Pencapaian Indikator Pembangunan Pencapaian Indikator Pembangunan Sosial
Indikator 1: Jumlah penduduk di atas garis kemiskinan (%)
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat miskin. Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal yang layak bagi kehidupannya.
Jumlah penduduk miskin setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten disajikan pada Gambar 9. Secara umum, jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan (rural proverty) lebih banyak dibanding penduduk miskin di wilayah perkotaan (urban proverty). Hal ini terjadi pada ketiga titik tahun penelitian (tahun 2001, 2005, dan 2009). Walaupun penduduk miskin lebih banyak di pedesaan, namun tingkat pengurangan penduduk miskin pedesaan (Kabupaten Lebak, Padeglang dan Serang) lebih besar dibanding perkotaan (Kota Tangerang dan Cilegon) bahkan di Kota Tangerang terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin. Pengurangan jumlah penduduk miskin pedesaan antara tahun 2001 sampai 2009 berkisar antara 3% sampai 5%. Antara tahun 2005 dan 2009 di Kota Tangerang, terjadi penambahan jumlah penduduk kemiskinan sebesar 2% (Gambar 9), artinya jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk, jumlah penduduk miskin di Kota Tangerang antara tahun 2005 sampai 2009 bertambah sebesar 32 000 orang.
Menurut Soesastro et al. (2005), perbedaan upah tenaga kerja antara sektor industri dan jasa yang berada di wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibanding upah pada sektor pertanian yang berada di wilayah pedesaan merupakan salah satu penyebab banyaknya jumlah peduduk miskin di wilayah pedesaan. Perbedaan upah tersebut menyebabkan terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota.
Gambar 9. Perbandingan jumlah penduduk diatas garis kemiskinan menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001, 2005, dan 2009
Indikator 2: Indeks Gini
Indeks Gini adalah indeks yang mengggambarkan tingkat distribusi pendapatan pada suatu wilayah. Semakin kecil indeks Gini atau semakin mendekati nilai 0 (nol) berarti semakin baik distribusi pendapatan masyarakat. Indeks Gini yang lebih besar menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang lebih jelek. Nilai indeks Gini berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai indeks sebesar antara 0 sampai 0.3 pada suatu wilayah dianggap wilayah tersebut memiliki distribusi pendapatan yang merata. Nilai indeks Gini merupakan bilangan ordinal bukan kardinal, sehingga dalam penerapannnya tidak bisa diinterprestasikan bahwa wilayah dengan nilai indek 0.4 mempunyai tingkat distribusi 2 (dua) kali lebih buruk dari wilayah dengan nilai indeks gini 0.2 (Rustiadi et al., 2009).
Berdasarkan perhitungan indeks Gini (Lampiran 1), diperoleh perbandingan indeks Gini antar kabupaten/kota pada tahun 2001, 2005, dan 2009 (Gambar 10). Gambar 10 menunjukkan bahwa wilayah yang memiliki distibusi pendapatan yang merata pada tahun 2001 sampai tahun 2009 adalah Kota Tangerang dan wilayah yang memiliki distribusi pendapatan yang sangat timpang terdapat di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon memiliki kecenderungan perbaikan tingkat pemerataan pendapatan yang ditandai dengan
70,00 75,00 80,00 85,00 90,00 95,00 100,00
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Ju m lah ( %) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota. Tangerang Kota Cilegon
berkurangnya nilai indeks Gini dari tahun 2001 sampai 2009, sedangkan tingkat pemerataan pendapatan di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang berfluktuasi (Gambar 10).
Gambar 10. Perbandingan Gini Ratio pada masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Indikator 3: Jumlah (%) penduduk melek huruf
Jumlah penduduk melek huruf bersumber dari data Susenas yakni banyaknya penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kepandaian membaca dan menulis. Kemampuan melek huruf berhubungan langsung dengan kapasitas dan kualitas manusia. Pembangunan menghendaki terjadinya peningkatan kualitas penduduk sehingga kemudian memberi dan memperbesar kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan itu sendiri.
