• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan Pembuatan Daging Analog

Produk daging analog yang difortifikasi besi dibuat berdasarkan hasil modifikasi formula daging analog konvensional Dinata (2014). Bahan dasar produk daging analog ini adalah tepung gluten, tepung ubi jalar putih, dan mikrokapsul besi (FeSO4) 2.185 g/100 g produk, air, dan kaldu jamur bubuk produksi PT Indo Kharisma Pangan Semesta (IKPS) Indonesia. Kaldu jamur ditambahkan ke dalam produk untuk menambahkan cita rasa mirip daging pada produk. Menurut SNI 01-7152-2006 (2006) tentang Bahan Tambahan Pangan, penambahan perisa bertujuan untuk memberi flavor tanpa rasa asin, manis, dan asam, dan tidak dikonsumsi secara langsung. Produk mentah yang sudah jadi, selanjutnya dimasak menjadi tiga jenis pengolahan berbeda yaitu direbus, digoreng, dan dibakar. Bahan yang digunakan dalam pengolahan daging analog disajikan dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Jenis bahan pembuatan daging analog yang difortifikasi besi

Jenis bahan Jumlah (g) %

Bahan utama

Tepung gluten 80.00 31.42

Tepung ubi 20.00 7.86

Mikrokapsul besi 2.19 0.86

Air 100.00 39.28

Kaldu jamur bubuk 4.50 1.77

Jumlah bahan utama 214.69 84.33 Bahan bumbu Bawang merah 8.75 3.44 Bawang putih 8.75 3.44 Kemiri 7.50 2.95 Jahe 0.50 0.20 Lengkuas 1.00 0.39 Ketumbar 0.05 0.02 Lada putih 0.05 0.02 Salam 0.25 0.10 Asem 2.25 0.88 Kecap 5.00 1.96 Garam 0.05 0.02 Minyak kelapa 1.25 0.49 Santan cair 12.5 4.91

Jumlah bahan bumbu 38.65 15.67

Jumlah total bahan 254.59 100.00

Kelompok bahan utama dicampur dan diuleni dengan air hingga kalis. Proses pembuatan daging analog yang difortifikasi besi sesuai dengan Gambar 1. Semua bahan bumbu dihaluskan menggunakan blender dan dimasak dalam api sedang selama 15 menit. Produk daging analog mentah selanjutnya dimasak dengan tiga perlakuan yang berbeda. Produk daging analog mentah selanjutnya diberi beberapa perlakuan seperti Tabel 3 berikut ini.

9 Tabel 3 Perlakuan daging analog difortifikasi besi per 214.69 g

Perlakuan Jumlah bumbu (g) Waktu pemasakan (menit) Suhu pemasakan (0C) - Pengolahan

P1 40 10 ±100 – Rebus

P2 40 10 ±175 – Goreng

P3 40 10 ±200 – Bakar

Uji Organoleptik Pengolahan Daging Analog

Pengujian organoleptik atau analisis sensori adalah proses identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi atribut produk melalui pancaindra manusia (indra penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran) (Setyaningsih et al. 2010). Pada tahap penelitian I, pengujian organoleptik pada produk menggambarkan persepsi kesukaan (hedonik) panelis dalam menentukan produk terpilih. Atribut hedonik yang dinilai oleh panelis antara lain warna, aroma, rasa, tekstur tekan, dan tekstur gigit. Hasil persepsi panelis dianalisis dengan Friedman Test. Menurut (Hollander dan Wolfe 1973; Sugiyono 2011). Friedman Test digunakan untuk menguji penelitian eksperimental dan berasal dari populasi yang sama. Modus hedonik dapat menginterpretasikan penerimaan panelis terhadap produk. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan nilai modus uji hedonik semua atribut.

Tabel 4 Nilai modus hedonik

Per-lakuan

Ula-ngan

Atribut

Warna Aroma Rasa Tekstur tekan Tekstur Gigit Mo-dus % Mo-dus % Mo-dus % Mo-dus % Mo-dus % P1 1 4 45.71 4 48.57 4 54.29 4 57.14 4 60.00 2 4 31.43 4 60.00 5 45.71 4 51.43 4 48.57 4a 38.57 4a 54.29 4a 50.00 4a 54.29 4a 54.29 P2 1 3 42.86 3 54.29 4 37.14 2 40.00 2 37.14 2 4 45.71 3 54.29 4 54.29 4 34.29 4 37.14 4b 44.29 3b 54.29 4b 45.71 2b 37.14 4b 37.14 P3 1 2 31.43 3 45.71 4 37.14 4 54.29 4 60.00 2 2 40.00 3 40.00 4 42.86 4 48.57 4 40.00 2a 35.71 3b 42.86 4c 40.00 4b 51.43 4a 50.00 Sig. .041 .024 .002 .000 .000

Keterangan: huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p≥nilai kritis). P1 (perlakuan direbus), P2 (perlakuan digoreng), P3 (perlakuan dibakar).

Berdasarkan Tabel 4, hasil uji Friedman pada kelima atribut setiap perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05). Hal tersebut menunjukkan perlakuan pada produk dapat membentuk kesukaan panelis yang berbeda terhadap warna, aroma, rasa, tekstur tekan, dan tekstur gigit. Uji lanjut Perbandingan Berganda dilakukan untuk melihat jenis perbedaan antar perlakuan secara manual setelah dinyatakan berbeda melalui uji Friedman. Hasil uji lanjut Perbandingan Berganda pada uji hedonik disajikan pada Lampiran 6.

Atribut warna menggambarkan keseluruhan warna permukaan dan bagian dalam daging. Panelis menilai atribut warna untuk menampilkan kesan kemiripan warna daging analog yang diolah sesuai dengan daging sungguhan. Tabel 4 menunjukkan perlakuan dapat mempengaruhi perbedaan terhadap warna

10

(p<0.05). Perlakuan P2 merupakan produk dengan pengolahan yang disukai panelis paling berbeda dibandingkan pengolahan yang lain (p≥nilai kritis) dengan nilai pertengahan. Kesukaan panelis terhadap warna P1 dan P3 dinyatakan tidak berbeda (p<nilai kritis). Panelis memberikan nilai 4 (suka) untuk P1, P2 berkisar 3 (biasa) dan 4 (suka), sedangkan P3 diberikan nilai 2 (tidak suka).

Menurut Chambers dan Koppel (2013), beberapa senyawa volatil bergabung dengan rasa produk itu sendiri menimbulkan aroma/flavor yang diukur oleh panelis. Penilaian atribut aroma menunjukkan kesukaan panelis terhadap pemberian bumbu terhadap pengolahan daging analog agar penerimaan pada vegetarian menjadi lebih baik. Berdasarkan Tabel 4, perlakuan dapat mempengaruhi perbedaan terhadap aroma (p<0.05). Pengolahan 1 dinilai panelis dengan angka 4 (suka), perlakuan 2 dan 3 kesukaan panelis terhadap aroma produk menurun ke angka 3 (biasa). Kesukaan panelis terhadap P1 dinyatakan paling berbeda (p≥nilai kritis) karena nilainya paling tinggi. Kesukaan panelis terhadap P2 dan P3 tidak berbeda secara nyata (p<nilai kritis).

Penilaian panelis terhadap rasa menunjukkan kesan kesukaan terhadap pengolahan. Pengolahan terhadap produk merupakan variabel yang diukur. Kesemua rasa produk daging analog yang difortifikasi besi disukai panelis dengan mengategorikan nilai hedoniknya pada angka 4 (suka). Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan dapat mempengaruhi perbedaan terhadap rasa (p<0.05). Kesukaan panelis terhadap rasa produk ketiga perlakuan berbeda nyata (p≥nilai kritis) dengan P1 yang paling disukai oleh panelis.

