Karakteristik dan Komposisi Kimia Bekatul
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang kaya nutrisi. Penggilingan gabah menghasilkan beras giling (60-65%), sekam (15-20%), bekatul (8-12%), dan menir (+5%) (Widowati 2001). Menurut Hargrove (1994), bekatul adalah lapisan terluar berwarna kecoklatan dari beras pecah kulit yang dipisahkan saat proses penyosohan untuk menghasilkan beras putih. Fraksi penyusun biji padi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman padi, biji padi, dan fraksi penyusun biji padi
Menurut Juliano (1985), kandungan protein, lemak, serat, mineral dan vitamin terdapat pada lapisan bekatul. Kandungan nutrisi didalamnya menjadikan bekatul sebagai sumber pangan dan gizi alternatif yang potensial. Kandungan protein pada bekatul (11.3-14.9%) lebih tinggi daripada beras (6.3-7.1%) sehingga berpotensi dimanfaatkan sebagai ingredien pangan. Penelitian ini menggunakan bekatul dari padi varietas Ciherang dan Pandanwangi dengan komposisi kimia disajikan pada Tabel 1. Kedua varietas padi tersebut digunakan karena luas pertanaman padi di pulau Jawa didominasi oleh padi sawah seperti Ciherang serta kesukaan petani untuk menanam padi varietas Pandanwangi.
Tabel 1. Komposisi kimia bekatul Komposisi Bekatul Ciherang Bekatul Pandanwangi *Bekatul **Bekatul Kadar Air (%bb) 10,33 11,50 nd 14 Kadar Abu (%bk) 7,02 7,47 8.4 6.6-9.9 Protein (%bk) 9,20 10,97 16.05 12-15.6 Lemak (%bk) 12,78 18,04 14.72 15-19.7 Karbohidrat (%bk) 60,66 52,02 39.72 34.1-52.3
Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi kimia bekatul sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh varietas, penanaman, dan proses penyosohan. Untuk meminimalisir perbedaan tersebut, bekatul yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari satu wilayah penanaman di Sumedang, sedangkan proses penggilingan serta penyosohan dilakukan di F-Technopark IPB. Bekatul Pandanwangi memiliki kadar air dan lemak yang lebih tinggi daripada Ciherang sehingga dapat berpengaruh terhadap laju kerusakan oksidatif. Menurut Ubaidillah (2010), perbedaan varietas bekatul berpengaruh terhadap laju pembentukan asam lemak bebas.
Bekatul padi memiliki proporsi asam lemak tak jenuh lebih dari 70%, terdiri atas palmitat (21-25%), oleat (32-41%), dan linoleat (29-37%) (Ubaidillah 2010). Menurut Malekian et al. (2000), kandungan asam lemak tidak jenuh mengakibatkan bekatul padi mudah mengalami ketengikan hidrolitik dan oksidatif sehingga tidak layak digunakan sebagai bahan pangan. Ketengikan hidrolitik diakibatkan oleh aktivitas lipase mengkatalisis hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas. Ketengikan oksidatif dipicu oleh adanya radikal bebas dan aktivitas lipoksigenase sehingga menghasilkan senyawa aldehid, alkohol, keton, dan hidrokarbon yang menimbulkan aroma tengik. Untuk itu, stabilisasi bekatul padi harus segera dilakukan pasca penggilingan gabah.
Optimasi Proses Stabilisasi Bekatul dengan Ekstruder Ulir Ganda Tanpa Die
Stabilisasi bekatul dimaksudkan untuk menginaktivasi lipase dan lipoksigenase yang bertanggungjawab terhadap berlangsungnya ketengikan. Perlakuan pemanasan terhadap bekatul padi dengan microwave (Tao et al. 1997; Malekian et al. 2000), ekstruder ulir tunggal (Randall et al. 1985; Malekian et al. 2000; Sharma et al. 2004; Kurniawati et al. 2014), maupun ekstruder ulir ganda (Fuh et al. 2001; Ubaidillah 2010) dilaporkan efektif untuk stabilisasi bekatul. Namun, bekatul yang distabilisasi tersebut ditujukan untuk pemanfaatan minyaknya, sedangkan pengaruhnya terhadap protein masih sangat terbatas.
