• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari analisa data yang di lakukan diperoleh hasil bahwa pemberian IBA berpengaruh nyata terhadap parameter persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan panjang akar, dan berpengaruh tidak nyata terhadap parameter persentase pertumbuhan eksplan, persentase pertumbuhan kalus, jumlah akar dan tinggi plantlet. Pemberian BAP berpengaruh nyata terhadap parameter persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas, jumlah daun, panjang akar, dan jumlah akar, dan berpengaruh tidak nyata terhadap parameter persentase pertumbuhan eksplan, persentase pertumbuhan kalus, dan tinggi plantlet. Adapun interaksi antara IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap parameter panjang akar dan jumlah akar dan berpengaruh tidak nyata terhadap parameter persentase pertumbuhan eksplan, persentase pertumbuhan kalus, persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan tinggi plantlet. Visualisasi Eksplan membentuk embriogenesis somatik terbentuk secara tidak langsung (kalus, kalus membentuk tunas, kalus membentuk akar, dan kalus membentuk tunas-akar).

Persentase Pertumbuhan Eksplan (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat pada lampiran 1 menunjukkan bahwa persentase pertumbuhan eksplan untuk semua perlakuan konsentrasi IBA dan BAP sebesar 100 %. Dari pengamatan diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA, BAP, dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap persentase pertumbuhan eksplan. Hal ini diduga terjadi akibat rasio zat pengatur tumbuh yang diberikan belum sesuai untuk mendukung proses morfogenesis.

Dalam kultur jaringan tanaman, kebutuhan nutrisi setiap eksplan berbeda-beda pada tiap konsentrasi yang diberikan pada media kultur. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Lubis (1985) juga menyatakan bahwa pola yang dibawa dari genetik masing-masing tanaman telah tertentu dengan demikian potensinya untuk pertumbuhan masa berikutnya ditentukan oleh faktor lainnya.

Persentase Pertumbuhan Kalus (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat pada lampiran 2 menunjukkan bahwa persentase pertumbuhan kalus untuk semua perlakuan konsentrasi IBA dan BAP sebesar 100 %. Dari pengamatan diketahui bahwa pola pertumbuhan embrio kedelai untuk menjadi tanaman lengkap dengan terlebih dahulu membentuk kalus. Jika konsentrasi auksin dan sitokinin pada proposrsi yang sama akan membentuk kalus. Kalus terbentuk biasanya karena adanya zat pengatur tumbuh baik auksin maupun sitokinin, namun zat pengatur tumbuh yang paling sering terbentuknya kalus karena dipengaruhi zat pengatur tumbuh auksin. Sesuai literatur Saigo (1983) menyatakan bahwa jika sitokinin dan auksin pada taraf yang sama, maka akan terbentuk kalus. Karjadi dan Buchory (2008) menyatakan bahwa pada umumnya auksin digunakan dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan organ. Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.

Persentase Eksplan Membentuk Tunas (%)

Data pengamatan dan sidik ragam persentase eksplan membentuk tunas dapat dilihat pada lampiran 3-5. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap eksplan membentuk tunas, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap persentase eksplan membentuk tunas. Rataan persentase eksplan membentuk tunas dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap persentase eksplan membentuk tunas (%) hasil transformasi √x+0.5

Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 10.02 6.30 2.57 4.43 5.83 a B1 (BAP 1 ppm) 6.30 2.57 4.43 0.71 3.50 ab B2 (BAP 2 ppm) 8.16 2.57 0.71 0.71 3.04 ab B3 (BAP 3 ppm) 2.57 0.71 2.57 4.43 2.57 b Rataan 6.76 a 3.04 b 2.57 b 2.57 b 3.74

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 1, persentase eksplan membentuk tunas tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm IBA (6.76 %) yang berbeda nyata terhadap perlakuan 1 ppm (3.04 %), 2 ppm dan 3 ppm IBA (2.57 %), sedangkan terendah pada perlakuan 2 ppm dan 3 ppm IBA (2.57 %). Pada pemberian konsentrasi BAP persentase eksplan membentuk tunas tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm BAP (5.83 %) yang berbeda nyata pada perlakuan 3 ppm BAP

(2.57 %), tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 1 ppm (3.50 %) dan 2 ppm BAP (3.04 %), sedangkan terendah pada perlakuan 3 ppm BAP (2.57 %).