Atribut tekstur yang dinilai oleh panelis dirinci menjadi dua atribut yaitu tekstur tekan dan tekstur gigit. Kedua atribut tekstur ini menunjukkan kesan panelis terhadap kemiripan tekstur produk daging analog terhadap daging sungguhan. Berdasarkan Tabel 4, perlakuan dapat mempengaruhi perbedaan terhadap tekstur tekan dan tekstur gigit (p<0.05). Kesukaan panelis terhadap tekstur tekan P1 dinyatakan paling berbeda dibandingkan dua perlakuan lainnya (p≥nilai kritis) karena nilainya paling tinggi, sedangkan kesukaan panelis terhadap tekstur gigit P2 dinyatakan paling berbeda (p≥nilai kritis) karena nilainya terendah. Panelis lebih menyukai tekstur tekan dan tekstur gigit produk pengolahan 1 dan 3. Hal ini terlihat dari kategori penilaian panelis pada angka 4 (suka). Tekstur tekan dan tekstur gigit perlakuan 2 dinilai panelis tidak lebih disukai dari pengolahan 1 dan 3. Penilaian panelis terkategorikan pada angka 2 (tidak suka).

Presentase penerimaan panelis dihitung berdasarkan persentase jumlah panelis yang memilih kategori biasa hingga sangat suka dibandingkan dengan keseluruhan jumlah panelis. Penerimaan panelis terhadap ketiga produk selanjutnya diuji sidik ragam untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang nyata antar ketiga perlakuan. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan pengolahan berpengaruh penerimaan panelis terhadap warna, rasa, dan tekstur tekan (p<0.05), namun tidak berpengaruh terhadap aroma dan tekstur gigit (p>0.05). Atribut yang berbeda secara nyata menurut uji ANOVA, selanjutnya diuji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan presentase penerimaan panelis disajikan pada Lampiran 7. Penerimaan panelis terhadap keseluruhan jenis pengolahan disajikan pada Tabel 5.

11 Tabel 5 Persentase penerimaan panelis uji organoleptik

Atribut Presentase penerimaan (%) Sig.

P1 P2 P3 Warna 84.29a 85.71a 57.14b .003 Aroma 92.86a 94.29a 92.86a .650 Rasa 92.86a 94.29a 80.00b .021 Tekstur tekan 94.29a 82.86b 90.00c .005 Tekstur gigit 90.00a 91.43a 95.71a .081

Keterangan: huruf berbeda pada baris sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). P1 (perlakuan direbus), P2 (perlakuan digoreng), P3 (perlakuan dibakar).

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat dilihat bahwa presentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, dan tekstur tekan daging berbeda nyata antar jenis pengolahan (p<0.05). Presentase penerimaan panelis terhadap aroma dan testur gigit daging tidak berbeda nyata antar jenis pengolahan (p>0.05). Secara umum, rata-rata presentase penerimaan panelis tertinggi adalah terhadap P1 (pengolahan direbus).

Penerimaan panelis terhadap warna dan rasa P3 berbeda nyata (p<0.05) dengan P3 memperoleh penerimaan panelis yang terendah. Penerimaan panelis terhadap tekstur tekan ketiga perlakuan berbeda nyata (p<0.05) dengan P1 memperoleh penerimaan panelis yang tertinggi. Karakteristik produk dapat dijelaskan dari kesukaan panelis, karakteristik produk tersebut dipersepsikan melalui mutu hedonik. Tabel 6 di bawah ini merupakan modus kesan mutu hedonik untuk P1, P2, dan P3.

Tabel 6 Nilai modus mutu hedonik

Atribut Ulangan

Perlakuan

Sig.

P1 P2 P3

Modus % Modus % Modus %

Warna 1 4 77.14 2 54.29 1 60.00 2 4 74.29 2 60.00 1 71.43 4a 75.71 2b 57.14 1b 65.71 .000 Aroma daging 1 4 51.43 3 48.57 3 40.00 2 4 42.86 3 57.14 4 42.86 4a 47.14 3b 52.86 4c 41.43 .000 Aroma besi 1 4 45.71 3 40.00 3 31.43 2 4 34.29 3 42.86 3 34.29 4a 40.00 3b 41.43 3b 32.86 .000 Rasa bumbu 1 2 65.71 3 42.86 2 45.71 2 2 42.86 3 40.00 2 54.29 2a 54.29 3b 41.43 2b 50.00 .000 Tekstur tekan 1 4 57.14 1 42.86 3 42.86 2 4 54.29 3 54.29 3 48.57 4a 55.71 1b 48.57 3c 45.71 .000 Tekstur gigit 1 4 54.29 2 45.71 3 54.29 2 4 48.57 3 54.29 3 51.43 4a 51.43 3b 50.00 3c 52.86 .000 Aftertaste 1 4 28.57 3 40.00 3 45.71 2 4 40.00 3 40.00 3 45.71 4a 34.29 3a 40.00 3a 45.71 .905 Keterangan: huruf berbeda pada baris sama menunjukkan perbedaan nyata (p≥nilai kritis). P1