Penggunaan ekstruder dalam industri pangan disukai karena tidak menghasilkan limbah, kapasitas besar 14-22 ton/jam, proses otomatis, dan cakupan bahan baku luas. Ekstrusi merupakan proses kontinyu yang melibatkan proses pencampuran, pemasakan, pemotongan, gesekan, dan pembentukan bahan (Fellows 2009). Bagian-bagian utama ekstruder terdiri atas mesin, saluran masuknya bahan (feeder), mantel pendingin (cooling jacket) dan mantel pemanas (heating jacket) untuk mempertahankan suhu, termokopel untuk mengukur suhu barel, ulir, selubung mesin ekstruder (barrel), dan pemotong (Gambar 2) (Moscicki 2011).
Penggunaan ulir ganda memiliki kelebihan daripada ulir tunggal karena gerakan ulirnya dapat mencegah bahan tersumbat, self cleaning, dan lebih fleksibel karena dapat memproses berbagai jenis bahan baku (Fellows 2009). Bahan akan memperoleh panas dari kedua ulir yang bergesekan sehingga proses pencampuran bahan dan distribusi panas lebih merata (Harper JM 1982).
Gambar 2. Bagian-bagian ekstruder 1) mesin, 2) saluran masuk bahan, 3) mantel pendingin, 4) termokopel, 5) ulir, 6) selubung mesin ekstruder, 7) mantel pemanas, 8) head, 9) die, 10) pemotong (Moscicki 2011)
Karakteristik produk ekstrusi ditentukan oleh kondisi proses dan die
(cetakan) (Gambar 3A) yang digunakan. Ubaidillah (2010) melakukan stabilisasi bekatul menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die (Gambar 3B) tetapi suhu yang dipergunakan masih sangat tinggi yaitu 130oC (zona 1), 180oC (zona 2) dan 230oC (zona 3). Penggunaan suhu bertingkat dan die dimaksudkan untuk meningkatkan suhu dan tekanan pada produk sehingga ekstrudat mengembang dan renyah (Fellows 2009).
Gambar 3. Ekstruder ulir ganda dengan die (A) dan tanpa die (B) (F-Technopark IPB)
Dalam penelitian ini, die tidak dipergunakan karena diinginkan ekstrudat bekatul yang dihasilkan sama teksturnya dengan bekatul segar. Penggunaan die
dapat meningkatkan tekanan dalam barel yang dapat berpengaruh terhadap tekstur bahan (Fellows 2009). Proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa
die memanfaatkan panas dalam barel dan putaran ulir terhadap bekatul untuk menurunkan kadar air yang dapat menghambat proses kimiawi dan biologis,
enzim endogenous menjadi inaktif, serta sifat fungsional komponen gizi masih dapat diperoleh.
Stabilisasi bekatul menjadi sangat penting karena peningkatan kadar asam lemak bebas pasca penggilingan gabah yang sangat cepat. Dalam penelitian ini, setelah penyimpanan 24 jam pada suhu ruang, kadar asam lemak bebas bekatul Ciherang yang tidak distabilisasi meningkat dari 4.57% menjadi 7.95%, sedangkan bekatul Ciherang yang distabilisasi tidak mengalami kenaikan yang berarti dari 2.20% menjadi 2.89%. Pada penyimpanan suhu 40oC selama 10 jam, kadar asam lemak bebas pada bekatul Way Apo Buru mencapai 16.67% (Ubaidillah 2010). Menurut Tao et al. (1993), bekatul dengan kadar asam lemak lebih dari 10% sudah tidak layak sebagai bahan pangan.
Optimasi proses stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
ditujukan untuk mendapatkan bekatul stabil dan dapat digunakan sebagai bahan baku isolat protein. Suhu ekstrusi yang digunakan harus cukup tinggi untuk menginaktivasi enzim dan menurunkan kadar air tetapi cukup rendah agar zat gizi dan protein tidak kehilangan sifat fungsionalnya.
