• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.2 Pengetahuan Responden terhadap Trigeminal neuralgia

Pengetahuan responden terhadap Trigeminal neuralgia termasuk dalam kategori baik (76%-100%) dalam diagnosis banding dan dampak pada rongga mulut.

Pengetahuan responden termasuk dalam kategori cukup (56%-75%) dalam definisi, saraf yang paling sering terlibat, klasifikasi cedera saraf yang terjadi, etiologi tipe klasik, prosedur dalam mendiagnosis, pemberian anestesi lokal dapat mengurangi gejalanya, obat yang menjadi pilihan terapi dan tentang Trigeminal neuralgia yang tidak dapat sembuh tanpa perawatan.

Sedangkan pengetahuan responden termasuk kategori kurang (0%-55%) dalam jenis saraf yang terlibat pada Trigeminal neuralgia, etiologi tipe simptomatik, arteri yang sering menyebabkan cedera pada saraf Trigeminal,insidensi tertingginya, Trigeminal neuralgia dapat terjadi pada anak-anak, gambaran klinis, Trigeminal

neuralgia dapat mempengaruhi kualitas hidup, pemberian analgesik tidak dapat mengurangi gejalanya, penatalaksanaannya, perawatan farmakologis, terapi bedah pada Trigeminal neuralgia.

Tabel 7. Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap Trigeminal neuralgia

PengetahuanResponden Tahu Tidak Tahu

Jumlah Presentase Jumlah Presentase Definisi Trigeminal neuralgia 36 65,45% 19 34,55% Jenis saraf yang terlibat pada

Trigeminal neuralgia

29 52,73% 26 47,27%

Saraf yang paling sering terlibat pada Trigeminal neuralgia

36 65,45% 19 34,55%

Klasifikasi cedera saraf yang terjadi pada Trigeminal neuralgia

39 70,91% 16 29,09%

Etiologi Trigeminal neuralgia tipe klasik

40 72,73% 15 27,27%

Etiologi Trigeminal neuralgia tipe simptomatik

22 40,00% 33 60,00%

Arteri yang sering menyebabkan cedera pada saraf Trigeminal

23 41,82% 32 58,18%

Insidensi tertinggi Trigeminal neuralgia

28 50,91% 27 49,09%

Trigeminal neuralgia dapat terjadi pada anak-anak

23 41,82% 32 58,18%

Gambaran klinis Trigeminal neuralgia

27 49,09% 28 50,91%

Trigeminal neuralgia dapat mempengaruhi kualitas hidup

Prosedur dalam mendiagnosis Trigeminal neuralgia

37 67,27% 18 32,73%

Pemberian anestesi lokal dapat mengurangi gejala pada Trigeminal neuralgia

38 69,09% 17 30,91%

Pemberian anti analgesik tidak dapat mengurangi gejala pada Trigeminal neuralgia

13 23,64% 42 76,36%

Diagnosis banding Trigeminal neuralgia

49 89,09% 6 10,91%

Dampak Trigeminal neuralgia pada rongga mulut

44 80,00% 11 20,00%

Trigeminal neuralgia tidak dapat sembuh tanpa perawatan

32 58,18% 23 41,82%

Jenis perawatan sebagai

penatalaksanaan Trigeminal neuralgia

23 41,82% 32 58,18%

Perawatan farmakologis Trigeminal neuralgia

19 34,55% 36 65,45%

Obat yang menjadi pilihan pengobatan Trigeminal neuralgia

37 67,27% 18 32,73%

Terapi bedah pada Trigeminal neuralgia

11 20,00% 44 80,00%

Hasil penelitian terhadap pengetahuan tentang Trigeminal neuralgia didapatkan presentasi tertinggi pada kategori kurang yaitu 49,09%, sedangkan yang berpengetahuan cukup sebanyak 41,81% dan berpengetahuan baik sebanyak 9,09%.

Tabel 8. Kategori pengetahuan responden terhadap Trigeminal neuralgia

Kategori Jumlah Presentase

Baik 5 9,09%

Cukup 23 41,81%

Kurang 27 49,09%

Total 55 100%

Diagram 1. Distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap Trigeminal neuralgia

BAB 5 PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap pengetahuan tentang Trigeminal neuralgia yang dilakukan pada 55 orang responden di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial didapatkan hasil 65,45% responden mengetahui definisi dari Trigeminal neuralgia yaitu sindrom nyeri yang tiba-tiba, biasanya unilateral, tajam, hebat, singkat, dan berulang pada area persarafan nervus V.12 Sebanyak 52,73% responden mengetahui jenis saraf yang terlibat pada Trigeminal neuralgia yaitu melibatkan saraf kranial kelima yaitu nervus trigeminus yang merupakan saraf motorik dan sensorik.22 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap definisi Trigeminal neuralgia tergolong cukup sedangkan jenis saraf yang terlibat tergolong kurang.

