• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUAH MERAH (Pandanus conoideus)*

8 PEMBAHASAN UMUM

Kualitas dan khasiat minyak buah merah tidak hanya ditentukan oleh kestabilan sifat fisikokimia dan komponen aktifnya, baik selama proses pengolahan maupun dalam penyimpanannya, namun juga oleh karakteristik sifat fisik buahnya. Keragaman klon-klon buah merah yang tumbuh menyebar di dataran Papua cukup tinggi sehingga memiliki karakteristik fisik buah dan sifat kimia minyak yang bervariasi. Dalam upaya pengembangan tanaman buah merah sebagai bahan baku industri, informasi karakteristik fisik buah dan sifat kimia minyak buah merah sangat diperlukan sebagai dasar dalam pengembangan produk berbasis buah merah, untuk identifikasi minyak, penentuan stabilitas dan aplikasinya dalam industri, serta untuk program pemuliaannya. Dalam penelitian ini buah merah yang dikarakterisasi terdiri dari 9 klon yang berasal dari 3 area budidaya di Papua yaitu distrik Minyambouw (Manokwari, Provinsi Papua Barat, kebun percobaan Universitas Negeri Papua (Manokwari, Provinsi Papua Barat) dan Distrik Koya (Jayapura, Provinsi Papua).

Sifat fisik buah dan tanaman buah merah

Indikator tingkat kematangan dan kualitas internal dan eksternal buah merupakan faktor penentu untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sangat dipengaruhi tujuan pengolahannya. Pemanfaatan buah merah selain sebagai bahan pangan, ekstrak minyak buah merah telah dikomersilkan sebagai suplemen kaya antioksidan untuk meningkatkan stamina dan menyembuhkan berbagai penyakit (Budi dan Paimin 2002). Dengan demikian parameter kualitas buah merah yang dibutuhkan oleh pasar meliputi kesegaran dan tingkat kematangan buah, ukuran panjang dan lebar buah; berat buah (daging buah, biji dan empulur); kadar lemak dan kadar asam lemak bebas; dan kandungan karotenoid dan tokoferol

Karakteristik fisik buah dan tanaman dari 9 klon buah merah menunjukkan adanya variasi antar klon. Secara fisik buah utuh (cepallum) buah merah dapat digambarkan berbentuk silinder meruncing, dari pangkal membulat sampai ke tengah membesar atau mengecil sampai ke bagian ujung. Buah utuh buah merah terdiri dari kumpulan bulir (drupa) yang tersusun rapat dan menempel kuat pada empulur (pedicel), dan setiap bulir terdiri dari biji yang diselimuti oleh daging buah (pulp) yang berlemak. Rataan persentasi daging buah merah per buah utuh adalah 12% daging buah, 33% biji, dan 55% empulur. Daging buah dari buah merah merupakan bagian yang dikonsumsi, diolah dan diekstrak minyaknya. Perhitungan rendemen minyak dengan dasar perhitungan yang berbeda (berat daging buah atau berat total bulir) dan dengan basis (basis kering atau basis basah) akan menghasilkan nilai yang berbeda. Oleh karena itu bagian buah merah ini penting untuk ditetapkan sebagai dasar dalam perhitungan rendemen minyak, serta dinyatakan dalam basis kering untuk mengevaluasi efektivitas proses ekstraksi minyak buah merah.

Karakter tanaman buah merah yang berperan dalam pembentukan buah adalah ukuran daun, yang mana klon dengan ukuran daun yang lebih kecil memiliki buah dengan ukuran yang lebih kecil (Menjib Rumbai dan Monsor), sedangkan ke-7

klon yang lain memiliki ukuran daun yang lebih besar sehingga menghasilkan buah dengan ukuran yang lebih besar. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya laju fotosintesis, karena pada daun yang lebih luas mengandung klorofil yang lebih banyak sehingga terjadi peningkatan jumlah karbon yang dapat diikat selama terkena cahaya matahari (Blanke dan Lenz 1989; Imani 2010).

