• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Berlian Porter Sebagai Identifikasi Permasalahan

Identifikasi permasalahan pengembangan industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia dilakukan dengan melakukan analisis dayasaing minyak sawit dan turunannya berdasarkan komponen penentu dayasaing kerangka Berlian Porter. Komponen-komponen tersebut adalah komponen kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan domestik, dukungan industri terkait dan industri pendukung minyak sawit serta kondisi struktur, strategi dan persaingan yang dihadapi oleh industri minyak sawit dan turunannya di Indonesia. Selain itu ditinjau pula sejauh apa peranan pemerintah dan kesempatan-kesempatan yang ada dalam meningkatkan posisi dayasaing tersebut.

Kondisi Faktor Sumberdaya

Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap industri turunan minyak sawit mentah (CPO dan PKO) yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Lima sumberdaya yang disebutkan diatas dijelaskan sebagai berikut.

Sumberdaya Alam sebagai Feedstock Industri Turunan Minyak Sawit Mentah

Bahan baku utama industri turunan minyak sawit mentah adalah hasil pengolahan dari kebun kelapa sawit baik berupa minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil) maupun minyak kernel (palm kernel oil).

Kondisi, Luas dan Letak Lahan

Kelapa sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Prospek komoditi ini dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia meningkatkan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Daerah pengem- bangan kelapa sawit berada pada 15°LU – 15°LS. Ketinggian penanaman yang ideal berkisar antara 0 – 500 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29° – 30°C, dengan intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari dan kelembaban optimum yang ideal sekitar 80 – 90 %. Kelapa sawit tumbuh baik pada tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH tanah yang optimum adalah 5.0 – 5.5. dengan kondisi tanah gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas (Pohan 2011).

Kondisi topografi tanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150, kenyataan di lapangan daerah dengan kemiringan sampai 45° masih baik untuk ditanami. Kondisi lahan tiap daerah yang tidak berbeda menyebabkan penanaman kelapa sawit sebagai penghasil CPO dapat dilakukan pada banyak daerah. Pada tahun 2014 terdapat 22 provinsi yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit baik dari pengusahaan negara, swasta maupun masyarakat. Sedangkan 11 provinsi lagi belum mengusahakan komoditi kelapa sawit ini. Daerah yang akan dilakukan pengembangan perkebunan khususnya peremajaan lahan direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Papua Barat. Untuk perluasan secara ekstensifikasi dan masif, mulai tahun 2011 dibatasi dengan terbitnya Intruksi Presiden tanggal 20 Mei 2011 No. 10/2011 tentang penundaan pemberian izin baru (moratorium) hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produk yang dapat dikonversi) dan areal penggunaan lain untuk dijadikan lahan perkebunan sehingga tidak ada lahan pembukaan perkebunan baru lagi kecuali yang sudah ada persetujuan atau rekomendasi sebelumnya. Inpres ini diperbaharui pada dengan Inpres No. 6/2013 serta diperbaharui lagi dengan terbitnya Inpres No. 8/2015 tertanggal 13 Mei 2015 dengan isi yang sama.

Dua pulau utama sentra perkebunan kelapa sawit yaitu Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan menyumbang 96.64 %. Kedua pulau tersebut menghasilkan sekitar 96.99 % produksi CPO. Di Indonesia terdapat lima provinsi sentra usaha perkebunan kelapa sawit, yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (Tabel 4). Penyebaran perkebunan kelapa sawit di 22 propinsi menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki toleransi yang luas pada keragaman agroklimat. Hampir semua lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terletak pada ketinggian kurang dari 500 meter dpl (di atas permukaan laut). Luas lahan di Indonesia yang rusak (degraded land) pada tahun 2014 seluas 78.43 juta hektar dan lahan yang cocok untuk tanaman sawit 22.91 juta hektar (GAPKI 2014). Sehingga masih banyak lahan potensial untuk dikembangkan khususnya diluar hutan lindung dan konvervasi.

Feedstock atau bahan baku untuk industri turunan minyak kelapa sawit adalah CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil). Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia. Perkembangan produksi CPO meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 tercatat produksi CPO Indonesia sebesar 19.32 juta ton, dan meningkat pesat pada tahun 2013 menjadi 27.75 juta ton atau naik sebesar 43.60 %, dengan rata-rata kenaikan 9.52 % per tahun, serta pertumbuhan tahun 2013 terhadap 2012 adalah sebesar 6.65 % (Lampiran 4).