Dari data dapat dilihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi IBA yang diberikan maka persentase eksplan membentuk tunas yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi IBA yang

diberikan untuk respon pertumbuhan embrio kedelai diduga masih terlalu tinggi sehingga proses pemanjangan sel dan pembelahan sel pada eksplan terhambat yang menyebabkan pertumbuhannya kurang efektif. Bhojwani (1980) menyatakan bahwa kebanyakan tanaman membutuhkan sitokinin untuk pembentukan tunas, sebaliknya auksin bersifat menghambat. Selain itu juga ada kemungkinan sitokinin endogen yang sudah ada di dalam eksplan sudah mencukupi untuk pertumbuhan tunas dan daun. Sesuai literatur Kartha (1991) yang menyatakan bahwa sitokinin dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologis dalam sel yang diperlukan untuk pertumbuhan tunas dan daun. Berhasilnya pertumbuhan tunas terutama tergantung kepada sumber jaringan, kadar medium hara, jenis kadar hormon pertumbuhan yang digunakan.

Jumlah Tunas (Buah)

Data pengamatan dan sidik ragam jumlah tunas dapat dilihat pada lampiran 6-8. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas. Rataan jumlah tunas dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap jumlah tunas (buah) hasil transformasi √x+0.5 Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 2.19 1.46 0.99 1.11 1.44 a B1 (BAP 1 ppm) 1.71 0.88 0.91 0.71 1.05 ab B2 (BAP 2 ppm) 1.48 0.81 0.71 0.71 0.93 b B3 (BAP 3 ppm) 0.81 0.71 0.81 1.22 0.89 b Rataan 1.55 a 0.97 b 0.86 b 0.94 b 1.08

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 2, jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm IBA (1.55 buah) yang berbeda nyata terhadap perlakuan 1 ppm

(0.97 buah), 2 ppm (0.86 buah) dan 3 ppm IBA (0.94 buah), sedangkan terendah pada perlakuan 2 ppm IBA (0.86 buah). Pada pemberian konsentrasi BAP jumlah tunas tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm BAP (1.44 buah) yang berbeda nyata pada perlakuan 2 ppm (0.93 buah) dan 3 ppm BAP (0.89 buah), tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 1 ppm (1.05 buah), sedangkan terendah pada perlakuan 3 ppm BAP (0.89 buah).

Dari data dapat dilihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi IBA yang diberikan maka jumlah tunas yang dihasilkan semakin rendah. Walaupun pada peubah amatan jumlah tunas terjadi kenaikan kembali pada konsentrasi A3 (3 ppm) yaitu 0.94 buah, namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan BAP yang diberikan untuk respon pertumbuhan embrio kedelai diduga masih terlalu tinggi sehingga proses pemanjangan sel dan pembelahan sel pada eksplan terhambat yang menyebabkan pertumbuhannya kurang efektif. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Wilkins (1992) menyatakan bahwa selain itu auksin berpengaruh pula pada penghambatan tunas dan dominansi apikal. Hal ini juga diduga bahwa komposisi media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh IBA dan BAP sudah mencukupi untuk membentuk tunas dan biasanya jumlah tunas dikuti dengan terbentuknya jumlah daun. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa hal itu dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam yang lebih tinggi daripada media lain, dibanding kandungan nitratnya juga tinggi. Fereol dkk (2002) menyatakan bahwa auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas,

sedangkan kombinasi konsentrasi sitokinin yang tinggi dengan auksin rendah penting dalam pembentukan tunas dan daun.

Jumlah Daun (Helai)

Data pengamatan dan sidik ragam jumlah daun dapat dilihat pada lampiran 9-11. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun. Rataan jumlah daun dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap jumlah daun (helai) hasil transformasi √x+0.5 Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 4.06 2.35 1.15 1.75 2.33 a B1 (BAP 1 ppm) 2.60 0.99 0.71 0.71 1.25 b B2 (BAP 2 ppm) 2.75 1.02 0.71 0.71 1.29 b B3 (BAP 3 ppm) 1.03 0.71 0.71 1.56 1.00 b Rataan 2.61 a 1.27 b 0.82 b 1.18 b 1.47

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 3, jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm IBA (2.61 helai) yang berbeda nyata terhadap perlakuan 1 ppm (1.27 helai), 2 ppm (0..82 helai) dan 3 ppm IBA (1.18 helai), sedangkan terendah pada perlakuan 2 ppm IBA (0.82 helai). Pada pemberian konsentrasi BAP jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm BAP (2.33 helai) yang berbeda nyata pada perlakuan 1 ppm (1.25 helai), 2 ppm (1.29 helai), dan 3 ppm BAP (1.00 helai), sedangkan terendah pada perlakuan 3 ppm BAP (1.00 helai).

