Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan
Instalasi Pemulasaran Jenazah dan Kedokteran Instalasi Kemotoran
Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan
DIREKTUR
RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
KEPALA INSTALASI FARMASI Dra. Singgar NR, Apt
Pel. Farmasi Pasien Umum Jhonson L. Tobing S, SSi, Apt
Pel. Farmasi Pasien Jaminan Kesehatan Rawat Jalan/Rawat Inap
Pel. Farmasi Umum Rawat Inap/Jalan
Pel. Farmasi BMHP Ruangan & Poliklinik
lampiran 21. Formulir Protokol Terapi dari IGD
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menegaskan bahwa pasien Nama :... Umur : ... Jenis Kelamin :... No. KP Askes :... No.MR :... Diagnosa :...
Memerlukan obat khusus yang menggunakan protokol terapi dan digunakan di IGD antara lain :
1. 2. 3.
Alasan pemberian : ... ... ...
Medan , ... Dokter Jaga IGD
(...) Petugas Yang Menyerahkan Tim Legalisasi
Lampiran 22. Formulir Protokol Terapi dari Ruangan
SURAT KETERANGAN PERMINTAAN OBAT KHUSUS Dengan Hormat,
Dengan ini kami mohon diberikan untuk penderita:
Nama :
Lampiran 23. Form PIO (Pelayanan Informasi Obat)
PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO) INSTALASI RSU Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
No :
Penerima Informasi Pemberi Informasi
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI
FARMASI RUMAH SAKIT
di
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI
KOTA MEDAN
STUDI KASUS
Diabetes Melitus Tipe II + CKD
stage
V
et causal
DN
Disusun Oleh:
Ervina Syahfitri Lubis, S. Farm NIM 133202103
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
RINGKASAN
Laporan studi kasus ini telah dilakukan pada Praktek Kerja Profesi (PKP) Farmasi Rumah Sakit di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam Pria (Asoka 1) ruangan XXI Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 13 April s/d 22 April 2014 mengenai Diabetes Mellitus
+ CKD stage V ec DN. Pada studi kasus akan dilakukan pengkajian masalah terkait obat (Drug Related Problem) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat pada pasien.
Kegiatan studi kasus meliputi visite (kunjungan) terhadap pasien, memberikan edukasi dan informasi terkait obat kepada pasien dan/atau keluarga pasien, pengkajian masalah terkait obat (DRP) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat, memberikan pertimbangan kepada tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan rasionalitas penggunaan obat.
2.3.4 Terapi ... 15 BAB III PELAKSANAAN UMUM ... 19 3.1 Identitas Pasien ... 19 3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD
Dr. Pirngadi Medan ... 19 3.3 Pemeriksaan ... 20
3.3.1 Pemeriksaan Fisik ... 20 3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang ... 22 3.4 Terapi ... 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26 4.1 Pembahasan Tanggal 13 April sampai 22 April 2014 . 27 4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien ... 28 4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi ... 29 4.1.3 Pengkajian Tepat Obat ... 31 4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis dan Waktu Pemberian . 32 4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian ... 34 4.1.6 Pengkajian Efek Samping ... 34 4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter ... 35
4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat ... 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis ... 6
Tabel 2.2 Jenis-jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja ... 8 Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral ... 9 Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit ... 12 Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagagl Ginjal Kronik di
Amerika Serikat ... 12 Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik ... 17 Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien ... 21 Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I
(tanggal 13 April 2014 ) ... 22 Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II
(tanggal 15 April 2014 ) ... 23 Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III
(tanggal 21 April 2014 ) ... 23 Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada
Tanggal 14 April 2014 ... 23 Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien
Selama Rawat Inap ... 25 Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d
22 april 2014 ... 27 Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan, yang merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama sebagai tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu.
obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite pasien dan pengkajian penggunaan obat (Depkes RI, 2004).
Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri oleh apoteker maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuannya adalah untuk pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien (Depkes RI, 2004).
Dalam rangka menerapkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka mahasiswa calon apoteker perlu diberi perbekalan dan pengalaman dalam bentuk Praktek Kerja Profesi (PKP) di rumah sakit. PKP di rumah sakit merupakan salah satu praktek pelayanan kefarmasian yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien. Adapun pelayanan kefarmasian yang difokuskan untuk dilaksanakan adalah visite pasien dan pengkajian penggunaan obat secara rasional (PPOSR). Adanya masalah penggunaaan obat yang tidak rasional menunjukkan bahwa peranan apoteker sangat besar dalam membantu keberhasilan terapi pasien.
Studi kasus yang akan dikaji adalah pasien dengan diagnosa Diabetes Melitus + CKD (Chronic Kidney Disease) stage V ec. DN (Diabetic Nephropathy). Disini penulis akan mengkaji penggunaan obat yang diberikan
rangka untuk meningkatkan kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan demi
tercapainya tujuan pengobatan untuk memaksimalkan pengobatan pasien.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah:
a. Memberikan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mematuhi terapi yang telah ditetapkan dokter.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2005).
2.1.2 Patofisiologi
a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi
insulin absolut. Hiperglikemia terjadi bila 80%-90% dari sel β rusak. Penyakit DM bisa menjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun tidak diketahui.
b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan
gaya hidup penderita DM (kelebihan kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan pengaruh genetik.
c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin, niasin, dan α -interferon).
d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan dengan sindrom resistensi insulin.
e. Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskular periferal (Sukandar dkk, 2009).
2.1.3 Penegakan Diagnosis
sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (Darmono, 1996 dan Depkes, 2005).
Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis
Glukosa Plasma Puasa
Glukosa Plasma 2 jam setelah makan
Normal <100 mg/dl <140 mg/dl
Pra-diabetes
Diabetes ≥126 mg ≥200 mg/dl
2.1.4 Komplikasi
Jika tidak ditangani dengan baik, DM akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dan lain-lain. Dengan penanganan yang baik, diharapkan komplikasi kronik DM akan dapat di hambat perkembangannya.
Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di tubuh. Komplikasi ini terbagi 2 yaitu komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, pembuluh darah kaki dan komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati (Waspadji, 1996).
2.1.4.1 Diabetik Nefropati
2.1.5 Terapi
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005).
a. Terapi Insulin
Insulin dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas. Pankreas mengandung sel-sel yang terdiri atas sel alfa yang menghasilkan hormon glukagon, sel beta menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin dan sel PP menghasilkan pancreatic polypeptide (Tjay dan Rahardja, 2002).
Tabel 2.2 Jenis – jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja Jenis Insulin Mulai Kerja
(jam)
Insulin), disebut juga insulin Reguler
0,5 1-4 6-8
Kerja sedang 1 - 2 6-12 18-24
Kerja sedang mulai kerja cepat
0,5 4-15 18-24
Kerja lama 4 - 6 14-20 24-36
b. Terapi Obat Hipoglikemik Oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi obat hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan regimen obat hipoglikemik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes, 2005).
Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Glipizida
Glikazida Glimepirida Glikuidon
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi dengan baik
Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas
Turunan fenilalanin
Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin
Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebrata lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah yaitu bagian kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan (Syaifuddin, 2006).
2.2.2 Fungsi Ginjal
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air menyebabkan urin yang diekskresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahanan relatif normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.
d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal mensekresikan hormon renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron) membentuk eritropoeisis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoesis) (Aslam, 2003, Pearce, 2006 dan Syaifuddin, 2006).
2.3 Gagal Ginjal Kronik 2.3.1 Definisi
gagal ginjal yang mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti ginjal (Suhardjono dkk, 2001).