Gambar 11 menyajikan perbandingan jumlah (%) penduduk melek huruf antar antar waktu dan antar wilayah di Provinsi Banten. Pada tahun 2009, lebih dari 94% penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun mampu membaca dan menulis di seluruh wilayah di Provinsi Banten. Jumlah (%) terbesar penduduk melek huruf pada tahun 2009 berada di Kota Cilegon yaitu sebesar 98.5%, namun jika dibandingkan dengan target MDGs, jumlah tersebut masih belum memenuhi target yakni untuk indikator jumlah penduduk melek huruf, MDGs mempunyai target pada tahun 2015 sebesar 100%. Oleh sebab itu masih diperlukan upaya dari pemerintah untuk mencapai target MDGs sampai tahun 2015, terutama di
- 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 N il a i in d e k s Gin i Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Kabupaten Pandeglang dan Lebak yang merupakan wilayah yang memiliki jumlah penduduk melek huruf terkecil (Gambar 11).
Secara umum, semua kabupaten/kota di Provinsi Banten mengalami kecenderungan peningkatan dan penurunan jumlah penduduk melek huruf yang berfluktuasi. Pada semua wilayah, jumlah penduduk melek huruf terbesar terjadi pada tahun 2005 dan mengalami penurunan pada tahun 2009 (Gambar 11).
Gambar 11. Perbandingan jumlah (%) penduduk melek huruf kabupaten/kota di Provinsi Banten
Indikator 4: Jumlah (%) penduduk yang menamatkan pendidikan setingkat SMP Sama halnya dengan indikator kedua, indikator ketiga juga menggambarkan tingkat pendidikan di suatu wilayah. Pendidikan merupakan indikator yang berhubungan langsung dengan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan (disamping kesehatan) yang tinggi mencerminkan kualitas modal manusia yang baik. Apabila modal manusia semakin baik, semakin tinggi pula tingkat produksi yang diharapkan dapat menghasilkan output yang baik yang akan mempercepat peningkatan pembangunan.
Gambar 12 menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) kelompok wilayah di Provinsi Banten yakni wilayah yang memiliki jumlah penduduk berpendidikan minimal setingkat SMP yang kecil (kurang dari 40%) dan yang besar (lebih dari 40%). Wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang mempunyai jumlah penduduk berpendidikan minimal SMP yang kecil. Tingkat pendidikan penduduk yang terbanyak di wilayah ini adalah penduduk yang tamat
85,00 90,00 95,00 100,00
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Jum la h (%) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota. Tangerang Kota Cilegon
SD. Sedangkan di wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon, jumlah penduduk yang mempunyai pendidikan minimal SMP lebih yang besar (lebih dari 40%) seperti ditunjukkan pada Gambar 12.
Jumlah penduduk yang mempunyai pendidikan minimal setingkat SMP mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun 2001 sampai 2009 di Kabupaten Tangerang, Serang dan Kota Tangerang, sedangkan di Kota Cilegon, Kabupaten Lebak dan Pandeglang mempunyai kecenderungan berfluktuasi (Gambar 12).
Gambar 12. Perbandingan jumlah (%) penduduk usia 10 tahun keatas yang memiliki ijazah minimal setingkat SMP
Indikator 5: Jumlah (%) kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis
Penyebab kematian ibu pada persalinan menurut SKRT (2011) yaitu perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi pueperium (8%), partus macet (5%), abortus (5%), trauma obstetric (5%), emboli (3%), dan lain- lain (11%). Kematian ibu juga diakibatkan beberapa faktor resiko keterlambatan di antaranya terlambat dalam pemeriksaan kehamilan (terlambat mengambil keputusan), terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan emergensi. Salah satu upaya pencegahannya adalah melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan (Kemenkes, 2011). Dengan demikian, indikator jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis berhubungan erat dengan Angka Kematian Ibu (AKI).
