• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis sidik ragam dan dilanjut dengan uji jarak Duncan pada pengamatan parameter suhu pada 1-12 MSA menunjukkan bahwa data pemberian bakteri Bacillus sp. , Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap suhu pada 3 MSA dan 4 MSA (Lampiran6 dan 7). Sedangkan perlakuan L1, L2 dan interaksi pada kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata dapat dilihat pada Tabel.1

Berdasarkan data pengamatan dapat dilihat bahwa data suhu tertinggi yaitu pada G2L2 2 MSA yaitu 33˚ C dan suhu terendah yaitu pada semua perlakuan pada MSA 1, 10, 11 dan 12 yaitu 30˚ C dilihat pada Gambar 1. dan Tabel 1.

Gambar 1.

Ket: Grafik Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap suhu TKKS.

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

Tabel 1. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap suhu TKKS 0-12 MSA (°C)

Perlakuan Perubahan Suhu

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11 MSA 12 MSA

G0L1 30 30.5 30.5 31.25 30.5 30.75 30.5 30.25 30.25 30 30 30

G0L2 30 30.75 32.5 30.5 30 3025 30.5 30 30.25 30 30 30

Rataan 30 31.62 31.5 ab 30.87ab 30.25 30.5 30.5 30.12 30.25 30 30 30

G1L1 30 32.5 30.75 31.75 30.75 30.75 30.25 30.25 30 30 30 30

G1L2 30 32.25 32 32.25 30.75 30.5 30.25 30.25 30 30 30 30

Rataan 30 32.37 31.37b 32ab 30.75 30.62 30.25 30.25 30 30 30 30

G2L1 30 32.25 31.75 32 30.75 30.25 30.25 30.25 30 30 30 30

G2L2 30 33 32.25 32 31 30.25 30.25 30 30.25 30 30 30

Rataan 30 32.62 32a 32a 30.87 30.25 30.25 30.12 30.12 30 30 30

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 1. dan Tabel 1.

menunjukkan bahwa suhu antara semua perlakuan tidak ada perbedaan suhu yang terlalu jauh. Suhu tertinggi pada proses pengomposan ini adalah 32-33° C. Pada grafik antara semua perlakuan tidak ada perbedaan suhu yang terlalu jauh, pada awalnya berada pada kisaran 30° C, selanjutnya suhu naik pada hari 4 MSA dimana suhu sudah mencapai kisaran 32-33° C. Pengamatan pada minggu terakhir (12 MSA) suhu TKKS tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan dan suhu stabil pada angka 30° C.

Dari Gambar 1. dan Tabel 1. menunjukkan bahwa suhu tertinggi pada proses pengomposan ini yaitu perlakuan G2L1 dan G2L2 pada 2 MSA yaitu 33˚ C dan rataan suhu terendah yaitu semua perlakuan pada 1 MSA, 8 MSA dan 12 MSA yaitu 30˚ C. Pada 1 MSA suhu masih rendah karena mikroorganisme belum bekerja, suhu meningkat dimulai pada 2 MSA dan pada saat 10 MSA suhu sudah kembali ke suhu awal. Hal ini sesuai dengan penelitian Maysaroh (2018), pada pengomposan TKKS suhu perlahan mulai naik pada MSA 2 dan 3 dan terjadi penurunan suhu pada 4 MSA sampai 6 MSA.

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 1. menunjukkan bahwa puncak kenaikan suhu tertinggi yaitu perlakuan G2L2 pada 2 MSA yaitu 33˚ C hal ini terjadi karena aktivitas bakteri dan biaktivator yang tinggi pada proses pengomposan. Menurut Miller (1991), suhu yang berkisar antara 30º C - 60º C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Menurut Isro (2007), panas pada kompos terjadi karena mikroba mulai aktif memanfaatkan oksigen dan mulai mengurai bahan organik menjadi gas CO2, uap air dan panas. Setelah semua bahan terurai maka suhu akan berangsur mengalami penurunan.

Dari Gambar 1. dan Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan suhu terendah yaitu pada semua perlakuan 1 MSA, 8 MSA dan 12 MSA yaitu 30˚C. Pada 1 MSA suhu masih rendah karena mikroorganisme belum bekerja, suhu meningkat dimulai pada 2 MSA dan pada saat 10 MSA suhu sudah stabil dan kembali ke suhu awal dimana kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan, kadar air rendah dan mempunyai suhu 30˚ C. Hal ini sesuai literatur (Pramawasari et al; 2011). Kematangan kompos berdasarkan SNI dikasikan dengankompos berwarna kehitaman, tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Suhu kompos yang sudah matang sama seperti suhu air dalam tanah yaitu tidak lebih dari 30˚ C.