Tabel 4.Luas areal dan produksi minyak sawit (CPO) pada perkebunan rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swasta menurut propinsi, 2013.

Provinsi

Luas Areal (Ha) Produksi CPO (ton) Rakyat Swasta Negara Total

1 Aceh 186 826 112 621 40 059 339 506 736 090 2 Sumatera Utara 408 708 366 233 307 242 1 082 183 4 432 611 3 Riau 1 217 847 643 918 78 953 1 940 718 6 629 864 4 Sumatera Selatan 369 282 416 707 48 944 834 933 2 737 324 5 Sumatera Barat 177 792 192 787 9 518 380 097 1 057 440 6 Kepulauan Riau 2 905 5 783 - 8 688 15 332 7 Jambi 173 647 247 835 24 511 445 993 2 065 185 8 Bangka Belitung 50 047 131 822 - 181 869 624 739 9 Bengkulu 194 170 104 998 4 704 303 872 930 249 10 Lampung 58 310 48 776 12 397 119 483 402 705 11 Banten 7 296 47 9 702 17 045 29 662 12 Jawa Barat 182 4 601 4 618 9 401 20 072 13 Kalimantan Barat 257 204 374 851 62 393 694 448 1 811 416 14 Kalimantan Selatan 60 504 357 625 10 966 429 095 1 295 945 15 Kalimantan Tengah 129 650 896 827 - 1 026 477 2 984 841 16 Kalimantan Timur 160 718 489 668 43 359 693 745 1 247 616 17 Sulawesi Tengah 50 524 43 078 3 886 97 488 264 775 18 Sulawesi Selatan 15 589 2 448 5 758 23 795 46 409 19 Sulawesi Barat 54 693 47 775 - 102 468 247 021 20 Sulawesi Tenggara 4 229 31 229 3 905 39 363 24 520 21 Papua 9 886 13 605 12 632 36 123 74 032 22 Papua Barat 10 961 9 979 2 891 23 831 68 278 Nasional 3 600 970 4 543 213 686 438 8 830 621 27 746 126

Sumber: Statistik Perkebunan (Diolah)

Provinsi Riau adalah provinsi penghasil CPO terbesar dengan jumlah 6.6 juta ton pada tahun 2013, disusul Sumatera Utara dengan jumlah 4.4 juta ton, kemudian Kalimantan Tengah dengan jumlah 2.98 juta ton.

Produksi CPO dan CPKO (Crude Palm Kernel Oil) di Indonesia tidak sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. CPO (HS 1511100000) dan CPKO (HS 1513211000) juga diekspor dan menghasilkan devisa negara. Provinsi Riau mengekspor CPO sebesar 2.57 juta ton, kemudian Lampung 1.35 juta ton. Ekspor yang tinggi dari Lampung ini karena CPO yang diekspor berasal Sumatera Selatan, Jambi, dan Bangka Belitung. Total produksi CPO yang diekspor turun sejak tahun 2010. CPO yang diekspor pada tahun 2010 sebesar

1.34 juta ton, tahun 2011 menjadi 1.1 juta ton, tahun 2012 turun menjadi 626 ribu ton, dan tahun 2013 turun lagi menjadi sebesar 452 ribu ton. Dengan produksi CPO yang meningkat dan ekspor yang menurun pada Tabel 5 menunjukan bahwa konsumsi CPO dalam negeri meningkat. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa CPO dan PKO telah mulai banyak diolah didalam negeri. Distribuasi eksport CPO dan PKO tiap provinsi ada pada Lampiran 5.

Tabel 5. Perkembangan ekspor crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO) Indonesia (ribuan Ton).

Uraian 2010 2011 2012 2013

CPO 9 446 8 424 7 253 6 585

PKO 1 336 1 101 626 452

Jumlah 10 782 9 525 7 879 7 037

Sumber : BPS (2014)

Gambaran produksi CPO dengan perkembangan ekspor CPO Indonesia selama 3 tahun terakhir menunjukan adanya potensi pemanfaatan CPO yang semakin banyak untuk diolah didalam negeri. Dimana dalam 3 tahun terakhir produksi CPO semakin meningkat tetapi jumlah ekspor CPO pada kurun yang sama mengalami penurunan (Gambar 6).

Gambar 6. Distribusi produksi dan ekspor CPO Indonesia (BPS 2014) Produktivitas Lahan

Komposisi tanaman kelapa sawit Indonesia pada periode 2000-2005 (Tabel 6) terdiri dari 20 % tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM) muda sampai remaja 35 %, dewasa 34 %, dan sisanya yakni 12 % berupa tanaman tua. Sedangkan pada periode 2005-2013 komposisi sawit nasional terdiri dari 20 % TBM, TM muda sampai remaja 21 %, dewasa 38 %, dan sisanya yakni 21 % berupa tanaman tua sampai renta. Dari segi tehnis komposisi umur kelapa sawit Indonesia belum mencapai kondisi ideal. Masih perlu adanya kegiatan replanting yang dilakukan secara masif. Komposisi tanaman tua untuk periode 2005-2013 sebesar 21 % dan dari komposisi itu sebanyak 54 % dikuasai oleh perkebunan negara dan perkebunan swasta.

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 2010 2011 2012 2013 (r ib u to n ) (Tahun) Produksi CPO Eksport CPO

Tabel 6. Perbandingan komposisi tanaman kelapa sawit antara perkebunan rakyat, negara, dan swasta (%)

Perkebunan Tahun TBM TM 4-7 th 8-15 th 16-25 th Negara 2000-2005 10 27 29 33 2006-2013 15 13 41 31 Swasta 2000-2005 12 41 39 7 2006-2013 19 19 39 23 Rakyat 2000-2005 34 28 27 11 2006-2013 21 26 37 16 Nasional 2000-2005 20 35 34 12 2006-2013 20 21 38 21

Sumber : Sipayung dan Purba (2014)

Tingkat produktivitas lahan untuk tanaman kelapa sawit dilihat dari kemampuan lahan tersebut menghasilkan tandan buah segar (TBS) tiap hektar lahan. Produktivitas berkaitan dengan luas area tanam dan volume produksi yang dihasilkan. Secara umum produktivitas sawit rakyat (PR) telah mengalami peningkatan selama periode 1990-2013 yakni dari 1.61 ton menjadi 2.92 ton per hektar. Perkebunan kelapa sawit negara ternyata mengalami penurunan produktivitas dalam periode 1990-2013 yakni dari 4.40 ton per hekter menjadi 3.11 ton per hektar. Namun demikian produktivitas kelapa sawit negara masih lebih tinggi dari rata-rata produktivitas kelapa sawit rakyat. Perkebunan kelapa sawit swasta secara gradual pada periode yang sama juga mengalami peningkatan tetapi masih dibawah dari perkebunan negara. Perbandingan produktifitas kelapa sawit selama periode daur hidupnya antara perkebunan negara, rakyat dan swasta dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Perbandingan produktifitas perkebunan kelapa sawit negara, swasta, dan rakyat (Sipayung dan Purba 2014)

Produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia. Produktivitas kelapa sawit Indonesia sebesar 14-16 ton tandan buah segar (TBS) per hektar tiap tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 18-

Ton C

PO

per

H

a

21 ton TBS per hektar tiap tahunnya. Demikian juga, produktivitas CPO Indonesia dibawah Malaysia sebesar 2.51 ton perhektar sedangkan Malaysia mencapai 3.21 ton perhektar. Peningkatan produktivitas kelapa sawit baik di tingkat budidaya (kebun) maupun industri pengolah perlu terus dilakukan. Tindakan ini harus terintegrasi oleh berbagai pihak mulai industri penyediaan benih, pelaksanaan good agricultural practices (GAP), sampai pengelolaan pabrik sawit yang baik.

Tantangan pengelolaan perkebunan kelapa sawit Indonesia kedepan yakni meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat dan kebun sawit swasta mendekati produktivitas sawit negara dan selanjutnya meningkatkan produktivitas kebun sawit swasta, rakyat dan negara kepada tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Saat ini penggunaan bibit unggul terbatas pada perkebunan swasta dan perkebunan negara karena mempunyai bagian penelitian untuk peningkatan budidaya kelapa sawit. Keterbatasan informasi rakyat akan sumber benih menyebabkan benih beredar di pasaran tidak sesuai standar atau palsu. Kegiatan replanting pada umur 28-30 tahun, untuk mengganti pohon kelapa sawit yang tua harus secara kontinyu dan berkala dilakukan, demikian juga pola budidaya yang kurang baik menyebabkan produktivitas kelapa sawit masih rendah. Meskipun saat ini dengan luas lahan yang besar dan masih menjadi penghasil feedstock terbesar di dunia dan sangat potensial diolah lebih lanjut.

Aksesibilitas Terhadap Input

Aksesibilitas terhadap input mencerminkan tingkat kemudahan dalam memperoleh input produksi yang dibutuhkan secara kontinyu, tepat waktu, tepat jumlah serta tepat jenis. Kemudahan yang dimaksud umumnya menyangkut ketersediaan input di pasar, kondisi harga ideal yang dapat dijangkau oleh produsen, serta distribusi input dari pemasok kepada produsen. Aksesibilitas industri turunan minyak sawit terhadap input sangat mempengaruhi kinerja serta capaian hasil dalam produksinya. Guna menunjang tingkat produktivitas yang tinggi tentu bahan-bahan pembantu harus mudah didapatkan dan tersedia secara kontinyu dan konsisten. Saat ini bahan-bahan pembantu dan sparepart yang dibutuhkan industri turunan minyak sawit cukup tersedia dan mudah didapatkan meskipun harus didatangkan dari luar negeri (eksport). Bahan baku utama selain feedstock, industri ini sangat membutuhkan pasokan energi (listrik) yang cukup memadai, gas alam, dan bahan-bahan kimia pembantu cukup mendukung.

Biaya-Biaya yang Terkait

Umumnya industri turunan minyak sawit mentah merupakan industri besar milik negara dan swasta. Sehingga mempunyai komponen biaya yang kompleks. Perusahaan besar mengeluarkan biaya lebih besar dalam pengadaan sumberdaya alam. Guna membayar jasa manajemen perusahaan, gaji dan tunjangan karyawan, biaya penelitian, pemeliharaan gedung, pembayaran pajak atau royalty, dan biaya lainya. Tetapi dengan manajemen yang baik tingkat efisiensi dan efektifitasnya menjadikan biaya-biaya pengadaan sumberdaya yang dibebankan dapat dengan mudah dipenuhi. Meskipun ada juga biaya-biaya lain yang timbul akibat kegiatannya tetapi secara umum masih dapat ditanggulangi dengan baik.

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri perkelapa-sawitan (mulai produksi CPO sampai pengembangan produk turunannya). Dengan sumberdaya yang berkualitas maka peningkatan kinerja akan meningkat sehingga akan berdampak terhadap peningkatan produksi. Penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan adalah salah satu manfaat dari adanya industri turunan minyak sawit mentah di Indonesia. Faktor sumberdaya dalam industri turunan minyak sawit terdiri atas pekerja kasar, karyawan pabrik, pedagang, penyalur atau pedagang, eksportir, dan jabatan lainnya yang berkaitan dengan sistem produksi turunan minyak sawit mentah.

Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja untuk industri turunan kelapa sawit tidak begitu besar dibandingkan pengelolaan kebun dan pengolahan buah kelapa sawit. Jumlah tenaga kerja pada industri hilir minyak sawit yang terdiri atas berbagai macam industri mulai dari industri minyak goreng sampai oleokimia saat ini hanya menyerap sebanyak 43 600 orang. Sementara pengelolaan kebun dan pengolahan buah kelapa sawit menyerap tenaga kerja sebanyak 5.220 000 orang. Dengan acuan jumlah tenaga kerja untuk pengelolaan perkebunan sebanyak 35 orang per 100 hektar lahan dan setiap pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar (TBS) per jam diperlukan tenaga kerja sebanyak 112 orang. Secara lengkap penyerapan tenaga kerja pada industri minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7.Penyerapan tenaga kerja industri minyak sawit Indonesia

Sektor Jumlah Tenaga Kerja (orang)

Agribisnis Hulu (Input Perkebunan Sawit) 12 000

Perkebunan Kelapa Sawit 5 220 000

Agribisnis Hilir (Industri Minyak Sawit) 43 600

Penyedia Jasa 1 500 000

Total 6 775 600

Sumber : Sipayung (2012)

Sumberdaya manusia dalam kegiatan industri turunan minyak sawit harus didukung oleh tenaga kerja yang ahli dalam mengelola proses produksi, penelitian dan pengembangan, serta pemasaran. Industri turunan minyak sawit mentah disokong oleh tenaga ahli mesin, ahli perpipaan, ahli pengelasan, quality control, dan tenaga ahli lainnya. Pada bagian pemasaran harus didukung oleh sumberdaya manusia yang professional dalam marketing, pencarian info pasar (market intelligent), trader (agen) dan pembeli internasional yang berpengalaman. Kebutuhan tenaga kerja saat ini dapat dipenuhi oleh tenaga lokal khususnya untuk tenaga kasar dan tenaga tingkat manajemen baik medium maupun tinggi hanya beberapa keahlian khusus yang belum berkembang di Indonesia harus didatangkan dari asing tetapi jumlahnya sangat sedikit. Kondisi ini sangat mendukung berdirinya industri oleokimia di Indonesia.