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Ju m la h ( %) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Perbandingan kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis pada masing- masing kabupaten/kota disajikan pada Gambar 13. Pada tahun 2001, hanya sekitar 25% sampai 40% kelahiran di wilayah Kabupaten Pandeglang, Lebak dan Serang yang dibantu oleh tenaga medis. Sedangkan di wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Cilegon angkanya jauh lebih tinggi yaitu sekitar 70% sampai 85% kelahiran dibantu oleh tenaga medis.
Empat wilayah dari 6 (enam) wilayah di Provinsi Banten yakni Kabupaten Lebak, Tangerang serta Kota Tangerang dan Cilegon yang mengalami kecenderungan kenaikan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis, sedangkan 2 (dua) wilayah lain yakni Kabupaten Lebak dan Pendeglang berfuktuatif. Pada tahun 2009, hanya 27% kelahiran di wilayah Lebak yang dibantu oleh tenaga medis dan terjadi penurunan sebesar 4% dari tahun 2005. Sekitar 73 persen kelahiran di Kabupaten Lebak pada tahun 2009 dibantu oleh dukun, keluarga dan lainnya (BPS, 2009). Dari data ini sangat diperlukan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan fasilitas, sarana dan tenaga kesehatan di wilayah Kabupaten Pandeglang dan Lebak.
Target MDGs untuk indikator kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis pada tahun 2015 adalah sebesar 90%. Jika dibandingkan dengan target MDGs ini, hanya wilayah Kota Tangerang yang telah mencapai target tersebut. Untuk mencapai target MDGs, wilayah Kota Cilegon harus meningkatkan nilai indikator ini sebesar 5% dan Kabupaten Tangerang sebesar 7% (Gambar 13).
Gambar 13. Jumlah (%) balita dengan penolong kelahiran dibantu tenaga medis
menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten pada tahun 2001, 2005, dan 2009. -5 10 25 40 55 70 85 100 2001 2005 2009 Ju m lah ( %) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Indikator 6: Jumlah (%) desa yang tidak terkena wabah penyakit
Indikator yang lain yang menggambarkan kriteria kesehatan adalah jumlah (%) desa yang tidak terkena wabah penyakit. Wabah penyakit adalah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar anggota masyarakat sehingga dalam waktu singkat jumlah penderita menjadi meningkat (Hanafiah, 1999). Data wabah penyakit pada penelitian ini terdiri dari penyakit muntaber, demam berdarah, infeksi saluran pernafasan, campak, dan malaria, penyakit lainnya seperti sakit mata.
Jumlah desa yang tidak terkena wabah penyakit di Kabupaten Pandeglang mempunyai kecenderungan yang berfluktuasi (Gambar 14). Pada tahun 2003, hanya 70% desa yang tidak terkena wabah penyakit dan pada tahun 2005 meningkat dengan tajam sebesar 20%, sehingga jumlah desa yang tidak terkena wabah penyakit pada tahun 2005 menjadi 90%. Selanjutnya pada tahun 2009 kembali terjadi wabah penyakit sehingga jumlah desa yang tidak terkena wabah penyakit turun menjadi 81%.
Gambar 14. Perbandingan jumlah desa yang tidak terkena wabah penyakit berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Pada wilayah perkotaan, terjadi penurunan secara linier jumlah desa yang tidak mengalami wabah penyakit, artinya wabah penyakit di wilayah perkotaan turus mengalami kenaikan. Pada tahun 2001, sebesar 95% wilayah di Kota Cilegon tidak terkena wabah penyakit, namun pada tahun 2005 turun menjadi 86% dan pada tahun 2009 kembali turun menjadi 72%. Demikian juga halnya
50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
Tahun 2003 Tahun 2005 Tahun 2008
Ju m lah (%) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Kota Tangerang, pada tahun 2001 dan 2005 sekitar 91% wilayahnya tidak terkena wabah penyakit, namum pada tahun 2009 jumlah desa yang tidak mengalami wabah penyakit turun dengan tajam yakni menjadi 75% (seperempat dari wilayahnya terkena wabah penyakit).