Suhu yang digunakan dalam proses optimasi pada kisaran 100-150oC dengan kecepatan ulir 15-35 Hz (50-117 rpm) dengan waktu tinggal 30 – 66 detik. Pemilihan kisaran suhu dan kecepatan ulir ini berdasarkan laporan dari beberapa penelitian bahwa lipase telah inaktif pada bekatul yang diekstrusi pada suhu 128oC dan memiliki kadar air 6.94% (Lee 1992) dan lipoksigenase pada tepung kedelai telah inaktif setelah diekstrusi pada suhu 117oC (Crowe et al. 2001). Fuh dan Chiang (2001) melakukan ekstrusi bekatul pada suhu 130oC dan kecepatan ulir 140 rpm dengan waktu tinggal 20 detik. Kondisi tersebut dilaporkan menghasilkan bekatul dengan kadar air 7% yang stabil selama penyimpanan 20 hari pada suhu 25oC dimana angka asam tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Kurniawati et al. (2014) melaporkan ekstrusi bekatul IR-64 pada suhu 120oC dengan kecepatan ulir 15 Hz dengan ekstruder ulir tunggal menghasilkan penurunan tokoferol dan -oryzanol yang terendah, yaitu 4.74% dan 22.28%. Kondisi ini menghasilkan bekatul yang stabil selama penyimpanan 2 minggu pada suhu 37oC dimana kadar asam lemak bebasnya kurang dari 10%. Bekatul yang distabillisasi menggunakan ekstruder ulir ganda pada suhu 130oC dengan kecepatan ulir 15 Hz (50 rpm), dan waktu tinggal bahan dalam ekstruder 60 detik menghasilkan peningkatan asam lemak bebas 1.42% pada penyimpanan 2 minggu pada suhu 37oC. Namun, pengaruhnya terhadap protein belum dilaporkan. Semakin tinggi suhu ekstrusi dan semakin lama waktu tinggal bahan dalam ekstruder dapat meningkatkan kerusakan protein.
Kondisi optimum stabilisasi bekatul yang diberikan program RSM adalah suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz dengan paramater kadar air, kadar protein terlarut, kadar asam lemak bebas, aktivitas lipase, dan aktivitas lipoksigenase. Parameter protein terlarut sangat penting karena pemanasan dapat menurunkan kelarutan protein akibat terjadi denaturasi (Gnanasambandam & Heitiarachchy 1995: Ummadi et al. 1995) sehingga menurunkan rendemen isolat protein. Kadar air bekatul, aktivitas lipase, dan kadar asam lemak bebas memiliki korelasi yang kuat (Gambar 4). Dalam penelitian ini, penurunan kadar air bekatul dari 11-12% menjadi 6-7% telah mampu menghambat aktivitas hidrolisis lipase.
Gambar 4. Pembentukan asam lemak bebas oleh lipase
Aktivitas lipoksigenase dalam bahan pangan dapat menurunkan gizi dan penerimaan konsumen. Penelitian tentang aktivitas lipoksigenase yang bersumber dari bekatul masih sangat sedikit dibandingkan yang bersumber dari kedelai. Lipoksigenase merupakan dioksigenase yang mengandung besi (Fe). Lipoksigenase memerlukan oksigen untuk mengaktivasi fero (Fe2+) membentuk feri (Fe3+) (Brash et al.1999). Enzim ini mengkatalis reaksi hidroperoksidase asam linoleat dan asam lemak tidak jenuh serta esternya yang memiliki ikatan rangkap cic,cis 1,4-pentadiena (Gambar 5) (Szymanowska et al. 2009). Dalam penelitian ini, pengujian aktivitas lipoksigenase menggunakan asam linoleat sebagai substrat. Produk yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometer ultraviolet dengan absorpsi pada 234 nm (Malekian et al. 2000; Gardner 2001).
Menurut Malekian et al. (2000), aktivitas lipoksigenase masih berlangsung pada bahan yang tidak diblansir dan dapat terus berlanjut meski disimpan pada kondisi suhu rendah. Untuk itu, pengujian stabilitas bekatul terhadap oksidasi harus dilakukan.
