• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI DEKOMPOSER PADA BEBERAPA KETEBALAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEBAGAI DEKOMPOSER PADA BEBERAPA KETEBALAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BAKTERI Bacillus sp. Achromobacter sp. DAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER PADA BEBERAPA KETEBALAN TANDAN KOSONG KELAPA

SAWIT DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

SKRIPSI OLEH:

WINDA MAHDIAH 150301105

Hama Penyakit Tumbuhan

`

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(2)

PERAN BAKTERI Bacillus sp. Achromobacter sp. DAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER PADA BEBERAPA KETEBALAN TANDAN KOSONG KELAPA

SAWIT DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

SKRIPSI OLEH:

WINDA MAHDIAH 150301105

Hama Penyakit Tumbuhan

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk dapat Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian Di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertaniaan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(3)
(4)

ABSTRAK

WINDA MAHDIAH : Peran Bakteri Bacillus sp., Achromobacter sp. Dan Jamur Trichoderma sp. Sebagai Dekomposer Pada Beberapa Ketebalan Tandan Kosong Kelapa Sawit Di Pertanaman Kelapa Sawit, dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS dan Dr. Ir. Marheni, MP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Bacillus sp., Achromobacter sp. dan Jamur Trichoderma sp.

Sebagai dekomposer pada beberapa ketebalan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) di pertanaman kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan di Lahan Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2019 dengan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor yaitu Bakteri Bacillus sp., Achromobacter sp. dan Jamur Trichoderma sp. dengan lapisan TKKS (2 lapis dan 3 lapis) dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. Salah satu alternatif untuk mengelola TKKS adalah dengan cara melakukan pengomposan. Usaha untuk mempercepat pengomposan secara biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri dan jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri dan jamur berpengaruh nyata pada parameter amatan suhu 3 dan 4 MSA. Pada amatan parameter pH perlakuan bakteri dan jamur berpengaruh nyata pada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11 MSA, pada amatan parameter kelembaban ada interaksi antara antara perlakuan bakteri dan jamur dengan perlakuan lapis TKKS pada MSA 3.

Kata kunci: Pengomposan, bioaktivator dan larva simbion Oryctes rhinoceros L

(5)

ABSTRACT

WINDA MAHDIAH: The Role of Bacteria Bacillus sp., Achromobacter sp. And Mushroom Trichoderma sp. As a decomposer for several thicknesses of empty palm oil bunches in oil palm plantations, guided by from Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS and Dr. Ir. Marheni, MP. This study aims to determine the role of Bacillus sp., Achromobacter sp. and Mushroom Trichoderma sp. As a decomposer for several thicknesses of oil palm empty bunches (OPEB) in oil palm plantations. This research was conducted in Agricultural Land, Faculty of Agriculture, University Sumatera Utara, from April to July 2019 with a factorial randomized block design with 2 factors, named Bacteria Bacillus sp., Achromobacter sp. and Mushroom Trichoderma sp. with OPEB layers (2 layers and 3 layers) used as a source of organic fertilizer needed by the soil and plants. One alternative to manage OPEB is composting. In order to accelerate composting biologically can be done by using bacteria and mushroom. The results show that bacteria and mushroom had a significant effect on the observed temperature parameters of 3 and 4 MSA. In observing the pH parameters of the bacteria and mushroom treatments had a significant effect on 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11 MSA, on the observation of moisture parameters there was an interaction between bacterial and mushroom treatments with OPEB coating treatment at MSA 3.

Keywords: Composting, bioactivators and symbiont larvae of Oryctes rhinoceros L.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Winda Mahdiah, dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Agustus 1997, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan M. Rusli dan Nurhayati Siahaan.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah SDS IKAL di Medan lulus pada tahun 2009, SMPN 7 Medan lulus pada tahun 2012, SMAN 7 Medan lulus pada tahun 2015 dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN pada program studi Agroteknologi dengan minat hama dan penyakit tumbuhan.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan yaitu anggota Himpunan Mahasiswa Agroteknologi (HIMAGROTEK) Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III unit kebun Sei Silau Kabupaten Asahan, Sumatera Utara pada Juli hingga Agustus 2018. Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Pengabdian Masyarakat (KKN-PPM) Universitas Sumatera Utara di Kelurahan Marihat Jaya, Kecamatan Siantar Marimbun, Siantar pada tahun 2019.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Peran Bakteri Bacillus sp., Achromobacter sp. Dan Jamur Trichoderma sp. Sebagai Dekomposer Pada Beberapa Ketebalan Tandan Kosong Kelapa Sawit Di Pertanaman Kelapa Sawit” yang merupakan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga penulis yang telah berjuang dalam membimbing dan yang mengajarkan penulis sampai saat ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku dosen ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Marheni, MP selaku dosen anggota komisi pembimbing, Irda Safni, SP., MCP, Ph.D selaku dosen moderator seminar proposal dan seminar hasil saya, Ir. Suzanna Fitriany, M.Si selaku dosen penguji ujian meja hijau saya dan Dr. Ir. Sarifuddin. MP. Selaku ketua program studi Agroteknologi yang telah banyak membatu penulis dalam memberikan saran dan arahan yang membangun dalam kesempurnaan skripsi ini. Serta penulis berterima kasih juga kepada staf pengajar dan pegawai di Program Studi Agroteknologi, HPT Grup 2015, Grup diem-diem aja dan Teman-teman seperjuangan di HPT 2015.

(8)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak mengalami kekurangan.

Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan usulan penelitian ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2021

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Tandan Kosong Kelapa Sawit ... 4

Pengomposan ... 6

Peran Dekomposer ... 9

Peran Bacillus sp. ... 10

Peran Achromobacter sp. ... 11

Peran Trichoderma sp. ... 12

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 16

Prosedur Kerja ... 16

Persiapan Alat dan Bahan... 16

Pembuatan Media ... 16

Pembiakan Bakteri ... 17

Pemanenan Bakteri ... 17

Pembiakan Jamur ... 17

(10)

Pembiakan Jamur ... 17

Pembuatan Lubang Lingkaran TKKS ... 17

Analisis Suhu Awal ... 18

Aplikasi Bakterike Tandan Kosong Kelapa Sawit ... 18

Aplikasi Jamur ke Tandan Kosong Kelapa Sawit ... 18

Pembolak-balikan TKKS ... 18

Parameter Pengamatan ... 19

Suhu ... 19

PH ... 19

Kelembaban ... 19

Rasio C/N ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Suhu ... 20

PH ... 24

Kelembaban ... 28

Rasio C/N ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 40

(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Rataan Parameter Suhu pada masing-masing

Perlakuan Pengamatan 1-12 HSA ... 21 2. Rataan Parameter pH pada masing-masing

Perlakuan Pengamatan 1-12 HSA ... 25 3. Rataan Parameter Kelembaban pada masing-masing

Perlakuan Pengamatan 1-12 HSA ... 29 4. Rasio C/N ... 31

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Grafik Suhu pada masing-masing

Perlakuan ... 20 2. Grafik Parameter pH pada masing-masing

Perlakuan ... 24 3. Grafik Parameter Kelembaban pada masing-masing

Perlakuan ... 28

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Bagan Penanaman pada Plot ... 40

2. Denah Bagan Plot Penelitian ... 41

3. Keterangan Denah Penelitian ... 42

4. Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Penelitian ... 43

5. Data Suhu, pH dan Kelembaban MSA 1-12 Sebelum di Uji ... 44

6. Data Suhu 3 MSA ... 47

7. Data Suhu 4 MSA ... 48

8. Data pH 1 MSA ... 49

9. Data pH 2 MSA ... 50

10. Data pH 3 MSA ... 51

11. Data pH 4 MSA ... 52

12. Data ph 5 MSA ... 53

13. Data pH 6 MSA ... 54

14. Data pH 7 MSA ... 55

15. Data pH 9 MSA ... 56

16. Data pH 11 MSA ... 57

17. Data Kelembaban 1 MSA ... 58

18. Data Kelembaban 2 MSA ... 59

19. Data Kelembaban 3 MSA ... 60

20. Data Kelembaban 4 MSA ... 61

21. Data Kelembaban 5 MSA ... 62

(14)

22. Data Kelembaban 6 MSA ... 63

23. Data Kelembaban 7 MSA ... 64

24. Data Kelembaban 8 MSA ... 65

25. Data Kelembaban 9 MSA ... 66

26. Data Kelembaban 10 MSA ... 67

27. Data Kelembaban 11 MSA ... 68

28. Data Kelembaban 12 MSA ... 69

29. Foto Kegiatan ... 70

(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan andalan di Indonesia yang memiliki prosp.ek sangat baik untuk dikembangkan sebagai sumber perolehan devisa negara. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama lima tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan. Kenaikan tersebut berkisar antara 2,77 sampai dengan 10,55% per tahun dan mengalami penurunan pada tahun 2016 sebesar 0,52%.