Dari data dapat dilihat bahwa ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi IBA dan BAP yang diberikan maka jumlah daun yang dihasilkan semakin rendah. Walaupun pada peubah amatan jumlah daun terjadi kenaikan

kembali pada konsentrasi A3 (3 ppm) yaitu 1.18 helai, namun tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi IBA dan BAP yang diberikan untuk respon pertumbuhan embrio kedelai diduga masih terlalu tinggi sehingga proses pemanjangan sel dan pembelahan sel pada eksplan terhambat yang menyebabkan pertumbuhannya kurang efektif. Selain itu dapat diduga akibat rasio ZPT yang diberikan belum sesuai untuk mendukung proses morfogenesis. Dalam pemakaian pada kultur jaringan tanaman, konsentrasi yang efektif untuk masing-masing ZPT berbeda. Santi dan Kusumo (1996) menyatakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh harus sesuai jenis dan konsentrasinya karena akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan.

Panjang Akar (cm)

Data pengamatan dan sidik ragam panjang akar dapat dilihat pada lampiran 12-13. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA, BAP, dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Rataan panjang akar dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap panjang akar (cm) Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 2.92 13.02 7.48 20.38 10.95 a B1 (BAP 1 ppm) 4.06 2.44 2.30 1.84 2.66 b B2 (BAP 2 ppm) 3.30 2.42 1.56 2.26 2.39 b B3 (BAP 3 ppm) 4.02 0.98 1.76 2.84 2.40 b Rataan 3.58 b 4.72 ab 3.28 b 6.83 a 4.60

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 4, panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan 3 ppm IBA (6.83 cm) yang berbeda nyata terhadap perlakuan 0 ppm (3.58 cm) dan 2 ppm IBA (3.28 cm), tetapi berbeda tidak nyata terhadap

perlakuan 1 ppm IBA (4.72 cm), sedangkan terendah pada perlakuan 2 ppm IBA (3.28 cm). Pada pemberian konsentrasi BAP panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm BAP (10.95 cm) yang berbeda nyata pada perlakuan 1 ppm (2.66 cm), 2 ppm (2.39 cm), dan 3 ppm BAP (2.40 cm), sedangkan terendah pada perlakuan 2 ppm BAP (2.39). Kombinasi kedua perlakuan panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan 3 ppm IBA dan 0 ppm BAP (20.38 cm) yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 1 ppm IBA dan 0 ppm BAP (13.02 cm) dan 2 ppm IBA dan 0 ppm BAP (7.48 cm), tetapi berbeda nyata terhadap kombinasi

perlakuan lainnya. Begitu pula dengan kombinasi perlakuan 1 ppm IBA dan 0 ppm BAP (13.02 cm) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 2 ppm IBA dan 0 ppm BAP (7.48 cm), tetapi berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan

lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kerja auksin endogen dan eksogen bersinergis dengan sitokinin endogen yang telah ada di dalam ekaplan sehingga terbentuk akar. Telah diketahui bahwa apabila konsentrasi auksin lebih tinggi daripada sitokinin maka akan terbentuk akar. Gunawan (1987) menyatakan bahwa pemberian IBA akan mendorong pembentukan akar adventif. Semakin tinggi IBA yang diberikan, maka perpanjangan akar cenderung lebih panjang. Saigo (1983) menyatakan bahwa jika proporsi auksin lebih tinggi daripada sitokinin, maka mendukung pembentukan akar. Hasil penelitian Palestine (2008) pada induksi akar biakan pule pundak menunjukkan bahwa saat inisiasi akar, jumlah akar dan panjang akar didapatkan bahwa pemberian IBA pada tanaman pule pundak yang paling efektif adalah pada konsentrasi 3 ppm. Hal ini juga diduga komposisi media MS tanpa zat pengatur tumbuh BAP sudah mencukupi untuk pertumbuhan

