• Tidak ada hasil yang ditemukan

Registrasi kapal ikan adalah suatu kegiatan menata administerasi kapal- kapal ikan, sehingga kapal dinyatakan layak secara fisik dan legal secara hukum. Maksud dari kegiatan ini adalah agar pemilik kapal ikan berhak mendapatkan dokumen-dokumen kapal seperti: (a) Gross Akte, (b) Surat Ukur, (c) Pas Tahunan, (d) Sertifikat Kelaiklautan, (e) Surat Ijin Usaha Perikanan, (f) Surat Ijin Penangkapan Ikan. Tujuannya adalah agar kapal terhindar dari praktik IUU Fishing, melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan serta mematuhi semua peraturan yang berlaku seperti: UU 31/2004 Tentang Perikanan, UU 17/2008 Tentang Pelayaran. Manfaatnya terciptanya pengelolaan perikanan yang lebih baik, mempermudah dalam pengawasan, dan dapat memberikan kepercayaan jaminan kepada lembaga keuangan untuk mendapatkan skim kredit.

Dalam perjalanannya registrasi kapal ikan seringkali menjadi sebuah polemik karena pelaksanaannya dilakukan oleh dua institusi yang berbeda, banyak terjadi permasalahan dan didera dengan isu markdown yang sangat merugikan baik bagi pemilik kapal maupun pemerintah, isu biaya tinggi dalam pemrosesan dokumen yang sangat memberatkan para pemilik kapal. Permasalahan yang ada dapat diidentifikasi dari data ulang didapat dari lapangan baik survey langsung maupun data sekunder yang didapat instansi terkait .

9.1 Kajian Registrasi Kapal Ikan Saat Penelitian

Setiap kapal dengan besaran GT lebih besar dari 7 proses registrasi yang harus dilalui adalah, pemilik kapal mengajukan permohonan untuk diregistrasi, proses dilakukan di Adpel/Syahbandar kemudian harus di kirim ke Pusat (Subdit Pengukuran dan Pendaftaran Kebangsaan Kapal) di Jakarta setelah mendapat pengesahan kemudian dikembalikan ke daerah (Syahbandar) untuk diterbitkan Surat Ukur, Sertifikat Kelaiklautan, Gross Akte, dan Pas Tahunan. Sebagai penerbit Gross Akte dan Pas Tahuanan Pertama adalah Syahbandar dengan kelas tertinggi untuk di Provinsi Aceh adalah Adpel/Syahbandar Sabang dan Adpel/Syahbandar Lhokseumawe. (UU No.17 tahun 2008). Namun pada

kenyataannya banyak proses yang tidak sesuai dan tidak sampai ke pusat, dengan demikian dokumen yang diterbitkan menjadi cacat secara hukum.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data, bahwa pada data ada perbedaan antara jumlah kapal yang terdaftar di pusat dengan yang terdaftar pada masing- masing Kantor Administrasi Pelabuhan (KANPEL)/Syahbandar di Provinsi Aceh.

9.2 Kajian Pengukuran Dan Perhitungan Dimensi Kapal Ikan

Awalnya pengukuran di setiap negara berbeda-beda, hal ini yang menimbulkan masalah bagi kapal-kapal yang mempunyai rute pelayaran lintas negara. Atas dasar permasalahan tersebut, maka pada tahun 1927 dibuat kesepakatan tentang pengukuran kapal di Oslo, Norwegia, adapun kesepakatan tersebut adalah memberlakukannya cara mengukur MOORSOM, aturan ini berlaku juga untuk Indonesia maka dikeluarkanlah Ordinansi Pengkuran Kapal (Sceepmentie Ordonantie) 1927. Pengkuruan kapal di Indonesia terdapat dua jenis pengkuruan yaitu pengukuran dalam negeri untuk kapal dengan panjang kurang dari 24 meter dan pengukuran internasional untuk kapal dengan panjang lebih dari 24 meter (Permenhub No.5 tahun 2006).

Hasil kajian berdasarkan pengkuruan yang dilakukan langsung di lapangan membuktikan bahwa pada kapal di atas 10 GT didominasi oleh selang panjang 14

– 19 meter di Aceh Timur karena kapal-kapal tersebut dianggap kapal yang paling cocok untuk mengoperasikan alat tangkap purse seine, dan Aceh Timur memepunyai Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Idie dengan kolam pelabuhan yang luas untuk menampung kapal-kapal ukuran besar.

Kemudian dilakukan pula perhitungan ratio antara panjang keseluruhan (LOA) terhadap dimensi lainnya (L, B, D, dan superstructure) hal ini hanya dapat diterapkan di Provinsi Aceh. Bila ingin melakukan perhitungan ratio antara LOA dengan dimensi yang lain untuk di daerah lain, sebaiknya terlebih dahulu mengambil sampel ukuran kapal-kapalnya kemudian menghitung rationya. Hal ini dilakukan karena di setiap daerah mempunyai spesifikasi kapal yang berbeda.

Hasil perhitungan GT berdasarkan panjang (LOA) menunjukkan bahwa perhitungan menggunakan formula/rumus yang digunakan oleh Perla, maka semakin panjang kapal akan semakin banyak kehilangan besaran GT.