12

Berdasarkan Tabel 6 tersebut, uji Friedman pada atribut mutu hedonik warna, aroma daging, aroma besi, rasa bumbu, tekstur tekan, dan tekstur gigit menunjukkan perbedaan yang nyata pada ketiga jenis pengolahan (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pada produk dapat membentuk kesan panelis yang berbeda terhadap karakteristik mutu hedonik warna, aroma daging, aroma besi, rasa bumbu, tekstur tekan, dan tekstur gigit. Atribut aftertaste tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan (p>0.05), artinya perlakuan terhadap produk tidak membentuk kesan aftertaste yang berbeda pada panelis. Selanjutnya, atribut mutu hedonik yang berbeda nyata menurut uji Friedman, diuji lanjut dengan uji Perbandingan Berganda secara manual untuk mengetahui jenis pengolahan yang paling berbeda. Hasil uji lanjut Perbandingan Berganda pada uji mutu hedonik disajikan pada Lampiran 8.

Berdasarkan Tabel 6, perlakuan direbus (P1) membentuk kesan panelis paling berbeda terhadap warna (p≥nilai kritis) dengan warna yang paling cerah, sedangkan kesan warna P2 dan P3 tidak berbeda (p<nilai kritis). Atribut warna P1 dipersepsikan mayoritas panelis dengan angka 4 (coklat kekuningan). Perlakuan 2 dipersepsikan dengan angka 2 (coklat tua), sedangkan 3 (coklat kehitaman).

Jenis pengolahan yang berbeda dapat membentuk kesan atribut aroma daging P1, P2, dan P3 yang berbeda pula (p≥nilai kritis) dengan P1 memiliki aroma daging paling kuat. Jenis pengolahan yang berbeda dapat membentuk kesan atribut aroma besi P1 yang paling berbeda dibanding P2, dan P3 (p≥nilai kritis) dengan P1 memiliki aroma besi paling lemah. Pengolahan 1 memiliki karakteristik aroma daging yang harum dan aroma besi lemah. Aroma daging dan aroma besi P2 dinilai panelis pada kategori biasa. Pengolahan 3 dinilai panelis memiliki aroma daging yang harum dan aroma besi biasa.

Rasa bumbu P1 (direbus) paling berbeda dari perlakuan lainnya (p≥nilai kritis) dengan rasa bumbu paling kuat, sedangkan rasa bumbu perlakuan digoreng (P2) dan dibakar (P3) tidak berbeda nyata (p<nilai kritis). Perlakuan P1 dan P3 memiliki karakteristik rasa bumbu kuat, sedangkan P2 memiliki karakteristik rasa bumbu biasa. Aftertaste ketiga perlakuan tidak berbeda nyata walaupun jenis pengolahannya berbeda (p<nilai kritis). Aftertaste adalah rasa yang tertinggal di mulut menurut Gibney et al. (2009). Aftertaste produk ini adalah rasa besi yang tertinggal dalam mulut setelah panelis mencicipinya. Perlakuan 1 memiliki aftertaste lemah sedangkan P2 dan P3 biasa.

Jenis pengolahan mempengaruhi tekstur tekan dan tekstur gigit ketiga produk (p≥nilai kritis) dengan P1 yang memiliki tekstur tekan dan tekstur gigit yang lembek. Tekstur tekan yang sangat keras serta tekstur gigit dengan kategori biasa adalah tekstur produk dengan perlakuan digoreng (P2). Pengolahan 3 memiliki tekstur tekan dan tekstur gigit kategori biasa.