Gambar 5. Pembentukan konjugate diena hidroperoksida oleh lipoksigenase-1 diukur pada absorbansi 234 nm (Gardner 2001)
Pengujian stabilitas oksidatif dapat dilakukan secara kimia, namun membutuhkan waktu lama dan penggunaan banyak bahan kimia. Pengukuran stabilitas oksidatif bekatul dapat menggunakan metode Rancimat terhadap minyak bekatul dengan parameter periode induksi. Periode induksi dapat ditentukan karena produk-produk polar yang dihasilkan selama proses oksidasi dapat dimonitor menggunakan alat pengukur konduktivitas. Grafik periode induksi minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi dan yang distabilisasi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik periode induksi minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi (xc1 dan xc2) dan bekatul yang distabilisasi (yc1 dan yc2) pada suhu pengujian 110oC
Periode induksi minyak bekatul pada suhu 100, 110, dan 120oC disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Periode Induksi Minyak Bekatul Suhu (oC) Periode Induksi (jam)
Minyak Bekatul Segar Minyak Bekatul Distabilisasi
100 31.05 + 0.04 43.34 + 0.07
110 14.95 + 0.05 22.22 + 0.08
120 6.42 + 0.02 10.19 + 0.13
Anwar et al. (2005) melaporkan periode induksi minyak bekatul yang diuji pada suhu 120oC adalah 6-7 jam. Pengujian dengan metode rancimat menunjukkan bahwa minyak dari bekatul yang distabilisasi memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi daripada minyak dari bekatul yang tidak distabilisasi. Hasil ini didukung oleh Sharma et al. (2004) yang melaporkan bahwa metode stabilisasi bekatul dengan teknik ekstrusi memberikan stabilitas oksidatif yang lebih baik daripada metode udara panas. Selama penyimpanan 60 hari pada suhu ruang, kadar asam lemak bebas pada bekatul yang diekstrusi pada suhu 135-140oC tidak lebih dari 4.1% dibandingkan dengan yang distabilisasi dengan udara panas (9.15%), dan yang tidak distabilisasi (61.6%).
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrusi bekatul pada suhu 130.96oC dan kecepatan ulir 26.65 Hz menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa
die dapat digunakan untuk stabilisasi bekatul. Pengaruh stabilisasi bekatul dengan ekstruder ulir ganda tanpa die terhadap karakteristik isolat protein yang dihasilkan perlu dikaji lebih lanjut.
Isolasi dan Karakterisasi Fisikokimia Protein Bekatul
Proses stabilisasi bekatul dapat memperluas penggunaan bekatul dalam bidang pangan khususnya pemanfaatan protein bekatul sebagai ingredien pangan. Namun, karakter fisikokimia dan sifat fungsional protein dari bekatul yang distabilisasi perlu dipelajari lebih lanjut. Komposisi kimia bekatul yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia bekatul Ciherang dan Pandawangi yang distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die
Komposisi Bekatul Ciherang distabilisasi Bekatul Pandanwangi distabilisasi Kadar Air (%bb) 6.12+0.001 7.70+ 0.007 Kadar Abu (%bk) 7.41+0.03 10.31+ 0.45 Protein (%bk) 10.13+0.30 11.65 + 0.20 Kadar Lemak(%bk) 12.63+0.20 19.23 + 0.50
Dalam penelitian ini, isolasi protein bekatul varietas Ciherang dan Pandanwangi mengikuti prosedur Zhang et al. (2012) yang dimodifikasi. Isolasi protein dilakukan pada pH 8 pada suhu 50oC selama 2 jam, dan presipitasi protein pada pH 4. Presipitat yang diperoleh dicuci dengan alkohol 30% sebanyak dua kali untuk melarutkan gula pereduksi yang dapat memicu reaksi pencoklatan, lalu disuspensikan kembali dalam air distilat dan diatur pada pH 6 (Gambar 7). Pengaturan suspensi presipitat protein pada pH 7 mengakibatkan hasil freeze dried
isolat protein berwarna hijau kecoklatan, dibandingkan dengan isolat protein yang diresuspensikan pada pH 6 (Gambar 8). Isolasi protein yang dilakukan pada pH 9 dan 10 juga mengakibatkan reaksi pencoklatan sehingga tidak dipergunakan dalam penelitian ini.