Adapun Luas Areal dan Produksi Crude Palm Oil (CPO) Perkebunan Indonesia menurut Provinsi dan Status Pengusahaan yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur (BPS 2018).

Di Indonesia limbah pabrik kelapa sawit yang jumlahnya sangat melimpah. Setiap pengolahan 1 ton TBS (Tandan Buah Segar) akan dihasilkan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebanyak 22–23% atau sebanyak 220–230 kg TKKS. Limbah ini belum dimanfaatkan secara baik oleh sebagian besar pabrik kelapa sawit (PKS) dan masyarakat di Indonesia.

Pengolahan atau pemanfaatan TKKS oleh PKS masih sangat terbatas. Alternatif pengolahan lainnya adalah dengan menimbun (open dumping), dijadikan mulsa di perkebunan kelapa sawit, atau diolah menjadi kompos (Salmina, 2015).

TKKS adalah salah satu limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit ysng telah mengalami dekomposisi. Kompos TKKS merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara utama N, P, K dan Mg dan bermanfaat sebagai pembenah medium tanam, mampu memperbaiki sifat fisik tanah, dapat pula meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga pupuk yang digunakan untuk pembibitan kelapa sawit (Darmosarkoro dan Winarna, 2001),

(16)

TKKS diaplikasikan untuk menyediakan unsur hara bagi tanaman kelapa sawit. Pengaplikasian TKKS di sekitar perakaran kelapa sawit dari pangkal batang hingga 1 meter dari perakaran kelapa sawit. TKKS yang diaplikasikan sebanyak 3 lapis. TKKS yang belum diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit diletakan menumpuk di sekitar gawangan kelapa sawit. TKKS yang dibiarkan menumpuk akan menjadi tempat perkembanganbiakan kumbang O. rhinoceros dewasa untuk meletakkan telur (Handoko et al., 2017).

Usaha untuk mempercepat dekomposisi dapat dilakukan secara fisik, kmia dan biologi. Perlakuan secara biologi umumnya dilakukan dengan menambahkan inokulum decomposer atau pengurai yaitu mikroorganisme selulotik. Pada penelitian ini, TKKS akan dicampur dengan bakteri Pada larva O. rhinoceros yang diisolasi dan diidentifikasi ditemukan Bacillus sp. dan Achromobacter sp.

Bakteri ini dapat hidup dan bertahahan dalam waktu yang cukup tinggi berkisar dari suhu dan pH sejenis di dalam saluran pencernaan larva Lepidoptera (Maysaroh, 2018).

Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui peran Bacillus sp., Achromobacter sp. dan Jamur Trichoderma sp. Sebagai dekomposer pada beberapa ketebalan tandan kosong kelapa sawit di pertanaman kelapa sawit.

Hipotesis Penelitian

- Ada pengaruh suhu, pH dan kelembaban terhadap bakteri Bacillus sp., Achromobacter sp. dan Jamur Trichoderma sp., sebagai dekomposer tandan kosong sawit di lapangan.

(17)

- Ada pengaruh bakteri Bacillus sp., Achromobacter sp. dan Jamur Trichoderma sp. sebagai decomposer terhadap beberapa ketebalan TKKS.

Kegunaan Penelitian

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertaniaan, Universitas Sumatera Utara dan sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

TKKS merupakan limbah yang dihasilkan sebanyak 23% dari tandan buah segar. TKKS merupakan salah satu jenis limbah padat yang dihasilkan dalam industri minyak sawit. Jumlah TKKS cukup besar karena hampir sama dengan jumlah produsi minyak sawit mentah. Limbah TKKS belum banyak dimanfaatkan secara optimal karena adanya komponen terbesar dari TKKS berupa selulosa (40-60%), disamping komponen lain yang jumlahnya lebih kecil seperti hemiselulosa (20-30%) dan lignin (15-30%) (Wardiani, 2013).

Indonesia yang menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2012-2016 mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 2012 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah 9.6 juta ha dengan produksi minyak sawit sebesar 26.0 juta ton, meningkat 21.9% menjadi 11.7 juta ha dengan produksi minyak sawit meningkat 36.5% menjadi 35.5 juta ton pada tahun 2016 (Ditjenbun 2015).

Limbah padat yang dihasilkan pabrik kelapa sawit berupa TKKS yang jumlahnya sekitar 20 % dari TBS yang diolah dan merupakan bahan organik yang kaya akan unsure hara. Aplikasi TKKS berpotensi tinggi sebagai bahan pembenah tanah, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, serta meningkatkan produksi kelapa sawit (Susilawati, 2015).

TKKS merupakan limbah terbesar dibandingkan limbah padat lainnya TKKS merupakan limbah yang dihasilkan sebanyak 23 % dari tandan buah segar (TBS). TKKS merupakan bahan yang mengandung unsur N, P, K dan Mg. TKKS

(19)

sangat potensial dimanfaatkan sebagai kompos karena jumlahnya yang melimpah dan kadar haranya yang tinggi (Yunindianova et al., 2013).

TKKS adalah salah satu limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit ysng telah mengalami dekomposisi. Kompos TKKS merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara utama N, P, K dan Mg dan bermanfaat sebagai pembenah medium tanam (Darmosarkoro dan Winarna, 2001), mampu memperbaiki sifat fisik tanah, dapat pula meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga pupuk yang digunakan untuk pembibitan kelapa sawit dapat dikurangi (Lalang Buana et al., 2003). Kandungan nutrisi kompos TKKS : C 35%, N 2,34%, C/N 15, P 0,31%, K 5,53%, Ca 1,46%, Mg 0,96%, dan Air 52% (Widiastuti et al., 2015). Kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman, mengurangi resiko sebagai pembawa hama tanaman, merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air, dan dapat diaplikasikan pada berbagai musim (Amri et al., 2018).

Limbah industri perkebunan pada umumnya berupa biomassa tanaman yang jumlahnya sangat melimpah namun bersifat rekalsitran karena kandungan ligninnya. Dalam formasinya di dalam sel tanaman, lignin berada di permukaan sehingga untuk pemanfaatan limbah industri perkebunan, harus dilakukan degradasi lignin terlebih dahulu untuk memudahkan dekomposisi selulosa yang berada di bagian dalam. Dekomposisi lignin di samping dapat dilakukan secara kimia dapat pula dilakukan secara enzimatik yaitu melalui aktivitas mikroba.

Enzim ekstraseluler yang utama mendegradasi lignin adalah lakase, mangan peroksidase (MnP), dan lignin peroksidase (LiP) (Widyastuti et al., 2015).

TKKS dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. TKKS mencapai

(20)

23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternativ pupuk organik juga akanmemberikan manfaat lain dari sisi ekonomi. Keunggulan kompos TKKS meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi (Edy dan Sri, 2014).

Pengomposan merupakan salah satu cara meningkatkan nilai hara dan menurunkan volume tandan kosong kelapa sawit yang tidak terpakai.

Pemanfaatan tandan kosong memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Darmoko dan Ady, 2006).