akar embrio kedelai. Sesuai literatur Wethrel (1982) yang menyatakan bahwa formulasi yang sering digunakan sebagai media kultur adalah media MS. Media ini merupakan kombinasi antara zat-zat yang mengandung hara makro, mikro, dan sumber energi, serta vitamin. Semakin tinggi kandungan sitokinin eksogen yang diberikan ditambah dengan sitokinin endogen dapat menghambat pertumbuhan akar, seperti panjang akar. Sesuai literatur Gunawan (1987) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi sitokinin akan menyebabkan regeneran sulit berakar. Interaksi antara konsentrasi IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap panjang akar pada konsentrasi 3 ppm IBA dan 0 ppm BAP diduga kinerja auksin eksogen yang diberikan bersinergis dengan auksin dan sitokinin endogen yang terdapat dalam eksplan. Jika konsentrasi auksin lebih tinggi daripada sitokinin maka akan terbentuk akar dan tunas terhambat. Sesuai literatur Gunawan (1987) menyatakan bahwa auksin seperti IBA, berperan dalam mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel diferensiasi jaringan xylem dan floem, pembentukan akar adventif, dan dominan apikal. Kusumo (1994) menyatakan bahwa dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktifitas perakaran, karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama.

Jumlah Akar (Buah)

Data pengamatan dan sidik ragam jumlah akar dapat dilihat pada lampiran 14-16. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi BAP dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah akar, sedangkan perlakuan konsentrasi IBA berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah

akar. Rataan jumlah akar dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap jumlah akar (buah) hasil transformasi √x+0.5 Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 1.73 2.70 2.25 3.73 2.60 a B1 (BAP 1 ppm) 1.22 1.43 1.66 1.12 1.36 b B2 (BAP 2 ppm) 1.22 1.48 1.12 1.22 1.26 b B3 (BAP 3 ppm) 1.30 1.09 1.12 1.22 1.18 b Rataan 1.37 1.68 1.54 1.82 1.60

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 5, jumlah akar tertinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm BAP (2.60 buah) yang berbeda nyata terhadap perlakuan 0 ppm (1.36 buah), 2 ppm (1.26 buah) dan 3 ppm BAP (1.18 buah), sedangkan terendah pada perlakuan 3 ppm BAP (1.18 buah). Kombinasi kedua perlakuan jumlah akar tertinggi terdapat pada perlakuan 3 ppm IBA dan 0 ppm BAP (3.73 buah) yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 1 ppm IBA dan 0 ppm BAP (2.70 buah) dan 2 ppm IBA dan 0 ppm BAP (2.25 buah), tetapi berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan lainnya. Begitu pula dengan kombinasi perlakuan 1 ppm IBA dan 0 ppm BAP (2.70 buah) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan 2 ppm IBA dan 0 ppm BAP (2.25 buah), tetapi berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan lainnya.

Hal ini juga diduga semakin tinggi kandungan sitokinin eksogen yang diberikan ditambah dengan sitokinin endogen dapat menghambat pertumbuhan akar, seperti jumlah akar dan panjang akar. Sesuai literatur Gunawan (1987) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi sitokinin akan menyebabkan regeneran sulit berakar. Rasio zat pengatur tumbuh auksin yang

diberikan belum sesuai untuk mendukung proses morfogenesis. Fuchs (1986) menyatakan bahwa penambahan auksin dengan konsentrasi tertentu tidak selalu meningkatkan pertumbuhan akar tetapi justru dapat menurunkan pertumbuhan akar. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa penambahan konsentrasi yang optimal untuk pertumbuhan akar berbeda pada masing-masing tanaman. Interaksi antara konsentrasi IBA dan BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah akar dengan konsentrasi 3 ppm IBA dan 0 ppm BAP diduga kinerja auksin eksogen yang diberikan bersinergis dengan auksin dan sitokinin endogen yang terdapat dalam eksplan. Karjadi dan Buchory (2008) menyatakan bahwa auksin berfungsi untuk pembentukan akar dan kuncup samping dalam konsentrasi tertentu.

