• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbanyakan tanaman melalui teknik in vitro dapat melalui jalur

organogenesis dan embriogenesis. Tahapan organogenesis dapat melalui jalur organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus (Wattimena 2006). Melalui jalur embriogenesis dihasilkan embrio somatik yang terbentuk melalui dua jalur, yaitu embriogenesis somatik langsung dan embriogenesis somatik tidak langsung. Embriogenesis somatik langsung terjadi jika embrio terbentuk langsung pada eksplan yang dikulturkan sedangkan embriogenesis somatik secara tidak langsung adalah jika pembentukan embrio somatik didahului oleh fase kalus (Purnamaningsih 2002). Embriogenesis somatik tidak langsung lebih sering diterapkan daripada embriogenesis somatik langsung (Rose et al. 2010).

Keberhasilan proses organogenesis ubi kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah komposisi media, konsentrasi zat pengatur tumbuh serta jenis eksplan. Hasil organogenesis pada percobaan ini menunjukkan bahwa komposisi media dan posisi buku tunggal (single node) mempengaruhi

pertumbuhan dan multiplikasi tunas ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah. Secara umum, single node bagian tengah menghasilkan pertumbuhan

planlet terbaik meliputi waktu muncul tunas lebih cepat, planlet yang lebih tinggi, jumlah daun dan jumlah buku yang lebih banyak. Pertumbuhan jumlah tunas terbaik jika menggunakan single node bagian tengah dan dikulturkan dalam media

MS + 3 mg L-1 BAP (B3). Penggunaan media B3 sangat efektif dalam meningkatkan jumlah tunas planlet ubi kayu. Hasil ini didukung oleh penelitian Nugroho (2011) yang menunjukkan bahwa media MS dengan penambahan 3 mg L-1 BAP merupakan media terbaik untuk peubah jumlah tunas pada varietas Adira 2 dan Adira 4. Tingginya jumlah tunas yang diikuti dengan peningkatan jumlah buku merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan laju multiplikasi tunas. Hal ini untuk mendukung penyediaan mother stock planlet ubi kayu dalam

jumlah besar dan dihasilkan dalam waktu relatif cepat.

Tahapan akhir dari perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Tahap ini merupakan tahap yang kritis karena kondisi iklim di rumah kaca atau rumah plastik dan di lapangan sangat berbeda dengan kondisi di dalam botol kultur. Aklimatisasi pada percobaan ini menggunakan planlet ubi kayu genotipe Jame-jame yang berasal dari hasil organogenesis langsung dengan membedakan periode kultur sebagai perlakuan (12, 24, 36, dan 48 minggu setelah kultur [MSK]). Hasil aklimatisasi menunjukkan bibit dari periode 12 dan 24 MSK memiliki persentase kehidupan aklimatisasi (80%) lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari periode 36 dan 48 MSK. Rendahnya persentase hidup dari bibit periode 36 dan 48 MSK diduga karena umur bibit yang lebih tua dalam kultur in vitro jika dibandingkan dengan bibit periode 12 dan

24 MSK. Oleh sebab itu, ketika melakukan kegiatan aklimatisasi sebaiknya menggunakan planlet yang tidak terlalu tua dalam kultur in vitro. Planlet yang

optimum diaklimatisasi adalah yang berumur 12-24 MSK, minimal memiliki 3 helai daun, perakarannya baik, serta planletnya memiliki ketegaran yang baik.

Tahap awal aklimatisasi, planlet ditanam dalam wadah yang berisi campuran kompos : arang sekam (1:1, v/v). Bibit yang berumur 16 minggu setelah aklimatisasi (MSA) kemudian dipindah ke wadah yang berisi campuran tanah : kompos (1:1, v/v). Bibit yang berumur 20 MSA bisa dipotong batangnya untuk menghasilkan setek mini generasi ke-1 (G1). Produksi setek mini dilakukan sampai generasi ke-n (Gn). Bibit Gn yang berukuran diameter batang 2-3 cm dan memiliki 5-7 mata tunas (panjang setek ±20 cm) dapat dijadikan sebagai bibit siap salur. Bibit Gn ini yang nantinya dipergunakan secara luas oleh petani atau masyarakat umum sebagai bahan tanam di lapangan. Melalui tahapan ini, produksi bibit dapat dilakukan secara kontinu serta bibit yang dihasilkan merupakan bibit yang unggul, bermutu, dan memiliki kejelasan varietas.

Selain jalur organogenesis, perbanyakan tanaman juga dapat melalui jalur embriogenesis. Embriogenesis somatik pada percobaan ini melalui tahapan embriogenesis somatik tidak langsung yang didahului dengan pembentukan kalus terlebih dahulu. Pembentukan kalus embriogenik dipengaruhi oleh komposisi media dan jenis eksplan pada ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ-5, Gajah, dan Adira 4. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa media MS + 20 g L-1 sukrosa + 8 mg L-1 2.4-D (I5) dan MS + 20 g L-1 sukrosa + 10 mg L-1 NAA (I7) serta eksplan daun muda dan tunas pucuk memiliki respon pembentukan kalus embriogenik terbaik. Akan tetapi, tingkat pembentukan embrio somatik yang dihasilkan relatif rendah. Oleh sebab itu, diperlukan tindakan optimasi embriogenesis somatik dengan menggunakan media induksi dan eksplan terbaik, suhu ruang kultur yang optimum, dan genotipe yang responsif.

Percobaan optimasi embriogenesis somatik dilakukan pada genotipe Adira 4 dan Gajah dengan menggunakan eksplan daun muda dan tunas pucuk yang dikulturkan dalam media I5 dan I7 kemudian ditempatkan di ruang kultur bersuhu 21-23 C dan 25-27 C. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 25-27 ⁰C mampu menginduksi pembentukan dan pertumbuhan kalus ubi kayu genotipe Adira 4 dan Gajah lebih baik dibandingkan suhu 21-23 C. Hal ini dapat dilihat dari waktu muncul kalus yang lebih cepat, skor pertumbuhan dan diameter kalus yang lebih tinggi. Penggunaan jenis eksplan daun muda dan tunas pucuk tidak menunjukkan perbedaan signifikan terhadap induksi pembentukan dan pertumbuhan kalus. Akan tetapi, kalus yang terbentuk pada percobaan ini merupakan kalus non-embriogenik. Menurut Evans et al. (1981) kalus non-

embriogenik adalah kalus yang sedikit atau tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi membentuk tanaman. Tidak munculnya embrio somatik pada percobaan ini diduga karena perbedaan kandungan hormon endogen pada setiap eksplan dan perbedaan tingkat sensitivitas setiap eksplan terhadap 2.4-D dan NAA.

Pada percobaan seleksi in vitro terhadap toksisitas aluminium dengan

menggunakan agen seleksi AlCl3 diperoleh nilai lethal concentration 20 (LC20)

dan LC50 pada kalus ubi kayu genotipe UJ-5, Jame-jame, Gajah dan Adira 4.

Berdasarkan hasil penentuan LC20 dan LC50 diperoleh hasil bahwa kalus ubi kayu

genotipe Jame-jame dan Gajah relatif peka terhadap pemberian AlCl3. Hal ini

berarti ubi kayu genotipe Jame-jame dan Gajah relatif peka terhadap toksisitas aluminium.

8 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait