• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian “Sindroma Depresi Pasca Persalinan” ini merupakan suatu penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sindroma depresi pasca persalinan dengan menggunakan kuesioner EPDS dan tujuan khususnya adalah mengetahui apakah sindroma depresi pasca persalinan berbeda berdasarkan kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan, jumlah anak, riwayat depresi pada keluarga, riwayat depresi sebelumnya dan problema psikososial serta deteksi dini wanita pasca persalinan yang memiliki sindroma depresi dapat dirujuk ke Departemen Psikiatri untuk mendapatkan penilaian dan perawatan lebih lanjut.

Hipotesis pada penelitian ini yang menyatakan bahwa sindroma depresi pasca persalinan berbeda berdasarkan kelompok tingkat pendidikan, pekerjaan dan problema psikososial terbukti .

8.1. ANGKA KEJADIAN SINDROMA DEPRESI PASCA PERSALINAN BERDASARKAN SKOR EPDS

Dari tabel 3 diatas dilihat bahwa dari 50 orang subjek penelitian didapati skor EPDS ≤ 10 sebanyak 42 orang (84%) dan skor EPDS > 10 sebanyak 8 orang (16%). Hal ini mirip dengan prevalensi depresi pasca persalinan hasil penelitian di bangsal kebidanan RSUP DR. Sarjito Yogyakarta memperoleh angka 11,3% untuk depresi ringan, 1,9% untuk depresi sedang dan 0,5% untuk depresi berat.8 Dan penelitian Epperson Neil di Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian sebesar 15-25%. Sedangkan penelitian di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta didapati angka kejadian depresi pasca persalinan sebesar 37,3%.12 Sementara penelitian Patricia Hannah dan kawan-kawan mendapati 25 wanita (18%) mengalami sindroma depresi pasca persalinan dengan skor EPDS >10), 17 orang diantaranya memiliki gejala-gejala yang sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor EPDS hari ketiga adalah >10).10 Penelitian Hudson dan kawan-kawan mendapatkan ibu-ibu yang mengalami depresi pasca persalinan yang baru melahirkan dalam 3 bulan pertama menunjukkan 53% hingga 56%.6

8.2. HUBUNGAN ANGKA KEJADIAN SINDROMA DEPRESI PASCA PERSALINAN BERDASARKAN KARAKTERITIK SUBJEK PENELITIAN

a.Umur

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan terbanyak pada umur 25-29 tahun dan umur 30-34 tahun masing-masing sebanyak 3 orang (37,5% ) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak pada umur 30-34 tahun sebanyak 14 orang (33,33%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara umur dengan angka kejadian sindroma depresi pasca persalinan (p=0.881).

Hal ini sesuai dengan penelitian Dennis, Janssen & Singer menemukan prevalensi depresi pasca persalinan pada wanita dari semua umur menunjukkan sekitar 20%–28% selama periode segera (immediate) setelah melahirkan.6 Barclay juga tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian depresi pasca persalinan.16

Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa umur rata-rata depresi pasca persalinan adalah 26 tahun, sementara penelitian Epperson Neil mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 18-44 tahun.13

b. Pendidikan

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan terbanyak berpendidikan Perguruan Tinggi sebanyak 4 orang (50%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak berpendidikan SMA sebanyak 22 orang (52,4%). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan dengan angka kejadian depresi pasca persalinan (p=0,009).

Hasil penelitian ini berbeda dengan literatur mengatakan sindroma depresi lebih sering terjadi pada tingkat pendidikan rendah dibandingkan tingkat pendidikan tinggi23 dan penelitian Dennis dan kawan-kawan mendapatkan depresi pasca persalinan berpendidikan dibawah SLTA.6 Dari anamnesis yang dilakukan peneliti diketahui hal ini mungkin terjadi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada ibu pasca persalinan menyebabkan mereka menaruh harapan atau standar hidup yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya sindroma DPP.

c. Pekerjaan

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan sama banyak yang bekerja dan tidak bekerja yaitu masing- masing 4 orang (50%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak adalah yang tidak bekerja sebanyak 37 orang (88,1%). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pekerjaan dengan angka kejadian depresi pasca persalinan. (p=0,01).

Hal ini berbeda dengan literatur yang mengatakan bahwa tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur juga merupakan faktor risiko terjadinya depresi.22 Kemungkinan hal ini dikarenakan pada ibu yang bekerja, selain harus melakukan tugas di tempat kerja mereka juga tetap harus melakukan tugas rumah tangga, sehingga tingkat sindroma depresi pasca justru meningkat pada ibu yang memiliki pekerjaan.

d. Penghasilan

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan berpenghasilan diatas Rp 1 juta sebanyak 6 orang (75%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak adalah berpenghasilan Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta sebanyak 27 orang (64,3%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara penghasilan dengan angka kejadian depresi pasca persalinan. (p=0,061).

Hal ini berbeda dengan penelitian Dennis dan kawan-kawan mendapatkan pendapatan yang sedikit berkontribusi pada depresi pasca persalinan pada wanita di semua usia. 6 Kemungkinan hal ini disebabkan oleh karena sebagian besar subyek penelitian adalah mereka yang berstatus ekonomi rendah dan merupakan peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat, sehingga penghasilan yang rendah tidak menyebabkan problema bagi mereka dalam menghadapi persalinan.

e. Status Perkawinan

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami depresi pasca persalinan adalah kawin sebanyak 8 orang (100%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak adalah kawin sebanyak 40 orang (95,2%). Tidak terdapat

hubungan yang bermakna secara statistik antara status perkawinan dengan angka kejadian depresi pasca persalinan (p=0,529).

Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa depresi pasca persalinan yang paling banyak adalah kawin, hal ini sesuai dengan Studi Cox dan kawan-kawan yang mendapatkan bahwa sebagian besar yang mengalami depresi pasca persalinan adalah ibu yang menikah (81%), sedangkan 13% memiliki mitra permanen. Hanya 6% yang merupakan orangtua tunggal. 11 Penelitian Dennis dan kawan-kawan mendapatkan berpisah dari pasangannya berkontribusi pada depresi pasca persalinan pada wanita di semua usia.6

Dari literatur dikatakan bahwa gangguan depresif berat sering dialami individu yang tidak memiliki hubungan intepersonal yang erat atau yang bercerai dibandingkan dengan yang menikah. Status perceraian menempatkan seseorang pada risiko lebih tinggi untuk menderita depresi. Depresi lebih sering pada orang yang tinggal sendiri bila dibandingkan dengan yang tinggal bersama kerabat lainnya.22,23

f. Jumlah Anak

Dari tabel 7 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan mempunyai jumlah anak 1 sebanyak 4 orang (50%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak adalah jumlah anak 2 sebanyak 14 orang (33,3%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara jumlah anak dengan angka kejadian depresi pasca persalinan (p=0,152).

Penelitian Pramudya mendapatkan depresi pasca persalinan yang terbanyak berjumlah anak 1 sebanyak 25,6%.8 Sementara Morris JK dan Barclay mendapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara jumlah paritas dengan kejadian depresi pasca persalinan. 5,9

8.3. HUBUNGAN ANGKA KEJADIAN DEPRESI PASCA PERSALINAN DENGAN PROBLEMA PSIKOSOSIAL

Dari tabel 8 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan mengalami problema psikososial masalah rumah tangga

sebanyak 5 orang (62,5%) dan pada kelompok tidak depresi terbanyak masalah ekonomi sebanyak 25 orang (59,5%). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara problema psikososial dengan angka kejadian sindroma depresi pasca persalinan (p=0,01).

Penelitian meta analisis Beck mendapatkan bahwa masalah rumah tangga seperti tidak ada dukungan keluarga atau suami, konflik perkawinan merupakan prediktor depresi pasca persalinan.24 Dari literatur dikatakan bahwa faktor lingkungan seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan tampaknya memainkan peranan untuk menyebabkan timbulnya sindrom depresif. Ketidakmampuan peranan sosial untuk menyesuaikan diri dengan stresor sosial mengarah pada berkembangnya depresi pada seseorang.23

8.4. HUBUNGAN ANGKA KEJADIAN DEPRESI PASCA PERSALINAN DENGAN RIWAYAT DEPRESI SEBELUMNYA

Dari tabel 9 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan mengalami riwayat depresi sebelumnya sebanyak 6 orang (75%) dan pada kelompok tidak depresi mengalami riwayat depresi sebelumnya sebanyak 41 orang (97,6%). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat depresi sebelumnya dengan angka kejadian depresi pasca persalinan. (p=0,01).

Penelitian Dennis dan kawan-kawan mendapatkan bahwa adanya riwayat depresi sebelumnya juga berkontribusi pada depresi pasca persalinan pada wanita di semua usia.6 Sedangkan penelitian meta analisis Beck mendapatkan bahwa adanya riwayat depresi sebelumnya merupakan prediktor depresi pasca persalinan.24 Birchnell, melakukan penelitian terhadap 50 wanita depresi dibandingkan dengan 40 wanita sebagai kontrol, ditemukan adanya hubungan signifikan antara ikatan awal wanita depresi dengan ibunya yang buruk dengan timbulnya depresi dikemudian hari pada wanita tersebut.14

8.5. HUBUNGAN ANGKA KEJADIAN SINDROMA DEPRESI PASCA PERSALINAN DENGAN RIWAYAT DEPRESI PADA KELUARGA

Dari tabel 10 diatas dilihat bahwa yang mengalami sindroma depresi pasca persalinan dengan tidak ada riwayat depresi pada keluarga sebanyak 6

orang (75%) dan pada kelompok tidak depresi dengan tidak ada riwayat depresi pada keluarga sebanyak 40 orang (95,2%).Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat depresi pada keluarga dengan angka kejadian depresi pasca persalinan. (p=0,115).

Sementara penelitian di fakultas kedokteran universitas Yale mendapatkan bahwa anak-anak dari orangtua yang depresi mendapatkan rIsiko 3 kali lebih banyak mengalami gangguan depresi daripada anak-anak dari orangtua yang tidak depresi.18

Dari literatur dikatakan bahwa riwayat keluarga yang menderita gangguan depresi lebih tinggi pada subjek penderita depresi bila dibandingkan dengan kontrol. Dengan perkataan lain, risiko depresi semakin tinggi bila ada riwayat genetik dalam keluarga. 22

8.6. FAKTOR RISIKO YANG PALING BERPERAN UNTUK TERJADINYA SINDROMA DEPRESI PASCA PERSALINAN

Dari tabel 11 diatas dapat diamati bahwa faktor risiko yang paling berperan untuk terjadinya sindroma depresi pasca persalinan secara statistik adalah riwayat depresi sebelumnya (PR= 13,67,IK 1,068 % sampai 174,812%). Hal ini berarti bahwa ibu pasca bersalin yang mempunyai riwayat depresi sebelumnya mempunyai risiko 13,67 kali untuk mengalami sindroma depresi pasca persalinan dibandingkan yang tidak mempunyai riwayat depresi sebelumnya.

Hal ini sesuai dengan penelitian Elvira dan kawan-kawan yang mendapati riwayat deprsesi sebelumnya adalah faktor risiko yang berperan untuk terjadinya sindroma depresif pasca persalinan25 dan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien cenderung mengalami gangguan yang berulang.23

Dokumen terkait