• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

JENIS PEMERIKSAAN

4.1 Pembahasan Tanggal 13 April 2014 Sampai 22 April 2014

Pada tanggal 13 April 2014 pasien didiagnosa Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V ec. DN. Pemeriksaan objektif yang dilakukan adalah sensorium : compos mentis (CM), tekanan darah (TD): 110/70 mmHg, denyut nadi (HR): 88x/menit, pernafasan (RR): 24x/menit serta temparatur: 36,5o

Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 April 2014

C. Pasien diberikan terapi berupa terapi diet rendah kalori dan protein dan terapi obat-obatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tanggal Jenis Obat Sediaan Dosis Sehari Rute Bentuk Kekuatan 13 April s/d 22 April 2014 NaCl 0,9% Metoklopramid Omeprazole Ranitidin Dulcolax Infus Injeksi Kapsul Injeksi Supp 0,9% 10mg/amp 20 mg 50mg/amp 10 mg 20 gtt/mnt 1 amp/8 jam 2 x 1 kapsul 1 amp/12 jam 1 x shri (malam) IV IV PO IV Rektal

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dokter hanya meresepkan obat untuk menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang diderita pasien tetapi tidak pada penyakit dasarnya yaitu diabetes melitus. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dokter juga tidak memberikan obat anemia kepada pasien. Anemia disebabkan karena kurangnya produksi eritropoeitin dan kurangnya zat besi, akibat dari penyakit gagal ginjal kronik yang dialami pasien. Untuk itu,seharusnya dokter memberikan obat antidiabetik oral atau insulin dan Erythropoiesis-Stimulating Agents dan/ atau preparat besi (Fe). Dan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal, dokter membatasi asupan protein.

4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik awal pasien masuk (tabel 3.1), pasien mengeluh mual, muntah, BAK dan BAB sedikit, kulit pucat, tubuh terlihat lemas, nafsu makan berkurang. Kadar kreatinin adalah 6,37 mg/dl, nilai ini diatas nilai normal. Menurut rumus Cockcroft-Gault, LFG yang diperoleh adalah 7,89 ml/menit, jika dihitung dengan berat badan ideal,nilai LFG yang diperoleh adalah 9,51 ml/menit. Kedua nilai tersebut kurang dari 15 ml/menit, maka dikatagorikan gagal ginjal terminal atau gagal ginjal stage V dengan komplikasi uremia, hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan ureum dengan nilai diatas normal yaitu 149 mg/dl (Sudoyo, 2007). Dari Tabel 3.1 halaman 21 dan hasil pemeriksaan patologi klinik, terlihat bahwa kadar glukosa darah pada pasien di atas nilai normal. Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dan pasien tidak minum obat secara teratur, hal tersebut

dapat dilihat pada Tabel 3.3 halaman 22, nilai HbA1C diatas nilai normal. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan pasien mengalami anemia mikrositik normokrom, hal ini di tandai dengan nilai MCV dibawah nilai normal dan nilai MCH dalam batas normal (Kemenkes, 2011). Dokter mendiagnosa pasien menderita Diabetes Mellitus Tipe II + CKD Stage V et causal DN. Jadi, diagnosa dokter kurang tepat pasien, karena dokter tidak mendiagnosa adanya anemia mikrositik normokrom.

4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi

Terapi obat yang diresepkan dokter yakni infus NaCl 0,9%, injeksi metoklopramid, tablet omeprazole, injeksi ranitidin dan dulcolax suppositoria.

Saat hari pertama pasien masuk IGD, pasien diberi infus NaCl 0,9% karena pasien tampak lemas dan berdasarkan hasil laboratorium, terjadi ketidakseimbangan elektrolit pada tubuh pasien. Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian Infus NaCl 0,9% sudah tepat indikasi (Tan dan Rahardja, 2002).

Pasien juga merasa mual dan muntah, oleh karena itu dokter memberikan metoklopramid. Obat ini merupakan agen antiemetik sentral kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Oleh karena itu, metoklopramid digunakan pada semua jenis mual dan muntah. Obat ini berkhasiat memperkuat motilitas dan pengosongan lambung dengan

menstimulasi saraf-saraf kolinergik melalui sifat antagonis pada reseptor dopamin di sistem saraf pusat dan perifer, serta kerja langsung pada otot polos. Pemberian metoklopramid sudah tepat indikasi (Tjay Tan dan Rahardja, 2002).