Hubungan antara variabel hedonik dan mutu hedonik dianalisis menggunakan uji Spearman (uji hubungan antar kelompok ordinal). Hubungan antar variabel nonparametrik ini diuji untuk mengetahui kecenderungan panelis dalam menentukan kesukaan pada mutu hedonik produk. Jika nilai p<0.05 (Sig.) menandakan adanya hubungan antara variabel hedonik dan mutu hedonik yang diukur. Bilangan positif pada nilai r menandakan kecenderungan panelis lebih menyukai produk dengan mutu hedonik yang lebih besar. Bilangan negatif pada nilai r menandakan kecenderungan paneis lebih menyukai produk dengan mutu

13 hedonik yang lebih kecil. Tabel 7 di bawah ini merupakan hubungan antar variabel hedonik dan mutu hedonik.

Tabel 7 Hubungan variabel hedonik dan mutu hedonik

Atribut hedonik Atribut mutu hedonik Sig. r

Warna Warna .036 .841

Aroma Aroma daging .050 .812

Aroma Aroma besi .288 .522

Rasa Rasa bumbu .050 -.812

Rasa Aftertaste .957 .029

Tekstur tekan Tekstur tekan .000 1.000 Tekstur gigit Tekstur gigit .042 .829

Berdasarkan Tabel 7, hubungan antara warna hasil uji hedonik dengan mutu hedonik signifikan (p<0.05) dengan nilai r .841. Interpretasinya, tedapat hubungan yang erat antara variabel tersebut karena panelis menilai mutu warna berdasarkan kesukaan panelis terhadap warnanya. Nilai r menunjukkan panelis memiliki kecenderungan yang cukup kuat menyukai karakter mutu hedonik warna yang semakin kekuningan. Artinya, warna produk P1 cenderung lebih disukai oleh panelis.

Aroma pada uji hedonik dijabarkan menjadi mutu hedonik aroma daging dan aroma besi. Aroma pada uji hedonik tidak berhubungan secara nyata dengan aroma daging dan aroma besi hasil uji mutu hedonik (p>0.05). Hal ini dimungkinkan panelis menilai kesukaan terhadap aroma dengan menggabungkan kesukaan panelis pada dua mutu hedonik (aroma daging dan aroma besi). Penilaian kesukaan panelis terhadap aroma tidak terfokus pada aroma daging dan aroma besi. Bilangan positif pada nilai r menunjukkan panelis memiliki kecenderungan menyukai produk dengan mutu hedonik aroma daging yang semakin harum dan aroma besi yang semakin lemah. Produk dengan karakteristik yang cenderung paling disukai oleh panelis berdasarkan keterangan tersebut adalah P1.

Rasa pada uji hedonik dijabarkan menjadi mutu hedonik rasa bumbu dan aftertaste. Rasa hasil uji hedonik tidak berhubungan secara nyata dengan rasa bumbu dan aftertaste hasil uji mutu hedonik (p>0.05). Hal ini dimungkinkan panelis menilai mutu hedonik rasa bumbu dan aftertaste digabungkan dalam penilaian hedonik rasa tidak terfokus pada kesukaan terhadap rasa bumbu atau aftertaste. Bilangan r pada hubungan hedonik rasa dan mutu hedonik rasa bumbu adalah bilangan negatif, sedangkan hubungan antara rasa hasil uji hedonik dengan aftertaste hasil uji mutu hedonik positif. Hal tersebut berarti panelis cenderung menyukai rasa produk yang memiliki karakteristik mutu hedonik rasa bumbu yang semakin kuat dan aftertaste semakin lemah. Hal tersebut menujukkan produk P1 cenderung lebih disukai.

Tekstur dijabarkan menjadi dua penilaian yaitu tekstur tekan dan tekstur gigit. Tekstur tekan dan tekstur gigit hasil uji hedonik berhubungan nyata dengan tekstur tekan dan tekstur gigit hasil uji mutu hedonik (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa panelis menilai mutu hedonik tekstur tekan dan tekstur gigit berdasarkan kesukaannya. Bilangan r kedua hubungan tersebut adalah positif dan nilainya mendekati 1. Interpretasinya, panelis memiliki kecenderungan yang cukup kuat menyukai produk dengan tekstur tekan dan tekstur gigit yang semakin

14

lembek. Produk P1 merupakan produk yang karakteristik teksturnya cenderung lebih disukai, yaitu dengan karakteristik tekstur tekan dan tekstur gigit yang lembek.