Komponen aktif minyak buah merah

Minyak buah merah telah dilaporkan sebagai salah satu sumber karotenoid alami (Budi 2001; Andarwulan et al. 2006; Surono et al. 2008). Dalam kajian ini total karotenoid minyak buah merah dari klon yang berwarna merah berkisar 9409- 19959 ppm, masih berada dalam kisaran total karotenoid minyak buah merah yang dilaporkan berbagai referensi yaitu 8960-21430 ppm (Tabel 2). Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan klon dan asal buah merah, metode ekstraksi dan metode analisanya. Dibandingkan dengan bahan pangan yang lain, total karotenoid minyak buah merah jauh lebih tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Kadar total karotenoid minyak buah merah dibandingkan dengan beberapa bahan pangan lain.

Jenis bahan pangan Total karotenoid

(ppm) α-karoten (ppm) β-karoten (ppm)

Referensi Minyak buah merah (klon

kuning)-ekstrak pelarut

3027 66.9 66.9 Hasil penelitian (Bab 4)

Minyak buah merah (klon merah-ekstrak pelarut

9409-19959 10.8-118 10.8-118 Minyak buah merah (ekstraksi

basah)

12233 - 378 Budi (2001) Minyak buah merah

(modifikasi ekstraksi basah)

21430 - 4583 Andarwulan et al. (2006)

Minyak buah merah (modifikasi ekstraksi basah)

8960 - 605 Pohan dan Wardayani (2006)

Minyak buah merah (ekstraksi kering-kempa hidrolik)

10450 - 655 Pohan dan Wardayani (2006)

Minyak buah merah (produk- komersil)

- 2-9 15-63 Wada et al. (2013) Minyak sawit mentah-CPO

(varietas Elaeis Oleifera) CPO(varietas E. guineensis) CPO (hibrid E. Oleifera dan E. guineensis) 700-800 1430 2324 - - - - - - Yap et al. (1997)

CPO 500-700 272-381 272-381 Sundram et al. (2003) Ubi jalar kultivar kuning

Ubi jalar kultivar oranye

0.13-0.39 (bk)* 1.35-3.99 (bk)* - - - - Ishiguro et al. (2010) Wortel 1283-1474 - - Knockaert et al. (2012) Wortel - 25-49 55-103 Heinonen (1990)

Ubi jalar-warna oranye - 3.8-9.0 14.4-33.1 Liu et al. (2009) Labu kuning Cabe hijau Kacang hijau Tomato Cabe merah 21.2 24.10 16.5 31 1130 - - - - - - - - - - Kandlakunta et al. (2008) *bk = basis kering - = data tidak tersedia

97

Mengacu pada pada kromatogram HPLC karotenoid minyak buah merah yang dihasilkan dalam kajian ini (Bab 4, Gambar 1) dan persentasi area puncaknya (Tabel 3), terlihat bahwa persentasi area puncak yang terdeteksi sebagai α-karoten,

β-karoten, α-kriptosantin, dan β-kriptosan hanya sebesar 8.6%, sedangkan sekitar 91.7% merupakan komponen yang tidak diketahui. Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa beberapa komponen yang tidak diketahui terdeteksi di awal kromatogram (puncak nomor 4, 5, 6, 7 dan 13) dengan kadar 9.2-23.7%, sehingga dapat diduga bahwa β-karoten bukan merupakan komponen utama dari karotenoid minyak buah merah. Sehingga dalam penelitian selanjutnya ditujukan untuk mengidentifikasi komponen karotenoid minyak buah merah secara lengkap.

Tabel 3 Persentasi area puncak dari semua puncak dalam kromatogram-HPLC karotenoid minyak buah merah.

*n=3

Komponen aktif lain yang terdeteksi pada minyak buah merah adalah tokoferol. Total tokoferol minyak buah merah yang dilaporkan peneliti terdahulu berkisar 10319-13650 ppm, lebih tinggi dibandingkan hasil dalam kajian ini (Tabel 4). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan klon, metode ekstraksi dan metode analisis yang digunakan. Sedangkan jika dibandingkan dengan minyak dan bahan nabati lain, kadar total tokoferol minyak buah merah relatif lebih tinggi (Tabel 4).

Komposisi tokoferol minyak buah merah yaitu α-tokoferol yang dilaporkan peneliti sebelumnya berkisar 417-1368 ppm (Tabel 4), lebih tinggi dari yang dihasilkan dalam kajian ini sekitar 52-272 ppm, namun relatif setara dengan laporan Surono et al. (2008) yaitu 212 ppm. Minyak buah merah juga mengandung - tokoferol dengan kisaran 16-287 ppm. Dibandingkan dengan minyak nabati lain kandungan α-tokoferol minyak buah merah relatif lebih tinggi, sedangkan kadar -

Nomor puncak kromatogram

Komponen

karotenoid Area puncak

* Persentasi puncak semua

komponen dalam kromatogram (%) 1 Unknown 1,244,342 1.1 2 Unknown 1,781,836 1.5 3 Unknown 1,707,273 1.5 4 Unknown 13,129,966 11.2 5 Unknown 17,482,619 14.9 6 Unknown 11,985,894 10.2 7 Unknown 10,825,598 9.2 8 Unknown 774,478 0.7 9 Unknown 1,750,106 1.5 10 Unknown 1,397,165 1.2 11 Unknown 6,634,691 5.6 12 Unknown 2,939,719 2.5 13 Unknown 27,901,129 23.7 14 Unknown 4,417,573 3.8 15 α-cryptoxanthin 1,129,465 1.0 16 β-cryptoxanthin 1,427,540 1.2 17 Unknown 3,305,643 2.8 18 Unknown 369,956 0.3 19 α-carotene 1,508,933 1.3 20 β-carotene 5,982,555 5.1

tokoferol hanya klon Mbarugum yang memiliki kadar lebih tinggi dari minyak kedelai (Tabel 4).

Berdasarkan data kromatogram tokoferol minyak buah merah (Gambar 1), terlihat bahwa terdapat komponen tokoferol lain yang terdeteksi pada waktu retensi 0.7-4.7 menit, yang persentasi area puncaknya disajikan pada Tabel 5. Persentasi area puncak yang terdeteksi sebagai α-tokoferol dan -tokoferol masing-masing sebesar 18.5% dan 8.7%, sedangkan sekitar 72.7% merupakan komponen yang tidak diketahui.

Tabel 4 Kadar α-tokoferol dan -tokoferol minyak buah merah dibandingkan dengan minyak dan bahan pangan lain.

Jenis bahan pangan Total tokoferol (ppm) α-tokoferol (ppm) -tokoferol (ppm) Referensi Minyak buah merah (klon

merah)-ekstrak pelarut

1060-1728 52-272 16-287 Hasil penelitian (Bab 5) Minyak buah merah

(ekstraksi basah)

10319 - - Budi (2001) Minyak buah merah

(modifikasi ekstraksi basah)

10832 1368 - Andarwulan et al. (2006) Minyak buah merah

(modifikasi ekstraksi basah)

11440 417 -

Pohan dan Wardayani (2006)

Minyak buah merah (ekstraksi kering-kempa hidrolik)

13650 453 -

Pohan dan Wardayani (2006)

Minyak sawit 600-1000 35-178 22-35 Sambanthamurthi et al. (2000); Li et al. (2011); Adam et al. (2007) Minyak zaitun (extra

virgin)

177 163 - Gliszczyńska- wigło et al. (2007)

Minyak zaitun - 2-190 - Firestone (2005) Minyak zaitun (virgin) 84-464 82-444 1-29 Beltra´n et al. (2010) Minyak kedelai (refined) 829* 152* 247** *Gliszczyńska- wigło et

al. (2007); **Adam et al. (2007)

Minyak jagung (refined) 829 207 - Gliszczyńska- wigło et al. (2007)

Ekstrak Anggur - 18.4-50.2 1.3-47.5 Tangolar et al. (2011) - = data tidak tersedia

99

Terkait dengan komponen tokoferol lain pada kromatogram tersebut, Tan et al. (2009) melaporkan bahwa CPO-rendah asam lemak bebas mengandung - tokotrienol 570 ppm (± 44%) sebagai komponen utama dari total tokoferol (1293

ppm) diikuti α- tokotrienol (γ0ř,7 ppm), α- tokoferol (235.3 ppm) dan δ-tokotrienol (194,7 ppm). Disampin itu, Chen dan Bergman (2005) melaporkan pula bahwa waktu retensi tokoferol dan tokotrienol bekatul (ekstrak etanol) yang terdiri dari δ- tocotrienol, β, -tocotrienol, α-tocotrienol, β, -tokoferol dan α-tokoferol adalah berturut-turut 8, 5, 9, 10, 13,8, dan 15, dimana tokotrienol muncul lebih dulu pada kromatogram. Seperti halnya pada Gambar 2, kromatogram HPLC tokoferol buah merah, terdapat beberapa puncak yang tidak diketahui muncul diawal sebelum - tokoferol dan α-tokoferol yang dapat diprediksi sebagai isomer dari tokotrienol dan tokoferol lain. Oleh karena itu penelitian selanjutnya akan ditujukan untuk mengidentifikasi komponen tokoferol minyak buah merah secara lengkap.

Tabel 5 Persentasi area puncak dari semua puncak dalam kromatogram-HPLC tokoferol minyak buah merah.

Hasil analisis komponen aktif ini juga membuktikan bahwa minyak buah merah mengandung senyawa aktif yaitu karotenoid (3027-19959 ppm), tokoferol (1060-1728 ppm) dan fenol (90-742 ppm), yang merupakan antioksidan alami dengan kadar yang relatif lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain (minyak sawit dan minyak zaitun). Adanya komponen aktif tersebut juga mengkontribusi stabilitas minyak buah merah. Oleh karena itu, minyak buah merah dapat digunakan sebagai sumber antioksidan alami dan minyak nabati sebagai neutraceutical

(suplemen, bahan/makanan fungsional). Hasil ini juga memperlihatkan bahwa setiap klon buah merah mengandung komposisi komponen aktif yang bervariasi sehingga dapat diintroduksi dan seleksi sebagai klon buah merah baru yang berpotensi sebagai sumber antioksidan alami seperti klon Monsor, Mbarugum, Himbiak, Memeri, Edewewits dan Menjib Rumbai.

Profil asam lemak dan triasilgliserida (TAG) minyak buah merah Komposisi asam lemak dan triasilgliserida sangat mempengaruhi sifat fisik dan sifat kimia minyak dari ke-9 klon buah merah, yang didominasi oleh asam lemak tidak jenuh, dan sejalan dengan laporan Rohman et al. (2012) (Tabel 5).

Nomor puncak kromatogram

Komponen

tokoferol Area puncak

*

Persentasi puncak semua komponen dalam kromatogram (%) 1 unknown 669191 51.9 2 unknown 5804 0.4 3 unknown 9583 0.7 4 unknown 11048 0.9 5 Unknown 61147 4.7 6 Unknown 4241 0.3 7 Unknown 27785 2.2 8 Unknown 43321 3.4 9 Unknown 106345 8.2 10 γ-tocopherol 239242 18.5 11 α-tocopherol 112648 8.7

Dibandingkan dengan minyak nabati lain (Tabel 5 dan Tabel 6) komposisi asam lemak dan TAG minyak buah merah menyerupai minyak zaitun.

Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak buah merah dibandingkan dengan minyak nabati lain. Asam Lemak (%) Minyak buah merah* Minyak buah merah** Minyak sawit*** Minyak zaitun**** Minyak Kedelai***** As. Lemak Jenuh:

Palmitat (C16:0) 15.67-21.27 20.05 39.9 8.5-15.3 14.04 Stearat (C18:0) 0.17-2.68 0.18 4.04 2.1-2.5 4.07 As. Lemak Tak Jenuh:

Palmitoleat (16:1) 0.64-2.70 0.15 0.21 0.7-1.6 - Oleat (C18:1) 63.50-73.42 68.8 35.99 62.5-78.0 23.27 Linoleat (C18:2) 5.23-16.55 8.5 14.53 8.3-16.6 52.18 Linolenat (C18:3) 0.95-1.65 0.17 - 0.8 5.63 - = tidak terdeteksi * Hasil penelitian **Rohman et al. (2012) ***Li et al. (2012) ****Firestone (2005)

Tabel 6 Komposisi triasilgliserida (TAG) minyak buah merah dibandingkan dengan minyak nabati lain.

Jenis TAG (%)

Minyak buah merah

Minyak sawit (Sundram et al. 2003) Minyak zaitun (Firestone 2005) POP 7.0-10.21 20 5.1 POO 24.23-31.08 20.5 22-26 PPP 1.32-1.57 6.9 - PLO 3.72-14.3 6.6 - PLP 1.2-2.2 6.4 8-16.2 OOO 26.84-39.81 5.3 23.2-39.9 POS 1.21-1.54 3.5 0.5-0.8 OPO - 1.9 - SOO 1.77-4.21 1.8 4.3-5.1 OLO 7.23-17.43 1.7 - PLL 1.40-4.66 LOO - 1.8 13.3-16.0 LLO - - 2.4-10.6 Total dari: UUU 37.77-47.65 9.52 51.4-56.1 SUU 38.45-46.84 37.53 39.0-42.5 SUS 9.21-12.42 42.68 1.4-1.8 SSS 1.32-1.57 9.57 - - = tidak terdeteksi

* P = palmitat; S = stearat; O = oleat; L = linoleat.

**U = unsaturated; S : saturated; UUU (triunsaturates); SUU (diunsaturates); SUS (monounsaturate); SSS (UUU (trisaturates)

Walaupun komposisi asam lemak dan TAG minyak buah merah menyerupai minyak zaitun, data pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa kejenuhan dari struktur TAG, yaitu total UUU (triunsaturates) dari minyak buah merah (37.8-47.7%) lebih

101

rendah dari minyak zaitun (51.4-56.1). Perbedaan tersebut disebabkan karena minyak zaitun mengandung spesies LOO dan LLO yang tidak terdapat pada minyak buah merah. Sementara, Jahaniaval et al. (2000) melaporkan bahwa kadar total UUU minyak wijen berkisar 46,6%, relatif sama dengan minyak buah merah, namun jenis atau spesies TAG minyak wijen didominasi oleh OLL 17.9%, POL 14.6% dan OOP 13.1%. Dengan demikian, berdasarkan komposisi TAG-nya minyak buah merah memiliki sifat fungsional yang berbeda dengan minyak nabati lain. Menurut Scrimgeour (2005) dan Sundram et al. (2003), pola melelehnya (melting behavior) TAG secara umum dapat diperkirakan dari komposisi asam lemaknya, yaitu TAG yang kaya asam rantai panjang dan jenuh memiliki titik leleh tinggi, sedangkan yang memiliki polyunsaturated tinggi memiliki titik leleh yang rendah. Ditambahkan pula bahwa minyak dengan komposisi asam lemak yang sama dapat mempunyai perbedaan sifat fungsionalnya seperti kandungan lemak padat (solid fat content), bentuk polimorfis dan titik lelehnya sebagai akibat dari perbedaan komposisi TAG.

Data profil lemak (komposisi asam lemak dan TAG) dari minyak buah merah yang dihasilkan ini dapat digunakan sebagai dasar untuk identifikasi minyak buah merah, serta untuk mendeteksi pemalsuan minyak buah merah dengan minyak lainnya.

Principle component analysis (PCA) karakteristik fisik buah, komposisi karotenoid dan profil lemak minyak buah merah

Hubungan antara ke-9 klon buah merah berdasarkan karakter fisik buah, komposisi karotenoid dan profil lemak minyak berdasarkan PCA, menghasilkan pengelompokan yang berbeda-beda. Umumnya ke-9 klon buah merah yang berasal dari 3 lokasi budidaya di Papua ini mengelompok berdasarkan kedekatan variabel yang dianalisis.

Berdasarkan karakter fisik buah dan tanaman dari ke-9 klon buah merah membentuk 4 kelompok yang menyebar di 4 kuadran biplot PCA (kuadran I: klon Hibcau, Hityom dan Himbiak asal Distrik Minyambouw; kuadran II: klon Mbarugum asal Distrik Koya, Jayapura; kuadran III: klon Monsrus, Monsor dan Menjib Rumbai dan kuadran IV: klon Memeri dan Edewewits asal Kebun Percobaan UNIPA, Manokwari). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan tempat tumbuh sangat mempengaruhi sifat fisik buah dan tanaman buah merah. Pengaruh kondisi ekologi dan lingkungan budidaya juga dilaporkan mempengaruhi sifat fisik almond (Imani 2010) dan bawang putih (Volk dan Stern 2009).