Pengomposan

Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan organik atau proses perombakan senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang sederhana dengan bantuan organisme tanah. Kompos terdiri dari bebagai macam bahan dasar organik, salah satu bahan organik yang dapat dijadikan kompos adalah tandan kosong kelapa sawit (Mustaqim et al., 2016).

Pengomposan dan fermentasi merupakan salah satu metode pengelolaan limbah yang dapat dilakukan pada TKKS. TKKS dapat diubah menjadi produk yang bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman dengan merubah limbah tersebut menjadi kompos melalui pengomposan dan fermentasi. Materi organik di dalam tanah digolongkan menjadi dua jenis sesuai dengan kemampuan degdradasinya, yaitu materi organik labil dan materi organik recalcitrant (Febrizio et al; 2008).

(21)

Aplikasi kompos TKKS pada tanaman kelapa sawit dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia 50% dan produksi yang lebih tinggi dibanding dengan pemberian pupuk kimia standar 100% (Sutantoet al., 2005). Kompos TKKS dapat juga dimanfaatkan untuk tanaman semusim seperti tanaman palawija. Oleh karena itu untuk menambah pendapatan petani, lahan perkebunan di sela–sela tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija (Sutantoet al., 2005).

Kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan dengan ciri-ciri warna yang berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air rendah dan mempunyai suhu ruang. Kematangan kompos berdasarkan SNI dikasikan dengankompos berwarna kehitaman, tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Suhu kompos yang sudah matang sama seperti suhu air dalam tanah yaitu tidak lebih dari 30˚C. Suhu kompos yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada akar tanaman (Pramawasari et al; 2011).

Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi limbah pabrik kelapa sawit, diantaranya memanfaatkan limbah TKKS sebagai alternatif pembuatan kompos. Kompos adalah hasil pembusukan sisa tanaman oleh aktivitas mikroorganisme pengurai. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio). Jika C/N rasio tinggi, berati bahan penyusun kompos belum terurai secara sempurna.

Bahan kompos dengan C/N rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan yang memiliki C/N rasio rendah. Kualitas kompos dianggap baik jika memiliki C/N rasio antara 12-15 (Novizan, 2005). Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton TBS/jam jumlah tandan kosong kelapa

(22)

sawit yang dihasilkan adalah 220kg/hari, sedangkan jumlah cair pabrik adalah 650m3/hari (Darnoko dan Sutarta, 2006).

Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan, dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu hingga kompos benar-benar matang.

Namun, proses tersebut dapat dipercepat dengan beberapa strategi (Widarti et al., 2015).

Rasio C/N bahan organik adalah perbandingan antara banyaknya kandungan unsur karbon (C) terhadap banyaknya kandungan unsur nitrogen yang ada pada suatu bahan organik.Mikroorganisme membutuhkan karbon dan nitrogen untuk aktivitas hidupnya. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang, diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk mendegradasi kompos sehingga diperlukan waktu yang lama untuk pengomposan dan dihasilkan mutu yang lebih rendah, jika rasio C/N terlalu rendah kelebihan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi (Widarti et al., 2015).

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30-40.

Mikroorganisme memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein.Pada nilai C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isroi, 2008).

Apabila rasio C/N lebih tinggi dari 25 menandakan proses pengomposan masih belum sempurna. Pengomposan perlu dilanjutkan kembali sehingga rasio

(23)

C/N di bawah 25 hasil rasio C/N yang tidak berpengaruh nyata pada penelitian diduga karena rendahnya kualitas bahan organik dan kecilnya dosis urea yang diberikan. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) memiliki kandungan rasio C/N relatif tinggi. Kualitas bahan organik yang rendah menyebabkan proses pelepasan unsur hara berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang relatif lama (Isroi, 2008).

Peran Mikroorganisme Dekomposer

Mikroflora dan fauna tanah berpartisipasi aktif dalam dekomposisi bahan organik dan siklus hara, sehingga secara signifikan mengendalikan alam dan produktivitas agroekosistem menunjukkan hubungan positif antara keanekaragaman mikroba dan stres yang mengakibatkan keragaman yang lebih tinggi pada akar dan tanah subur Anasir air, udara, mineral dan bahan organic yang terkandung dalam tanah menjadikan media tanah merupakan lingkungan kehidupan yang memfasilitasi kehidupan seluruh makluk hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung (Agus et al., 2014).

Mikroba fungsional umumnya dikelompokkan berdasarkan peran atau fungsinya. Peran yang utama dari kelompok mikroba tersebut adalah sebagai penyedia unsur hara seperti penambat N2 dari udara, pelarut P dan hara yang lain.

Dari kelompok mikroba tersebut, selain fungsi utamanya sebagai penyedia hara, ada juga yang mempunyai kemampuan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, dengan mensintesis berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon), serta kemampuan sebagai pengendali patogen yang berasal dari tanah (Firman et al., 2011)

Proses perombakan (dekomposisi) bahan-bahan organik dengan memanfaatkan peran atau aktivitas mikroorganisme. Melalui proses tersebut, bahan-bahan organik akan diubah menjadi pupuk kompos yang kaya dengan

(24)

unsur-unsur hara baik makro ataupun mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman (Yurmiati, 2008). Penambahan bioaktivator dapat mempercepat proses pengomposan dan kualitas produk kompos. Penambahan bioaktivator bermanfaat sebagai sumber nutrien untuk membangun sel-sel baru mikroorganisme agar proses dekomposisi berjalan dengan baik atau mempercepat proses pematangan (Yurmiati dan Hidayati, 2008).

Kegiatan pengomposan dengan menggunakan mikroba pendekomposer ini adalah sebagai upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan khususnya dalam hal pemanfaatan mikroorganisme pendekomposer. Pemanfaatan fungi sebagai pendegradasi limbah pertanian diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam pengomposan dan memberikan multiplier effect, baik sebagai bagian dari upaya konservasi, pencegahan degradasi tanah, maupun keuntungan ekonomis (Astari, 2011).

Peran Bacillus sp.

Marga Bacillus merupakan bakteri yang berbentuk batang dapat dijumpai di tanah dan air termasuk pada air laut. Beberapa jenis menghasil enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis protein dan polisakarida kompleks.

Bacillus sp.p membentuk endosp.ora, merupakan gram positif, bergerak dengan adanya flagel peritrikus, dapat bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik serta bersifat katalase positif (Ariani, 2000).

Mikroorganisme tanah seperti Bacillus sp. merupakan kelompok mikroorganisme yang mampu menghasilkan hormon tanaman juga mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman.

Hormon yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih vigor (Nendyo et al; 2004).

(25)

Bacillus sp. dapat menghasilkan asam-asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam laktat yang dapat melarutkan fosfat dalam bentuk yang sulit larut. Asam-asam organik ini membentuk khelat dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah seperti Al3+ dan Fe3+. Khelat tersebut dapat menurunkan reaktivitas ion-ion tersebut sehingga menyebabkan pelarutan fosfat yang efektif (Hans & Lee 2005).

Bakteri anggota genus Bacillus stratoperichus sp. berperan sebagai reduser (decomposer) berperan menguraikan bahan organic dan sisa-sisa jasad hidup yang mati menjadi unsure-unsur kimia (mineralisasi bahan organik) enzim yang dihasilkan oleh bakteri ini antara lain enzim lipase, amilase dan protease (Sumardi et al; 2012).

Peran Bakteri Achromobacter sp.

Achromobacter sp. merupakan mikroorganisme perombak bahan organik merupakan activator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposan dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan. Proses dekomposisi bahan organik di alam tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme (Mercy, 2009).