Indikator 7: Jumlah rumah tangga yang menggunakan listrik sebagai sumber penerangan
Penerangan yang digunakan oleh rumah tangga menunjukkan keberhasilan tingkat pembangunan sosial. Sumber penerangan yang digunakan di Provinsi Banten terdiri dari listrik (PLN dan non PLN), lilin, petromak, lampu minyak tanah, dan lain-lain. Perbandingan rumah tangga pada masing-masing kabupaten/kota yang memiliki listrik sebagai sumber penerangan baik listrik PLN maupun non PLN disajikan pada Gambar 15.
Secara umum, pada tahun 2009 terjadi perbaikan pembangunan sosial menyangkut rumah tangga yang menggunakan listrik sebagai sumber penerangan. Lebih dari 90% menggunakan listrik sebagai sumber penerangan. Dibanding dengan tahun 2001, keberhasilan indikator menyangkut penggunaan listik meningkat dengan pesat terutama di Kabupaten Lebak. Peningkatan rumah tangga yang menggunakan listrik di Kabupaten Lebak pada tahun 2009 bejumlah sekitar 30% bila dibandingkan dengan tahun 2001 (Gambar 15).
Gambar 15. Perbandingan rumah tangga menurut kabupaten/kota yang menggunakan listrik sebagai sumber penerangan
50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Ju m lah (%) Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon
Pembangunan tenaga litrik memberikan sumbangan yang berarti dalam pembangunan di berbagai bidang. Berdasarkan penelitan Firmasyah (2010), ketersediaan daya listrik mempunyai hubungan dengan multiplier effect (efek pengganda) pada perekonomian nasional oleh sebab itu peningkatan penggunaan listrik di setiap kabupaten/kota agar seluruh rumah tangga bisa menikmati listrik sebagai sumber penerangan masih diperlukan.
Indikator 8: Jumlah (%) rumah tangga yang memiliki jamban buang air besar sendiri
Jamban adalah fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. Jumlah rumah tangga yang memiliki jamban sendiri menunjukkan tingkat sanitasi di suatu wilayah.
Sanitasi merupakan salah satu tantangan yang paling utama bagi negara negara berkembang. Sanitasi yang jelek akan menimbulkan berbagai penyakit dan masalah kesehatan lingkungan serta merugikan pertumbuhan ekonomi dan potensi sumber daya manusia pada skala nasional.
Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang adalah wilayah yang lebih sedikit memiliki fasilitas jamban buang besar sendiri bila dibandingkan dengan 3 (tiga) wilayah lainnnya (Kabupaten Tangerang, kota Tangerang dan Cilegon). Pada tahun 2001 sampai tahun 2009 lebih dari 60% rumah tangga di Kabupaten Pandeglang tidak mempunyai fasilitas sanitasi sendiri. Tidak terjadi peningkatan perbaikan sanitasi di Kabupaten Pandeglang dari tahun 2001 sampai 2009. Demikian juga halnya di Kabupaten Lebak dan Serang, dari lebih 50% rumah tangga di wilayah tersebut tidak memiliki fasilitas jamban buang air besar sendiri dari tahun 2001 sampai 2009.
Berbeda halnya dengan wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Cilegon. Di wilayah ini, lebih dari 60% rumah tangga menggunakan fasilitas jamban buang air besar sendiri dari tahun 2001 sampai tahun 2009. Jika dibandingkan dengan terget MDGs pada tahun 2015 untuk indikator fasilitas sanitasi, pada tahun 2009 ketiga wilayah tersebut telah memenuhi target MDGs.
Target MDGs untuk indikator sanitasi yang baik adalah sebesar 65% rumah tangga.