Batasan penyakit ginjal kronik dapat dilihat sebagai berikut:
a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium didasarkan atas dasar derajat penyakit (stage), dibuat berdasarkan nilai LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat Badan (kg) * 72 x Kreatinin Plama (mg/dl)
)
*)
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit (Sudoyo, 2007), dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.
pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit
Stage Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
atau meningkat ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG
berat 15 – 29
2.3.2 Patofisiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.5 di bawah ini menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (Sudoyo, dkk., 2007). Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus 44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3% Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Adanya peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang sistem renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial (Sudoyo, 2007).
2.3.3 Penegakan Diagnosis
Menurut Sudoyo gambaran klinis pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritomatosus sistemik (LES) dan lain sebagainya.
b. Sindroma uremia, yang terdiri dari lemah, lethargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Gambaran hasil laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa e. Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.3.4 Terapi
Penatalaksanaan terapi pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stage Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi
f. Terapi pengganti
BAB III
PENATALAKSANAAN UMUM
3.1 Identitas Pasien
Nama : S
Nomor MR : 00.91.58.76
Umur : 63 tahun 0 bulan 19 hari Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 25 Maret 1951
Agama : Islam
Berat Badan : 47 kg Tinggi Badan : 163 cm
Ruangan : XXI Penyakit Dalam Pria/ Asoka I Pembayaran : Non PBI – JKN Kelas III
Tanggal Masuk : 13 April 2014 pukul 19.42 WIB
3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr.Pirngadi Medan
mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmHg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur.
Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu :
Sensorium : Compos Mentis (sadar penuh) Tekanan darah (TD) : 110/70 mmHg
Heart Rate (HR) : 88 kali/menit Respiratory Rate (RR) : 24 kali/menit Temperatur (T) : 36,50C
3.3 Pemeriksaan
Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan hematologi, urin rutin, kimia klinik seperti metabolisme karbohidrat, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax.
3.3.1 Pemeriksaan Fisik
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien
Keterangan: RR = Respiration Rate ; HR = Heart Rate ; T = Temperature ; BP = Blood Pressure
3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang
Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien telah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium patologi klinik, pemeriksaan foto thoraks dan USG ginjal.
a. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik I (tgl 13 April 2014), II (tgl 15 April 2014) dan III (tgl 21 April 2014) ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I (tanggal 13 April 2014)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi:
Glukosa Adrandom 158 < 140 mg/dl
Hati:
Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II (tanggal 15 April 2014)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Urin Rutin:
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Berat Jenis 1,005 1,001 – 1,035 Metabolisme Karbohidrat:
Gula Puasa 123 60 – 110 mg/dl
2 jam PP 185 < 140 mg/dl
HbA1C 7,6 < 6,0 %
Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III (tanggal 21 April 2014)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Kimia Klinik
Keterangan : - Tanda bintang : nilai di bawah normal -Warna merah : nilai di atas normal b. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan USG upper lower abdomen.
Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada Tanggal 14 April 2014
Tanggal Uraian Hasil Pemeriksaan Kesimpulan Radiologis 14 April
2014
Sinus costophrenicus kanan/kiri lancip, Diaphragma kanan/kiri baik
Jantung bentuk dan ukuran baik, CTR < 50%, Corakan bronkovaskuler kedua paru baik, tidak tampak infiltrat dan aktif spesifik, tidak tampak infiltrat, konsolidasi dan modul opaque di paru – paru kanan/kiri, tulang – tulang costa kanan/kiri intact.
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo
- Hasil Pemeriksaan USG
3.4 Terapi
Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien Selama Rawat Inap
No Jenis Obat Sediaan Dosis Sehari Rute Tanggal (April 2014)
Bentuk Kekuatan 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
1 IVFD NaCl 0,9% Infus 0,9% 20 gtt/menit IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Metoclopramid Injeksi 10 mg/amp 1 amp/8 jam IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Omeprazole Kapsul 20 mg 2 x 1 kapsul PO √
4 Ranitidin Injeksi 50 mg 1 amp/12 jam IV √ √ √ √ √ √ √ √ √
5 Dulcolax Supp 10 mg 1 x 1 supp (malam)
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien masuk ke RSUD Dr. Pirngadi melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500 mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmHg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur.
Selanjutnya, pasien menjalani rawat inap pada tanggal 13 April 2014. Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan darah hematolgi, urin rutin, kimia klinik dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax.
rasional. Rasionalitas penggunaan obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication ), Tepat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route) dan Waspada terhadap Efek Samping. Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat yang diberikan. Penyampaian informasi penting tentang obat disampaikan secara langsung kepada pasien atau keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai obat.
4.1 Pembahasan Tanggal 13 April 2014 Sampai 22 April 2014
Pada tanggal 13 April 2014 pasien didiagnosa Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V ec. DN. Pemeriksaan objektif yang dilakukan adalah sensorium : compos mentis (CM), tekanan darah (TD): 110/70 mmHg, denyut nadi (HR): 88x/menit, pernafasan (RR): 24x/menit serta temparatur: 36,5o
Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 April 2014
C. Pasien diberikan terapi berupa terapi diet rendah kalori dan protein dan terapi obat-obatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dokter hanya meresepkan obat untuk menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang diderita pasien tetapi tidak pada penyakit dasarnya yaitu diabetes melitus. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dokter juga tidak memberikan obat anemia kepada pasien. Anemia disebabkan karena kurangnya produksi eritropoeitin dan kurangnya zat besi, akibat dari penyakit gagal ginjal kronik yang dialami pasien. Untuk itu,seharusnya dokter memberikan obat antidiabetik oral atau insulin dan Erythropoiesis-Stimulating Agents dan/ atau preparat besi (Fe). Dan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal, dokter membatasi asupan protein.
4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien
dapat dilihat pada Tabel 3.3 halaman 22, nilai HbA1C diatas nilai normal. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan pasien mengalami anemia mikrositik normokrom, hal ini di tandai dengan nilai MCV dibawah nilai normal dan nilai MCH dalam batas normal (Kemenkes, 2011). Dokter mendiagnosa pasien menderita Diabetes Mellitus Tipe II + CKD Stage V et causal DN. Jadi, diagnosa dokter kurang tepat pasien, karena dokter tidak mendiagnosa adanya anemia mikrositik normokrom.
4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi
Terapi obat yang diresepkan dokter yakni infus NaCl 0,9%, injeksi metoklopramid, tablet omeprazole, injeksi ranitidin dan dulcolax suppositoria.
Saat hari pertama pasien masuk IGD, pasien diberi infus NaCl 0,9% karena pasien tampak lemas dan berdasarkan hasil laboratorium, terjadi ketidakseimbangan elektrolit pada tubuh pasien. Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian Infus NaCl 0,9% sudah tepat indikasi (Tan dan Rahardja, 2002).
menstimulasi saraf-saraf kolinergik melalui sifat antagonis pada reseptor dopamin di sistem saraf pusat dan perifer, serta kerja langsung pada otot polos. Pemberian metoklopramid sudah tepat indikasi (Tjay Tan dan Rahardja, 2002).
Pada tanggal 13 April 2014, pasien masuk IGD dengan keluhan nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter mendiagnosa pasien menderita gastritis dan dokter memberikan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi untuk mencegah gangguan lambung seperti gastroesophageal reflux disesase (GERD), tukak duodenum, tukak lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi.
Pada hari ke dua, tanggal 14 April 2014, dokter mengganti omepazole kapsul dengan ranitidin injeksi. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat indikasi karena pasien memiliki gangguan pada lambung sebagai akibat dari penyakit diabetes melitus yang di derita tetapi penggunaan ranitidin harus di pantau karena ranitidin dapat meningkatkan penurunan fungsi ginjal.
dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat indikasi.
4.1.3 Pengkajian Tepat Obat
Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian infus NaCl 0,9% sudah tepat obat.
Metoklopramid berkhasiat sebagai anti emetika kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Penggunaan obat ini berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien yaitu muntah. Sehingga pemberian metoklopramid sudah tepat obat (Tan dan Rahardja, 2002).
memimbulkan efek samping pada gastrointestisinal seperti konstipasi, mual, muntah (Mims, 2013).
Pasien mengeluh belum BAB, pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat obat.
4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis Dan Waktu Pemberian
Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol, dosis yang diberikan adalah 20 tetes/menit secara IV (intra vena). Umumnya tetesan atau kecepatan mengalir adalah 2 – 3 ml/menit atau sesuai kebutuhan (Ansel, 1989). Pemberian infus NaCl 0,9% digunakan untuk mencegah dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit pasien dikarenakan hasil pemeriksaan elektrolit dibawah normal dan keadaan pasien juga lemah, maka pemberian NaCl 0,9% sebagai pertimbangan terapi, tetapi diperlukan perhatian penuh, yaitu pasien harus membatasi konsumsi garam. Pemberian NaCl 0,9% sudah tepat dosis dan waktu pemberian.
yang diresepkan dokter adalah 10 mg tiap 8 jam pada pagi, siang dan malam hari, maka pemberian metroklopramid injeksi tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu pemberian.
Omeprazole diberikan dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/kapsul. Dosis lazim untuk dewasa yakni 20 – 40 mg sehari (Mims, 2013). Berdasarkan dosis yang diberikan dokter 2 x sehari 20 mg pada pagi dan malam hari, maka pemberian dosis omeprazole sudah tepat dosis dan waktu pemberian.
Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Dosis lazim untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 50 ml/menit adalah 50 mg/24 jam (Anonim, 2012). Dosis yang diresepkan dokter adalah 50 mg setiap 12 jam pada pagi dan malam hari, maka pemberian ranitidin injeksi tidak tepat dosis dan waktu pemberian. Pemberian ranitidin dengan dosis yang berlebihan dapat meningkatkan bioavaibilitas di dalam darah dikarenakan penurunan fungsi ginjal sehingga obat tidak seluruhnya di ekskresikan, dan hal tersebut dapat berbahaya bagi pasien (Dewoto, 2009).
4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian
Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol secara intra vena yaitu melalui pembuluh darah vena di tangan (Ansel, 1989). Pemberian IVFD NaCl 0,9% sudah tepat cara pemberiannya.
Metoklopramid diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Pemberian metoklopramid injeksi sudah tepat pemberiannya.
Omeprazole diberikan secara peroral dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/tablet. Pemberian omeprazole tablet sudah tepat cara pemberiannya.
Ranitidin diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat cara pemberiannya.
Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg secara intra rektal yaitu dengan memasukkan suppositoria melalui lubang dubur (Ansel, 1989). Pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberiannya.
4.1.6 Pengkajian Efek Samping
Dari tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa penggunaan ranitidin tidak tepat karena efek samping dari ranitidin dapat memperparah gejala mual, muntah dari pasien.
Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d 22 April 2014
No Nama Obat Efek Samping
1 NaCl 0,9% Infus
Timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena dari tempat penyuntikan
2 Metoklopramid Injeksi
Mengantuk, lelah, lemas, gelisah, lesu, diare, urtikaria, mulut kering (Mims, 2013).
3 Omeprazole Kapsul
Mual, sakit kepala, diare, konstipasi, perut kembung, bisa terjadi gangguan kulit seperti ruam kulit, urtikaria, dan pruritus (Mims, 2013).
4 Ranitidin Injeksi
Sakit kepala, mual, muntah, pusing mengantuk, insomnia, tidak enak badan, vertigo, konstipasi, depresi, arimia dan reaksi hipersensitivitas (Mims, 2013)
5 Dulcolax Rasa tidak enak pada perut termasuk kram dan sakit perut dan diare (Anonim, 2014)
4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan kepada dokter antara lain:
a. Memberitahukan dokter untuk memberikan terapi Erythropoiesis-Stimulating Agents (seperti Epoetin alfa, Darbepoetin alfa) dan/ atau preparat besi (Fe) (seperti Ferrous Sulfate, Ferrous Fumarate, Iron Dextran, Iron Sucrose). Dokter seharusnya meresepkan obat anti diabetik oral atau insulin
b. Sebaiknya dosis metoklopramid injeksi diberikan 5 mg setiap 6 jam.
d. Pemberian ranitidin injeksi sebaiknya di pantau atau mengantikan ranitidin injeksi dengan obat yang lebih aman bagi ginjal misalnya omeprazole injeksi.