Tinggi Plantlet (cm)

Data pengamatan dan sidik ragam tinggi plantlet dapat dilihat pada lampiran 17-19. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa perlakuan konsentrasi IBA, BAP, dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi plantlet. Rataan jumlah akar dari perlakuan konsentrasi IBA dan BAP dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi IBA dan BAP terhadap tinggi plantlet (cm) hasil transformasi √x+0.5 Perlakuan A0 (IBA 0 ppm) A1 (IBA 1 ppm) A2 (IBA 2 ppm) A3 (IBA 3 ppm) Rataan B0 (BAP 0 ppm) 1.45 1.57 1.08 1.56 1.42 B1 (BAP 1 ppm) 1.13 0.71 0.84 0.71 0.85 B2 (BAP 2 ppm) 1.24 0.93 0.71 0.71 0.89 B3 (BAP 3 ppm) 0.71 0.71 1.34 0.86 0.90 Rataan 1.13 0.98 0.99 0.96 1.02

Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji BNJ pada taraf kepercayaan 5 % pada kolom atau baris yang sama

Berdasarkan uji BNJ pada tabel 6, tinggi plantlet tertinggi terdapat pada

(0.96 cm). Pada pemberian konsentrasi BAP tinggi plantlet tertinggi terdapat pada

perlakuan 0 ppm BAP (1.42 cm) dan terendah pada perlakuan 3 ppm IBA (0.90 cm). Hal ini diduga terjadi akibat rasio zat pengatur tumbuh yang diberikan

belum sesuai untuk mendukung proses morfogenesis. Dalam kultur jaringan tanaman, kebutuhan nutrisi setiap eksplan berbeda-beda pada tiap konsentrasi yang diberikan pada media kultur. Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Hal ini juga diduga semakin tinggi konsentrasi BAP akan menghambat pembelahan sel sehingga tinggi plantlet juga terhambat. Sesuai literatur Karjadi dan Buchory (2008) menyatakan bahwa sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. George and Sherrington (1984) dilaporkan bahwa sitokinin dapat mengatur keseimbangan sel. Sitokinin dalam jumlah yang banyak dapat merangsang pertumbuhan tunas tetapi pertumbuhan menekan pertumbuhan tinggi tanaman serta merangsang pertumbuhan akar. Wilkins (1992) juga menambahkan sitokinin dapat memperluas sel secara lateral yang menyebabkan kenaikan diameter batang tetapi menurunkan tinggi tanaman. Hal ini diduga interaksi konsentrasi IBA dan BAP belum mencapai taraf keseimbangan, kemungkinan konsentrasi IBA dan BAP yang diberikan masih terlalu tinggi untuk pertumbuhan kedelai sehingga pertumbuhannya terhambat, dan kemungkinan auksin dan sitokinin eksogen yang diberikan tidak bersinergis dengan auksin dan sitokinin endogen yang ada di dalam eksplan. Sesuai literatur Suyadi dkk (2003) menyatakan bahwa apabila kondisi auksin dan sitokinin

endogen berada pada kondisi sub optimal, maka diperlukan penambahan auksin dan sitokinin secara eksogen, sehingga diperoleh perimbangan auksin dan sitokinin optimal.

Visualisasi Eksplan Membentuk Embriogenesis Somatik Secara Langsung dan Tidak Langsung

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat pada lampiran 20 menunjukkan bahwa visualisasi eksplan membentuk embriogenesis somatik yang secara tidak langsung karena melalui kalus terlebih dahulu kemudian membentuk tunas dan akar. Hal ini diduga konsentrasi IBA lebih dominan untuk terjadinya embrogenesis somatik secara langsung daripada BAP karena auksin biasanya lebih sering digunakan untuk pembentukan embriogenesis somatik. Sesuai literatur Wiendi dkk (1991) menyatakan bahwa embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik menjadi suatu jaringan tanpa melalui adanya fusi gamet. Pembentukan embriogenesis somatik dapat secara langsung maupun tidak langsung. Husni dkk (2011) menyatakan bahwa embriogenesis somatik langsung adalah pembentukan embriogenesis somatik secara langsung dari eksplan tanpa melalui pembentukan fase kalus, sedangkan embriogenesis somatik tidak langsung proses pembentukannya melalui fase kalus. Merigo (2011) menyatakan bahwa kelompok auksin adalah yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik, selain itu zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik. Bhojwani dan Razdan (1989) menyatakan bahwa untuk induksi kalus embriogenik kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi.

Dokumen terkait