• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan Rawa Kongsi maka diperoleh nilai parameter fisika kimia perairan yang berbeda-beda pada setiap stasiun pengambilan sampel. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi

PARAMETER STASIUN I II III IV Suhu (°C) 30 30 31 30 Kecerahan (cm) 112 85 71 98 Kedalaman (cm) 126 112 114 116 Intensitas Cahaya (Cd) 397 327 251 332 pH 6.7 6.6 6.5 6.6 DO (mg/L) 2.3 2.3 2.16 2.3

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama yaitu 30°C. Kecerahan rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun I, yaitu 112 cm sedangkan terendah terdapat pada stasiun III, yaitu 71 cm. Intensitas cahaya rata – rata tertinggi terdapat pada staisun I, yaitu 397 Cd sedangkan intensitas terendah terdapat pada stasiun III, yaitu 251 Cd. pH rata – rata tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 6.7 sedangkan terendah pada stasiun III, yaitu 6.5, pada stasiun I, II dan IV memiliki nilai DO yang sama, yaitu 2.33 mg/L dan terendah pada stasiun III, yaitu 2.16 mg/L.

Pengukuran beberapa parameter perairan di Rawa Kongsi memperlihatkan perbedaan namun ada juga yang tidak mengalami perubahan. Pada suhu antara stasiun I, II dan IV tidak terjadi peningkatan maupun penurunan. Namun pada stasiun III terjadi peningkatan suhu. Perbedaan suhu dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Nilai suhu pada setiap stasiun

Nilai parameter kedalaman pada perairan Rawa Kongsi menunjukkan perbedaan pada setiap stasiun. Dimana nilai tertinggi terdapat pada stasiun I sedangkan paling rendah terdapat pada stasiun II. Perbedaan kedalaman dari setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 10.

Pengukuran faktor fisika kecerahan perairan di Rawa Kongsi dilakukan pada 4 stasiun, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan nilai yang berbeda-beda pada setiap stasiun. Perbedaan nilai kecerahan setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Nilai kecerahan pada setiap stasiun

Intensitas cahaya pada perairan Rawa Kongsi diukur dengan menggunakan lux meter, hasil yang diperoleh dari setiap stasiun berbeda-beda. Perbedaan nilai intensitas cahaya dapat dilihat pada Gambar 12.

Berdasarkan pengukuran pH yang telah dilakukan maka dapat diketahui terjadi peningkatan pH pada stasiun I dan pada stasiun III mengalami penurunan yang merupakan lokasi pembuangan limbah rumah tangga masyarakat sekitar. Perbedaan nilai pH dari setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Nilai pH pada setiap stasiun

Kadar oksigen terlarut yang telah diukur menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, dimana nilai DO yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 14.

Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa Kongsi

Nilai klorofil-a dihitung dengan menggunakan metode spektrofotometer. Klorofil-a umumnya akan mempengaruhi kadar oksigen di perairan yang terdapat pada fitoplankton, pada saat fitoplankton melakukan fotosintesis maka terjadi pelepasan O2 di perairan. Proses fotosintesis terjadi dengan bantuan cahaya matahari serta bahan-bahan kimia yang terdapat pada badan air sehingga menghasilkan bahan organik. Proses pembentukan bahan organik tersebut dinamakan produktivitas primer. Perhitungan nilai produktivitas primer perairan dapat dilihat pada Lampiran 7. Nilai klorofil-a dan produktivitas primer dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Perairan Rawa Kongsi

Stasiun Klorofil a (mg/ m3)

Produktivitas Primer Perairan (mgC/m3/hari)

I 2,575 600,576

II 2,528 450,432

III 2,157 300,288

IV 2,572 600,576

Dari hasil yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa nilai klorofil-a yang paling tinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 2,575 mg/ m3 sedangkan nilai klorofil-a paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu dengan nilai 2,157 mg/ m3. Tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi geografis perairan rawa Kongsi. Nilai klorfil-a pada Rawa Kongsi dapat dilihat Gambar 15.

Gambar 15. Nilai Klorofil-a di Rawa Kongsi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan botol terang dan botol gelap, maka nilai produktivitas primer tertinggi di perairan Rawa Kongsi terdapat pada stasiun I dan stasiun IV yaitu 600,576 mgC/m3/hari sedangkan nilai paling rendah terdapat pada stasiun III yaitu 300,288 mgC/m3/hari. Nilai produktivitas pada setiap stasiun dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 16.

Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver. 18.00

Untuk mengetahui korelasi dari setiap parameter fisika kimia terhadap nilai produktivitas primer perairan, maka dilakukan analisis korelasi pearson dengan hasil seperti yang tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi Pearson antara Sifat Fisika-Kimia Perairan dengan Produktivitas Primer Perairan Rawa Kongsi

Korelasi Pearson

Klorofil -a DO pH Suhu Kecerahan Intensitas Cahaya

PP .918 .870 .853 -.870 .942 .882

Keterangan:

Nilai + : Arah korelasi searah Nilai - : Arah korelasi berlawanan Pembahasan

Parameter Fisika Kimia Perairan Rawa Kongsi

Suhu

Suhu perairan pada lokasi penelitian di Rawa Kongsi berkisar antara 30 – 31°C dengan rata-rata 30.25°C. Suhu perairan merupakan suhu alami yang terukur secara in situ pada saat penelitian. Suhu tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 31°C sedangkan suhu pada stasiun I, II dan IV adalah sama yaitu 30°C. Hal ini dapat disebabkan kisaran waktu yang berbeda pada saat pengukuran sampel air. Suhu perairan Rawa Kongsi masih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton. Kisaran nilai tersebut berbeda sedikit di atas nilai optimum untuk pertumbuhan fitoplankton. Effendi (2003) menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 20 – 30 °C. Sedangkan pada stasiun III dimana suhu sudah termasuk tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan fitoplankton kurang baik.

Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia dan peningkatan suhu air juga akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut. Menurut Barus (2004) suhu perairan mempengaruhi kelarutan oksigen yang diperlukan organisme melakukan metabolisme. Semakin tinggi suhu suatu perairan, kelarutan oksigennya semakin menurun dan sebaliknya.

Suhu yang cukup tinggi pada stasiun III yaitu 31°C tidak baik untuk pertumbuhan fitoplankton. Secara tidak langsung pengaruh suhu dapat dipengaruhi melalui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen, sesuai dengan pernyataan Salwiyah (2011) tingginya nilai suhu dapat meningkatkan kebutuhan fitoplankton akan oksigen. Hal ini disebabkan karena suhu dapat memicu aktivitas fisiologis fitoplankton sehingga kebutuhan oksigen semakin meningkat.

Peningkatan suhu pada stasiun III juga disebabkan karena terjadinya evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari dan faktor fisika yang terjadi di dalam kolom air, dengan terjadinya evaporasi maka akan terjadi aliran bahan dari udara ke permukaan air. Evaporasi merupakan proses penguapan air menjadi uap air ke atmosfer dengan bantuan cahaya matahari. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0.1 °C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter.

Suhu berperan sebagai faktor pembatas utama bagi banyak makhluk hidup dalam mengatur proses fisiologinya disamping faktor lingkungan lainnya. Suhu mampu mengatur proses fisika dan kimia yang terjadi di perairan. Sesuai dengan Minggawati (2013), menyatakan suhu secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan.

Kecerahan

Nilai kecerahan pada semua stasiun berkisar antara 71 cm – 112 cm (Tabel 5). Tingginya kecerahan pada stasiun I mendukung kehidupan organisme fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Sedangkan pada stasiun III tingkat kecerahan rendah hal ini dipengaruhi dari limbah rumah tangga yang langsung dibuang ke perairan rawa oleh masyarakat sekitar. Kecerahan matahari merupakan salah satu komponen mutlak yang diperlukan dalam proses fotosintesis hingga fitoplankton dapat menghasilkan produksi dan didukung dengan Salwiyah (2011) bahwa kecerahan merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan fitoplankton karena mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan dan dan cahaya yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk perkembangannya.

Perbedaan kecerahan pada perairan Rawa Kongsi berpengaruh pada intensitas cahaya. Semakin tinggi intensitas kecerahan maka akan semakin tinggi juga intensitas cahaya dan diikuti juga dengan meningkatnya nilai klorofil-a seperti yang terlihat pada stasiun I, sebaliknya jika kecerahan rendah maka intensitas beserta klorofil-a juga akan menurun. Dengan demikian maka kecerahan akan mempengaruhi produktivitas primer perairan. Sesuai dengan Isnaini (2011), menyatakan apabila kecerahan berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme. Kecerahan akan mempengaruhi intensitas cahaya yang akan menentukan tebalnya lapisan eufotik.

Kedalaman

Perairan Rawa Kongsi stasiun yang memiliki kedalaman lebih tinggi adalah stasiun I dengan kedalaman 126 cm dimana stasiun ini merupakan lokasi yang masih terjaga kondisi lingkungannya hanya ada aktivitas pemancingan pada stasiun ini. Sedangkan kedalaman yang paling rendah terdapat pada stasiun II dengan nilai 112 cm dimana pada stasiun ini terjadi aktivitas peternakan itik serta ditumbuhi tumbuhan air yaitu eceng gondok. Pada penelitian ini sampel air yang diukur merupakan air permukaan sehingga tinggi rendahnya hasil analisis kedalaman yang diperoleh tidak mempengaruhi parameter lain.. Sesuai dengan pernyataan Hardiyanto, dkk (2012) bahwa kandungan DO semakin menurun seiring dengan kedalamannya, ini disebabkan semakin ke dalam perairan semakin berkurang cahaya matahari yang masuk sehingga proses fotosintesis fitoplankton kurang berjalan dengan baik.

Nilai kedalaman air yang diperoleh pada setiap stasiun berbeda-beda dengan substrat berlumpur. Kedalaman suatu ekosistem perairan dapat bervariasi tergantung pada zona kedalaman dari suatu perairan tersebut, semakin dalam perairan tersebut maka intensitas cahaya matahari yang masuk semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nita dan Eddy (2015), bahwa kedalaman suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik dan bahan anorganik seperti lumpur dan pasir halus.

Intensitas Cahaya

Hasil pengukuran intensitas cahaya pada Rawa Kongsi diperoleh nilai tertinggi 397 Cd dan terendah 251 Cd dengan nilai rata-rata yaitu 327 Cd. Tingginya nilai intensitas cahaya diikuti dengan tingginya nilai klorofil-a. Seiring

dengan semakin besarnya sudut datang matahari, secara berkelanjutan intensitas cahaya matahari semakin kuat masuk ke perairan. Sehingga sangat mempengaruhi aktivitas fitoplankton untuk memperbanyak diri. Jika penyinaran matahari semakin besar maka jumlah fitoplankton akan semakin banyak diikuti dengan klorofil-a yang dihasilkan oleh fitoplankton sehingga mempengaruhi produktivitas primer perairan, seperti yang dikemukakan oleh Pitoyo dan Wiryanto (2002) distribusi fitoplankton pada umumnya terkait erat dengan intensitas cahaya matahari yang menembus perairan. Stratifikasi cahaya dalam kolom air, menyebabkan kelimpahan fitoplankton terkonsentrasi pada permukaan air.

Hasil pengukuran diperoleh bahwa intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan terendah terdapat pada stasiun 3. Perbedaan yang terjadi disebabkan adanya perbedaan waktu dalam pengukuran pada lokasi pengambilan sampel. Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk ke badan air akan mempengaruhi sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan dengan bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu tumbuhan lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Cahaya matahari dibutuhkan oleh tumbuhan air (fitoplankton) untuk proses assimilasi. Besarnya nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Hal ini dikemukakan oleh Minggawati (2013) pada kondisi perairan yang dangkal, intensitas cahaya matahari dapat menembus seluruh badan air sehingga mencapai dasar perairan.

Tingkat intensitas yang sangat rendah dapat menghambat proses pertumbuhan dari fitoplankton yang berkaitan dengan laju fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya tinggi. Sesuai dengan Barus (2004), intensitas cahaya matahari mempengaruhi produktivitas primer, hasil perubahan energi matahari menjadi energy kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesa sangat tergantung pada intensitas cahaya matahari, oksigen terlarut dan suhu perairan.

Derajat Keasaman (pH)

pH perairan pada setiap stasiun berkisar antara 6.5 - 6.7, pH mempunyai peranan penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan di air, sehingga pH dalam suatu perairan dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Banerjea (1971), menyatakan bahwa nilai pH yang berkisar antara 6,5-8,5 menunjukkan tingkat kesuburan perairan tersebut berkisar antara cukup produktif sampai produktif. Menurut Sutrisno (1991), bahwa kebanyakan mikroorganisme seperti fitoplankton tumbuh baik pada pH 6,0-8,0. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa pH air di Rawa Kongsi cocok untuk kehidupan ikan dan plankton.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pH terendah ada pada stasiun III dengan nilai 6.5, hal ini diduga akibat pengaruh limbah rumah tangga penduduk sekitar yang dibuang langsung ke perairan rawa sehingga limbah menumpuk di dasar perairan maka banyak mikroorganisme melakukan proses dekomposisi secara anaerob yang akhirnya menyebabkan pH di perairan menurun. Sesuai dengan Ayu (2009) yang menyatakan bahwa semakin berkurangnya nilai pH

didukung oleh semakin meningkatnya masukan senyawa- senyawa yang berasal dari aktifitas penduduk. Aktivitas penduduk umumnya membawa limbah bahan organik.