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 1. dan Tabel 1. menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol G0, suhu tidak terlalu mengalami peningkatan suhu, hal ini disebabkan tidak adanya penambahan bakteri dan jamur. Pemberian bakteri dan jamur ini menjadikan mikroorganisme lebih aktif untuk peningkatan suhu. Hal ini sesuai literatur Cahaya dan Nugraha (2008) jumlah mikroba yang merombak bahan organik juga berpengaruh terhadap temperatur kompos. Jumlah bakteri yang mengalami peningkatan menunjukkan adanya peran aktif mikroba untuk mendegradasi bahan organik.

Berdasarkan Tabel 1. diperoleh bahwa perlakuan L1 dan L2 tidak berbeda nyata terhadap suhu karena keadaan pengomposan yang terbuka pada lubang pertanaman kelapa sawit. Hal ini sesuai literatur Setyorini et al., (2006). Keadaan kompos yang terbuka pada hari ke-10 setelah pengomposan, mengakibatkan siklus aerase yang cukup bebas sehingga menyebabkan panas yang dihasilkan mudah hilang pada tumpukan kompos. Hal ini, diakibatkan tinggi tumpukan kompos sehingga panas yang terperangkap dalam tumpukan lebih cepat hilang.

pH

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan dilanjut dengan uji jarak Duncan menunjukkan bahwa data pengamatan pada perlakuan bakteri Bacillus sp.

Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. berpengaruh nyata pada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11 MSA (Lampiran 12-36). Dan tidak berpengaruh nyata pada 8 MSA, 10 MSA dan 12 MSA dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pada perlakuan L1 dan L2 tidak berpengaruh nyata terhadap pH kompos, dan interaksi antara perlakuan bakteri dan jamur dengan perlakuan L1 dan L2 tidak berpengaruh nyata dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pH tertinggi terdapat pada perlakuan G0 pada MSA 9 yaitu 6.27 dan pH terendah terdapat pada perlakuan G2 pada 4 MSA yaitu 4.52 dan pH pada TKKS setiap minggunya meningkat.

Peningkatan pH dimulai pada 2 MSA sampai dengan 12 MSA, dapat dilihat pada Gambar 2. dan Tabel 2.

Gambar 2.

Ket: Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap pH TKKS.

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

Tabel 2. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap pH TKKS 0-12 MSA

Perlakuan Perubahan Ph

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11 MSA 12 MSA

G0L1 4.60 4.60 6 6 5.70 6.20 6.20 6.13 6.40 6.20 6.10 6.13

G0L2 4.80 5 5.60 5.45 5.90 6 6.25 6.25 6.15 6.10 6.05 6.10

R ataan 4.57 a 4.8a 5.80 a 5.72 a 5.70 a 6.10 a 6.22 a 6.19 6.27 a 6.15 6.07 a 6.11

G1L1 5.85 6.05 5.10 4.85 5.35 5.30 5.65 5.20 5.50 5.80 5.20 5.13

G1L2 5.15 5.40 4.85 4.80 5.25 5.60 5.70 5.15 5.25 5.80 5.35 5.80

Rataan 5.5 ab 5.72a 4.97 b 4.82 b 5.35 a 5.45 b 5.67 b 5.17 5.37 b 5.80 5.27 b 5.46

G2L1 5.45 5.75 4.55 4.45 5.20 5.40 5.40 5.30 5.45 5.40 5.20 5.40

G2L2 5.90 5.70 5.15 4.60 4.90 5.40 5.60 5.60 5.60 4.40 5.15 5.40

Rataan 5.67 c 5.72a 4.85 b 4.52 b 5.20 a 5.40 b 5.50 b 5.45 5.52 b 5.40 5.17 b 5.40 Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 2. dan Tabel 2.

menunjukkan bahwa pH tertinggi terdapat pada perlakuan G0L1 pada 9 MSA yaitu 6,4 dan pH terendah terdapat pada perlakuan G2L1 pada 4 MSA yaitu 4,45.

Hal ini terjadi karena pada perlakuan G2L1 diberikan bakteri dan bioaktivator yang mempengaruhi kemasaman tanah. Hal ini sesuai dengan Marlina (2009), pH material kompos bersifat asam pada awal pengomposan. Bakteri berbentuk asam akan menurunkan pH sehingga kompos bersifat lebih asam. Selanjutnya mikroorganisme mulai mengubah nitrogen anorganik menjadi amonium sehingga pH meningkat dengan cepat menjadi basa. Sebagian ammonia dilepaskan atau dikonversi menjadi nitrat dan nitrat didenitrifikasi oleh bakteri sehingga pH kompos menjadi netral.

