming

Adsorpsi Arang Aktif

Hidrolisat yang diadsorpsi arang aktif merupakan hidrolisat yang sudah dinetralisasi dengan Ca(OH)2. Penggunaan hidrolisat yang dinetralisasi dengan Ca(OH)2 karena etanol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, selain itu juga lebih menghemat biaya dibandingkan dengan NH4OH yang relatif lebih mahal. Tujuan Adsorpsi arang aktif utamanya adalah menyerap HMF. Proses adsorpsi ini dipengaruhi oleh jenis adsorban, suhu lingkungan, dan jenis adsorbat. Semakin luas permukaan kontaknya makin tinggi potensi penyerapan HMF.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa volume hidrolisat mengalami penurunan hingga menit ke 30 tetapi meningkat kembali pada menit ke 45. Penurunan hidrolisat karena teradsorpsi oleh arang aktif, sementara terjadinya peningkatan hidrolisat pada menit ke 45 diduga karena hidrolisat yang teradsorpsi terlepas kembali setelah berada pada titik jenuh. Selain itu, pada menit ke 45 arang aktif hancur menjadi ukuran partikel yang lebih kecil, ini terlihat dari hidrolisat yang tampak keruh setelah penyaringan. Walaupun volume hidrolisat kembali meningkat pada menit ke 45, tetapi kandungan gula menurun pada menit tersebut karena teradsorpsi seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Semakin tinggi persentase arang aktif yang digunakan maka semakin besar potensi penurunan volume hidrolisat, sehingga konsentrasi arang aktif perlu dipertimbangkan dalam menyiapkan hidrolisat yang digunakan untuk fermentasi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi arang aktif dan waktu kontak memberikan pengaruh terhadap volume hidrolisat. Pada uji lanjut BNJ, konsentrasi 2,5%, 5%, dan 7,5% berbeda nyata terhadap volume hidrolisat (Lampiran 15).

8,25 8,29 8,22 8,19 7,19 7,64 7,50 7,85 6,4 6,8 7,2 7,6 8 8,4

NH4OH Ca(OH)2 NH4OH Ca(OH)2

L og jum lah total se l (se l/ ml ) Netralisasi

Sel Sebelum fermentasi Sel Setelah Fermentasi

Overliming

Ca(OH)2 Ca(OH)2

Gambar 8 Pengaruh lama waktu kontak dan konsentrasi arang aktif terhadap volume hidrolisat

Tabel 5 Kadar Gula Pereduksi (% b/v hidrolisat) pada lama waktu adsorpsi dan konsentrasi arang aktif yang berbeda

Konsentrasi Arang Aktif

Kadar Gula Pereduksi (%b/v)

15 menit 30 menit 45 menit

2,5% 11,71 11,69 10,48

5,0% 11,67 11,58 10,56

7.5% 11,49 10,59 8,78

Penurunan Kadar Gula (%)

2,5% 0,43 0,60 10,88

5,0% 0,77 1,53 10,20

7,5% 2,30 9,95 25,34

Gula Pereduksi Awal = 11,76 % (b/v)

Penggunaan arang aktif untuk detoksifikasi tidak hanya mengurangi senyawa toksik seperti HMF tetapi juga gula pereduksi, karena arang aktif bersifat tidak selektif. Perlakuan hidrolisat dengan arang aktif mampu menurunkan HMF sebesar 65,18% serta menyebabkan penurunan gula pereduksi sebesar 25,34% (Tabel 5). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hanya lama waktu adsorpsi arang aktif yang memberikan pengaruh terhadap kandungan gula pereduksi. (Lampiran 16).

Pada Tabel 6 ditunjukkan daya serap karbon aktif semakin kuat dengan semakin tingginya konsentrasi arang aktif yang ditambahkan. Penurunan HMF tertinggi sebesar 65,18% pada penambahan arang aktif 7,5% selama 45 menit. Arang aktif mempunyai kemampuan menyerap HMF dan gula karena mempunyai pori-pori yang banyak dan luas permukaan yang besar. Hasil analisis ragam

80 85 90 95 100 105 1 5 3 0 4 5 V o lu me h id ro li sat (ml )

Waktu kontak (menit)

2,5% 5,0% 7,5%

menunjukkan bahwa waktu, konsentrasi adsorpsi arang aktif dan interaksinya memberikan pengaruh terhadap kandungan HMF (Lampiran 17).

Tabel 6 Kandungan HMF (g/l) pada pada lama waktu adsorpsi dan konsentrasi arang aktif yang berbeda

Konsentrasi Arang Aktif

Kandungan HMF (g/l)

15 menit 30 menit 45 menit

2,5% 1,51ab 1,68 a 1,41ab 5,0% 1,24bc 1,17bc 1,00 c 7,5% 0,98cd 1,38ab 0,64 d Penurunan HMF (%) 2,5% 17,91 8,55 23,20 5,0% 32,88 36,38 45,41 7,5% 46,95 24,99 65,18 HMF awal = 1,84 g/l a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Arang aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang kontak dengan arang aktif tersebut termasuk gula. Arang aktif merupakan karbon yang mempunyai luas permukaan yang sangat besar yaitu dengan cara mengaktifkan arang tersebut sehingga mempunyai daya adsorpsi yang sangat tinggi. Kemampuan mengadsorpsi ini akan mengikat dan menurunkan konsentrasi senyawa-senyawa toksik seperti HMF dan furfural pada hidrolisat.

Proses adsorpsi ini berhubungan dengan gaya Van der Waals dan merupakan suatu proses bolak – balik karena adanya daya tarik menarik antara zat terlarut dan adsorben. Kelemahan dari penggunaan arang aktif ini adalah mengadsorpsi gula, sehingga kandungan gula pada hidrolisat mengalami penurunan. Hasil analisis ragam menunjukkan hanya waktu yang memberikan pengaruh terhadap penurunan gula pereduksi, yaitu pada menit ke 45, sementara pada menit ke 15 dan 30 tidak berbeda nyata (Lampiran 16).

Pada Tabel 7 ditunjukkan tingginya tingkat salinitas pada hidrolisat yaitu mencapai 1250/00 . Tingkat salinitas tersebut menurun setelah dilakukan proses adsorpsi dengan arang aktif. Penurunan tertinggi terjadi pada perlakuan pada konsentrasi 7,50% dan waktu kontak selama 30 menit. Penggunaan arang aktif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat salinitas. Kemampuan tertinggi penurunan kandungan garam tersebut hanya sebesar 22%. Waktu kontak terbaik penggunaan arang aktif sebagai adsorben garam adalah selama 30 menit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hanya waktu adsorpsi arang aktif yang memberikan pengaruh terhadap tingkat salinitas. Pada uji lanjut BNJ, waktu kontak 30 menit berbeda nyata terhadap waktu adsorpsi selama 15 dan 45 menit (Lampiran 18).

Tabel 7 Tingkat salinitas pada pada lama waktu adsorpsi dan konsentrasi arang aktif yang berbeda

Konsentrasi Arang Aktif

Tingkat Salinitas (0/00)

15 menit 30 menit 45 menit

2,5% 115 100 125

5,0% 122,5 100 110

7,5% 120 97,5 102,5

Penurunan Tingkat Salinitas (%)

2,5% 8 20 0

5,0% 2 20 12

7,5% 4 22 18

Salinitas Awal = 125 0/00

Tabel 8 Total padatan terlarut (TDS) pada pada lama waktu adsorpsi dan konsentrasi arang aktif yang berbeda

Konsentrasi Arang Aktif

Total Padatan Terlarut (ppm) 15 menit 30 menit 45 menit

2,5% 20.700 22.360 21.560 5,0% 21.380 22.000 21.580 7,5% 20.280 20.890 19.700 % Penurunan TDS 2,5% 8,65 1,32 4,85 5,0% 5,65 2,91 4,77 7,5% 10,5 7,86 13,06

Total Padatan terlarut awal = 22.660 ppm

Tabel 8, kandungan total padatan terlarut awal (TDS) pada hidrolisat sebelum adsorpsi arang aktif sebesar 22.660 ppm. Setelah proses adsorpsi dilakukan terjadi penurunan TDS. Penurunan tersebut terjadi karena teradsorpsi oleh arang aktif. Pada Tabel 8, Konsentrasi arang aktif sebesar 7,5% dan lama kontak 45 menit menunjukkan penurunan terbesar yaitu 13,06%. Pada menit ke-15 terjadi penurunan TDS kemudian mengalami peningkatan kembali pada menit ke-30. Ini terjadi padatan-padatan terlarut yang sudah teradsorpsi, terlepas dari pori-pori arang aktif. Analisis ragam menunjukkan tidak ada pengaruh konsentrasi arang aktif maupun lama waktu kontak terhadap kandungan TDS (Lampiran 19).

Fermentasi

Berdasarkan data pada Tabel 9, adsorpsi arang aktif pada hidrolisat mampu meningkatkan etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Peningkatan hasil etanol yang diperoleh disebabkan penggunaan arang aktif

mampu menurunkan kandungan toksik pada hidrolisat melalui proses adsorpsi. Etanol tertinggi diperoleh melalui perlakuan adsorpsi arang aktif konsentrasi 7,5% selama 45 menit, yaitu sebesar 2,33% (v/v) atau peningkatan sebesar 104,34% dibandingkan kontrol. Semua perlakuan menunjukkan peningkatan etanol yang diperoleh jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 1,14% (v/v). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi arang aktif dan lama waktu kontak tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan etanol (%v/v), etanol (g/g gula), efisiensi fermentasi dan efisiensi substrat.

Tabel 9 Pengaruh Adsorpsi Arang Aktif terhadap Proses Fermentasi

Perlakuan Gula Pereduksi (% b/v) Etanol (% v/v Hidrolisat) Etanol (g/g gula) Efisiensi Fermentasi (%) Efisiensi Substrat (%) Sebelum Fermentasi Sesudah Fermentasi Kontrol 11,71 5,69 1,14 0,15 31,62 51,75 2,5% 15’ 11,61 4,26 1,54 a 0,16 a 35,59 a 62,94 a 5,0% 30’ 11,44 5,25 1,25 a 0,15 a 32,89 a 54,42 a 7,5% 45’ 10,55 4,17 1,91 a 0,22 a 49,01 a 60,47 a 2,5% 15’ 11,77 6,09 1,99 a 0,21 a 45,44 a 62,43 a 5,0% 30’ 11,24 5,15 1,58 a 0,20 a 44,31 a 54,20 a 7,5% 45’ 10,63 4,82 1,95 a 0,25 a 55,49 a 54,66 a 2,5% 15’ 10,39 4,22 2,10 a 0,25 a 55,50 a 59,38 a 5,0% 30’ 10,28 4,12 2,09 a 0,25 a 55,06 a 59,90 a 7,5% 45’ 10,23 4,07 2,33 a 0,28 a 60,95 a 60,19 a a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Faktor yang menentukan keefektifan penggunaan arang aktif adalah luas permukaan yang tinggi dan struktur mikroporinya. Semakin kecil pori-pori arang aktif maka semakin tinggi luas permukaannya. Beberapa tahap proses adsorpsi yang terjadi seperti (1) makrotransport yaitu perpindahan adsorbat yang berupa garam-garam, senyawa toksik, dan padatan terlarut di dalam hidrolisat menuju permukaan arang aktif; (2) mikrotransport yaitu perpindahan adsorbat menuju pori-pori di dalam arang aktif; (3) sorpsi yaitu pelekatan zat adsorbat ke dinding pori-pori.

Penelitian yang dilakukan oleh Kamal et al. (2011) menunjukkan bahwa penggunaan arang aktif pada detoksifikasi hidrolisat sagu mampu menurunkan 58% furfural dan senyawa fenol total 78%. Detoksifikasi arang aktif menyebabkan peningkatan pertumbuhan spesifik Candida tropicalis pada hidrolisat batang sagu.

Hasil etanol terbaik yang diperoleh adalah 0,28 g/g gula, dengan efisiensi fermentasi 60,95%, yaitu pada perlakuan konsentrasi arang aktif 7,5% waktu kontak 45 menit. Tingginya hasil tersebut karena penurunan HMF sebesar 65,18% dan tingkat salinitas 18%, sehingga proses fermentasi berlangsung relatif baik. Menurut Liu dan Blaschek (2010) HMF menghambat pertumbuhan sel dan produksi etanol.

Proses Desalinasi

Desalinasi dilakukan dengan metode elektrodialisis. Proses elektrodialisis merupakan pengembangan dari proses elektrolisis menggunakan elektroda yang dihubungkan dengan arus listrik searah. Elektroda yang digunakan yaitu berupa katoda dan anoda. Katoda bertindak sebagai kutub negatif, sehingga ion-ion

Dokumen terkait