Penentuan Jenis Pengolahan Terbaik

Menurut Setyaningsih et al. (2010), penentuan jenis pengolahan terbaik menggunakan MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Terdapat dua kriteria pengambilan keputusan menentukan jenis pengolahan terbaik, yaitu atribut keseluruhan dan biaya pengolahan daging analog tingkat rumah tangga. Tabel 8 berikut ini adalah tahapan penentuan jenis pengolahan terbaik metode MPE.

Tabel 8 Penentuan jenis pengolahan terbaik metode MPE

Perlakuan Atribut keseluruhan Rangking Biaya pengolahan

(Rp)/200 g Rangking Peringkat total P1 2.29a 1 27.885 1 2 P2 1.62b 3 30.107 3 6 P3 2.09c 2 28.130 2 4 Sig. .000

Keterangan: huruf berbeda pada kolom sama menunjukkan perbedaan nyata (p≥nilai kritis). P1 (perlakuan direbus), P2 (perlakuan digoreng), P3 (perlakuan dibakar).

Atribut keseluruhan merupakan hasil penjumlahan setiap atribut hedonik dikalikan nilai kepentingan berdasarkan pembobotan tertentu kemudian dirangking menggunakan Friedman Test dan uji lanjut Perbandingan Berganda. Hasil uji lanjut Perbandingan Ganda pada atribut keseluruhan disajikan pada Lampiran 9. Pembobotan atribut hedonik untuk menentukan atribut keseluruhan dibuat berdasarkan pertimbangan peneliti. Nilai kepentingan atribut adalah sebagai berikut: 1) rasa 40%; 2) aroma 30%; 3) tekstur gigit 15%; 4) tekstur tekan 10%; 5) warna 5%. Alasan pemilihan atribut rasa dengan bobot terbesar adalah untuk memperbesar kemungkinan panelis vegetarian menerima produk daging analog. Peringkat atribut keseluruhan dilakukan secara descending, artinya semakin kecil peringkat atribut keseluruhan, menunjukkan semakin besar nilai kesukaan panelis sehingga semakin baik kualitas mutu produk. Pada Tabel 8 di atas, menunjukkan bahwa P1 merupakan produk yang paling banyak disukai panelis.

Biaya pengolahan yang digunakan dalam pengambilan keputusan merupakan penjumlahan dari biaya inventaris alat sekaligus perawatannya, penggunaan bahan habis pakai, bahan penunjang pengolahan seperti air, listrik, dan gas, serta biaya pengolahan lanjutannya. Biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan sebagai parameter analisisnya karena biaya tenaga kerja pada pengolahan daging analog ini dianggap sama. Semua biaya pengolahan dijumlahkan dengan biaya produksi awal Rp 25.076,- (Dinata 2014). Estimasi biaya pengolahan disajikan pada Lampiran 10. Setelah diakumulasikan, peringkat biaya pengolahan ditentukan secara ascending, artinya semakin kecil peringkat biaya pengolahan maka semakin murah biaya pengolahan produk tersebut. Tabel 8 di atas, menunjukkan P1 merupakan produk dengan biaya pengolahan termurah.

Penentuan akhir jenis pengolahan terpilih berdasarkan kedua kriteria pengambilan keputusan tersebut adalah dengan cara menjumlahkan peringkat uji

15 hedonik dan biaya pengolahan produk. Semakin kecil nilai penjumlahan peringkat maka semakin baik produk tersebut. Berdasarkan penjumlahan peringkat, P1 merupakan produk terpilih dengan biaya pengolahan termurah dan paling disukai panelis.