Berbagai bentuk bakteri dari bentuk yang sederhana (bulat, batang, koma, dan lengkung), tunggal sampai bentuk koloni seperti filamenatau spiral mendekomposisi sisa tumbuhan maupun hewan. Sebagian bakteri hidup secara aerob dan sebagian lagi anaerob, sel berukuran 1 μm -1.000 μm. Dalam merombak bahan organik, biasanya bakteri hidup bebas di luar organisme lain,

(26)

tetapi ada sebagian kecil yang hidup dalam saluran pencernaan hewan (mamalia) (Hans, 2006)

Proses pengomposan oleh mikroorganisme terdiri atas tiga tahapan dalam kaitannya dengan suhu, yaitu mesofilik, termofilik, dan pendinginan. Tahap awal mesofilik, suhu proses naik ke sekitar 40˚C karena adanya fungi dan bakteri pembentuk asam. Suhu proses akan terus naik ke tahap termofilik antara 40 - 70˚C, bakteri termofilik actinomisetes dan fungi termophilik. Pada kisaran suhu termofilik, proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Pada tahapan pendinginan terjadi penurunan aktivitas mikroba, penggantian mikroba termofilik dengan bakteria dan fungi mesofilik. Selama tahapan pendinginan, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan asam humat (Rasty et al., 2015).

Proses dekomposisi nitrogen organik dan nitrifikasi terhadap amonium oleh bakteri akan menghasilkan nitrat yang merupakan senyawa toksik. Nitrat akan dimanfaatkan oleh fitoplankton atau dibuang ke perairan di luar pertambakan, sehingga perairan tambak akan mengalami eutrofikasi. Sebagian kecil dari nitrat dalam perairan tambak akan diubah oleh bakteri denitrifikasi menjadi nitrogen gas (N2) dan akan lepas ke udara (Diah et al., 2008)

Trichoderma sp.

Cendawan Trichoderma sp. merupakan mikroorganisme tanah bersifat saprofit yang secara alami menyerang cendawan pathogen dan bersifat menguntungkan bagi tanaman. Cendawan Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang banyak dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang merupakan salah satu jenis cendawan yang dapat

(27)

dimanfaatkan sebagai agens hayati pengendali pathogen tanah. Cendawan ini dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah perakaran tanaman (Berlian et al., 213).

Jamur Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis yang banyak dijumpai pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang merupakan salah satu jenis jamur yang dapat dimanfaatkan sebagai agensia hayati pengendali pathogen tanah dan telah menjadi perhatian penting sejak beberapa dekade terakhir ini karena kemampuannya sebagai pengendali biologis terhadap beberapa pathogen tanaman (Harman et al., 2004).

Spesies Trichoderma sp. disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam peranannya sebagai agens hayati bekerja berdasarkan mekanisme antagonis yang dimilikinya mengatakan bahwa Trichoderma sp. merupakan cendawan parasit yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi dari cendawan lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit cendawan patogen tanaman dan bersifat antagonis, karena memiliki kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan lain.

Beberapa jenis Trichoderma sp. dapat mengurangi insiden patogen tular tanah pada kondisi alamiah. Faktor seperti pH tanah, aerasi dan sumber nutrisi merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan Trichoderma sp. di lapangan. Pada pH rendah dan keadaan yang lembab, Trichoderma sp. akan berkembang dengan baik. Trichoderma sp. banyak digunakan sebagai agen hayati untuk mengendalikan patogen tular tanah juga sebagai organisme pengurai dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (Sivan et al., 1990).

(28)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Halaman Joglo Lahan Pertanian dan Perbanyakan Bakteri Simbion Larva Oryctes di Laboratorium Penyakit Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dimulai dari bulan April sampai dengan bulan Juli 2019.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adlah bakteri biakan Bacilus sp. dan Achromobacter sp. dan Trichoderma sp. yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, hasil penelitian Ummi Maysaroh, TKKS yang diperoleh dari Perkebunan Rakyat di Kabupaten Langkat, Nutrient Agar (NA) dengan komposisi Peptone from meat 5 g, Meat extract 3 g, Agar-agar 12 g, Nutrient Broth (NB) dengan komposisi Lab Lemco Powder 1 g, Yeast extract 2 g, serta TKKS. Media tumbuh Trichoderma yaitu Potato Dextrose Agar (PDA), isolat Trichoderma dan air.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ini adalah cawan petri, beaker glass, jarum inokulasi, lampu bunsen, pipet tetes, tabung Erlenmeyer, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), autoklaf, rotary shaker, gunting, hand sprayer, camera, printer, thermometer, angkong, tali plastik, Munsell chart soil, pH meter, timbangan, cangkul, meteran, bambu, label dan alat tulis.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) Faktorial. Kelompok ditentukan berdasarkan pohon yang berbeda dan pengelompokan berfungsi sebagai ulangan.

(29)

Faktor I : Penggunaan bakteri dan jamur

G0 : Tanpa pemberian bakteri dan jamur (kontrol) G1 : Bakteri Bacillus sp. + Jamur Trichoderma sp.

G2 : Bakteri Achromobacter sp. + Jamur Trichoderma sp.

Faktor II : Lapisan TKKS L1 : 2 Lapis

L2 : 3 Lapis

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 8 kombinasi

G0L1 G1L1 G2L1

G0L2 G1L2 G2L2

Jumlah Lubang : 24 lubang tanam

Ukuran Lubang : - 30cm x 40cm (2 Lapis) - 30cm x 60cm (3 Lapis)

Ulangan : 4 Ulangan

Jumlah tanaman seluruhnya : 24 tanaman

Jumlah ulangan diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (t-1) ( n-1) ≥ 15

(6-1) (n-1) ≥ 15 5 (n-1) 15 5n – 515 5n 15 + 5 5n 20 n4

(30)

Percobaaan ini dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier rancangan acak kelompok faktorial sebagai berikut :

Yijk = μ + τi + εij

Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i & ulangan ke-j μ = nilai tengah umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i & ulangan ke-j Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan. Adapun tahapan kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Prosedur Kerja

Semua peralatan yang digunakan seperti cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, dicuci dan dikeringkan, selanjutnya dibungkus dengan kertas dan dimasukkan kedalam autoklaf pada suhu 121º C dengan tekanan 15 psi selama 15 menit. Seluruh dinding laminar dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70%. Fan dinyalakan untuk mengalirkan udara agar tetap bersih.

a. Persiapan Alat dan Bahan

Persiapan ini bertujuan untuk mempersiapkan semua alat dan bahan yang akan di pergunakan saat pengamatan.

b. Pembuatan Media

Media NA dibuat dengan komposisi Peptone from meat 5 g, Meat extract 3 g, Agar-agar 12 g, dicampur dengan 1 l aquadest lalu dimasukkan kedalam autoklaf pada suhu 121º C dengan tekanan 15 psi selama 20 menit lalu dituang kedalam cawan petri sesuai kebutuhan untuk menumbuhkan bakteri.

(31)

Media NB dibuat dengan komposisi Lab Lemco Powder 1 g, Yeast extract 2 g, Peptone 5 g, dan Sodium chloride 5 g dicampur dengan 1 l aquadest lalu dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121º C dengan tekanan 15 psi selama 30 menit.

c. Pembiakan Bakteri

Pembiakan bakteri dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dilakukan dengan inokulasi koloni bakteri yang tumbuh dengan menggunakan jarum ose yang digoreskan pada media NA dengan metode goresan, kemudian diletakkan pada oven dengan suhu ruan 28° C selama 24 jam.

d. Pemanenan Bakteri

Bakteri yang telah dibiakkan di panen dengan menggunakan media NB setelah itu bakteri di gojrok dengan menggunakan rotary shaker dan kemudian dilakukan perhitungan bakteri dengan menggunakan spektrofotometer sehingga diperoleh hasil dengan dosis yang diinginkan.

e. Pembiakan Jamur

Pembiakan bakteri dilakukan di laboratorium dilakukan dengan inokulasi jamur ke media PDB kumudian ditunggu bakteri tumbuh dan dipanen kemudian di aplikasikan pada TKKS.

f. Pembuatan Lubang dan Lingkaran TKKS

Pembuatan lubang dibuat melingkar dengan jarak 1 m dari batang kelapa sawit dengan kedalaman 50 cm x 50 cm dan 60 cm x 60 cm dari permukaan tanah untuk dilakukan sebagai tempat pengomposan TKKS.