9.3 Rancangan Pengelolaan Registrasi Kapal Ikan Terpadu

Pada kajian sebelumnnya tentang kondisi sistem registrasi kapal ikan yang ada, terdapat berbagai permasalahan baik yang sifatnya teknis dan non teknis, permasalahan teknis seperti cara pengukuran dan perhitungan GT yang masih banyak kesimpang siuran dan non teknis yang lebih cenderung kepada hal adminitratif seperti penyelesaian/proses dokumen yang mengalami perjalanan sangat panjang. Dengan sistem registrasi kapal ikan terpadu diharapkan tidak lagi terjadi kesimpangsiuran dalam pengukuran dan perhitungan dimensi kapal ikan, karena sistem ini dirancang keterpaduan antara instansi yang terkait lansung dalam ini adalah DKP, Syahbandar, Dishub. Dalam melaksanakan tugasnya secara bersamaan dan telah melalui pembekalan/pelatihan sebelumnya sehingga pada implementasinya sudah ada kesepakatan baik dari sisi pengukuran maupun penghitungan nilai GT.

Sistem registrasi kapal ikan terpadu dapat dilaksanakan efektif sesuai dengan konsepnya yaitu pada kapal dengan volume di bawah 7 GT, kerena kapal- kapal dengan volume di bawah 7 GT tidak melibatkan instansi pusat, sehingga daerah dapat mengeksekusi secara langsung, sedangkan untuk kapal-kapal di atas 7 GT masih dilakukan secara offline/manual terutama untuk berurusan dengan pusat.

9.4 Sistem Informasi Registrasi Kapal Ikan

Sub-sektor perikanan tangkap dalam pengambilan keputusannya sudah saatnya didukung oleh sistem informasi yang terintegrasi dan terpadu serta bisa diandalkan, mengingat juga perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Serta saat ini penerapan teknologi informasi berbasis internet yang sudah memasyarakat dan berbiaya murah.

Kehadiran sistem informasi berbasis internet ini diharapkan mampu mempermudah penyampaian informasi dari daerah ke pemerintah pusat atau sebaliknya dalam waktu yang relatif jauh lebih singkat serta dengan biaya murah. Manfaat lain yang diperoleh yakni mempermudah pemerintah dalam pembenahan adminstrasi dan database, serta adanya transparansi data. Dengan demikian, maka dapat meningkatkan upaya pengembangan sub-sektor perikanan tangkap.

Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Provinsi Aceh sebagai salah satu institusi pelayanan umum membutuhkan keberadaan suatu sistem informasi yang akurat dan andal, serta cukup memadai untuk meningkatkan pelayanannya kepada para masyarakat perikanan terutama pemilik kapal. Dengan lingkup pelayanan yang begitu luas, tentunya banyak sekali permasalahan kompleks yang terjadi dalam proses pelayanan di DKP. Banyaknya variabel di Registrasi Kapal Ikan turut menentukan kecepatan arus informasi yang dibutuhkan oleh

stakeholder dan lingkungan DKP sendiri.

Pengelolaan data di DKP merupakan salah satu komponen yang penting dalam mewujudkan suatu sistem informasi Registrasi Kapal ikan. Pengelolaan data secara manual, mempunyai banyak kelemahan, selain membutuhkan waktu yang lama, keakuratannya juga kurang dapat diterima, karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Dengan dukungan teknologi informasi yang ada sekarang ini, pekerjaan pengelolaan data dengan cara manual dapat digantikan dengan suatu sistem informasi dengan menggunakan komputer. Selain lebih cepat dan mudah, pengelolaan data juga menjadi lebih akurat.

Secara teknis sistem ini dirancang untuk intranet maupun internet dan dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan baik oleh instansi perhubungan maupun perikanan, dari sisi tampilan dapat memperlihatkan data seperti: spesisifikasi kapal, pemilik, dan alat tangkap, dan juga menampilkan foto kapal, foto pemilik dan foto alat tangkap. Sisten ini juga dirancang untuk bisa terhubung dengan subsistem lain seperti pihak penegak hukum. Namun disisi lain sistem ini mempunyai kelemahan, belum dapat mencetak langsung dokumen, juga sistem ini belum mempunyai sistem proteksi, sehingga masih rentan terhadap gangguan dari luar. Di waktu yang akan datang apabila meng-aplikasi perlu dibuat sistem proteksi yang lebih aman.

9.4 Rancangan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berbasis Sistem Registrasi Kapal Ikan

Pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan harus dilakukan secara komprehensif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring,

evaluasi, dan kegiatan lainnya harus melibatkan stakeholders terutama para nelayan, pengusaha perikanan (bakul, pengolah dan pedagang), kelembagaan daerah, instansi terkait kelembagaan dinas diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam mengadakan forum koordinasi dengan semua stakeholder yang terlibat sehingga kebutuhan masing-masing stakeholder dapat terakomodasi. Komunikasi yang efektif dengan semua stakeholder akan berdampak pada terciptanya tata hubungan yang serasi dan seimbang, sehingga kegiatan pengelolaan dapat dilakukan dengan lebih terencana dan dapat mencapai tujuan konservasi yang telah ditetapkan, dengan tetap memperhatikan aspek pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Karena pengelolaan perikanan tangkap berbasis registrasi kapal ikan merupakan hal baru, sehingga semua stakeholder yang terlibat baik dalam pengelolaan perikanan tangkap maupun pengelola sistem registrasi harus saling mendukung dan memahami akan tujuan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Dalam kaitan ini kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan anatar tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kabijakan ekonomi (dalam hal ini kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta.