• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Praktik permodalan bersyarat di Desa Cumedak merupakan salah satu inovasi dalam usaha, dalam berbisnis harus menerapkan prinsp-prinsip etika bisnis Islam untuk mendapatkan hasil yang barokah dan mengantarkan kepada hamba yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karenanya untuk menjalankan bisnis yang nantinya mendapatkan hasil yang barokah tersebut maka pelaku bisnis seharusnya menjalankan perintah Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga nanti mencegah bisnis yang yang dilarang didalam etika bisnis Islam. Sedangkan bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan dengan praktik permodalan bersyarat di Desa Cumedak yaitu:

1. Bagi tokoh masyarakat Desa Cumedak antara lain para kiyai, guru ngaji, ustad, serta kepala Desa Cumedak, peneliti menyarankan agar memperhatikan dan meluruskan praktik dalam berbisnis yang dilakukan masyarakat Desa Cumedak salah satunya praktik permodalan bersyarat, agar masyarakat paham bahwa praktik tersebut tidak sesuai dengan etika bisnis Islam.

2. Bagi IAIN Jember, utamanya Fakultas Syari’ah agar memperhatikan dan melakukan penelitian terhadap praktik-praktik bisnis yang ada di

masyarakat pada umumnya dan praktik permodalan bersyarat yang ada di Desa Cumedak khususnya, untuk melakukan penelitian terkait masalah-masalah bisnis, agar fungsi IAIN sebagai perguruan tinggi Islam mampu meluruskan praktik-praktik bisnis masyarakat yang tidak sesuai dengan etika bisnis Islam dan mampu mencerdaskan pemahaman masyarakat yang salah dan tidak sesuai dengan etika bisnis Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulahanaa. 2014. Kaidah-kaidah Keabsahan Multi akad (hybrid contract).

Yogyakarta: CV. Orbittrust corp.

Abdurahim, Ahim. 2001. Dalil-dalil Naqli Seri Ekonomi Islam. Bantul: CV. Mitra Karya Sentosa.

Ahmad, Mustaq. 2001. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta timur: pustaka Al-Kautsar.

Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Alma, Buchari. 2003. Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam. Bandung: Alfabeta.

Alma, Buchari. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: CV. Alfabeta.

Arikunto, Suharsimi. 2001. Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Teoritik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Aziz, Abdul. 2013. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung : Alfabeta.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerintah Desa Kabupaten Jember, 2016.

Profil Desa Cumedak.

Badroen, Faisal. 2006. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bank Indonesia. 1999. Petunjuk pelaksanaanpembukuan bank syariah. Jakarta:

Bank Indonesia.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Rineka Cipta.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Burhan, Bungin. 2007. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hasan, Ali. 2009. Manajemen Bisnis Syariah. Celeban Timur: Pustaka Pelajar.

Jonatan, Sarwono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Milles Matthew B. dan Hiberman, A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhammad dan Alimin.2004. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Muhammad. 2002. VisiAl-Qur’an tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba Diniyah.

Muhammad. 2005. pengantar akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.

Muthahhari, Murtadha. 1995. Asuransi Dan Riba. Bandung: Pustaka Hidayah.

Nafis, Abdul Wadud. 2010. Paradigma Ekonomi Islam. Lumajang: Lp3di Press.

Nawawi, Ismail. 2009. Ekonomi Islam - Teori, Sistem dan Aspek Hukum.

Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Mumalah Klasik danKontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nor, Dumairi, dkk. 2007. Ekonomi Syariah Versi salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri.

Rasjid, Sulaiman. 2005. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Rivai, Veithzal, dkk. 2012. Islam Business And Economic Ethnish. Jakarta: Bumi Aksara.

Sr, Soemarso. 1990. Peranan Harga Pokok Dalam Penentuan Harga Jual.

Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono, 2014. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Surabaya: CV Putra Media Nusantara.

Suryana. 2001. Kewirausahaan. Jakarta : Salemba Empat.

Syafe’i H, Rahmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.

Tim Revisi. 2015. Pedoman Penulisan Karya tulis Ilmiah. Jember: IAIN Jember Press.

Umam, Chatibul. 2001. Fiqh Empat Mazhab. Jakarta: Daar Al-Ulim Press.

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menyajikan tentang hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh calon peneliti, relefan disini yaitu adanya sedikit persamaan dengan yang akan diteliti yaitu dalam ruang lingkup yang sama, beberapa kajian terdahulu yang ditemukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :

Penelitian terdahulu yang sudah dilakukan sebelumnya terkait dengan penelitian ini yaitu : skripsi dari Adam Malik dari mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis Syariah fakultas ilmu-ilmu keislaman Universitas Trunojoyo Bangkalan 2010. Dengan judul ”PRAKTEK PERMODALAN BERSYARAT MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Kasus Desa Palesanggar kecamatan Pegantenan kabupaten Pamekasan)”

Persamaannya: sama-sama mengkaji tentang permodalan bersyarat.

Perbedaannya : penelitian pada saat ini fokus pada kajian menurut etika bisnis Islam tentang permodalan bersyarat yang berada di desa Cumedak kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember. Sedangkan penelitian terdahulu fokus pada penentuan hukum islam tentang permodalan bersyarat yang berada di Desa Palesanggar kecamatan Pegantenan kabupaten Pamekasan dan praktek permodalan bersyarat yang terjadi di Desa Palesanggar kecamatan Pegantenan kabupaten Pamekasan adalah

14

sesuai dengan hukum islam. Karena akad dan syarat beserta rukunnya sesuai dengan hukum islam.

Penelitian terdahulu yang sudah dilakukan sebelumnya terkait dengan penelitian ini yaitu: skripsi dari Rima Kreatifa Hasanah dari mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2013. Dengan judul

“ANALISIS TRADISI PERMODALAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Getung Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan)”. Persamaannya: sama-sama mengkaji tentang permodalan bersyarat. Perbedaannya: penelitian pada saat ini fokus pada kajian menurut etika bisnis Islam tentang permodalan bersyarat yang berada di desa Cumedak kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember.

Sedangkan penelitian terdahulu fokus pada analisis hukum Islam tentang permodalan bersyarat yang berada di Desa Getung Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan kemudian dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa praktek permodalan bersyarat yang berada di Desa Getung Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan sesuai dengan hukum islam karena akad dan syarat beserta rukun hutang piutang sesuai dengan hukum islam.

Penelitian terdahulu yang sudah dilakukan sebelumnya terkait dengan penelitian ini yaitu: skripsi dari Adi Wibowo dari mahasiswa Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013. Dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PINJAM-MEMINJAM

UANG DI DESA NGLOROG KEC. SRAGEN KAB. SRAGEN”.

Persamaannya: sama-sama mengkaji tentang hutang-piutang.

Perbedaannya: penelitian pada saat ini fokus pada kajian menurut etika bisnis islam tentang permodalan bersyarat yang berada di desa Cumedak kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember. Sedangkan penelitian terdahulu fokus pada analisis hukum islam tentang hutang-piutang yang berada di Desa Nglorog Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen kemudian dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa praktik pinjam-meminjam uang di desa Nglorog kec. Sragen kab. Sragen sesuai dengan hukum islam karena akad dan syarat beserta rukun hutang piutang sesuai dengan hukum islam.

B. Kajian Teori

1. Hutang-Piutang dalam Islam a. Pengertian Hutang-Piutang

Hutang-Piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian penerima akan membayar yang sama pada saat pengembalian sesuatu tersebut. Pengertian hutang-piutang juga sama dengan qardh yaitu suatu akad tertentu dengan membayarkan harta kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.1

Sedangkan menurut Dumairi Nor qardh adalah memberikan (menghutangkan) harta kepada orang lain tanpa mengharapkan

1 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 152.

16

imbalan untuk dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih atau diminta kembali kapan saja pemberi hutang menghendaki. Akad qarad ini diperbolehkan dengan tujuan meringankan (menolong) beban orang lain.2

Dari beberapa definisi hutang-piutang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang berhutang adalah orang yang menerima harta orang lain untuk dikuasai atau digunakan sesuai kebutuhan mereka, dan dia berkewajiban mengembalikannya sebagai penggantinya. Sedangkan orang-orang yang berpiutang adalah orang yang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk dipergunakan sesuai kebutuhannya, dan dia akan memperoleh pengembalian dari harta dalam jumlah yang sama.

Transaksi hutang-piutang (kredit) pada hakikatnya adalah mengambil manfaat dari keadaan terdesak. Ini adalah suatu bentuk transaksi yang tidak dikehendaki seandainya tidak dalam kondisi dharurah karena kesulitan itu. Oleh karena itu, pihak pemberi modal diharapkan tidak mengambil keuntungan dalam proses tersebut, dikarenakan transaksi kredit lebih bermuatan tolong menolong daripada sekedar usaha untuk mencari keuntungan sepihak.3

Dari uraian diatas tampaknya sangat realistis mengingat hampir setiap transaksi hutang-piutang yang terjadi saat ini banyak

2 Dumairi Nor dkk, Ekonomi Syariah Versi salaf, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2007), 100.

3 Murtadha Muthahhari, Asuransi Dan Riba, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 107.

berorientasi keuntungan sepihak dimana semangat tolong menolong sesama manusia telah bergeser kearah budaya individualistik yang sekaligus menggeser fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antar sesama.

Oleh karena itu dalam transaksi bisnis sangat dibutuhkan etika untuk mengembalikan hakikat manusia yang pada dasarnya adalah makhluk sosial. Sebagaimana yang dikutip oleh Buchari Alma, bahwasanya bisnis tanpa etika akan membawa kehancuran.4 b. Dasar Hukum

Adapun yang menjadi dasar hukum hutang piutang ini adalah Al-Qur’an dan Hadits.

1) Al-Qur’an

QS. Al-Baqarah, 2 : 282





























Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah: 282)5

4 Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam, (Bandung: Alfabeta, 2003), 54.

5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 59.

18

QS. Al-Maidah 5 : 2































Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.(Al-Maidah: 2)6

2) Hadits

Sabda Rasulullah S.A.W

:ملسو ويلع للها ىلص للها لوسر لاق ِوي ِخَأ ِةَجاَح ِفِ َناَك ْنَم «

ُوْنَع ُوَّللا َجَّرَ ف ًةَبْرُك ٍمِلْسُم ْنَع َجَّرَ ف ْنَمَو ِوِتَجاَح ِفِ ُوَّللا َناَك ًةَبْرُك اَِبِ

ِةَماَيِقْلا َمْوَ ي ُوَّللا ُهَرَ تَس اًمِلْسُم َرَ تَس ْنَمَو ِةَماَيِقْلا ِمْوَ ي ِبَرُك ْنِم »

ملسم و يراخبلا وجرخأ[

[

Artinya: Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya:

sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: Seorang muslim itu saudara bagi muslim lain. Beliau tidak boleh menzalimi dan menyusahkannya. Barangsiapa yang mau memenuhi hajat saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi hajatnya. Barangsiapa yang melapangkan suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan Hari kiamat nanti. Barangsiapa yang menutup keaiban seseorang muslim, maka Allah akan menutup keaibannya pada Hari Kiamat.(HR. Bukhari dan Muslim).7

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 141.

7 Ahim Abdurahim, Dalil-dalil Naqli Seri Ekonomi Islam, (Bantul: Mitra Karya Sentosa, 2001), 46.

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ِلوُسَر ىَلَع ٍلُجَرِل َناَك َلاَق َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع ُ،وَل َظَلْغَأَف ّّ،قَح َلاَقَ ف ،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِّْبَِّنلا ُباَحْصَأ ِوِب َّمَهَ ف

ْمَُلَ َلاَقَ ف ، ًلًاَقَم ّْقَْلْا ِبِحاَصِل َّنِإ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ُِّبَِّنلا ِّنِس َّلًِإ ُدَِنَ َلً اَّنِإ اوُلاَقَ ف ُ،هاَّيِإ ُهوُطْعَأَف اِّنِس ُوَل اوُرَ تْشا ْنِم ٌرْ يَخ َوُى ا

ْمُكُنَسْحَأ ْمُكَرْ يَخ ْوَأ ْمُكِْيَْخ ْنِم َّنِإَف ُ،هاَّيِإ ُهوُطْعَأَف ُهوُرَ تْشاَف َلاَق ،ِوّْنِس ملسم هاور( ًءاَضَق (

Artinya: “ Dari Abu Hurairah ra berkata, "Seorang laki-laki pernah menagih hutang kepada Rasulullah Saw dengan cara kasar, sehingga menjadikan para sahabat tidak senang. Maka Nabi Saw bersabda:

"Sesungguhnya orang yang berpiutang berhak untuk menagih hutang." Kemudian beliau bersabda, 'Belikanlah dia seekor unta muda, kemudian berikan (bayarkanlah) kepadanya." Sahabat berkata

"Sesungguhnya kami tidak mendapatkan unta yang muda, yang ada adalah unta dewasa dan lebih bagus daripada unta yg seharusnya." Maka Rasulullah Saw bersabda: "Belilah, lalu berikanlah kepadanya.

Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi hutangnya." (HR. Muslim).8 c. Rukun dan Syarat Hutang-Piutang

Ajaran islam telah menerapkan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi hutang-piutang. Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka akad hutang-piutang ini menjadi tidak sah. Adapun rukun akad hutang-hutang-piutang adalah peminjam, pemberi pinjaman, dana, dan ijab qobul.9

Sedangkan syarat-syarat hutang-piutang terdiri dari pihak yang menghutangi dan pihak yang berhutang yaitu harus baligh,

8 Al-Bukhari, Terjemah Shahih Bukhari, (T.Tp: Da’wahrights, 2010), 545.

9 Petunjuk pelaksanaanpembukuan bank syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 1999), 8.

20

berakal atas kehendak sendiri dan tidak mubazir sehingga pinjamn tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya.10

Syarat hutang-piutang harus ada ijab qobul, tidak sah hutang-piutang tanpa dilakukannya ijab dan qobul tersebut. Sebab hutang piutang merupakan kontrak kepemindahan kepemilikan barang.

Syarat hutang-piutang yang terakhir yaitu adanya barang yang dihutangkan, barang tersebut harus bisa ditakar, ditimbang, diukur, dihitung, dan lain sebagainya.11

2. Etika Bisnis Islam

a. Pengertian Etika Bisnis Islam

Salah satu aspek yang sangat penting dan perlu diperhatikan dalam dunia bisnis adalah perlu adanya etika bisnis.

Sebagaimana yang dikutip oleh Buchari Alma, bahwasanya bisnis tanpa etika akan membawa kehancuran.12 Etika bisnis selain dapat menjamin kepercayaan dan loyalitas dari semua unsur yang berpengaruh pada suatu bisnis, juga sangat menentukan maju atau mundurnya suatu bisnis tersebut.

Pada dasarnya etika adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar

10 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), 279.

11 Chatibul Umam, Fiqh Empat Mazhab, (Jakarta: Daar Al-Ulim Press, 2001), 295.

12 Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam..., 42.

oleh karena itu, perilaku etika berperan melakukan apa yang benar dan baik untuk menentang apa yang salah dan yang buruk.13

Menurut Zimmerer etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nilai-nilai moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat keputusan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi.

Etika bisnis islam merupakan suatu proses dan upaya untuk mengetahui hal-hal yang benar dan salah yang sesuai dengan perintah Allah melalui sumber utama yaitu Al-Quran dan hadits, selanjutnya tentu melakukan hal yang benar berkenaan dengan bisnis.14

Secara sederhana mempelajari etika bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik atau buruk, benar atau salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas.

Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada manajemen etik.

Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.

Moralitas disini berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, benar atau salah, wajar atau tidak wajar, pantas atau tidak pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis islam moralitas tersebut ditambah dengan halal haram.

13 Suryana, Kewirausahaan, (Jakarta : Salemba Empat, 2001), 174.

14 Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, (Bandung : Alfabeta, 2013), 35.

22

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan etika bisnis islam adalah seperangkat prinsip dan norma tentang moralitas dalam melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis berdasarkan pada sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits.15

b. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etika

Etika baik atau akhlak mulia itu tidak didapat dan berbentuk dengan sendirinya, tetapi ada faktor lain, seperti faktor ibadah. Seperti yang dikemukakan oleh ahli etika bisnis islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekun mengungkapkan bahwa perilaku etika individu dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, faktor interpretasi terhadap hukum, faktor organisasi dan faktor individu dan situasi.

1) Interpretasi Terhadap Hukum

Secara filosofis, sistem hukum dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap jiwa dan raga manusia dari berbagai faktor yang dapat menghilangkan eksistensi manusia. Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada manfaatnya bagi manusia.16

Jadi apabila hukum tersebut bertentangan dengan kepentingan manusia, maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak ditaati. Interpretasi terhadap suatu hukum akan cenderung didasari oleh standar nilai tertentu.

15 Ismail Nawawi, Fikih Mumalah Klasik dan Kontemporer..., 11.

16Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam..., 59.

Pada masyarakat barat didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat temporal, dimana implikasi produk hukum yang dihasilkan akan cepat berubah mengikuti situasi dan kondisi manusianya.

Dengan demikian interpretasi hukum dibarat cenderung mengikuti kepentingan sesaat manusia, bukan manusia yang mengikuti tujuan yang ingin dicapai oleh produk hukum tersebut.

Berbeda dengan islam yang lebih tegas menginterpretasikan produk hukum. Hal ini dikarenakan kendati produk hukum dalam islam didasarkan pada nilai-nilai al-tsawabit (permanen) dan al-mutaqhayyirat (dinamis). Yang

pertama bersifat permanen dalam wilayah aqidah dan ibadah sementara yang kedua bersifat dinamis berada pada ruang muamalah yang beriringan dengan perkembangan zaman.17 2) Organisasi

Faktor ini sangat menentukan etika karena tanpa masyarakat atau organisasi (lingkungan, orang tua, saudara, teman, guru, dan yang lainnya) etika atau kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang.18

Dalam perusahaan seorang karyawan akan terbentuk perilaku etisnya apabila organisasi memang mempunyai

17Ibid., 60.

18Ibid., 61.

24

ketentuan kode etik yang menjunjung tinggi etika bisnis misalnya kejujuran.

Dalam Islam tidak diragukan lagi bahwasanya ketidakjujuran adalah bentuk kecurangan paing jelek. Orang yang tidak jujurakan selalu berusaha melakukan penipuan pada orang lain, kapan dan dimana saja kesempatan itu terbuka bagi dirinya.19

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat (27).

























Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.(Al-Anfal: 27)20

3) Individu Dan Situasi

Faktor yang masuk dalam kategori ini adalah pengalaman batin seseorang yang merupakan faktor bagi terbentuknya perilaku etika seseorang misalkan seorang anak yang terbiasa dengan suasana keluarga yang harmonis akan membentuk prilakunya kelak menjadi seorang yang mencintai, peduli akan sesama, dan saling menghormati karena empatinya

19 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam..., 138.

20Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 243.

terbentuk oleh pengalaman hidupnya tersebut begitu pula sebaliknya.

Kondisi atau situasi juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terbentuknya perilaku etika seseorang misalnya seseorang maneger dalam suatu perusahaan diperintah direkturnya untuk membuat suatu laporan dengan memanipulasi kewajiban pembayaran pajak agar tidak terlalu besar.

Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya islam memandang sebagai ajang menguji standar iman seseorang dan sebagai bagian dari jihad. Karena sesungguhnya sikap taat pada atasan seperti diatas telah menjebaknya terlibat persekongkolan penipuan terhadap negara.

Kondisi seorang maneger diatas telah melakukan apa yang disebut dengan supportive corruption, yaitu melakukan tindakan yang memfasilitasi dan menyokong terjadinya korupsi.21

Al-Quran dengan keras menentang kebohongan.