Sementara itu, hasil PCA yang didasarkan pada kadar karotenoid minyak dari 9 klon buah merah, menghasilkan 3 kelompok yaitu kelompok A yaitu Monsor, Mbarugum, Himbiak, Monsrus dan Memeri (dengan kadar total karotenoid, β-

karoten dan β-kriptosantin yang lebih tinggi), didominasi klon yang tumbuh pada dataran rendah, kecuali Himbiak (Distrik Minyambouw); kelompok B yaitu Menjib Rumbai (kadar α-karoten dan α-kriptosantin lebih tinggi); dan kelompok C yaitu Edewewits, Hibcau dan Hityom (kadar total karotenoid lebih rendah) didominasi oleh klon dari dataran tinggi, kecuali Edewewits (Kebun Percobaan Unipa). Umumnya klon yang tumbuh pada dataran rendah cenderung dapat menghasilkan karotenoid lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi. Hasil ini didukung oleh beberapa laporan yang menyatakan bahwa kadar karotenoid dipengaruhi oleh

beberapa faktor termasuk tahap perkembangan kematangan, lingkungan, stress atau kombinasinya. Ditambahkan pula bahwa karotenoid terdapat di daun dan batang tanaman yang berperan penting dalam proses fotosintesis dan melindungi terhadap kerusakan foto-oksidatif, yang kadarnya dalam kloroplas daun dipengaruhi oleh intesitas cahaya (Cazzonelli 2011; van de Berg et al. 2000; Khemvong dan Suvachittanont 2005). Dengan demikian pada daerah dataran rendah dengan suhu lingkungan yang relatif lebih panas dengan intensitas cahaya matahari lebih tinggi akan memicu tanaman memproduksi karotenoid.

Karotenoid disintesis dalam plastida melalui jalur isoprenoid. Isoprenoid diturunkan dari isopentenyl difosfat (IPP) dan isomer dimethylallyl diphosphate (DMAPP). Pada tumbuhan tingkat tinggi, ada dua jalur yang mengarah ke pembentukan isoprenoid yaitu jalur asetat/mevalonat (MVA) dan 2C-methyl-D- erythritol-4-phosphate (MEP). Tahap awal pada jalur MEP adalah kondensasi

piruvate dan glyceraldehyde-3-phosphate menghasilkan 1-deoxy-D-xylulose-5- phosphate (DXP) (Khamvong dan Suvachittanont 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa biosintesis karotenoid meliputi serangkaian tahapan, yaitu: 1) pembentukan asam mevalonat (produk dari metabolisme asam asetat) yang meningkatkan

isopentenyl diphosphate, umumnya C5 prekursor dari semua isoprenoid alami, 2) pembentukan geranylgeranyl diphosphate, 3) pembentukan phytoene asiklik, 4) siklisasi untuk membentuk karoten alisiklik, dan 5) pembentukan xanthophylls

(Velišek et al. 2007). Ditambahkan pula bahwa melalui kondensasi dua molekul

geranylgeranyl diphosphate (adisi elektrofilik memberikan kation tersier), yang dikatalisis oleh phytoene sintase (EC 2.5.1.32) menghasilkan phytoene (15-cis-

7,8,11,1β,7',8’,11',1β'-octahydro-ψ,ψ-carotene), sebagai karoten pertama, yang terbentuk melalui senyawa cyclopropyl prephytoene diphosphate. Selanjutnya

phytoene diisomerisasi oleh carotenoid isomerase menghasilkan turunan karotenoid lainnya (Velišek et al. 2007).

Kadar karotenoid buah merah, selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, hasil PCA ini juga memperlihatkan bahwa beberapa klon buah merah dari dataran tinggi mengelompok pada Kelompok A (kadar karotenoid lebih rendah), demikian halnya pada Kelompok C (kadar karotenoid lebih tinggi) terdapat klon dari dataran rendah. Oleh karena itu kadar karotenoid buah merah tidak hanya dipengaruhi oleh lokasi tempat tumbuhnya, namun dapat juga dipengaruhi klon/genetik. Beberapa kajian juga melaporkan bahwa klon/kultivar mempengaruhi kadar karotenoid, seperti pada cabe merah (Me'ndez et al. 2000) dan wortel (Matějková dan Petříková 2010; Nicolle et al. 2004). Djelaskan pula bahwa kadar karotenoid dari tanaman dapat ditingkatkan dengan rekayasa genetika (Me'ndez et al. 2000; Nicolle et al.

2004).

Hasil PCA berdasarkan kandungan asam lemak dan jenis triasilgliserida minyak dari 9 klon buah merah, menghasilkan 3 kelompok. Pada kelompok 1 (kuadran I) yaitu Hibcau dan Hityom yang dicirikan oleh tingginya C18:2, total PUFA, OLO, PLO, didominasi oleh klon yang tumbuh pada dataran tinggi (Distrik Minyambouw). Kelompok 2 (kuadran II) yaitu Mbarugum dan Edewewits dicirikan oleh C16:0 dan total SFC (saturated fatty acid content) terdiri dari klon asal dataran rendah. Sedangkan kelompok 3 (kuadran III dan IV) yaitu Memeri, Monsor, Menjib Rumbai, Himbiak, Monsrus dengan penciri utama C18:1, total MUFA dan OOO merupakan klon dari dataran rendah, kecuali Himbiak.

103

Umumnya klon buah merah yang tumbuh pada dataran tinggi mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi (PUFA dan C18:2), sedangkan di dataran rendah mengandung asam lemak tidak jenuh tunggal (C18:1 dan MUFA) lebih tinggi. Perbedaan ini dapat diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan di daerah dataran tinggi lebih rendah dengan kelembaban yang lebih tinggi sehingga meningkatkan tingkat ketidakjenuhan lemak. Fenomena yang sama dilaporkan Esmaeili et al.

(2012) serta Sadeghi dan Talaii (2002) bahwa suhu rendah disertai curah hujan dan kelembaban tinggi akan mengurangi kadar asam lemak jenuh (palmitat) dan meningkatkan asam lemak tidak jenuh minyak zaitun.

Biosintesis asam lemak dalam tanaman terjadi dalam plastid melalui aktivitas fatty acid synthetase (FAS), yang diawali dengan pembentukan malonyl CoA. Mula-mula pada daun (kloroplas) energi cahaya dibutuhkan untuk menyediakan NADPH dan ATP (dari reaksi-terang fotosintesis) untuk aktivitas

acetyl-CoA carboxylase (ACCase), untuk mengkonversi acetyl-CoA menjadi

malonyl-CoA. Malonyl CoA ditransfer pada gugus ser-SH acyl carrier protein

(ACP) melalui ikatan kovalen tioester. ACP adalah molekul protein kecil yang memiliki gugus prostetik 4’-phosphopantetheine dan terdapat gugus tiol (SH) pada ujungnya. Gugus prostetik 4’-phosphopantetheine pada ACP memiliki lengan yang lentur sehingga memudahkan asam lemak intermediet berinteraksi dengan gugus asil ketika terjadi perpanjangan rantai asam lemak. Selanjutnya gugus malonil dan gugus asil yang teraktifasi melakukan reaksi kondensasi menghasilkan satu molekul CO2 dan acetoacetyl-ACP. Acetoacetyl-ACP yang terbentuk pada tahap kondensasi kemudian mengalami reaksi reduksi gugus karbonil pada karbon C-3 membentuk D-β-hydroxybutyryl-ACP. Selanjuntya terjadi reaksi dehidrasi, yaitu satu molekul air dilepaskan dari karbon C-2 dan C-3 D-β-hydroxybutyryl-ACP

membentuk ikatan ganda pada produknya trans-Δ2- butenoyl-ACP; dan tahap terakhir adalah reaksi reduksi ikatan ganda trans-Δ2- butenoyl-ACP membentuk

butyryl-ACP. Keempat reaksi pada biosintesis asam lemak ini terus berulang sehingga menghasilkan jumlah karbon sekitar enam belas (asam palmitat) (Rawsthorne 2002). Oleh karena itu intensitas sinar dan suhu lingkungan sangat mempengaruhi sintesis asam lemak tanaman.