Pada tanggal 13 April 2014, pasien masuk IGD dengan keluhan nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter mendiagnosa pasien menderita gastritis dan dokter memberikan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi untuk mencegah gangguan lambung seperti gastroesophageal reflux disesase (GERD), tukak duodenum, tukak lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi.

Pada hari ke dua, tanggal 14 April 2014, dokter mengganti omepazole kapsul dengan ranitidin injeksi. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat indikasi karena pasien memiliki gangguan pada lambung sebagai akibat dari penyakit diabetes melitus yang di derita tetapi penggunaan ranitidin harus di pantau karena ranitidin dapat meningkatkan penurunan fungsi ginjal.

Pada tanggal 14 April 2014, dokter memberikan dulcolax suppositoria karena pasien belum BAB. Pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit

dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat indikasi.

4.1.3 Pengkajian Tepat Obat

Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian infus NaCl 0,9% sudah tepat obat.

Metoklopramid berkhasiat sebagai anti emetika kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Penggunaan obat ini berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien yaitu muntah. Sehingga pemberian metoklopramid sudah tepat obat (Tan dan Rahardja, 2002).

Pada hari pertama, tanggal 13 April 2014. Pasien mengeluh nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter meresepkan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat obat untuk mencegah gangguan lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pada hari kedua tanggal 14 April 2014, dokter meresepkan ranitidin injeksi untuk menggantikan penggunaan omeprazole kapsul. Pergantian bentuk sediaan oral ke injeksi, dimaksudkan karena pasien tidak bisa menerima bentuk sediaan oral dikarenakan pasien mual dan muntah. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat obat, tetapi penggunaanya harus di pantau karena ranitidin injeksi

memimbulkan efek samping pada gastrointestisinal seperti konstipasi, mual, muntah (Mims, 2013).

Pasien mengeluh belum BAB, pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat obat.

4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis Dan Waktu Pemberian

Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol, dosis yang diberikan adalah 20 tetes/menit secara IV (intra vena). Umumnya tetesan atau kecepatan mengalir adalah 2 – 3 ml/menit atau sesuai kebutuhan (Ansel, 1989). Pemberian infus NaCl 0,9% digunakan untuk mencegah dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit pasien dikarenakan hasil pemeriksaan elektrolit dibawah normal dan keadaan pasien juga lemah, maka pemberian NaCl 0,9% sebagai pertimbangan terapi, tetapi diperlukan perhatian penuh, yaitu pasien harus membatasi konsumsi garam. Pemberian NaCl 0,9% sudah tepat dosis dan waktu pemberian.

Metoklopramid diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Dosis lazim untuk dewasa umumnya yaitu 10 mg 3 kali sehari (Mims, 2013), tetapi untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 40 ml/menit adalah 5 mg setiap 6 jam (Anonim, 2012). Berdasarkan dosis

yang diresepkan dokter adalah 10 mg tiap 8 jam pada pagi, siang dan malam hari, maka pemberian metroklopramid injeksi tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu pemberian.

Omeprazole diberikan dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/kapsul. Dosis lazim untuk dewasa yakni 20 – 40 mg sehari (Mims, 2013). Berdasarkan dosis yang diberikan dokter 2 x sehari 20 mg pada pagi dan malam hari, maka pemberian dosis omeprazole sudah tepat dosis dan waktu pemberian.

Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Dosis lazim untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 50 ml/menit adalah 50 mg/24 jam (Anonim, 2012). Dosis yang diresepkan dokter adalah 50 mg setiap 12 jam pada pagi dan malam hari, maka pemberian ranitidin injeksi tidak tepat dosis dan waktu pemberian. Pemberian ranitidin dengan dosis yang berlebihan dapat meningkatkan bioavaibilitas di dalam darah dikarenakan penurunan fungsi ginjal sehingga obat tidak seluruhnya di ekskresikan, dan hal tersebut dapat berbahaya bagi pasien (Dewoto, 2009).

Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg. Dosis lazim untuk dewasa adalah satu kali sehari pada pagi hari (Anonim, 2014). Dosis yang diresepkan dokter adalah satu kali sehari pada malam hari, maka pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat dosis tetapi tidak tepat waktu pemberian.

4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian

Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol secara intra vena yaitu melalui pembuluh darah vena di tangan (Ansel, 1989). Pemberian IVFD NaCl 0,9% sudah tepat cara pemberiannya.

Metoklopramid diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Pemberian metoklopramid injeksi sudah tepat pemberiannya.

Omeprazole diberikan secara peroral dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/tablet. Pemberian omeprazole tablet sudah tepat cara pemberiannya.

Ranitidin diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat cara pemberiannya.

Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg secara intra rektal yaitu dengan memasukkan suppositoria melalui lubang dubur (Ansel, 1989). Pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberiannya.

4.1.6 Pengkajian Efek Samping

Setiap obat memiliki efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian terhadap efek samping dan interaksi obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu dalam mengoptimalkan terapi pasien. Efek samping dan interaksi obat dari obat yang digunakan dalam terapi dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Dari tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa penggunaan ranitidin tidak tepat karena efek samping dari ranitidin dapat memperparah gejala mual, muntah dari pasien.

Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d 22 April 2014

No Nama Obat Efek Samping

1 NaCl 0,9% Infus

Timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena dari tempat penyuntikan

2 Metoklopramid Injeksi

Mengantuk, lelah, lemas, gelisah, lesu, diare, urtikaria, mulut kering (Mims, 2013).

3 Omeprazole Kapsul

Mual, sakit kepala, diare, konstipasi, perut kembung, bisa terjadi gangguan kulit seperti ruam kulit, urtikaria, dan pruritus (Mims, 2013).

4 Ranitidin Injeksi

Sakit kepala, mual, muntah, pusing mengantuk, insomnia, tidak enak badan, vertigo, konstipasi, depresi, arimia dan reaksi hipersensitivitas (Mims, 2013)

5 Dulcolax Rasa tidak enak pada perut termasuk kram dan sakit perut dan diare (Anonim, 2014)

4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter

Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan kepada dokter antara lain:

a. Memberitahukan dokter untuk memberikan terapi Erythropoiesis-Stimulating Agents (seperti Epoetin alfa, Darbepoetin alfa) dan/ atau preparat besi (Fe) (seperti Ferrous Sulfate, Ferrous Fumarate, Iron Dextran, Iron Sucrose). Dokter seharusnya meresepkan obat anti diabetik oral atau insulin

b. Sebaiknya dosis metoklopramid injeksi diberikan 5 mg setiap 6 jam.

c. Sebaiknya dulcolax diberikan pada pagi hari dan lakukan pemantauan terhadap penggunaan dulcolax karena dulcolax tidak boleh diberikan setiap hari dalam waktu yang lama.

d. Pemberian ranitidin injeksi sebaiknya di pantau atau mengantikan ranitidin injeksi dengan obat yang lebih aman bagi ginjal misalnya omeprazole injeksi.

4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat

Beberapa rekomendasi yang diberikan kepada perawat yaitu:

a. Pemberian obat sebaiknya diberikan tepat waktu, baik jenis obat maupun waktu pemberiannya kepada pasien.

b. Obat-obatan disimpan sesuai dengan persyaratan kondisi penyimpanannya, karena penyimpanan pada umumnya berpengaruh pada stabilitas sediaan, misalnya infus NaCl 0,9 %, ampul ranitidin dan metoklopramid, kapsul omeprazole sebaiknya disimpan pada suhu kamar 25oC, hindari obat dari panas dan cahaya matahari langsung. Dulcolax suppositoria disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 15 – 25o

c.

C

Cara penanganan sampah/ wadah obat yang seperti ampul, botol infus dan spuit harus disesuaikan dengan tempat penampungan wadah bekas pakai dan dibuang pada tempat pembuangan sampah medis rumah sakit.

BAB V

Dokumen terkait