Nilai pH suatu perairan adalah salah satu parameter yang cukup penting dalam pemantauan kualitas air. Nilai pH dipengaruh oleh beberapa faktor antara lain aktifitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah, pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia (Effendi, 2003), sementara Salwiyah (2011) menyatakan suatu perairan dengan pH 5,5 - 6,5 dan pH lebih besar dari 8,5 termasuk perairan yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5 – 7,5 termasuk perairan yang produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai produksi yang tinggi. Dengan demikian, maka kodisi pH yang didapatkan masih dalam batas toleransi yang wajar sehingga fitoplankton masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Nilai pH di setiap stasiun tidak menunjukkan perbedaan mencolok. Perubahan lingkungan pada suatu perairan akan mempengaruhi keberadaan plankton baik langsung atau tidak langsung dimana keberadaan fitoplankton sangat tergantung pada kondisi lingkungan perairan yang sesuai dengan hidupnya dan dapat menunjang kehidupannya. Menurut PP No 82 Tahun 2001, derajat keasaman (pH) yang diperlukan untuk mendukung kehidupan ikan dan jasad hidup lainnya adalah berkisar 6-9.

Dissolved Oxygen (DO)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai DO yang terdapat pada perairan Rawa Kongsi berkisar 2.16mg/L – 2.33mg/L, Oksigen diperlukan oleh organisme

air untuk menghasilkan energi yang penting bagi proses pencernaan dan asimilasi makanan pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Menurut Wardana (1995) kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/L sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Dengan demikian fitoplankton dapat bertumbuh di perairan Rawa Kongsi.

Tingginya kandungan oksigen terlarut pada stasiun I diduga karena pada stasiun I masih termasuk lokasi yang masih terjaga tidak ada terdapat aktivitas apapun sehingga pertumbuhan fitoplankton lebih medukung. Hal ini sesuai dengan Soeprobowati dan Suedy (2010) bahwa jika perairan tidak ada tumbuhan airnya memiliki kandungan oksigen terlarut (DO) yang tinggi sementara yang tertutup tumbuhan air konsentrasinya rendah.

Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun III diikuti dengan tingginya suhu pada stasiun III, kandungan oksigen terlarut berbanding terbalik dengan suhu. Menurut Bahri, dkk (2015) suhu rendah sehingga meningkatkan kelarutan oksigen dalam air tinggi. Oksigen dari atmosfer akan lebih mudah berdifusi tidak hanya pada suhu rendah. Hal ini juga dinyatakan oleh Fardiaz (1992), bahwa kenaikan suhu air akan menimbulkan jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun serta kecepatan reaksi kimia meningkat.

Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia yang berperan pada kehidupan biota perairan. Penurunan oksigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Berdasarkan kriteria pencemaran perairan menurut Sitorus (2009) dilihat dari oksigen terlarutnya (DO), nilai yang didapat pada pengamatan di perairan, Rawa Kongsi merupakan perairan tercemar sedang.

Rendahnya kadar oksigen terlarut (DO) pada perairan Rawa Kongsi disebabkan oleh karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan non organik yang berasal dari limbah rumah tangga masyarakat sekitar, limbah pertanian, kotoran (hewan dan manusia) serta sampah organik yang dibuang ke dalam perairan. Menurut Connen dan Miller (1995) bahwa sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Kadar oksigen terlarut (DO) meningkat diikuti dengan meningkatnya nilai kecerahan dan intensitas cahaya dan sebaliknya kadar oksigen terlarut (DO) rendah diikuti dengan rendahnya nilai kecerahan dan intensitas cahaya. Menurut Hardiyanto, dkk (2012) bahwa cahaya matahari dibutuhkan fitoplankton untuk proses fotosintesis. Dengan adanya fotosintesis yang baik maka DO di dalam perairan akan semakin meningkat juga.

Klorofil-a

Hasil analisis klorofil-a pada ke empat stasiun diperoleh nilai klorofil-a berkisar antar 2.157 mg/m3 – 2.575 mg/ m3. Dari hasil penelitian nilai klorofil-a tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 2.575 mg/ m3, hal ini disebabkan oleh tingginya kecerahan yang dapat meningkatkan laju fotosintesis pada fitoplankton. Sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun III yaitu 2.157 mg/ m3, hal ini disebabkan oleh karena pembuangan limbah rumah tangga langsung ke lokasi stasiun III sehingga menjadikan perairan lebih keruh sehingga kecerahan berkurang. Sesuai dengan Pitoyo dan Wiryanto (2002) semakin banyak jumlah klorofil dalam suatu satuan luas akan meningkatkan penangkapan cahaya

Menurut Soeprobowati dan Suedy (2010), bahwa klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a, adalah intensitas cahaya, nutrient. Hal ini sesuai dengan nilai intensitas cahaya dan kecerahan yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai klorofil-a.