(32)

g. Analisis Suhu Awal

Pengambilan sampel untuk suhu dilakukan sebelum pengaplikasian bakteri dengan menggunakan termometer, termometer ditusukkan pada tumpukan untuk dilihat perubahan suhunya.

h. Aplikasi bakteri pada Tankos

Bakteri yang telah dibiakkan dengan media NA dan ditumbuhkan ke media NB, di aplikasikan pada tandan kosong kelapa sawit yang telah diaplikasikan ke dalam lubang dan tunggu selama 12 minggu untuk proses pengomposan. Dosis yang digunakan yaitu 1,5 l per lubang untuk ketebalan 2 lapis dan 2,5 l per lubang untuk ketebalan 3 lapis.

i. Aplikasi jamur pada Tankos

Jamur yang telah diperbanyak dan dipindahkan ke media PDB diaplikasikan padatandan kosong kelapa sawit dan diaplikasikan bakteri. Aplikasi dilakukan 3 minggu setelah tankos di berikan perlakuan bakteri. Dosis yang digunakan untuk Trichoderma sp. yaitu 2,4 l per lubang untuk ketebalan 2 lapis dan 3,5 l per lubang untuk ketebalan 3 lapis dan pada ragi yaitu 20 g/l untuk 2 lapis tankos dan 30 g per 1,5 l untuk 3 lapis tankos.

j. Pembolak-balikan TKKS

Setelah bakteri dan jamur diaplikasikan ke TKKS ditunggu hingga 12 minggu dan setiap minggunya dilakukan pembolak-balikan TKKS dan dilakukan pengambilan data sesuai parameter yang diamati.

Jamur yang telah diperbanyak dan dipindahkan ke media PDB diaplikasikan padatandan kosong kelapa sawit dan diaplikasikan bakteri. Aplikasi dilakukan 3 minggu setelah TKKS di berikan perlakuan bakteri. Dosis yang digunakan untuk Trichoderma sp. yaitu 2,4 l per lubang untuk ketebalan 2 lapis

(33)

dan 3,5 l per lubang untuk ketebalan 3 lapis dan pada ragi yaitu 20 g/l untuk 2 lapis tankos dan 30 g per 1,5 l untuk 3 lapis tankos.

Parameter Pengamatan Suhu

Suhu diamati setiap 1 minggu sekali setelah pengaplikasian bakteri dengan menggunakan termometer, termometer ditusukkan pada tumpukan kompos lalu dibiarkan sekitar 10 menit untuk dilihat perubahan suhunya.

pH

Pengambilan data pH diamati setiap 1 minggu sekali setelah pengaplikasian bakteri dengan menggunakan pHmeter, termometer ditusukkan pada tumpukan TKKS lalu dibiarkan sekitar 10 menit untuk dilihat perubahannya.

Uji Rasio C/N

Nilai C/N rasio bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Padadasarnya, prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan C/N rasio bahan organik agar sama dengan C/N tanah (<20). Analisis rasio C/N dilakukan di PT. Socfind Indonesia pada saat 4, 8 dan 12 MSA.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN SUHU

Hasil analisis sidik ragam dan dilanjut dengan uji jarak Duncan pada pengamatan parameter suhu pada 1-12 MSA menunjukkan bahwa data pemberian bakteri Bacillus sp. , Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. berpengaruh nyata terhadap suhu pada 3 MSA dan 4 MSA (Lampiran6 dan 7). Sedangkan perlakuan L1, L2 dan interaksi pada kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata dapat dilihat pada Tabel.1

Berdasarkan data pengamatan dapat dilihat bahwa data suhu tertinggi yaitu pada G2L2 2 MSA yaitu 33˚ C dan suhu terendah yaitu pada semua perlakuan pada MSA 1, 10, 11 dan 12 yaitu 30˚ C dilihat pada Gambar 1. dan Tabel 1.

Gambar 1.

Ket: Grafik Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap suhu TKKS.

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

(35)

Tabel 1. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap suhu TKKS 0-12 MSA (°C)

Perlakuan Perubahan Suhu

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11 MSA 12 MSA

G0L1 30 30.5 30.5 31.25 30.5 30.75 30.5 30.25 30.25 30 30 30

G0L2 30 30.75 32.5 30.5 30 3025 30.5 30 30.25 30 30 30

Rataan 30 31.62 31.5 ab 30.87ab 30.25 30.5 30.5 30.12 30.25 30 30 30

G1L1 30 32.5 30.75 31.75 30.75 30.75 30.25 30.25 30 30 30 30

G1L2 30 32.25 32 32.25 30.75 30.5 30.25 30.25 30 30 30 30

Rataan 30 32.37 31.37b 32ab 30.75 30.62 30.25 30.25 30 30 30 30

G2L1 30 32.25 31.75 32 30.75 30.25 30.25 30.25 30 30 30 30

G2L2 30 33 32.25 32 31 30.25 30.25 30 30.25 30 30 30

Rataan 30 32.62 32a 32a 30.87 30.25 30.25 30.12 30.12 30 30 30

Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

(36)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 1. dan Tabel 1.

menunjukkan bahwa suhu antara semua perlakuan tidak ada perbedaan suhu yang terlalu jauh. Suhu tertinggi pada proses pengomposan ini adalah 32-33° C. Pada grafik antara semua perlakuan tidak ada perbedaan suhu yang terlalu jauh, pada awalnya berada pada kisaran 30° C, selanjutnya suhu naik pada hari 4 MSA dimana suhu sudah mencapai kisaran 32-33° C. Pengamatan pada minggu terakhir (12 MSA) suhu TKKS tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan dan suhu stabil pada angka 30° C.

Dari Gambar 1. dan Tabel 1. menunjukkan bahwa suhu tertinggi pada proses pengomposan ini yaitu perlakuan G2L1 dan G2L2 pada 2 MSA yaitu 33˚ C dan rataan suhu terendah yaitu semua perlakuan pada 1 MSA, 8 MSA dan 12 MSA yaitu 30˚ C. Pada 1 MSA suhu masih rendah karena mikroorganisme belum bekerja, suhu meningkat dimulai pada 2 MSA dan pada saat 10 MSA suhu sudah kembali ke suhu awal. Hal ini sesuai dengan penelitian Maysaroh (2018), pada pengomposan TKKS suhu perlahan mulai naik pada MSA 2 dan 3 dan terjadi penurunan suhu pada 4 MSA sampai 6 MSA.

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 1. menunjukkan bahwa puncak kenaikan suhu tertinggi yaitu perlakuan G2L2 pada 2 MSA yaitu 33˚ C hal ini terjadi karena aktivitas bakteri dan biaktivator yang tinggi pada proses pengomposan. Menurut Miller (1991), suhu yang berkisar antara 30º C - 60º C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Menurut Isro (2007), panas pada kompos terjadi karena mikroba mulai aktif memanfaatkan oksigen dan mulai mengurai bahan organik menjadi gas CO2, uap air dan panas. Setelah semua bahan terurai maka suhu akan berangsur mengalami penurunan.

(37)

Dari Gambar 1. dan Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan suhu terendah yaitu pada semua perlakuan 1 MSA, 8 MSA dan 12 MSA yaitu 30˚C. Pada 1 MSA suhu masih rendah karena mikroorganisme belum bekerja, suhu meningkat dimulai pada 2 MSA dan pada saat 10 MSA suhu sudah stabil dan kembali ke suhu awal dimana kompos yang baik adalah kompos yang sudah mengalami pelapukan, kadar air rendah dan mempunyai suhu 30˚ C. Hal ini sesuai literatur (Pramawasari et al; 2011). Kematangan kompos berdasarkan SNI dikasikan dengankompos berwarna kehitaman, tekstur seperti tanah dan berbau tanah. Suhu kompos yang sudah matang sama seperti suhu air dalam tanah yaitu tidak lebih dari 30˚ C.