Gambar 16. Jumlah (%) rumah tangga yang memiliki jamban buang air besar sendiri menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten
Indikator 9: Rasio ijazah perguruan tinggi yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki
Di tingkat global, isu kesetaraan dan keadilan jender menjadi perhatian penting. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan pertumbuhan produksi (growth and production centered development)
ke pendekatan kemanusiaan (people centered development). Semua peran pembangunan selalu melibatkan peran laki-laki dan perempuan. Keduanya terlibat dalam bidang pendidikan, budaya, sosial, politik, dan teknologi, juga pertanian, kesehatan, bahkan kajian-kajian terkait dengan infrastruktur teknik dan teknologi informasi. Indikator yang digunakan untuk menggambarkan kesetaraan gender pada pembangunan sosial kabupaten/kota di Provinsi Banten adalah ratio ijazah perguruan tinggi yang dimiliki oleh perempuan terhadap laki-laki.
Rasio ijazah pergurun tinggi yang dimiliki oleh perempuan terhadap laki- laki-laki menunjukkan perbedaan antar kabupaten/kota dan perkembangan antara tahun 2001 sampai 2009 berfluktuasi. Pada tahun 2001, Kabupaten Tangerang adalah Kabupaten yang memiliki tingkat kesetaraan gender yang lebih baik dibanding dengan wilayah lain. Kesetaraan gender terburuk pada tahun 2001
30 40 50 60 70 80 90 100
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Ju m la h ( %)
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang
adalah di Kabupaten Lebak. Pada tahun 2005, Kota Cilegon memiliki kesetaraan gender yang paling baik dimana rasio perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih besar dari pada rasio laki-laki yang memiliki ijazah perguruan tinggi, namun selanjutnya pada tahun 2009 mengalami kemunduran kesetaraan gender seperti ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Rasio ijazah perguruan tinggi yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki menurut kabupaten/kota d Provinsi Banten
Indikator 10: Jumlah (%) desa yang masyarakatnya tidak terkena tindak kejahatan Keamanan masyarakat merupakan salah satu kriteria pembangunan sosial. Tingkat keamanan yang tinggi akan mendorong terjadinya stabilitas sehingga proses pembangunan bisa berjalan dengan lancar. Indikator jumlah desa yang masyarakatnya tidak terkena tindak kejahatan baik pencurian, perampokan, kemalingan, pembunuhan, perkelahian dan lain-lain adalah indikator yang digunakan untuk menggambarkan keamanan di wilayah Provinsi Banten.
Secara umum, wilayah yang memiliki tindak kejahatan yang tinggi adalah wilayah Tangerang (Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang). Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini. Di wilayah Kota Tangerang terjadi penurunan tindak kejahatan dengan kenaikan jumlah desa yang tidak terkena tindak kejahatan sebesar 6% pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun 2009 terjadi kenaikan tindak kejahatan yang ditandao dengan penurunan jumlah desa yang tidak terkena tindak kehahatan. Dan pada tahun 2009, Kota
30 50 70 90 110
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
ra
sio
(
%)
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang
Tangerang merupakan wilayah yang paling banyak terkena tindak kejahatan disusul oleh Kabupaten Tangerang. Sekitar 17% wilayah di Kota Tangerang terkena tindak kejahatan pada tahun 2009 (Gambar 18).
Wilayah Kabupaten Tangerang adalah wilayah yang mengalami penurunan jumlah desa yang terkena tindak kejahatan (peningkatan kejahatan) tahun 2001 sampai 2009. Pada tahun 2009, 15% wilayahnya terkena tindak kejahatan (Gambar 18).
Tingkat kejahatan di wilayah Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak jauh lebih kecil dibanding Kota Tangerang, Cilegon dan Kabupaten Tangerang. dan tidak terjadi peningkatan kejahatan dari tahun 2001 sampai 2009 (Gambar 18).
