• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN UMUM

Strain rumput laut toleran cekaman lingkungan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyakit ice-ice. Rumput laut tahan cekaman lingkungan dapat diperoleh melalui teknik rekayasa genetik berupa transgenesis dengan cara mengintroduksi gen penyandi superoksida dismutase dari Melastoma malabathrichum (MmCu/Zn-SOD) dengan perantara Agrobacterium tumefaciens.

Keberhasilan proses transformasi melalui Agrobacterium sangat ditentukan oleh metode yang digunakan seperti durasi inokulasi, waktu kokultivasi, kepadatan bakteri, konsentrasi asetosiringon dan antibiotik lainnya serta genotipe dari tanaman (Wu et al. 2006).

Keuntungan dari teknologi transgenesis antara lain adalah gen yang telah diintroduksi dapat terintegrasi dengan genom resipien dan selanjutnya dapat ditransmisikan keketurunannya (Khoo 2000). Teknologi manipulasi gen (genetic engineering) telah dikembangkan sebagai pelengkap program pembenihan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dari karakter yang diinginkan. Prosedur umum yang diajukan Khoo (2000) dalam transgenesis adalah: (1) identifikasi dan persiapan gen target, (2) menemukan kesesuaian metode transfer dengan promoter, dan (c) deteksi dan monitoring individu transgenik untuk dipelihara dan digunakan dalam program pembenihan.

Tujuan umum introduksi gen asing ke dalam genom rumput laut adalah membuat rumput laut dengan karakteristik komersial yang lebih baik untuk meningkatkan produksi akuakultur. Penggunaan gen asing pada ketahanan rumput laut Kappaphycus alvarezii sampai saat ini masih terbatas dan baru dilaporkan untuk ketahanan pada logam dengan mengintroduksi gen sitrat sintase (Daud et al. 2013) dan gen metallothionein tipe II (Fajriah et al. 2015); serta ketahanan terhadap serangan bakteri dengan mengintroduksi gen lisozim-C (Handayani et al. 2014). Selanjutnya, untuk mendapatkan rumput laut K. alvarezii toleran terhadap cekaman oksidatif dilakukan introduksi gen MmCu/Zn-SOD.

Cekaman oksidatif adalah kesetimbangan antara reactive oxygen species

(ROS) dan antioksidan (Gill dan Tuteja 2010). Cekaman abiotik yang dialami oleh tanaman adalah salah satu pemicu terjadinya cekaman oksidatif. Beberapa penelitian telah menunjukkan keterkaitan antara cekaman abiotik dan produksi berlebih ROS. Reaktive oxygen species merupakan bentuk molekul oksigen yang terintroduksi oleh elektron dan memiliki sifat yang sangat reaktif. Pada tanaman, ROS selalu dihasilkan sebagai produk sampingan dari berbagai jalur metabolisme (Gill dan Tuteja 2010). ROS terdiri dari dua bentuk yaitu radikal bebas meliputi superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal perihidroksil (HO2-), dan

radikal alkoksil. Selanjutnya, ROS dalam bentuk non-radikal (molekul) meliputi hidrogen peroksida (H2O2) dan bentuk oksigen berenergi tinggi, oksigen singlet

(1O2).

Dalam konsentrasi tinggi ROS dapat merusak molekul DNA. Kerusakan DNA berdampak pada kegagalan replikasi DNA, terhentinya transkripsi dan sintesis protein, kerusakan protein, dan destruksi membrane sel. Dalam keadaan normal, ROS didetoksifikasi oleh berbagai sistem antioksidan sehingga kadarnya tetap stabil dan terjaga. Pada konsentrasi yang rendah ROS berfungsi sebagai molekul sinyal dalam respons cekaman, yang memfasilitasi terbentuknya resistensi terhadap patogen maupun aklimatisasi dalam cekaman abiotik.

Cekaman oksidatif terjadi akibat peningkatan produksi dan akumulasi ROS. Superoksida dismutase (SOD) adalah enzim antioksidan yang memiliki peran primer dalam detoksifikasi ROS. SOD mengkatalisis reaksi dismutase ion superoksida menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2) (McCord dan

Fridovich 1969). Detoksifikasi radikal superoksida oleh SOD mengurangi resiko terbentuknya radikal hidroksil yang bersifat lebih reaktif dan destruktif bagi sel (Bischof dan Rautenberger 2012).