Dari hasil yang diperoleh pada Gambar 1. dan Tabel 1. menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol G0, suhu tidak terlalu mengalami peningkatan suhu, hal ini disebabkan tidak adanya penambahan bakteri dan jamur. Pemberian bakteri dan jamur ini menjadikan mikroorganisme lebih aktif untuk peningkatan suhu. Hal ini sesuai literatur Cahaya dan Nugraha (2008) jumlah mikroba yang merombak bahan organik juga berpengaruh terhadap temperatur kompos. Jumlah bakteri yang mengalami peningkatan menunjukkan adanya peran aktif mikroba untuk mendegradasi bahan organik.

Berdasarkan Tabel 1. diperoleh bahwa perlakuan L1 dan L2 tidak berbeda nyata terhadap suhu karena keadaan pengomposan yang terbuka pada lubang pertanaman kelapa sawit. Hal ini sesuai literatur Setyorini et al., (2006). Keadaan kompos yang terbuka pada hari ke-10 setelah pengomposan, mengakibatkan siklus aerase yang cukup bebas sehingga menyebabkan panas yang dihasilkan mudah hilang pada tumpukan kompos. Hal ini, diakibatkan tinggi tumpukan kompos sehingga panas yang terperangkap dalam tumpukan lebih cepat hilang.

(38)

pH

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan dilanjut dengan uji jarak Duncan menunjukkan bahwa data pengamatan pada perlakuan bakteri Bacillus sp.

Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. berpengaruh nyata pada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 11 MSA (Lampiran 12-36). Dan tidak berpengaruh nyata pada 8 MSA, 10 MSA dan 12 MSA dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa pada perlakuan L1 dan L2 tidak berpengaruh nyata terhadap pH kompos, dan interaksi antara perlakuan bakteri dan jamur dengan perlakuan L1 dan L2 tidak berpengaruh nyata dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pH tertinggi terdapat pada perlakuan G0 pada MSA 9 yaitu 6.27 dan pH terendah terdapat pada perlakuan G2 pada 4 MSA yaitu 4.52 dan pH pada TKKS setiap minggunya meningkat.

Peningkatan pH dimulai pada 2 MSA sampai dengan 12 MSA, dapat dilihat pada Gambar 2. dan Tabel 2.

Gambar 2.

Ket: Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap pH TKKS.

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

(39)

Tabel 2. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap pH TKKS 0-12 MSA

Perlakuan Perubahan Ph

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11 MSA 12 MSA

G0L1 4.60 4.60 6 6 5.70 6.20 6.20 6.13 6.40 6.20 6.10 6.13

G0L2 4.80 5 5.60 5.45 5.90 6 6.25 6.25 6.15 6.10 6.05 6.10

R ataan 4.57 a 4.8a 5.80 a 5.72 a 5.70 a 6.10 a 6.22 a 6.19 6.27 a 6.15 6.07 a 6.11

G1L1 5.85 6.05 5.10 4.85 5.35 5.30 5.65 5.20 5.50 5.80 5.20 5.13

G1L2 5.15 5.40 4.85 4.80 5.25 5.60 5.70 5.15 5.25 5.80 5.35 5.80

Rataan 5.5 ab 5.72a 4.97 b 4.82 b 5.35 a 5.45 b 5.67 b 5.17 5.37 b 5.80 5.27 b 5.46

G2L1 5.45 5.75 4.55 4.45 5.20 5.40 5.40 5.30 5.45 5.40 5.20 5.40

G2L2 5.90 5.70 5.15 4.60 4.90 5.40 5.60 5.60 5.60 4.40 5.15 5.40

Rataan 5.67 c 5.72a 4.85 b 4.52 b 5.20 a 5.40 b 5.50 b 5.45 5.52 b 5.40 5.17 b 5.40 Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

(40)

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 2. dan Tabel 2.

menunjukkan bahwa pH tertinggi terdapat pada perlakuan G0L1 pada 9 MSA yaitu 6,4 dan pH terendah terdapat pada perlakuan G2L1 pada 4 MSA yaitu 4,45.

Hal ini terjadi karena pada perlakuan G2L1 diberikan bakteri dan bioaktivator yang mempengaruhi kemasaman tanah. Hal ini sesuai dengan Marlina (2009), pH material kompos bersifat asam pada awal pengomposan. Bakteri berbentuk asam akan menurunkan pH sehingga kompos bersifat lebih asam. Selanjutnya mikroorganisme mulai mengubah nitrogen anorganik menjadi amonium sehingga pH meningkat dengan cepat menjadi basa. Sebagian ammonia dilepaskan atau dikonversi menjadi nitrat dan nitrat didenitrifikasi oleh bakteri sehingga pH kompos menjadi netral.

Berdasarkan Gambar 2. dan Tabel 2. menunjukkan bahwa pengamatan nilai pH kompos setiap minggunya berbeda pada masing-masing perlakuan, pH kompos tertingi yaitu 6,40 pada perlakuan G0L1 dan pH terendah pada 4 MSA terlihat pada perlakuan G2L1 yaitu 4,45 yang mengalami penurunan pH, penurunan menuju sedikit masam dan mendekati netral. Hal ini terjadi karena mikroorganisme selulotik merupakan salah satu mikroorganisme yang banyak digunakan dalam proses dekomposisi dan menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi bahan organik (Saraswati et al.,2006 dalam Yanti 2011, Meryandini et al., 2009). Selanjutnya pada minggu selanjutnya pH kompos mengalami kenaikan menuju netral karena asam-asam senyawa organik telah dilepaskan dan telah didegradasi. Hal ini terjadi karena kombinasi bahan kompos TKKS dan dekomposer telah seimbang.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 2. pada 8 MSA dan 12 MSA menunjukkan bahwa perubahan pH sudah menuju kepada pH kompos

(41)

yang ideal dimana pH juga menunjukkan aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik hal ini sesuai dengan (Ismayana et al. 2012). pH kompos yang ideal berdasarkan standar kualitas kompos SNI : 19-7030-2004 berkisar antara 6,8 hingga maksimum 7,49. Menurut Marlina (2009), pH material kompos bersifat asam pada awal pengomposan. Bakteri pembentuk asam akan menurunkan pH sehingga kompos bersifat lebih asam.

Menurut Astari (2011) nilai pH yang berada di kisaran netral akan mudah diserap dan digunakan tanaman, serta berguna untuk mengurangi keasaman tanah karena sifat asli tanah adalah asam.

(42)

Kelembaban

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan dilanjut uji jarak Duncan menunjukkan bahwa data pengamatan perlakuan bakteri dan bioaktivator berpengaruh nyata pada 1-12 MSA (Lampiran 17) dan tidak berpengaruh nyata pada perlakuan L1 dan L2 dan ada interaksi antara antara perlakuan bakteri Bacillus sp. , Achromobacter sp. dan jamur Trichoderma sp. dengan perlakuan L1 dan L2 pada MSA 3 pada perlakuan G1L1, G1L2, G2L1 dan G2L2 (Lampiran 19) dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa kelembaban tertinggi pada perlakuan G0L1 pada 3 MSA yaitu 6,25 dan kelembaban terendah pada perlakuan G0L1 dan G0L2 pada 6 MSA yaitu 2 dilihat pada dan Tabel 3.

Gambar 3.

Ket: Grafik pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap kelembaban TKKS G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp.

+ Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3).

(43)

Tabel 3. Pengaruh aplikasi bakteri dan biaktivator terhadap kelembaban TKKS 0-12 MSA

Perlakuan Kelembaban

1 MSA 2 MSA 3 MSA 4 MSA 5 MSA 6 MSA 7 MSA 8 MSA 9 MSA 10 MSA 11

MSA

12 MSA

G0L1 6.25 5.75 3 c 2.50 3.50 3 3 3.25 3 3.25 2.75 3

G0L2 5.50 5.25 4 bc 3.50 3.25 2 3.25 3.50 3.50 3.25 2.75 3

Rataan 5.87 a 5.50 a 3.50 3 c 3.37 b 3 b 3.12 b 3.37 b 3.25 b 3.25 b 2.75 c 3 b

G1L1 3.50 2.75 4.50

abc

5 3.25 4.50 4.25 4.50 4.75 4.50 4.25 4.75

G1L2 4.75 4.25 5 ab 5.25 4.50 4.25 4.25 4 4.75 4 4.25 4.75

Rataan 4.12 b 3.50 b 4.75 5.12 a 3.87 b 4.37 a 4.25 a 4.25 a 4.75 a 4.25 a 4.25 b 4.75 a

G2L1 4.25 3.50 4.50

abc

5.75 4.75 4.75 4.25 4.25 4.25 4.50 4.50 4.50

G2L2 3 3.50 6 a 5.50 5.50 4.50 4.50 4.25 4.25 4.25 4.75 4.50

Rataan 3.62 b 3.50 b 5.25 5.62 a 5.12 a 4.62 a 4.37 a 4.25 a 4.25 a 4.37 a 4.62 a 4.50 a Ket : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji jarak Duncan 5%

MSA : Minggu Setelah Aplikasi

G0 (Kontrol), G1 (Bacillus sp. + Trichoderma sp.), G2 (Achromobacter sp. + Trichoderma sp.), L1 (TKKS lapis 2) L2 (TKKS lapis 3)

(44)

Berdasarkan hail yang diperoleh pada Gambar 3. dan Tabel 3.

menunjukkan bahwa kelembaban terendah pada perlakuan G0L2 pada 6 MSA yaitu 2 dan kelembaban tertinggi yaitu perlakuan G0L1 pada 1 MSA yaitu 6,25 hal ini disebabkan pada 6 MSA terjadi aktivitas bakteri dan bioaktivator sangat aktif, dimana banyaknya jumlah mikroba dan aktivitasnya menyebabkan kelembaban meningkat. Hal ini sesuai literatur Widarti et al., 2015 mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40% – 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 3. dan Tabel 3.

menunjukkan bahwa kelembaban tertinggi pada perlakuan lapis tandan yaitu pada perlakuan G2L2 3 MSA yaitu 6. Hal ini disebabkan oleh tingginya tumpukan tandan. Interaksi antara perlakuan bakteri dan bioaktivator dengan lapis tandan berbeda nyata terhadap kelembaban pada 3 MSA, hal ini disebabkan bakteri dan jamur sedang melakukan aktivitas dekomposisi pada tumpukan tandan yang tinggi. Hal ini sesuai Literatur (Pandebesie dan Rayuanti, 2012). Kelembaban memiliki peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan suplai oksigen. Jika kompos terlalu lembab maka akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lama dan jika kelembaban terlalu rendah maka

(45)

efisiensi degradasi akan menurun karena kurangnya air untuk melarutkan bahan organik yang akan didekomposisi oleh mikroorganisme sebagai sumber energi.

Menurut Juanda et al. (2011), jika tumpukan kompos terlalu lembab maka proses dekomposisi akan terhambat. Hal ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan digantikan oleh mikroorganisme anaerobik.

Kelembaban bahan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan. Kelembaban yang tinggi akibat penyiraman berlebihan dapat mengakibatkan air sisa penyiraman (leachate) menggenangi area tempat pengomposan. Jadi dalam hal ini, kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan mikroba dan berhubungan erat dengan fluktuasi suhu pengomposan.

Rasio C/N

Dari hasil yang di peroleh nilai C/N tertinggi terdapat pada perlakuan G0L2 yaitu sebesar 37.31 menjadi 32.77 dan nilai C/N terendah pada perlakuan G1L2 yaitu 36.23 menjadi 14.41 (Tabel 4).

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan diperoleh nilai C/N yang bervariasi. Dimana pada 8 MSA pada semua perlakuan mengalami penurunan.

Tabel 4. Rasio C/N pada pengomposan

Perlakuan Rasio C/N kompos

4 msa 8 msa 12 msa

G0L1 39.98 24.16 33.18

G1L1 47.75 32.72 22.82

G2L1 31.22 37.45 27.40

G0L2 37.31 36.05 32.77

G1L2 36.23 27.74 14.41

G2L2 46.45 23.74 39.85

(46)

Dari hasil yang di peroleh pada tabel 4. menunjukkan bahwa nilai C/N tertinggi terdapat pada perlakuan G0L2 yaitu sebesar 37.31 menjadi 32.77 dan nilai C/N terendah pada perlakuan G1L2 yaitu 36.23 menjadi 14.41. Pada perlakuan G0L2 nilai C/N masih tinggi kemungkinan kompos belum terurai secara sempurna. Hal ini sesuai menueut (Widyastuti et al., 2015) menyatakan rasio C/N yang terkandung di dalam kompos menggambarkan tingkat kematangan dari kompos tersebut, semakin tinggi rasio C/N berarti kompos belum terurai dengan sempurna.

Hasil pengamatan rasio C/N bahwa pada Tabel 4. menunjukkan bahwa rasio C/N sangat bervariasi tiap periode pengamatan. Hal ini diduga karena pengambilan sampel yang tidak seragam. Jadi ada beberapa bagian yang termasuk bahan mudah terdekomposisi misalnya bagian luar TKKS tetapi ada juga bagian yang masih keras seperti bagian tengah TKKS. Seharusnya, semakin lama masa dekomposisi maka rasio C dan N akan semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, karena semakin lama waktu dekomposisi maka semakin banyak bahan yang terurai. Bahan yang terurai ini menyebabkan rasio C dan N menurun. Hal ini sesuai menurut Rima et al., (2011) menyatakan pengambilan sampel yang tidak seragam pada beberapa menyebabkan rasio C/N bervariasi.

Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 4. menunjukkan bahwa rasio C/N pada TKKS yang sudah diberi perlakuan yaitu pada G1L1 dari 4 MSA yaitu 47,75 menurun pada 8 MSA yaitu 32,72 dan 12 MSA yaitu 22,82 kadar C/N sudah lebih rendah, dikarenakan pada TKKS telah mengalami perombakan oleh mikroba. Begitu pula pada perlakuan G1L2 pada 4 MSA yaitu 36,23 menurun pada 8 MSA yaitu 27,74 dan 12 MSA yaitu 14,41. Hal ini sesuai Menurut (Rao, 1994) Mengemukakan bahwa bahan organic terdiri dari bermacam macam

(47)

jaringan tanaman bervariasi nisbah C/N nya. Tingkat C/N yang optimum adalah antara 20-25 ideal untuk dekomposisi maksimum Karena tidak akan terjadi pembebasan nitrogen dari sisa sisa organic melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk sintesis mikroba.

(48)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Kondisi suhu sepanjang proses pengomposan dengan kenaikan suhu tertinggi terjadi pada perlakuan G2L2 (Bakteri Achromobacter sp. + trichoderma sp.) Lapis 3 yaitu pada 2 MSA 33˚C, menurun pada 4 MSA yaitu 32˚C selanjutnya suhu stabil pada 8 MSA dan 12 MSA yaitu 30˚C.

2. Peningkatan pH tertinggi dengan menggunakan perlakuan pemberian bakteri dan jamur terjadi pada perlakuan G2L2 yaitu pada 1 MSA pH mencapai 5,90 selanjutnya menurun pada 4 MSA menjadi 4,60 dan pH netral pada 8 MSA yaitu 5,3 dan 12 MSA dengan pH 5,4.

3. Peningkatan kelembaban tertinggi dengan menggunakan perlakuan pemberian bakteri dan jamur terjadi pada perlakuan G2L1 yaitu pada 4 MSA yaitu 5,75 selanjutnya turun pada 8 MSA yaitu 4,25 dan stabil pada 10 MSA sampai 12 MSA yaitu 4,50.