Beberapa kajian melaporkan bahwa komposisi asam lemak zaitun dipengaruhi ketinggian lokasi budidaya (Esmaeili et al. 2012), curah hujan dan kelembaban (Sadeghi dan Talaii 2002). Walaupun ke-9 klon buah merah yang berasal dari 3 daerah budidaya dengan ketinggian dataran yang berbeda, namun tidak semua klon dari area budidaya yang sama mengelompok pada kelompok yang sama, seperti klon Edewewits dan Himbiak. Poiana dan Mincione (2004) juga melaporkan bahwa kandungan asam lemak minyak dari 9 kultivar zaitun yang bervariasi antar kultivar. Oleh karena itu perbedaan komposisi asam lemak dan TAG minyak dari 9 klon buah merah tidak hanya dipengaruhi lokasi tempat tumbuhnya tetapi juga oleh karakter genetik/klon.

Pengaruh pemanasan terhadap rendemen dan kualitas minyak buah merah Kualitas minyak nabati sangat ditentukan oleh kandungan asam lemak bebasnya (ALB) yang sangat mudah teroksidasi menyebabkan ketengikan. Kadar ALB minyak (ekstrak pelarut) buah merah dari ke-9 klon berkisar 4.4-9.2%, yang diduga merupakan hasil hidrolisis lemak oleh lipase yang terdapat secara alami

dalam buah merah. Telah dijelaskan bahwa pada dasarnya ALB tidak terdapat dalam minyak atau lemak pada jaringan hidup, namun dapat terbentuk oleh lipase setelah buah dipanen melalui reaksi hidrolisis ikatan ester pada lemak yang dapat dipicu oleh adanya pemanasan dan tersedianya air, serta pada saat buah terluka atau memar (Nawar 1996; Ngando et al. 2013).

Secara fisik buah merah yang dipanen pada saat matang, jika tidak segera diolah, selama proses pemeraman (lebih dari 2 hari) akan terjadi proses pelunakan buah dan bulir buah merah yang menempel pada empulur akan semakin merenggang sehingga perikarp atau daging buah antar bulir akan terbuka dan terkontak langsung dengan udara dan memicu aktivitas lipase. Kisaran suhu aktif lipase tanaman berkisar antara 20-38 oC (Pahoja dan Sethar 2002), sedangkan aktivitas lipase pada mesokarp sawit stabil pada kisaran suhu 20-50 oC (Ngando et al. 2006). Oleh karena itu pengendalian kadar ALB minyak buah merah dapat dilakukan dengan menginkatifkan lipase melalui aplikasi pemanasan suhu tinggi. Dalam kajian ini, peningkatan suhu (0-120 oC) dan waktu pemanasan (0-45 menit) menggunakan otoklaf dapat meningkatkan rendemen dan menurunkan kadar ALB minyak buah merah, namun menurunkan kadar total karotenoid dan total tokferol. Perlakuan pemanasan (otoklaf) pada 120 oC selama 20 menit efektif dalam menurunkan kadar ALB minyak buah merah sehingga mencapai kadar ALB yang tidak berbeda nyata dengan minyak buah merah yang diekstrak dengan pengempaan tanpa pemanasan.

Pengujian aktivitas lipase menunjukkan bahwa buah merah (klon Monsor) secara alami mengandung enzim lipase dengan aktivitas 27.05 U/mg, yang dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 5 menit dapat menurunkan aktivitasnya. Namun aktivitas lipase dalam jaringan buah merah tersebut masih ada sehingga dapat menghidrolisis lemak dalam daging buah selama proses ekstraksi dan meningkatkan kadar ALB minyak. Kajian ini juga mengindikasikan bahwa selama proses pemanasan (100-120 oC) menggunakan otoklaf pada awal pemanasan buah merah dapat terjadi peningkatan aktivitas lipase, dan dengan peningkatan waktu pemanasan dapat menginaktivasi lipase sehingga menghambat pembentuk ALB. Pengendalian pembentukan ALB minyak buah merah dapat dilakukan dengan penggunaan suhu tinggi 120 oC selama 20 menit.

Metode Ekstraksi Minyak Buah Merah

Buah merah diolah secara tradisional oleh masyarakat Papua sebagai sumber

Dokumen terkait