• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saat ini perbaikan kualitas buah jeruk lokal sudah harus menjadi tujuan utama dalam pemuliaan buah jeruk. Hal ini perlu dilakukan untuk memenuhi kriteria permintaan konsumen umum dan pasar terhadap jeruk yaitu tidak berbiji (seedless), mudah dikupas dan mempunyai tipe Mandarin dengan warna yang menarik, kandungan gula tinggi, dan ukurannya besar. Pemenuhan kriteria pasar ini akan dapat meningkatkan daya saing jeruk lokal baik dipasar lokal maupun global. Pada semester pertama tahun 2013, pemerintah menetapkan peraturan pembatasan impor buah jeruk, sehingga pasar lokal menjadi peluang untuk kembali menjadikan jeruk lokal seperti jeruk Siam kembali menjadi tuan rumah dipasar sendiri.

Indonesia memiliki banyak plasma nutfah jeruk, dan beberapa diantaranya hampir memenuhi kriteria permintaan konsumen dan pasar terutama dari segi rasa. Hampir 85% pertanaman jeruk di Indonesia merupakan jeruk Siam. Jeruk Siam terdiri dari banyak jenis salah satu diantara yang unggul dari jeruk Siam adalah jeruk Siam Simadu atau dipasar dikenal sebagai jeruk Medan. Jeruk Siam Simadu memiliki rasa manis segar, warna dan kulit buah seperti mandarin dan mudah dikupas tetapi jumlah bijinya masih tinggi, lebih dari 15 biji/buah. Sifat tanpa biji menjadi sangat penting karena jeruk yang membanjiri pasar dan digemari konsumen adalah buah jeruk tanpa biji. Saat ini pemuliaan jeruk di negara-negara produsen jeruk dunia menjadikan sifat tanpa biji sebagai sasaran utama dalam program pemuliaannya.

Pemuliaan jeruk tanpa biji dengan cara persilangan tradisional menghadapi kendala sterilitas gamet pada jeruk yang bersifat tanpa biji sehingga introgresi sifat tanpa biji sulit dilakukan. Alternatif lain dari produksi buah tanpa biji dapat dilakukan dengan merakit tanaman triploid yang secara alami akan sulit membentuk biji. Secara persilangan tradisional, perakitan tanaman triploid baru dapat dilakukan apabila terdapat tetua jeruk tetraploid dan teknologi penyelamatan embrio sudah dikuasai. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki plasma nutfah jeruk tetraploid. Perakitan jeruk triploid secara in vitro dapat dilakukan dengan pendekatan meregenerasikan jaringan yang secara alami triploid.

Endosperma adalah jaringan yang secara alami triploid, karena merupakan jaringan yang berkembang dari hasil fertilisasi antara dua inti polar dan satu sperma.

Fenomena ini umum pada tanaman Angiospermae yang mengalami proses fertilisasi

ganda yaitu fertilisasi antara sel telur dengan sel sperma yang akan berkembang menjadi zigot-embrio dan fertilisasi antara 2 inti polar dan satu sperma yang akan

berkembang menjadi endosperma yang merupakan nourishing tissue dan pelindung

bagi kelangsungan hidup embrio pada awal perkembangannya. Pada tanaman dikotil umumnya termasuk jeruk, jaringan endosperma habis diserap oleh embrio. Hal ini menyebabkan perlunya diketahui tahapan perkembangan endosperma dalam biji sehingga dapat diisolasi dan dapat dikulturkan secara in vitro serta mampu beregenerasi membentuk tanaman triploid.

Pada jeruk Siam Simadu, perkembangan jaringan endosperma tidak langsung terbentuk setelah fertilisasi ganda terjadi. Sampai 3 minggu setelah antesis (MSA) bakal biji/ovul masih sulit diamati. Pada minggu ke 4, ovul mulai dapat

diamati dengan mudah pada karpel dan mulai membentuk jaringan maternal yang melindungi kantung embrio. Kantung embrio mulai terlihat pertumbuhan memanjang, dengan teramatinya bagian mikropil dan kalaza. Sampai saat ini jaringan endospoerma belum terlihat, diduga inti endosperma masih dalam tahap syncytium yaitu tahap pembelahan tanpa diikuti pembentukan dinding sel (selulerisasi). Selulerisasi sel endosperma mulai terlihat 9 MSA, dimana bagian periferal kantung embrio mulai membentuk sel-sel endosperma. Selulerisasi sel endosperma periferal kemudian diikuti dengan selulerisasi sel endosperma pada bagian mikropil dan terus berlanjut ke bagiankalaza. Selulerisasi pada jeruk Siam Simadu berlangsung bertahap mulai 9 MSA sampai 12-13 MSA, Pada biji yang berumur 13 MSA, biji sudah terisi penuh oleh jaringan endosperma, tetapi pada 14 MSA, jaringan endosperma ini hampir habis diserap embrio zigotik dan nuselar. Hampir seluruh biji 14 MSA jaringan endospermanya mulai terdegenerasi, yang tersisa hanya jaringan endosperm di bagian periferal (lapisan tipis transparan pada bagian integumen biji.

Perkembangan jaringan endosperma ini diikuti dengan perkembangan zigot membentuk embrio zigotik. Perkembangan embrio zigotik kemudian diikuti dengan perkembangan embrio nuselar. Jeruk Siam Simadu merupakan jeruk poliembrioni, dimana embrio terbentuk dari jaringan nuselar. Perkembangan embrio nuselar ini mulai terjadi setelah jaringan endosperma terbentuk dan berfungsi sebagai nourishing tissue. Perkembangan embrio nuselar ini sangat cepat ditandai perkembangan embrio nuselar dan permbentukan embrio nuselar berikutnya. Perkembangan embrio nuselar ini juga bertahap sehingga pada biji muda terdapat beberapa embrio dengan tahap perkembangan yang berbeda-beda. Kecepatan pertumbuhan embrio nuselar ini juga terlihat saat 14 MSA, embrio pada tahap ini sulit dibedakan antara embrio zigotik dan nuselar.

Berdasarkan perkembangan endosperma, keberadaan jaringan endosperma yang dapat diisolasi hanya terdapat pada buah yang berumur 10-14 MSA, dengan jaringan yang paling respon untuk diinduksi pembentukan kalus adalah jaringan endosperma yang berumur 13 MSA. Pada fase ini jaringan endosperma sudah selesai mengalami selulerisasi (pembentukan dinding sel) dan berdiferensiasi sehingga dapat diinduksi proliferasi sel-selnya. Medium yang baik untuk menginduksi pembentukan kalus yang embriogenik dari jaringan endosperma sama seperti medium untuk pembentukan kalus dari jaringan diploid (embrio zigotik dan nuselar) yaitu medium MS modifikasi vitamin MW dan ditambah 3 mg L-1 BA, tetapi media tersebut diperkaya dengan 0.1 mg L-1 biotin atau 500 mg L-1 sumber N-

organik (EME atau CH). Pada formulasi vitamin MW terdapat 0.001 mg L-1 biotin

dan 1 mg L-1Ca-pantothenat. Biotin (vitamin H) berfungsi sebagai koenzim bagi enzim untuk sintesa protein yang berperan dalam proses embriogenesis. Sebagai koenzim, tersedianya biotin pada konsentrasi yang rendah dikombinasikan dengan ketersediaan N-organik yang tinggi pada medium dapat meningkatkan sintesa protein yang berperan dalam embriogenesis, sehingga meningkatkan pembentukan embrio somatik.

Berdasarkan pengukuran kandungan DNA pada inti sel, kalus embriogenik yang diinduksi dari jaringan endosperma ternyata merupakan populasi sel miksoploid yang terdiri dari percampuran sel-sel haploid, diploid dan triploid. Hasil ini menunjukkan bahwa jaringan endosperma yang diisolasi dengan bantuan mikroskop binokular dengan perbesaran 40x, terkontaminasi oleh proembrio nuselar (diploid) yang ukurannya kurang dari 16 sel. Mikroskop dengan perbesaran 40x juga tidak dapat memisahkan sel-sel antipodal haploid yang berproliferasi saat endosperma belum terbentuk dan tidak terdegradasi hingga endosperma habis diserap oleh embrio. Keberadaan sel-sel haploid ini dapat ikut terkulturkan dengan jaringan endosperma.

Regenerasi populasi sel miksoploid, apabila berasal dari sekumpulan sel menghadapi kendala terbentuknya tanaman miksoploid, sehingga perlu diupayakan meregenerasikan satu sel membentuk tanaman lengkap. Embriogenesis somatik memungkinkan meregenerasikan satu sel membentuk tanaman lengkap melalui pembentukan embrio yang prosesnya mirip seperti embriogenesis zigotik. Embrio somatik yang terbentuk saat induksi kalus embriogenik disubkultur pada media pendewasaan. Pendewasaan embrio somatik globular yang berasal dari jaringan endosperma dan terbentuk pada media induksi kalus, tidak memerlukan penambahan ABA secara eksogen, tetapi pendewasaannya dapat dilakukan dengan mensimulasikan kondisi dehidrasi pada embrio dengan meningkatkan konsentrasi pemadat medium (dari 2.5 menjadi 3 g L-1 phytagel) sehingga ketersediaan air bagi embrio terbatas. Pada media ini juga embrio dewasa dapat langsung berkecambah membentuk planlet, sehingga tidak perlu lagi tahapan sub kultur pada media perkecambahan.

Populasi planlet yang diperoleh kemudian diinduksi pemanjangan tunasnya

dengan memotong bagian bakal akar (radikula), kemudian diinduksi

pemanjangannya pada media MS modifikasi vitamin MW yang diperkaya dengan

2.5 mg L-1 GA3. Penambahan GA3 sudah memadai untuk menginduksi

pemanjangan tunasnya, meskipun pertambahannya lambat, tetapi masih lebih baik dibandingkan bila dikombinasikan dengan penambahan kinetin. Penambahan kinetin eksogen dapat mengubah nisbah auksin /sitokinin sehingga bisa menekan pembentukan kalus pada pangkal tunas yang terluka saat memotong bagian akar/bakal akar.

Jaringan endosperma adalah jaringan yang beragam karena fungsinya sebagai pelindung kelangsungan hidup embrio, dan kontaminasi dari jaringan diploid dan haploid menjadikan satu embrio somatik yang diduga berasal dari satu sel dianggap sebagai satu individu. Pengujian lebih lanjut dan untuk pengembangannya maka diperlukan formulasi media yang dapat memperbanyak individu tersebut. Perbanyakan klonal tidak akan atau dapat meminimalisasi keragaman bila memanfaatkan meristem yang sudah dibentuk secara alami oleh tanaman itu sendiri. Jaringan meristem terdapat pada tunas pucuk dan bakal tunas aksilar, tetapi lebih umum menggunakan bakal tunas aksilar dibandingkan tunas pucuk. Tunas yang berhasil diregenerasikan dari jaringan endosperma, pertumbuhan buku dan ruasnya sangat lambat, sehingga perbanyakan dicoba dengan tunas pucuk untuk menginduksi pembentukan tunas adventif secara langsung pada bagian

pangkal tunas dan peningkatan jumlah buku. Pembentukan tunas adventif secara langsung diharapkan mampu meminimalkan keragaman gentik pada tunas yang terbentuk. Induksi pembentukan tunas adventif dengan menggunakan media dasar dengan konsentrasi vitamin yang tinggi (media dasar MT) justru menginduksi pembentukan tunas tidak normal. Penggunaan media dasar dengan formulasi vitamin yang lebih lengkap (formulasi vitamin MW) dapat menekan pembentukan tunas yang tidak normal. Induksi tunas adventif lebih baik dilakukan pada media

dengan penambahan 0.1 mg L-1 TDZ dan 1 mg L-1 kinetin, sementara penambahan

BA dan kinetin tidak memberikan hasil yang lebih baik. Thidiazuron adalah senyawa yang aktivitasnya seperti sitokinin, tetapi keberadaannya dalam jaringan lebih stabil dibanding sitokinin, sehingga mampu mempengaruhi jaringan yang sulit diinduksi regenerasinya.

Evaluasi morfologi dan sitologi dari populasi tunas yang berhasil diregenerasikan dari kultur jaringan endosperma, perlu dilakukan untuk menseleksi tunas-tunas berdasarkan tingkat ploidinya. Hal ini perlu dilakukan karena kalus embriogenik yang dihasilkan merupakan populasi sel campuran dengan tingkatan ploidi haploid, diploid dan triploid. Evaluasi dilakukan terhadap tunas yang memiliki daun dan buku sempurna. Lima puluh dua tunas terpilih untuk dievaluasi baik secara sitologi maupun morfologi. Berdasarkan pengukuran kandungan DNA pada inti diketahui bahwa 21 tunas haploid (40.38%), 11 tunas diploid (21.15%) dan 20 tunas triploid (38.46%) (Tabel 12). Hasil ini dipastikan dengan menghitung jumlah kromosomnya, dan diketahui bahwa tunas haploid memiliki kromosom 2n=x=9.30±1.13, tunas diploid 2n=2x=17.35±1.60, tunas triploid 2n=3x=26.4±1.85 dan tunas diploid kontrol 2n=2x=18.05±0.85.

Keragaman dari 52 tunas terpilih untuk dievaluasi juga terlihat pada morfologi bentuk daun dan stomata (bentuk dan ukuran stomata), tetapi keragamannya tidak dipengaruhi oleh tingkatan ploidi. Keragaman morfologi pada populasi tunas terpilih lebih disebabkan oleh keragaman eksplan awal yaitu jaringan endosperma yang sangat beragam dan sistem regenerasi tidak langsung melalui pembetukan kalus. Regenerasi tidak langsung, melalui pembentukan kalus, juga dapat memicu timbulnya keragaman pada regenerannya.

Morfologi stomata pada regeneran jeruk Siam Simadu yang dipengaruhi oleh tingkat ploidi adalah jumlah dan ukuran kloroplas dalam sel penjaga stomata, sementara rasio panjang dan lebar stomata serta densitas stomata, tidak dipengaruhi oleh tingkatan ploidi. Jumlah kloroplas bertambah seiring peningkatan ploidi tetapi ukuran kloroplasnya berkurang (mengecil) seiring peningkatan tingkat ploidi. Jumlah kloroplas pada sel penjaga stomata tunas haploid 6.77±0.90, tunas diploid 10.60±1.10 dan tunas triploid 20.17±2.09 sementara tunas diploid kontrol menunjukkan jumlah khloropas 11.43±1.25. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi biaya evaluasi tingkat ploidi dapat dilakukan dengan menghitung jumlah kloroplas, karena biayanya relatif lebih murah dan tekniknya lebih sederhana dengan akurasi yang cukup tinggi..

Tabel 12. Nomor-nomor terpilih regeneran dari jaringan endosperma yang normal dan telah ditentukan tingkat ploidinya

No No tunas Tingkat ploidi No No tunas Tingkat ploidi No No tunas Tingkat ploidi

1 NH1 Haploid 19 S11/4 Haploid 37 ST8 Triploid

2 NH2 Haploid 20 S6811 Haploid 38 NT1 Triploid

3 NH3 Haploid 21 S61/8 Haploid 39 NT2 Triploid

4 NH4 Haploid 22 en1siam13ph14/13 Diploid 40 En4(13)/2 Triploid

5 NH5 Haploid 23 en3siam11ph6 Diploid 41 Ensiam13ph1 Triploid

6 NH6 Haploid 24 s61-8 Diploid 42 NT5 Triploid

7 NH7 Haploid 25 S12/3 Diploid 43 En3ph1 Triploid

8 en26siam11/6 Haploid 26 ND1 Diploid 44 En4(17)3 Triploid

9 en19(2)/1 Haploid 27 ND2 Diploid 45 ST7 Triploid

10 ensiam13ph2 Haploid 28 SD2 Diploid 46 S57/2B Triploid

11 ensiam11(3)/16 Haploid 29 SD3 Diploid 47 S54/2 Triploid

12 en1ph1 Haploid 30 S61-8/2 Diploid 48 S58/11 Triploid

13 en3siam11glu1 Haploid 31 S58/1 Diploid 49 S63/2 Triploid

14 S12/1 Haploid 32 S12/4 Diploid 50 S66/3 Triploid

15 S66/3 Haploid 33 ST4 Triploid 51 S12/7 Triploid

16 S57/2 Haploid 34 ST5 Triploid 52 S73/3 Triploid

17 S66/3/2 Haploid 35 ST6 Triploid Embrio nuselar Diploid

18 S13/8 Haploid 36 En26/1 Triploid Tanaman

diploid

Diploid

Sampai akhir penulisan disertasi ini, populasi sel embriogenik masih terus beregenerasi. Populasi embrio somatik dan tunas tidak normal terus disubkultur dengan rentang waktu 8 minggu pada media tanpa penambahan ZPT. Beberapa tunas pada populasi ini mulai memperlihatkan pertumbuhan yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kultur jaringan endosperma dapat dihasilkan lebih dari 52 tunas yang normal.

Dokumen terkait