4. Kualitas kompos dengan tingkat C/N yang baik yaitu pada perlakuan G1L1 dimana kadar C/N dari 4 MSA yaitu 47,75 menurun pada 8 MSA yaitu 32,75 hingga stabil pada 12 MSA menjadi 22,82.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis bioaktivator untuk pengomposan yang tepat agar dapat diujicoba dilapangan dan akhirnya dapat dipasarkan.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. Farida, E. Wulandari, D. dan Purwanto, B. H. 2014. Peran Mikroba Starter Dalam Dekomposisi Kotoran Ternak dan Perbaikan Kualitas Pupuk Kandang. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Anwar, M. 2006. Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan – Tuntutan atau Realitas.

Universitas Brawijaya, Malang.

Amri, A. I. Armaini dan Purba, M. R. A. 2018.Aplikasi Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Domolit Pada Medium Subsoil Inceptisol Terhadap Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pembibitan Utama.UIN Suska Riau.

Astari LP. 2011. Kualitas pupuk kompos bedding kuda dengan menggunakan aktivator mikroba yang berbeda. Skripsi. IPB Bogor.

Ardhana. I. P. Gade, 2012. Ekologi Tumbuhan. Udayana University. Press. Bali.

Badan Pusat Statistik, 2018. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018. Katalog 5504003. Statistics Indonesia

Berlian. I. Setyawan. B. Hadi. H, 2013. Mekanisme Antagonisme Trichoderma sp.p. Terhadap Beberapa Patogen Tular Tanah. Balai Penelitian Getas.

Warta Perkaretan 2013, 32(2), 74 – 82.

Chamsa. T, Rahman. Y, Trisakti. B, 2015.Pengaruh Tinggi Tumpukan Pada Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Didalam Komposter Menara Drum. Fakultas Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara.

Darnokodan A.S. Sutarta. 2006. Pabrik Kompos di Pabrik Sawit. Tabloid Sinar Tani. Jakarta.

Darmosarkoro, W., dan S. Rahutomo. 2003. Tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan pembenah tanah, p. 167-179. Dalam W. Darmasarkoro, E.S.

Sutarta dan Winarna (Eds.). Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2015. Statistik perkebunan Indonesia 2014-2016 kelapa sawit. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan.

Diah, S. Saraswati, R, Anwar, k. 2008. Kompos.Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.

Ditjen PPHP. 2006. Pedoman Pengolahan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan Lingkungan. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian.

(50)

Fauzi, A. 2004. Efisiensi Penggunaan Pupuk Padat Untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq). Universitas Palembang, Palembang.

Febrizio.A, Tambone. P, Ganevini. 2008. Effect of compost application rate on carbon degredation and retention in soils. Waste Management 29.

Hans, Supanjani, Lee KD. 2006. Effect of co-inoculation with phosp.hate and potassium solubilizing bacteria on mineral uptake and growth of pepper and cucumber. Plant soil environ52: 130–136.

Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hartutik, S., Sriatun, dan Taslimah. 2008. Pembuatan Pupuk Kompos dari Limbah Bunga Kenanga dan Pengaruh Persentase Zeolit Terhadap Ketersediaan Nitrogen Tanah. http://eprints.undip.ac.id/3008/. Diakses tanggal 6 Okteber 2014.

Harman, G.E., Charles, R.H., Viterbo, A., Chet, I. and Lorito, M. 2004.

Trichoderma sp.ecies opportunistic, avirulent plant symbionts.

JournalNature Rev 2:43-54.

Handoko. J. Fauzan. H. Sutikno. A. 2017. Pupolasi Dan INtensitas Serangan Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) JOM FAPERTA UNRI Vol. 4 No.1.

Universitas Riau.

Isroi, 2008. Kompos. Bogor: Baalai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia.

Ismayana A, Indrasti NS, Suprihatin, Maddu A & FredyA. 2012. Faktor rasio C/N awal dan laju aerasi pada proses cocomposting bagasse dan blotong. J.

Tekn.Industri Pertanian

Juanda, Irfan & Nurdiana. 2011. Pengaruh metode dan lama fermentasi terhadap mutu Mikroorganisme lokal. J. Floratek. 6:140-143

Kharisma, R, A. 2006. Pengaruh Penambahan Bahan Aktif EM4 dan Kotoran Ayam pada Kompos Alang-alang (Imperata cylindrica) Terhadap Pertumbuhan Semai Gmelina arborea. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal.

Kusumawati. Y. 2006. Peran Effective Microorganisme-4 (EM_$) dalam Meningkatkan Kualitas Kimia Kompos Ampas Tahu. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Lisa. M, 2013. Analisa Peberian Trichoderma sp. Terhadap Pertumbuhan Kedelai.

Balai Pelatihan Pertanian. Jambi.

Maysaroh. U, 2018. Efektivitas Pemberian Bakteri Simbion Larva Oryctes rhinoceros L. dan Bioaktivator Terhadap Tandan Kosong Sawit Sebagai

(51)

Dekomposer di Rumah Kaca. Departemen Agroekoteknologi.

Universitas Sumatera Utara

Mardiana, W. 2004. Laju Dekomposisi Aerob Dan Mutu Kompos Tandan Kelapa Sawit Dengan Penambahan Mikroorganisme Selulotik, Amandemen Dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Program Pascasarjana.

Universitas Sumatera Utara.

Marlina. E. T. 2009. Biokonservasi Limbah Industri Peternakan. Bandung:

UNPAD PRESS

Mercy. Y. B, 2009. Tingkat kematangan kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Penggunaan Berbagai Jenis Mulsa Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Dan Cabai (Capsicum annum L.). Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian.

Institut Pertanian Bogor.

Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth.Prentice Hall Englewood Cliffs. New Jersey.

Mustaqim. R, Armaini dan Yulia. A. 2016. Pengaruh Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit Dan Pupuk N, P, K Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Melon (Cucumis Melo L.) The Effect Compost Of Oil Palm Empty Fruit Bunches And N, P, K Fertilizer On Growth And Production Of Melon (Cucumis Melo L. Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture University of Riau.

Nandyo. W. A, Bambang T. E, Nana. H dan Sakiroh. 2004. Peran Mikroorganisme Dalam Pengelolaan Hara Terpadu Pada Perkebunan Kakao. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.Sukabumi.

Pramaswari IAA, Surayasa IWB, Putra AAB. 2011. Kombinasi Bahan Organik (Rasio C:N) Pada Pengolahan Lumpur (Sludge) Limbah Pencelupan.Jurnal Kimia. 5 (1) : 64-71

Rans, E. 2005. Modul Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Universitas Indonesia, Depok.

Rasti Saraswati & R Heru Praptana. (2017). "Percepatan Proses pengomposan Aerobik Menggunakan Biodekomposer." Persp.ektif Vol. 16 No.1/Juni 2017. Hlm. 44-57, ISSN : 1412-8004

Rima. P, J. Hendri, E. Salvia dan D.S. Gusfarina. Potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Pupuk Organik dengan Berbagai Dekomposer Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi

Salmina, 2015. Studi Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Oleh Masyarakat Di Jorong Koto Sawah Nagari Ujung Gading Kecamatan Lembah Melintang. Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat.

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti tertarik untuk meneliti objek ini dikarenakan KAP tersebut berada dalam satu koordinasi wilayah (korwil) yaitu Sumatera Bagian Tengah yang memilik jumlah KAP

dapat dilakukan dengan cara: (1) menentukan berapa besar data point pertama dan terakhir pada suatu kondisi atau fase, (2) kurangi data yang besar dengan data yang

Dalam bukunya Introduction to Management Accounting (1996) memberikan defenisi mengenai Activity-Based Costing (ABC), sebagai suatu sistem yang merupakan pendekatan kalkulasi

Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur

Jika penelitian menggunakan disain data sekunder, jelaskan sumber data atau nama lembaga yang mengeluarkan data tersebut, dan jelaskan variabel-variabel yang ada dalam data

Arca manusia III dipahatkan lengkap sebagaimana manusia yang mempunyai kaki, badan, dan kepala, kepala arca III ditemukan di dalam parit berjarak 17 meter dari

[r]

(1) Mengumpulkan data (Data collection), yaitu mencari data yang sebanyak-banyaknya yang sesuai dengan kebutuhkan penelitian; (2) Memilih dan Memilah data (Data