Karakteristik Kimia Produk Daging Analog Terpilih

Analisis kandungan gizi dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi produk terpilih yang difortifikasi besi dengan proses pengolahan lanjutan. Kandungan gizi dianalisis melalui uji proksimat dan uji kadar zat besi beserta bioavaibilitasnya. Kandungan gizi yang dianalisis antara lain air, abu, protein, lemak, karbohidrat, kadar zat besi serta bioavaibilitasnya (in vitro), dan kandungan asam amino. Hasil uji sifat kimia disajikan pada Lampiran 11. Tabel 9 di bawah ini merupakan kandungan gizi produk dengan perlakuan pengolahan terpilih direbus.

Tabel 9 Kandungan gizi daging analog per 100 g

Kandungan gizi Satuan Jumlah

Hasil analisis* Mentah (Dinata 2014)

Air (bb) g 59.38 63.22 Abu (bk) g 5.68 1.06 Protein (bk) g 32.44 58.10 Lemak (bk) g 9.03 0.19 Karbohidrat (bk) g 52.84 40.65 Zat besi (bk) mg 6.44 22.95 Bioavaibilitas Fe % 27.43 28.83 Energi (bk) Kal 422.44 -

Keterangan: (bb) basis basah; (bk) basis kering; *. Hasil analisis duplo dua kali ulangan. Air

Kandungan air dalam makanan menentukan penerimaan (acceptability), kesegaran, dan daya tahan makanan (Winarno 2008). Air dalam produk daging analog yang telah mengalami pengolahan dihilangkan menggunakan metode oven. Hasil analisis kadar air menujukkan angka 59.38% atau 59.38 g/100 g. Kadar air sampel mengalami penurunan 3.84%. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh lama pengolahan di atas panas. Menurut penelitian Lin et. al (2000), peningkatan suhu pada pemasakan daging analog yang terbuat dari kedelai mempengaruhi kadar air dalam produk. Hasil analisis kadar air sampel berbeda dengan hasil penelitian Wardani dan Wijanarko (2013) tentang pembuatan daging analog berbahan dasar jamur tiram dan gluten dengan kadar air sampel (20% tepung jamur tiram:80% gluten basah) adalah 71.94%.

Abu

Kadar abu kering menentukan jumlah mineral dalam bahan pangan (Manorama dan Shridar 2012). Kandungan abu produk daging analog berdasarkan basis kering setelah mengalami pengolahan mengalami peningkatan dibandingkan daging analog yang sebelum diolah (Dinata 2014) sebesar 4.62% (basis kering). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh penambahan unsur anorganik ke dalam produk seperti penggunaan kaldu jamur dan pemberian bumbu saat daging diolah.

16

Lillian et al (2013) menyatakan semakin banyak bumbu yang ditambahkan ke dalam bahan pangan, maka semakin tinggi kadar abu hasil analisisnya. Hasil analisis kadar abu produk terpilih adalah 5.68%. Penelitian Nuraidah (2013) tentang pembuatan daging tiruan dari 50% tepung kacang merah:50% tepung terigu mengandung abu 2.49%.

Protein

Produk daging analog dibuat dari bahan dasar gluten yang mengandung protein tinggi. Hasil analisis kadar protein basis kering produk adalah 32.44% mengalami penurunan dari hasil analisis produk mentah (Dinata 2014) 58.10% (basis kering). Penurunan kadar protein ini diduga karena terdapat protein larut air yang larut selama proses perebusan daging analog (Wardani & Widjanarko 2013). Kandungan asam amino tertentu dalam produk yang dapat menyebabkan pengaruh terhadap kelarutan protein. Menurut Trevino et. al (2006) asam amino yang berhubungan dalam meningkatkan kelarutan protein adalah asam aspartat, asam glutamat, dan serin dibandingkan dengan kandungan asam amino yang hidrofilik. Hasil penelitian Nuraidah (2013) tentang subtitusi 50% terigu kedalam daging tiruan yang terbuat dari tepung jamur memiliki kadar protein 10.54%. Kandungan protein hasil analisis lebih tinggi dibandingan hasil penelitian Nuraidah (2013) karena jumlah gluten yang digunakan lebih banyak.