Gambar 18. Perbandingan jumlah desa yang masyarakatnya tidak tidak terkena tindak kejahatan menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten
Secara keseluruhan matrik pencapaian indikator sosial berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Banten dan perbandingannya dengan nilai rata-rata antar waktu dan antar wilayah disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan bahwa masing-masing kabupaten/kota mempunyai tingkat pencapaian indikator pembangunan sosial yang berbeda-beda.
80 85 90 95
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Ju
m
lah
(%)
Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang
Tabel 13. Matrik pencapaian indikator pembangunan sosial, nilai maksimum, minimum dan rata-rata indikator
Indikator ke:
Tahun 2001 Tahun 2005 Tahun 2009
Mak Min T P L T S KT C P L T S KT C P L T S KT C 1 84.89 83.84 93.00 90.20 95.62 93.58 86.11 87.71 92.50 89.53 95.61 94.45 87.99 89.47 93.45 94.00 93.58 95.86 95.86 83.84 91.19 2 0.650 0.720 0.460 0.630 0.310 0.470 0.535 0.565 0.127 0.490 0.004 0.153 0.697 0.792 0.080 0.380 0.187 0.104 0.792 0.004 0.409 3 90.14 88.60 91.52 94.75 95.23 96.90 97.27 97.41 97.37 97.66 99.42 98.81 94.20 96.1 96.50 96.42 97.60 98.50 99.42 88.60 95.80 4 14.98 12.85 45.96 28.22 54.99 52.08 19.09 20.55 51.75 27.85 67.80 62.18 24.80 19.8 52.40 36.80 65.20 54.10 67.80 12.85 39.52 5 32.48 31.35 70.93 37.32 87.27 69.26 27.40 31.17 73.64 47.81 91.49 84.56 35.90 27.60 83.15 49.73 95.40 85.60 95.40 27.40 59.00 6 70.98 94.96 86.69 96.40 92.00 95.55 90.62 92.89 89.48 94.91 91.83 86.05 81.68 92.58 84.91 85.03 75.60 72.09 96.40 70.98 87.46 7 80.57 55.82 97.15 91.49 99.43 97.99 81.93 82.85 98.74 94.96 99.52 99.84 93.39 93.90 98.36 97.98 98.44 99.32 99.84 55.82 92.32 8 36.58 40.32 63.05 41.47 69.03 75.11 41.04 46.08 60.99 39.66 78.67 83.23 39.90 41.80 67.7 49.65 72.70 82.80 83.23 36.58 57.21 9 65.38 63.64 86.93 68.95 76.39 80.80 76.22 60.38 84.29 52.84 60.89 107.78 75.00 61.11 98.48 66.45 79.70 68.25 107.78 52.84 74.08 10 89.55 92.26 86.01 89.64 81.62 85.53 91.98 92.30 85.91 91.06 87.93 89.15 92.02 92.81 84.59 90.40 82.17 89.64 92.81 81.62 88.59
*P: Kabupaten Pandeglang; L: Kabupaten Lebak, T: Kabupaten Tangerang, S: Kabupaten Serang, KT: Kota Tangerang, C: Kota Cilegon,
Mak: Nilai maksimum antar waktu antar wilayah, Min: nilai minimum antar waktu antar wilayah, T: Treshold (nilai rata-rata antar waktu antar wilayah)
Indikator ke-1: jumlah (%) penduduk diatas garis kemiskinan; indikator ke-2: indeks Gini; indikator ke-3: jumlah (%) penduduk melek huruf; indikator 4: jumlah (%) penduduk yang menamatkan pendidikan minimal setingkat SMP; indikator 5: jumlah (%) kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis; indikator ke-6: jumlah desa yang tidak terkena wabah penyakit: indikator ke-7: jumlah (%) rumah tanggga yang menggunakan listrik sebagai sumber penerangan; indikator ke-8: jumlah (%) rumah tangga yang mempunyai jamban buang air besar sendiri; indikator ke-9: rasio ijazah perguruan tinggi yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki; indikator ke-10: jumlah (%) desa yang masyarakatnya tidak terkena tindak kejahatan
Pencapaian Indikator Pembangunan Ekonomi Indikator 1: Jumlah PDRB berdasarkan harga konstan
PDRB menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi pendekatan, yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah yang dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah dari upah/gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto yang diperoleh (Rustiadi et al., 2009)
PDRB merupakan salah satu indikator makro untuk menilai tingkat perkembangan ekonomi di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai PDRB maka semakin tinggi tingkat perkembangan ekonomi di wilayah tersebut. Distribusi PDRB (berdasarkan harga konstan) pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten disajikan pada Gambar 19 .