Trigeminal neuralgia bisa terjadi pada cabang opthalmikus, maksilaris, dan mandibularis dari saraf trigeminal. Paling sering terjadi pada daerah distribusi cabang maksilaris dan mandibularis.18 Sebanyak 65,45% responden mengetahui bahwa Trigeminal neuralgia paling sering terjadi pada daerah distribusi cabang maksilaris dan mandibularis dari saraf trigeminal. Pengetahuan responden terhadap hal ini termasuk ke dalam kategori cukup. Hal ini dapat disebabkan karena responden secara umum sudah mengetahui bahwa Trigeminal neuralgia merupakan nyeri yang memiliki gambaran klinis seperti nyeri gigi.

Klasifikasi cedera saraf yang terjadi pada Trigeminal neuralgia berupa Neuropraksia yaitu kerusakan mielin secara lokal biasanya disebabkan oleh adanya penekanan pada saraf.33 Sebanyak 70,91% responden mengetahui klasifikasi cedera saraf yang terjadi pada Trigeminal neuralgia.

Trigeminal neuralgia diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu klasik dan simptomatik.13 Pada Trigeminal neuralgia klasik, etiologinya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Etiologi Trigeminal neuralgia tipe simptomatik yaitu disebabkan

oleh adanya lesi yang mempengaruhi saraf trigeminal seperti multipel sklerosis dan

cerebellopontine-angle tumor.27 Sebanyak 72,73% responden mengetahui etiologi dari Trigeminal neuralgia klasik. Pengetahuan respon terhadap etiologi Trigeminal neuralgia tipe simptomatik tergolong kurang yaitu hanya sebanyak 40,00% responden mengetahui etiologi Trigeminal neuralgia tipe simptomatik.

Sebagian besar penderita Trigeminal neuralgia menunjukkan adanya external vascular compression.13 Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut saraf. 29 Arteri yang sering menyebabkan penekanan atau cedera pada saraf Trigeminal arteri serebelar superior. Pengetahuan responden akan hal ini tergolong kurang. Hanya sebanyak 41,82% responden mengetahui arteri yang sering menyebabkan cedera pada saraf trigeminal.

Insidensi Trigeminal neuralgia adalah 3 sampai 5 per 100.000 kasus per tahun. Lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio sebesar 1,74:1 pada kelompok usia 50-60 tahun.16,17 Pengetahuan responden akan insidensi tertinggi dari Trigeminal neuralgia tergolong kurang. Sebanyak 50,91% responden mengetahui insidensi tertinggi dari Trigeminal neuralgia. Hal ini disebabkan karena responden secara umum sudah mengetahui bahwa Trigeminal neuralgia paling sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Trigeminal neuralgia dapat terjadi pada anak-anak. Hanya saja pada anak-anak ditemukan adanya lesi sekunder selain adanya vasodilatasi pembuluh darah. Sebanyak 41,82% mengetahui bahwa Trigeminal neuralgia dapat terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan oleh responden hanya mengetahui insidensi Trigeminal neuralgia yang lebih sering terjadi pada lanjut usia.

Gambaran klinis Trigeminal neuralgia berupa nyeri yang biasanya dirasakan pada daerah mata, bibir, hidung, kulit kepala, dahi, dan rahang serta pada sebagian besar kasus terbatas terjadi pada satu bagian sisi wajah.14 Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden akan gambaran klinis pada Trigeminal neuralgia tergolong kurang yaitu 49,09% responden mengetahui gambaran klinis dari Trigeminal neuralgia.

Trigeminal neuralgia dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Adanya rasa sakit seperti berasal dari gigi mengakibatkan penderita Trigeminal neuralgia menjadi takut untuk makan dan berbicara. Pasien juga mengalami penurunan berat badan, pemeliharaan oral hygiene yang buruk, dan menghindari kehidupan sosial.21 Hanya sebanyak 36,36% responden mengetahui bagaimana Trigeminal neuralgia mempengaruhi kualitas hidup seseorang.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendiagnosis Trigeminal neuralgia adalah anamnesa, pemeriksaan klinis atau fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis lengkap dilakukan mencakup onset, lokasi, kualitas, intensitas, frekuensi, durasi, faktor-faktor yang memperberat rasa nyeri, perawatan sebelumnya yang sudah dilakukan dalam mengatasi nyeri, serta riwayat medis, keluarga, dan psikososial. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan myofasial kepala dan leher, pemeriksaan intraoral, evaluasi pergerakan leher dan rahang, dan evaluasi funduskopi.13 Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan Trigeminal neuralgia klasik (idiopatik) dan simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat tumor. Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat multiple skelrosis plaques dan pontine gliomas, dan Magnetic resonance angiography

(MRA) untuk melihat ada tidaknya penekanan oleh pembuluh darah.22 Sebanyak 67,27% responden mengetahui prosedur dalam mendiagnosis Trigeminal neuralgia.

Pemberian anestesi lokal dapat mengurangi gejala pada Trigeminal neuralgia yaitu dapat dilakukan dengan pemberian anestesi lokal (2% Xylocaine; 1:80000).23 Sebanyak 69,09% mengetahui akan hal ini. Rasa sakit yang berat menyebabkan pemberian anti analgesik saja tidak dapat mengurangi gejala pada Trigeminal neuralgia. Hanya 23,64% responden yang mengetahui pemberian anti analgesik saja tidak dapat mengurangi rasa nyeri pada Trigeminal neuralgia.

Diagnosis banding Trigeminal neuralgia adalah Glossopharingeal neuralgia. Glossopharingeal neuralgia adalah rasa sakit yang parah, sementara, menusuk yang dirasakan pada daerah telinga, pangkal lidah, fosa tonsil, atau di bawah sudut rahang.13 Pengetahuan responden terhadap diagnosis banding dari Trigeminal neuralgia tergolong baik, yaitu 89,09%.

Nyeri Trigeminal neuralgia sering terjadi pada distribusi cabang maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus dan hanya sedikit kasus terjadi pada cabang opthalmikus, sehingga hal ini menyebabkan banyak penderita Trigeminal neuralgia menganggap nyeri tersebut seperti berasal dari gigi.20 Sebanyak 80,00% responden mengetahui dampak Trigeminal neuralgia terhadap rongga mulut. Persentase ini tergolong baik, hal ini dapat disebabkan karena pada masa perkuliahan responden sudah mengetahui dengan baik gejala nyeri yang sering terjadi pada Trigeminal neuralgia.

Trigeminal neuralgia tidak dapat sembuh tanpa dilakukan perawatan. Hanya saja Trigeminal Neuralgia dapat mengalami periode remisi atau rasa nyeri yang tidak muncul dalam jangka waktu yang lama.23 Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden terhadap bisa atau tidaknya Trigeminal neuralgia sembuh tanpa dilakukan perawatan adalah sebesar 41,82% yang menjawab dapat sembuh dan 58,18% menjawab tidak dapat sembuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap Trigeminal neuralgia tidak dapat sembuh tanpa dilakukan perawatan tergolong cukup.

Jenis perawatan sebagai penatalaksanaan Trigeminal neuralgia adalah perawatan farmakologis dan pembedahan.23 Perawatan farmakologis berupa pemberian carbamazepine sebagai first line therapy.15 Terkadang pemberian

carbamazepine saja dapat menimbulkan beberapa efek samping. Oleh karena itu, pemberian Carbamazepine dapat dikombinasikan dengan pemberian Baclofen yang merupakan obat golongan muscle relaxant yang sering digunakan sebagai second line therapy.13 Pengetahuan responden terhadap jenis perawatan sebagai penatalaksanaan Trigeminal neuralgia tergolong kurang, yaitu 41,82%. Sedangkan, pengetahuan responden terhadap golongan obat yang digunakan sebagai perawatan farmakologis Trigeminal neuralgia tergolong kurang, yaitu 34,55%. Akan tetapi, pengetahuan responden terhadap jenis obat yang menjadi pilihan pengobatan Trigeminal neuralgia tergolong baik, yaitu 67,27%.

Terapi bedah pada Trigeminal neuralgia dilakukan ketika terapi obat gagal dalam mengatasi nyeri serta memiliki efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh

tubuh.14 Terapi bedah pada Trigeminal neuralgia adalah Injeksi gliserol,

Percutaneous Ballon Compression of the trigeminal nerve, Radiofrequency Trigeminal (retrogasserian) rhizotomy, Gamma Knife radiosurgery, Microvascular Decompression (MVD).13 Sebanyak 20,00% responden mengetahui jenis-jenis terapi bedah yang digunakan pada penatalaksanaan Trigeminal Neuralgia dan sebanyak 80% responden tidak mengetahuinya.

Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak ditemuinya penelitian pembanding tentang pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap Trigeminal neuralgia. Sehingga peneliti tidak dapat melakukan perbandingan hasil penelitian yang dilakukan di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG USU dengan penelitian yang lain.

BAB 6

Dokumen terkait