Berdasarkan Gambar 2. dan Tabel 2. menunjukkan bahwa pengamatan nilai pH kompos setiap minggunya berbeda pada masing-masing perlakuan, pH kompos tertingi yaitu 6,40 pada perlakuan G0L1 dan pH terendah pada 4 MSA terlihat pada perlakuan G2L1 yaitu 4,45 yang mengalami penurunan pH, penurunan menuju sedikit masam dan mendekati netral. Hal ini terjadi karena mikroorganisme selulotik merupakan salah satu mikroorganisme yang banyak digunakan dalam proses dekomposisi dan menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi bahan organik (Saraswati et al.,2006 dalam Yanti 2011, Meryandini et al., 2009). Selanjutnya pada minggu selanjutnya pH kompos mengalami kenaikan menuju netral karena asam-asam senyawa organik telah dilepaskan dan telah didegradasi. Hal ini terjadi karena kombinasi bahan kompos TKKS dan dekomposer telah seimbang.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 2. pada 8 MSA dan 12 MSA menunjukkan bahwa perubahan pH sudah menuju kepada pH kompos

yang ideal dimana pH juga menunjukkan aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik hal ini sesuai dengan (Ismayana et al. 2012). pH kompos yang ideal berdasarkan standar kualitas kompos SNI : 19-7030-2004 berkisar antara 6,8 hingga maksimum 7,49. Menurut Marlina (2009), pH material kompos bersifat asam pada awal pengomposan. Bakteri pembentuk asam akan menurunkan pH sehingga kompos bersifat lebih asam.

Menurut Astari (2011) nilai pH yang berada di kisaran netral akan mudah diserap dan digunakan tanaman, serta berguna untuk mengurangi keasaman tanah karena sifat asli tanah adalah asam.

Kelembaban

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan dilanjut uji jarak Duncan menunjukkan bahwa data pengamatan perlakuan bakteri dan bioaktivator berpengaruh nyata pada 1-12 MSA (Lampiran 17) dan tidak berpengaruh nyata pada perlakuan L1 dan L2 dan ada interaksi antara antara perlakuan bakteri Bacillus sp. , Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. dengan perlakuan L1 dan L2 pada MSA 3 pada perlakuan G1L1, G1L2, G2L1 dan G2L2 (Lampiran 19) dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa kelembaban tertinggi pada perlakuan G0L1 pada 3 MSA yaitu 6,25 dan kelembaban terendah pada perlakuan G0L1 dan G0L2 pada 6 MSA yaitu 2 dilihat pada dan Tabel 3.

Gambar 3.

Ket: Grafik pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap kelembaban TKKS G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

Tabel 3. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap kelembaban TKKS 0-12 MSA

Perlakuan Kelembaban

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5 MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11

MSA

12 MSA

G0L1 6.25 5.75 3 c 2.50 3.50 3 3 3.25 3 3.25 2.75 3

G0L2 5.50 5.25 4 bc 3.50 3.25 2 3.25 3.50 3.50 3.25 2.75 3

Rataan 5.87 a 5.50 a 3.50 3 c 3.37 b 3 b 3.12 b 3.37 b 3.25 b 3.25 b 2.75 c 3 b

G1L1 3.50 2.75 4.50

abc

5 3.25 4.50 4.25 4.50 4.75 4.50 4.25 4.75

G1L2 4.75 4.25 5 ab 5.25 4.50 4.25 4.25 4 4.75 4 4.25 4.75

Rataan 4.12 b 3.50 b 4.75 5.12 a 3.87 b 4.37 a 4.25 a 4.25 a 4.75 a 4.25 a 4.25 b 4.75 a

G2L1 4.25 3.50 4.50

abc

5.75 4.75 4.75 4.25 4.25 4.25 4.50 4.50 4.50

G2L2 3 3.50 6 a 5.50 5.50 4.50 4.50 4.25 4.25 4.25 4.75 4.50

Rataan 3.62 b 3.50 b 5.25 5.62 a 5.12 a 4.62 a 4.37 a 4.25 a 4.25 a 4.37 a 4.62 a 4.50 a Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

Berdasarkan hail yang diperoleh pada Gambar 3. dan Tabel 3.

menunjukkan bahwa kelembaban terendah pada perlakuan G0L2 pada 6 MSA yaitu 2 dan kelembaban tertinggi yaitu perlakuan G0L1 pada 1 MSA yaitu 6,25 hal ini disebabkan pada 6 MSA terjadi aktivitas bakteri dan bioaktivator sangat aktif, dimana banyaknya jumlah mikroba dan aktivitasnya menyebabkan kelembaban meningkat. Hal ini sesuai literatur Widarti et al., 2015 mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40% – 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 3. dan Tabel 3.

menunjukkan bahwa kelembaban tertinggi pada perlakuan lapis tandan yaitu pada perlakuan G2L2 3 MSA yaitu 6. Hal ini disebabkan oleh tingginya tumpukan tandan. Interaksi antara perlakuan bakteri dan bioaktivator dengan lapis tandan berbeda nyata terhadap kelembaban pada 3 MSA, hal ini disebabkan bakteri dan jamur sedang melakukan aktivitas dekomposisi pada tumpukan tandan yang tinggi. Hal ini sesuai Literatur (Pandebesie dan Rayuanti, 2012). Kelembaban memiliki peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan suplai oksigen. Jika kompos terlalu lembab maka akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lama dan jika kelembaban terlalu rendah maka

efisiensi degradasi akan menurun karena kurangnya air untuk melarutkan bahan organik yang akan didekomposisi oleh mikroorganisme sebagai sumber energi.

Menurut Juanda et al. (2011), jika tumpukan kompos terlalu lembab maka proses dekomposisi akan terhambat. Hal ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan digantikan oleh mikroorganisme anaerobik.

Kelembaban bahan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan. Kelembaban yang tinggi akibat penyiraman berlebihan dapat mengakibatkan air sisa penyiraman (leachate) menggenangi area tempat pengomposan. Jadi dalam hal ini, kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan mikroba dan berhubungan erat dengan fluktuasi suhu pengomposan.

Rasio C/N

Dari hasil yang di peroleh nilai C/N tertinggi terdapat pada perlakuan G0L2 yaitu sebesar 37.31 menjadi 32.77 dan nilai C/N terendah pada perlakuan G1L2 yaitu 36.23 menjadi 14.41 (Tabel 4).

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh nilai C/N yang bervariasi. Dimana pada 8 MSA pada semua perlakuan mengalami penurunan.

Tabel 4. Rasio C/N pada pengomposan

Perlakuan Rasio C/N kompos

Dari hasil yang di peroleh pada tabel 4. menunjukkan bahwa nilai C/N tertinggi terdapat pada perlakuan G0L2 yaitu sebesar 37.31 menjadi 32.77 dan nilai C/N terendah pada perlakuan G1L2 yaitu 36.23 menjadi 14.41. Pada perlakuan G0L2 nilai C/N masih tinggi kemungkinan kompos belum terurai secara sempurna. Hal ini sesuai menueut (Widyastuti et al., 2015) menyatakan rasio C/N yang terkandung di dalam kompos menggambarkan tingkat kematangan dari kompos tersebut, semakin tinggi rasio C/N berarti kompos belum terurai dengan sempurna.

Hasil pengamatan rasio C/N bahwa pada Tabel 4. menunjukkan bahwa rasio C/N sangat bervariasi tiap periode pengamatan. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang tidak seragam. Jadi ada beberapa bagian yang termasuk bahan mudah terdekomposisi misalnya bagian luar TKKS tetapi ada juga bagian yang masih keras seperti bagian tengah TKKS. Seharusnya, semakin lama masa dekomposisi maka rasio C dan N akan semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, karena semakin lama waktu dekomposisi maka semakin banyak bahan yang terurai. Bahan yang terurai ini menyebabkan rasio C dan N menurun. Hal ini sesuai menurut Rima et al., (2011) menyatakan pengambilan sampel yang tidak seragam pada beberapa menyebabkan rasio C/N bervariasi.

Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 4. menunjukkan bahwa rasio C/N pada TKKS yang sudah diberi perlakuan yaitu pada G1L1 dari 4 MSA yaitu 47,75 menurun pada 8 MSA yaitu 32,72 dan 12 MSA yaitu 22,82 kadar C/N sudah lebih rendah, dikarenakan pada TKKS telah mengalami perombakan oleh mikroba. Begitu pula pada perlakuan G1L2 pada 4 MSA yaitu 36,23 menurun pada 8 MSA yaitu 27,74 dan 12 MSA yaitu 14,41. Hal ini sesuai Menurut (Rao, 1994) Mengemukakan bahwa bahan organic terdiri dari bermacam macam

jaringan tanaman bervariasi nisbah C/N nya. Tingkat C/N yang optimum adalah antara 20-25 ideal untuk dekomposisi maksimum Karena tidak akan terjadi pembebasan nitrogen dari sisa sisa organic melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk sintesis mikroba.

Dokumen terkait