Tuntutan palsu, tuduhan yang tidak berdasar, kesaksian dan kesaksian palsu sangat dikutuk dan dilarang dengan tegas.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat (116)

21 Badroen, Etika, 64.

26















































Artinya:”dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.”(QS.An-Nahl:116)22

c. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Islam

Prinsip etika bisnis Islam merupakan prinsip yang mengedepankan nilai-nilai Al-Qur’an. Oleh karena itu, beberapa prinsip dasar dalam etika bisnis Islam yang disarikan dari inti ajaran islam itu sendiri adalah, sebagai berikut:

1) Prinsip Tauhid

Tauhid rububiyah merupakan keyakinan bahwa semua yang ada di alam ini dimiliki dan dikuasai Allah SWT. Tauhid uluhiyah menyatakan, adanya aturan dari-Nya dalam

menjalankan kehidupan. Kedua nilai diterapkan Nabi Muhammad SAW dalam kegiatan ekonomi termasuk dalam berbisnis. Bahwa dalam setiap harta dalam transaksi bisnis hakikatnya milik Allah SWT, pelaku ekonomi (manusia) hanya mendapatkan amanah mengelolannya. Alam semesta, termasuk

22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 381.

manusia adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan sempurna atas makhluk-makhlukNya.23

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Nisa ayat (131).



































































Artinya: dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.

tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.(QS. Al-Nisa: 131)24

Oleh karena itu, semua sumber daya alam harus dikelola sesuai dengan ketentuan pemilik yang hakiki, yaitu Allah SWT. Kepeloporan Nabi Muhammad SAW dalam meninggalkan praktik riba, transaksi fiktif (gharar), perjudian dan spekulasi (maysir) dan komoditi haram dalam jual beli adalah wujud dari prinsip keyakinan tauhid ini.

2) Prinsip Keseimbangan

Keseimbangan atau keharmonisan sosial tidaklah bersifat statis, melainkan dinamis yang mengerahkan kekuatan

23 Muhammad, VisiAl-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 11.

24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 130.

28

hebat menentang segenap ketidakadilan. Keseimbangan juga harus terwujud dalam bisnis. Sungguh, dalam segala jenis bisnis yang dijalaninya, Nabi Muhammad SAW, menjadikan nilai adil sebagai standar utama.

Prinsip keadilan juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan. Keadilan yang dituntut adalah bukan hanya bagi produsen, pebisnis, konsumen, pengguna, pembeli dan serta keadilan oleh pihak ketiga (masyarakat sekitar). Singkatnya, keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang komprehensif dari segala arah.25

3) Prinsip Kehendak Bebas

Prinsip kebebasan ini seolah mempersilakan para pelaku bisnis melaksakan kegiatan ekonomi sesuai yang diinginkan, menumpahkan kreativitas, modifikasi, dan ekspansi seluas dan sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis dapat dilakukan dengan siapapun secara lintas agama.

Didalam prinsip kehendak bebas tidak dibenarkan adanya unsur pemaksaan dalam berbisnis, baik paksaan secara kasar, misalnya disertai dengan ancaman, maupun paksaan dengan halus, misalnya dengan bujukan yang berulang-ulang.

25 Abdulahanaa, Kaidah-kaidah Keabsahan Multi akad (hybrid contract), (Yogyakarta: Orbittrust corp, 2014), 5.

Setiap transaksi bisnis yang terlaksana karena adanya unsur paksaan, maka tidak sah sah secara hukum.26

4) Prinsip Pertanggungjawaban

Nabi Muhammad SAW mewariskan pula prinsip tanggung jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya, kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia, setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya.

Wujud dari prinsip ini adalah terbangunnya transaksi yang bertanggungjawab. Satiap orang harus bertanggungjawab atas dampak kegiatan ekonomi yang dilakukannya. Tidak boleh mengakibatkan kemudharatan terhadap orang lain, maupun sebaliknya.27

5) Prinsip Kebajikan

Prinsip kebajikan didefinisikan sebagai melakukan tidakan yang harus sesuai dengan agama dan juga berbuat baik terhadap sesama makhluk. Hal ini berarti tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang agama dan juga menjalankan perintah agama yaitu salah satunya berbuat baik terhadap sesama makhluk.

Dengan demikian dalam berbisnis harus berlandaskan kebajikan yang erat kaitannya dengan persoalan halal haram.

26 Ibid., 6.

27 Ibid., 7.

Dokumen terkait