Sebagai parameter biologi , klorofil-a sering dijadikan sebagai indikator kestabilan dan kesuburan. Oleh sebab itu, klorofil-a mempunyai peranan penting dalam rantai makanan di ekosistem perairan. klorofil-a merupakan pigmen yang paling dominan dimiliki oleh fitoplankton. Menurut Wibowo (2004), pembagian tingkat trofik perairan berdasarkan klorofil-a, bahwa perairan Rawa Kongsi termasuk ke dalam kategori oligotrofik (> 2,5 mg/m3) yaitu tingkat kesuburannya rendah dengan nilai rata – rata 2,458 mg/m3.

Produktivitas Primer Perairan

Nilai produktivitas primer terendah pada stasiun III, diikuti dengan nilai kandungan oksigen terlarut paling rendah ada pada stasiun III. Hal ini disebabkan karena senyawa organik yang dihasilkan fitoplankton lebih sedikit pada stasiun III, dimana senyawa organik tersebut dibentuk dari senyawa anorganik seperti karbondioksida, air kemudian melalui proses fotosintesis. Menurut Wibowo (2004), bahwa produktivitas primer dapat diartikan sebagai laju pembentukan senyawa organik dari senyawa anorganik. Produktivitas primer juga dianggap sama dengan fotosintesis. Dengan memanfaatkan energi cahaya matahari yang ditangkap oleh klorofil dalam kloroplast akan terjadi proses fotosintesis. Oksigen

yang dihasilkan dari proses fotosintesis tersebut dilepas untuk dipergunakan oleh organisme lain dalam proses respirasi.

Produktivitas primer bersih lebih tinggi pada stasiun I dimana stasiun ini memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dimana cahaya sangat mempengaruhi produktiitas perairan karena cahaya dan klorofil digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, hal ini sesuai dengan Pitoyo dan Wiryanto (2001) menyatakan cahaya merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan.

Tingginya konsentrasi nilai klorofil-a pada stasiun I sangat baik untuk melakukan proses fotosintesis sehingga nilai produktivitas primer perairan juga tinggi. Sebaliknya rendahnya nilai produktivitas primer pada stasiun III diduga karena keanekaragaman fitoplankton pada stasiun III lebih rendah, hal ini dapat dilihat berdasarkan konsentrasi klorofil-a pada stasiun III cenderung lebih rendah, karena fitoplankton berperan sebagai produsen primer. Menurut Barus (2004), pengaruh keanekaragaman plankton di suatu ekosistem perairan dapat menyebabkan laju fotosintesis yang tinggi sehingga menghasilkan produktivitas primer yang tinggi.

Pengukuran produktivitas primer di perairan Rawa Kongsi dilakukan dengan memperhitungkan intensitas matahari saat penyinaran tertinggi. Dengan dasar itu dilakukan pengingkubasian untuk menghitung besarnya produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan serta menghubungkannya dengan konsentrasi klorofil-a. Soeprobowati dan Suedy (2010), mengemukakan produktivitas primer perairan yang berhubungan sangat erat dengan kandungan

klorofil fitoplankton. Besarnya produktivitas primer fitoplankton merupakan ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya produktivitas primer fitoplankton yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula.

Produktivitas primer dihitung secara tidak langsung dengan mengikuti alur fotosintesis. Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung produktivitas primer perairan adalah dengan menghitung besarnya perubahan oksigen dalam suatu medium, karena oksigen merupakan zat yang akan dilepaskan dalam suatu siklus fotosintesis, dan digunakan untuk penguraian hasil fotosintesis dalam respirasi.

Analisis Korelasi Pearson dengan Program SPSS Ver. 18.00

Hasil uji analisis korelasi antara beberapa faktor fisik-kimia perairan berbeda tingkat korelasi serta dengan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan terjadi hubungan yang searah antara faktor fisika kimia perairan dengan nilai produktivitas primer, apabila nilai satu parameter meningkat maka nilai produktivitas primer juga akan meningkat. Sedangkan nilai (–) menjelaskan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisika kimia perairan dengan nilai produktivitas primer, semakin besar nilai faktor fisika kimia perairan

Dokumen terkait