4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat
Beberapa rekomendasi yang diberikan kepada perawat yaitu:
a. Pemberian obat sebaiknya diberikan tepat waktu, baik jenis obat maupun waktu pemberiannya kepada pasien.
b. Obat-obatan disimpan sesuai dengan persyaratan kondisi penyimpanannya, karena penyimpanan pada umumnya berpengaruh pada stabilitas sediaan, misalnya infus NaCl 0,9 %, ampul ranitidin dan metoklopramid, kapsul omeprazole sebaiknya disimpan pada suhu kamar 25oC, hindari obat dari panas dan cahaya matahari langsung. Dulcolax suppositoria disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 15 – 25o
c.
C
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan RSUD Dr. Pirngadi Medan adalah:
1. Pengkajian rasionalitas penggunaan obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication ), Tepat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route) dan Waspada terhadap Efek Samping :
a. Pasien didiagnosa Diabetes Mellitus Tipe II + CKD stage V ec DN. Diagnosa dokter kurang tepat karena dokter tidak mendiagnosa pasien mengalami anemia.
b. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat indikasi, tetapi penggunaan ranitidin injeksi harus di pantau.
c. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat obat, tetapi penggunaan ranitidin injeksi harus di pantau.
dulcolax suppositoria sudah tepat dosis tetapi tidak tepat waktu pemberian.
e. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberian.
5.2Saran
Saran yang diberikan terkait penilaian rasionalitas penggunaan obat adalah :
a. Apoteker menyarankan kepada dokter agar memberikan terapi Erythropoiesis-Stimulating Agents (seperti Epoetin alfa, Darbepoetin alfa) dan/ atau preparat besi (Fe) (seperti Ferrous Sulfate, Ferrous Fumarate, Iron Dextran, Iron Sucrose). Dokter seharusnya meresepkan obat anti diabetik oral atau insulin.
b. Sebaiknya dosis metoklopramid injeksi diberikan 5 mg setiap 6 jam.
c. Sebaiknya dulcolax diberikan pada pagi hari dan lakukan pemantauan terhadap penggunaan dulcolax karena dulcolax tidak boleh diberikan setiap hari dalam waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2012). Renal Dosing: Old Guidelines.
Anonim. (2014). Dulcolax Suppositoria.
Diakses
tanggal 22 Mei 2014.
Ansel, Howard. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Halaman 402.
Darmono. (1996). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 593. Depkes RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/MENKES/
SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman 7, 26-27, 20-21, 30-32, 35-36.
Dewoto, H. (2009). Histamin dan Antialergi. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Halaman 282.
Kemenkes RI. (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman 13-14.
Kenward, R dan Tan, C.K. (2003). Penggunaan Obat pada Gangguan Ginjal
dalam Farmasi Klinis. Jakara: PT.Gramedia. Halaman 137-138
Pearce, E.V. (2006). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 248.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, K.M., dan Setiati, S. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 505-512, 570-573, 604-606, 622-625, 641-644.
Suhardjono., Lydia, A., Kapojos, E.J., dan Sidabutar, R.P. (2001). Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 427.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar. (2009). Iso Farmakoterapi. Cetakan kedua. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Halaman 26.
Syaifuddin, H. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. Halaman 235, 237.
Tan, H.J., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi kelima. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 254, 257, 693, 821, .
Waspadji, S. (1996). Komplikasi Kronik Diabetes Melitus: Pengenalan dan Penanganannya. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 597.