Isolasi gen utuh penyandi copper/zinc superoksida dismutase sitosolik dari tanaman pengakumulasi aluminium Melastoma malabathricum (gen MmCu/Zn- SOD) berhasil dilakukan (Hannum 2012). Konstruksi gen ini diintroduksi pada rumput laut K. alvarezii yang terdiri atas tiga tahap, yaitu: (1) Optimasi introduksi gen MmCu/Zn-SOD pada rumput laut K. alvarezii dengan prantara Agrobacterium tumefaciens, (2) Pengembangan metode introduksi gen pada rumput laut

K.alvarezii, dan (3) Uji performa rumput laut K. alvarezii transgenik terhadap cekaman salinitas.

Pada penelitian tahap pertama digunakan empat perlakuan lama inokulasi yaitu 15, 20, 30, dan 60 menit dengan dua waktu kokultivasi, yaitu 3 dan 4 hari pada dua tingkat kepadatan Agrobacterium tumefaciens (OD600) yaitu 0,4 (atau

sama dengan 3,2x108 CFU/mL) dan 0,5 (sama dengan 4x108 CFU/mL). Pada OD600 0,4 dengan durasi kokultivasi 3 hari didapatkan efisiensi regenerasi

semakin menurun dengan meningkatnya lama waktu inokulasi, sebaliknya pada OD600 0,5 efisiensi regenerasi semakin meningkat hingga lama inokulasi 30 menit.

Efisiensi tunas putatif makin meningkat hingga inokulasi 60 menit pada kokultivasi 3 hari pada OD 0,4. Efisiensi transformasi hanya ditemukan pada durasi inokulasi 30 dan 60 menit, baik pada OD600 0,4 dan 0,5 dengan waktu

kokultivasi 3 hari dan 4 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan rumput laut K.alvarezii transgenik hanya dapat diperoleh dengan menggunakan OD600 0,4-0,5, durasi inokulasi 30 dan 60 menit dengan lama kokultivasi 3 hari

dan 4 hari. Hasil tahap pertama didapatkan dua metode yang menghasilkan efisiensi transformasi terbaik, yaitu menggunakan lama inokulasi 60 menit, waktu kokultivasi 3 hari pada OD600 0,5. Metode tersebut menghasilkan efisiensi

transformasi tertinggi yaitu 100%, tetapi efisiensi regenerasinya cukup rendah 6,67%. Selain itu, metode yang cukup baik menggunakan OD600 0,4 durasi

inokulasi 30 menit dan lama waktu kokultivasi 4 hari. Efisiensi regenerasi yang diperoleh lebih baik yaitu 26,67% dengan jumlah transforman yang diperoleh lebih banyak (3 eksplan dibandingkan sebelumnya 2 eksplan), namun lebih rendah dari segi efisiensi transformasi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan rumput laut transgenik, semakin lama inokulasi (60 menit) dibutuhkan waktu kokultivasi yang lebih singkat (3 hari), sementara lama inokulasi 30 menit membutuhkan lama kokultivasi 4 hari. Hal ini diduga ada hubungannya dengan proses masuknya gen ke dalam inti sel. Oleh karena efisiensi regenerasi dan jumlah transforman yang didapatkan lebih banyak sehingga metode kedua yang digunakan pada penelitian tahap kedua karena diharapkan jumlah eksplan transforman yang dihasilkan lebih besar. Penemuan ini memberi keyakinan bahwa metode ini dapat diaplikasikan untuk penelitian selanjutnya.

Dalam rangka menyempurnakan keberhasilan introduksi gen pada rumput laut K. alvarezii maka dicoba mengoptimalisasi metode introduksi menggunakan

media kultur cair pada tahap kokultivasi dan pemulihan dan mengkombinasikan- nya dengan media padat pada lama waktu pemulihan 10, 20 dan 30 hari. Hasil yang diperoleh pada tahap ini cukup menggembirakan karena diperoleh persentase transformasi sebesar 90%, efisiensi regenerasi 90%, efisiensi tunas putatif 100%, jumlah eksplan positif PCR 100% (dari sampel yang dianalisis) pada eksplan yang ditransformasi menggunakan media kultur cair dan pemulihan cair dengan durasi pemulihan 10 hari. Hasil penelitian ini mengindikasi terjadinya peningkatan ke- berhasilan pada introduksi gen dibandingkan tahap sebelumnya, yang tidak bisa dikecilkan maknanya karena merupakan tahap awal mendapatkan rumput laut K. alvarezii transgenik. Oleh karena itu, tahap kedua ini merupakan tahap pe- nyempurnaan untuk optimalisasi introduksi gen pada rumput laut K. alvarezii.

Introduksi gen-gen asing pada tanaman memerlukan suatu sistem regenerasi tanaman yang efisien dan dapat diulang (Rueb et al. 1994). Akan tetapi masalah utama yang sering dihadapi dalam transformasi beberapa tanaman adalah kesulitan meregenerasikan tanaman dalam kultur in vitro (Park et al.1996). Sistem regenerasi yang tepat pada kultur in vitro memungkinkan diperolehnya tanaman transgenik dari jaringan atau sel tanaman yang telah ditransformasi. Menurut Ragapadmi (2006), kemapuan eksplan beregenerasi setelah transformasi merupa- kan faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu transformasi. Oleh karena itu, optimasi sangat penting dilakukan baik sebelum maupun setelah transformasi.

Introduksi gen penyandi MmCu/Zn-SOD merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan toleransi rumput laut terhadap cekaman oksidatif seperti perubahan salinitas lingkungan yang sangat drastis dan cekaman lingkungan lainnya. Untuk mengetahui toleransi rumput laut transgenik maka dilakukan uji tantang, dan hal ini dilakukan pada penelitian tahap ketiga dengan melakukan uji tantang salinitas. Pemilihan salinitas 15 g/L berlandaskan asumsi sebagai batas ekstrim salinitas terendah, dan 45 g/L sebagai batas salinitas tertinggi pada K. alvarezii yang pernah dicobakan Hayashi et al. (2011), meskipun hasilnya rumput laut tidak mampu bertahan hidup pada salinitas 15 g/L dan 45 g/L. Hal yang sama didapatkan pada rumput laut NT, yaitu semuanya mati pada 15 g/L dan hanya sedikit yang mampu bertahan hidup pada salinitas 45 g/L. Sebagai kontrol positifnya adalah 30 g/L (salinitas normal). Toleransi yang tinggi pada rumput laut K. alvarezii pada penelitian ini telah terbukti ketika diuji tantang dengan salinitas rendah (15 g/L) dan salinitas tinggi (45 g/L) mampu bertahan hidup dan mengalami kerusakan eksplan yang rendah dibandingkan non- transgenik. Perbedaan tersebut diduga akibat adanya ekspresi berlebih dari gen penyandi MmCu/Zn-SOD pada K. alvarezii transgenik sehingga kelangsungan hidup mencapai 100% hingga lama uji tantang 14 hari. Didapatkan pula adanya respons yang berbeda antar galur transgenik. Adanya variasi antar galur transgenik diduga disebabkan oleh posisi integrasi gen MmCu/Zn-SOD yang berbeda dalam kromosom. Selain itu, perbedaan tingkat ekspresi dapat juga disebabkan oleh perbedaan jumlah copy gen. Namun, hasil ini belum dapat dibuktikan dari ekspresi gen disebabkan keterbatasan dalam pertumbuhan tunas sehingga bobot eksplan untuk kebutuhan isolasi RNA masih terkendala. Oleh karena itu, disarankan untuk penelitian lanjutan adalah bagaimana memicu pertumbuhan tunas transgenik dan hasil transgenik ini stabil hingga generasi selanjutnya sehingga kelanjutan untuk isolasi RNA dapat terpenuhi.

Peningkatan toleransi terhadap cekaman lingkungan pada Kappaphycus alvarezii masih sangat terbatas. Keberhasilan dalam mendapatkan metode transformasi dan ekspresi rumput laut tahan cekaman salinitas merupakan tahap awal dalam upaya peningkatan toleransi rumput laut terhadap cekaman lingkungan terutama salinitas, dan untuk penelitian selanjutnya dapat dicobakan lagi pada faktor lingkungan lainnya seperti suhu, arus dan kecerahan yang merupakan faktor utama dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut. Teknologi transgenesis memberikan peluang besar dalam mengembangkan strain rumput laut yang toleran terhadap cekaman lingkungan. Hasil penelitian yang diperoleh ini berupa rumput laut K. alvarezii toleran cekaman salinitas suatu saat dapat diperkenalkan di masyarakat walaupun masih membutuhkan waktu yang cukup lama karena perlu adanya perbaikan regenerasi, aklimatisasi, analisis ekspresi gen, dan penentuan jumlah copy gen. Selanjutnya, uji kemananan hayati diperlukan untuk dapat dikembangkan di masyarakat pembudidaya rumput laut K. alvarezii.

Dokumen terkait