Tingkat Upah

Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin mudahnya investor masuk tanpa kendala batas negara mengakibatkan persaingan antar perusahaan menjadi semakin ketat. Efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki sangat diperlukan untuk meningkatkan dayasaing perusahaan tersebut. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas perusahaan akan meningkatkan produktivitas perusahaan. Peningkatan produktivitas perusahaan, umumnya lebih tertuju kepada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya mesin, metode dan material, serta manusia.

Industri turunan minyak sawit mentah dengan adanya nilai tambah yang cukup baik serta umumnya dikelola oleh perusahaan besar dengan tingkat profesionalisme yang tinggi. Sehingga tingkat upah atau gaji para karyawan atau pekerjanya telah disesuaikan dengan tingkat kompetensi dan tanggungjawabnya. Bahkan tingkatan karier dan strata penggajian untuk industri ini umumnya telah diatur dengan baik dan mempunyai nilai yang cukup tinggi. Sehingga tingkat upah dalam usaha ini tidak menjadi halangan untuk berkembang.

Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam industri turunan minyak sawit mentah merupakan hal penting dalam menunjang dayasaing persaingan dalam pasar global. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar dan pengetahuan ilmiah dalam melakukan proses produksi yang dapat diperoleh melalui lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, lembaga, perguruan tinggi, literatur bisnis, basis data, dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.

Peranan lembaga penelitian dalam mengembangkan produksi turunan minyak sawit mentah Indonesia di pasar internasional sangat tergantung pada hasil penelitian dan pengembangan baik budidaya maupun teknologi produksi. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu instansi pemerintah ataupun perguruan tinggi yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Balai Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian yang dimiliki oleh perusahaan swasta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)

Kemajuan suatu industri ditentukan juga oleh sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka mendukung kemajuan sumberdaya IPTEK, industri minyak sawit di Indonesia didukung oleh keberadaan lembaga riset dan pengembangan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). PPKS merupakan gabungan dari tiga lembaga penelitian, yaitu Pusat Penelitian Perkebunan (Puslitbun) Medan, Puslitbun Marihat, dan Puslitbun Bandar Kuala. PPKS yang secara terus-menerus melakukan riset untuk menemukan teknologi yang tepat dan sesuai bagi kondisi kelapa sawit di Indonesia saat ini dan perkembangannya dimasa yang akan datang.

PPKS mempunyai tugas utama yaitu melakukan penelitian dan pengembangan dalam segala aspek industri minyak sawit, dan menyalurkan hasil penelitian tersebut dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat industri minyak sawit. Sebagai lembaga penelitian yang memiliki kewajiban dalam memajukan industri minyak sawit di Indonesia, PPKS merupakan pusat unggulan inovasi kelapa sawit. Misi PPKS adalah menunjang industri minyak sawit di Indonesia melalui penelitian dan pengembangan, serta pelayanan. Melalui paket teknologi maupun pengembangan IPTEK yang dihasilkan, PPKS diharapkan dapat menjadi motor penggerak (prime mover) bagi pengembagan industri minyak sawit dan turunannya di Indonesia (PPKS, 2012). Penelitian PPKS yang berhubungan dengan dayasaing minyak sawit saat ini adalah melalui diversifikasi produk oleopangan dan oleokimia. Upaya menghasilkan beta karoten, vitamin E, pharmaceutical dari minyak sawit yang mulai diteliti pada tahun 2007 dan hingga saat ini masih terus dilakukan.

Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia (MAKSI)

MAKSI (Masyarakat Perkelapa-Sawitan Indonesia) adalah organisasi yang dibentuk pada tahun 1998 oleh tujuh PAU Biosains (PAU Bioteknologi ITB, PAU Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan Gizi UGM, PAU Bioteknologi UGM, PAU Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB, PAU Ilmu Hayati IPB), Pusat Studi Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. MAKSI memiliki visi menjadi organisasi profesional terpercaya dalam bidang perkelapa-sawitan di dunia untuk membantu pencapaian industri kelapa sawit nasional yang berdayasaing tinggi dan berkelanjutan. Misi dari MAKSI adalah menjadi mitra terbaik pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, petani pekebun sawit, dan para pemangku kepentingan industri kelapa sawit lainnya dalam kegiatan penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan serta advokasi pengembangan industri kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan, terutama demi kemakmuran dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia dan berdayasaing tinggi secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya (MAKSI, 2011).

Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan MAKSI antara lain:

1. Melakukan kompilasi berbagai hasil penelitian dan pengembangan industri minyak sawit Indonesia yang tersebar di Universitas, Lembaga Litbang Pemerintah dan Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta lembaga- lembaga lainnya dan mendiseminasikan hasil kompilasi tersebut kepada para pemangku kepentingan litbang industri minyak sawit Indonesia sehingga meningkatkan koordinasi dan jejaring kerja yang akan meminimumkan dublikasi penelitian dan pemborosan sumberdaya.

2. Melakukan analisis dan sintesis mengenai berbagai permasalahan dalam pengembagan industri minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan, menggunakan materi publikasi tertulis (tercetak) baik dari dalam maupun luar negeri serta membuat road map pemecahan masalah dengan memfungsikan MAKSI sebagai bagian dari upaya pemecahan masalah tersebut.

Asosiasi Produsen Oleokimia Indonesia (APOLIN)

APOLIN merupakan perkumpulan atau wadah perusahaan penghasil oleokimia dasar yang ada di Indonesia. Perkumpulan ini membangun saling bekerja sama satu yang lain guna mencapai tujuan dan dukungan dalam membangun industri oleokimia di Indonesia. Tujuan berdirinya organisasi ini untuk membangun kerjasama antar semua anggota dan memberikan keuntungan bagi semua anggota dan negara.

Saat ini, APOLIN mempunyai 8 (delapan) anggota yaitu PT Cisadane Raya (Tangerang). PT Sumi Asih (Bekasi), PT Wilmar Nabati Indonesia (Gresik), PT Musim Mas (Medan), PT Soci Mas (Medan), PT Nubika Jaya (Rantau Prapat), PT Domba Mas (Kuala Tanjung, Sumut), dan PT Ecogreen Oleochemcical (Medan dan Batam).

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) adalah wadah perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terdiri dari perusahaan PT. Perkebunan Nusantara, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta peladang Kelapa Sawit yang tergabung dalam Koperasi. GAPKI telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan perkelapasawitan Indonesia. GAPKI selaku mitra pemerintah telah memberikan masukan-masukan sebagai bahan pemerintah dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkelapasawitan, termasuk menetapkan kebijakan tata niaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang menarik sehingga akan merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan kelapa sawit. Anggota GAPKI telah menyediakan minyak sawit sebagai bahan baku untuk kepentingan industri dalam negeri dengan jumlah yang cukup dan terus menerus, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terutama terhadap kebutuhan minyak goreng dengan harga yang terjangkau, disamping itu juga mengekspor minyak sawit dalam meningkatkan pendapatan devisa negara.

Gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki sembilan kantor cabang, yaitu pada daerah Sumatera Barat (2001), Jambi (2003), Sulawesi (2004), Kalimantan Tengah (2004), Riau (2004), Kalimantan Selatan (2004), Sumatera Utara (2005), Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan (2007). Adapun beberapa tujuan GAPKI yaitu :

1. Mengembangkan usaha-usaha perkelapasawitan seutuhnya dalam rangka

menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perkebunan.

2. Mempersatukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia agar menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

3. Meningkatkan dayasaing perusahaan kelapa sawit Indonesia di pasar internasional.

Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)

Pemerintah pada tanggal 7 Desember 2006 mendirikan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar pelaku usaha serta memfasilitasi perumusan regulasi dan

kebijakan perkelapa sawitan nasional yang mampu membawa pelaku usaha untuk bersaing, tangguh di pasar Internasional dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan (DMSI, 2012). DMSI sebagai pusat koordinasi program dan kebijakan perkelapa-sawitan nasional bertugas memfasilitasi secara aktif dalam hal:

1. Perumusan program pembangunan industri minyak sawit nasional. 2. Perumusan regulasi dan kebijakan pembangunan industri minyak sawit

Dokumen terkait