Lemak

Penambahan bumbu pada produk berupa bahan-bahan sumber lemak, seperti santan dan minyak kelapa bertujuan untuk menambah kalori, memperbaiki tekstur serta memperbaiki cita rasa (Winarno 2008). Kadar lemak produk hasil analisis meningkat karena penambahan sumber lemak tersebut yaitu sebesar 9.03% (basis kering), lebih tinggi dari produk mentah basis kering sekitar 0.19% (Dinata 2014). Hasil analisis kadar lemak daging tiruan tepung kacang merah dan tepung terigu dalam keadaan mentah juga berkisar antara 0.52-0.58% (Nuraidah 2013). Peningkatan kadar lemak produk disebabkan penambahan bahan pangan sumber lemak. Kadar lemak santan cair menyumbang 10% setiap 100 gram, sedangkan minyak adalah sumber lemak (DKBM 2010).

Karbohidrat

Penghitungan kadar karbohidrat produk berdasarkan by difference. Berdasarkan perhitungan tersebut, kadar karbohidrat hasil analisis adalah 52.84% (basis kering), lebih tinggi dari hasil mentah basis kering yaitu 40.65%. Ada kemungkinan bahan dasar pembuatan produk terbuat dari tepung ubi jalar sumber karbohidrat, selain itu adanya penambahan beberapa jenis bumbu. Tepung ubi jalar merupakan sumber karbohidrat karena kadarnya yang sangat tinggi. Kadar karbohidrat tepung ubi jalar putih adalah 98.38% (Liur et. al 2013). Penambahan santan kedalam produk juga menyumbangkan 7.6 g karbohidrat setiap 100 g santan (DKBM 2010), sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Zat besi (Fe) dan persen bioavaibilitas

Zat besi dibutuhkan dalam tubuh dalam jumlah sedikit (trace element). Kebutuhan zat besi orang dewasa menurut AKG (2013) berbeda jumlahnya antara laki-laki dan perempuan usia 19–29 tahun. Kebutuhan laki-laki sekitar 13 mg/hari,

17 sedangkan wanita lebih tinggi yaitu 26 mg/hari. Hasil analisis produk menunjukkan terjadi penurunan yang cukup tinggi akibat pemasakan yaitu 6.44 mg/100 g (basis kering). Kadar Fe dalam produk mentah (Dinata 2014) dalam basis kering adalah 22.95 mg/100 g. Penurunan ini diakibatkan jenis pengolahan lanjutannya. Menurut Kimura dan Itokawa (1990), terjadi penurunan kadar mineral termasuk Fe setelah bahan makanan diolah. Daging babi yang dimasak dengan cara direbus dalam air, garam 1%, dan kecap memiliki rentang penurunan kadar Fe 38-48% dari bahan mentahnya.

Penyerapan zat besi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Hurrel dan Egli (2010) terdapat faktor yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor peningkatnya adalah vitamin C dan jaringan otot hewan, sedangkan faktor penghambatnya adalah fitat, polifenol, kalsium, dan protein termasuk protein kedelai. Produk hasil pengolahan terbaik dianalisis kadar bioavaibilitasnya menggunakan metode in vitro, dengan simulasi penyerapan zat besi di dalam tubuh melalui usus. Persen bioavaibilitas zat besi produk adalah 27.43%, menurun 1.4% dari produk mentah. Penambahan beberapa jenis bumbu yang mengandung polifenol kemungkinan menyebabkan penurunan nilai bioavaibilitas zat besi pada produk. Jahe dan bawang merah mengandung 202 dan 168 mg polifenol dalam 100 g bahan, masuk ke dalam daftar 100 bahan makanan yang mengandung polifenol tertinggi (Pérez-Jiménez et al. 2010).

Penyerapan besi di dalam tubuh dipengaruhi juga oleh cadangan zat besi di dalam tubuh. Menurut Ball dan Bartlett (1999), serum ferritrin pada tubuh vegetarian lebih sedikit dibandingkan omnivora. Kejadian serum ferritrin <12 mg/dL pada wanita vegetarian lebih banyak dibandingkan wanita omnivora. Serum ferritrin yang rendah di dalam tubuh menandakan gejala anemia. Kemampuan penyerapan produk ini baru dianalisis secara in vitro, sedangkan kemampuan vegetarian dalam menyerap zat besi tergantung cadangan ferritrin di

Dokumen terkait