Secara umum terjadi kenaikan jumlah PDRB (berdasarkan harga konstan tahun 2000) pada semua kabupaten/kota di Provinsi Banten seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19. Kenaikan jumlah PDRB terbesar terjadi di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang pada interval tahun 2005 dan 2009 dengan jumlah kenaikan sekitar Rp 6.0x1012. Sedangkan Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Cilegon mengalami kenaikan PDRB yang relatif lebih kecil, kenaikan yang terjadi pada interval tahun 2001 dan 2009 yakni sekitar Rp 7x1011.
Pada semua titik waktu penelitian, Kota Tangerang adalah wilayah yang secara makro mempunyai perkembangan ekonomi yang tinggi. Total nilai tambah yang yang dihasilkan tidak terlepas dari keberadaan Kota Tangerang secara spasial sebagai wilayah penyangga ibu kota. Di samping itu, keberadaan Bandara Sukarno Hatta yang berada di Kota Tangerang menyebabkan wilayah ini sebagai wilayah yang menarik untuk investasi. Sektor utama wilayah ini bergerak dalam bidang sektor jasa dan industri. Pada tahun 2009, Kota Tangerang menyumbang sebesar 35 % terhadap PDRB Provinsi Banten.
Gambar 19. Distibusi PDRB (berdasarkan harga kontan tahun 2000) Kabupaten / Kota di Provinsi Banten
Indikator 2: Jumlah PDRB perkapita berdasarkan harga konstan tahun 2000 Peningkatan PDRB perkapita di suatu wilayah biasanya digunakan sebagai indikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data PDRB Provinsi Banten, kenaikan PDRB perkapita secara nyata hanya terjadi di Kota Tangerang dan Kota Cilegon, sedangkan di 4 (empat) wilayah lainnya hampir tidak terjadi kenaikan(Gambar 20). Hal ini menunjukkan bahwa secara makro tingkat kesejahteraan masyarakat di 4 (empat) kabupaten ini relatif tidak meningkat dari tahun 2001 sampai 2009. Walaupun Kabupaten Tangerang mempunyai sumbangan yang besar terhadap PDRB Provinsi Banten, namun Kabupaten ini memiliki nilai PDRB perkapita yang rendah. Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk yang besar di Kabupaten Tangerang (dua belas kali jumlah penduduk Kota Cilegon) sehingga perolehan PDRB perkapita di wilayah menjadi rendah. Perbandingan jumlah penduduk antar kabupaten/kota disajikan pada Tabel 14.
Di antara 4 (empat) wilayah yang secara relatif memiliki peningkatan PDRB perkapita yang kecil, Kabupaten Serang memiliki peningkatan PDRB perkapita yang lebih tinggi dibanding dengan 3 (tiga) wilayah lainnya. Peningkatan PDRB perkapita di Kabupaten Serang antara tahun 2001 sampai 2009 adalah sebesar 0.86 juta rupiah. Sedangkan peningkatan PDRB perkapita di Kabupaten Tangerang adalah sebesar 0.41 juta rupiah, di Kabupaten Pandeglang sebesar 0.46 juta rupiah dan di Lebak sebesar 0.13 juta rupiah.
0 10.000.000 20.000.000 30.000.000
Tahun 2001Tahun 2005Tahun 2009
P DRB (j ut