Gambar 8. Konsentrat protein bekatul hasil freeze dried: (A) pencucian presipitat dengan air distilat dan disuspensikan pada pH 7; (B) pencucian presipitat dengan alkohol 30% dan disuspensikan pada pH 6
Menurut Juliano (1985) kelarutan protein tinggi pada kondisi alkali (pH > 9), tetapi dapat menyebabkan terjadinya degradasi protein dan senyawa lainnya seperti karbohidrat, sehingga menurunkan kemurnian protein. Protein bekatul diketahui memiliki pH isoelektris pada kisaran pH 3.8 - 4 (Chandi et al. 2007; Yeom et al. 2010; Zhang et al. 2012).
Konsentrat protein bekatul yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kadar protein yaitu 60.76% dan 61.38% untuk bekatul varietas Pandanwangi, dan Ciherang yang tidak distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Kadar protein pada konsentrat protein dari bekatul Pandanwangi dan Ciherang yang distabilisasi adalah 60.19% dan 60.23%. Isolasi protein dari bekatul yang distabilisasi menghasilkan rendemen protein yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zhang et al. (2012) dan Gnanasambandam & Hettiarachchy (1995) bahwa pemanasan menurunkan kelarutan protein karena mengalami denaturasi.
Hal ini didukung dengan pengujian stabilitas panas konsentrat protein bekatul dengan DSC, dimana SRB protein memiliki entalpi lebih besar daripada URB protein. Nilai entalpi menunjukkan kapasitas penyerapan panas. Protein yang mengalami denaturasi memiliki struktur terbuka (unfolded) dan lebih banyak menyerap panas (Bruylant et al. 2005).
Pengaruh pemanasan dalam stabilisasi bekatul terhadap struktur sekunder protein dapat dianalisis dengan FTIR dengan mengukur vibrasi dari ikatan antara gugus fungsi dan menghasilkan spektrum IR yang dianggap sebagai sidik jari (fingerprint). Informasi spektra protein bekatul belum penah dilaporkan sehingga hasil ini menjadi sangat penting. Hasil spektrum URB protein dan SRB protein Pandanwangi maupun Ciherang memiliki kemiripan dan berbeda pada nilai kuantitatif serapan spektrumnya. Spektra IR dari protein bekatul menunjukkan adanya konformasi α-heliks dan -sheet, serta pergeseran bilangan gelombang yang menunjukkan adanya perubahan struktur sekunder protein (Tabel 4).
Tabel 4. Pergeseran bilangan gelombang IR konsentrat protein bekatul
Bilangan gelombang (cm-1) Tipe ikatan dan vibrasi* URB Protein Ciherang SRB Protein Ciherang URB Protein Pandanwangi SRB Protein Pandanwangi 1068.56 1076.28 1064.71 1068.56 C-N 1238.3 1238.3 1219.61 1234.44 Amida III , C-N 1388.47 1398.46 1392.61 1396.46 C-H3 1450.47 1450.47 1450.47 1450.47 Amida II, C-H2 1531.48 1535.34 1535.34 1543.05 N-H dan C-N 1654.92 1658.78 1658.78 1654.92 Amida I, C=O 2920.23 2920.23 2920.23 2920.23 C-H 3062.96 3070.68 3066.82 3066.82 C-H *(Adochitei A & Drochioiu 2011)
Karakterisasi dengan SDS PAGE diperoleh hasil distribusi kisaran berat molekul protein bekatul antara 11.19-60.29 kDa. Kisaran berat molekul protein bekatul bervariasi antara 14-97.4 kDa (Zhang et al. 2012). Menurut Cao et al.
(2009), protein bekatul memiliki kisaran berat molekul rendah (< 50 kDa) dibandingkan dengan protein beras sehingga memiliki kelarutan yang lebih baik dibandingkan protein beras (> 80 kDa).
Analisis asam amino menggunakan HPLC kolom ODS C18 dengan pereaksi OPA. Pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa membentuk senyawa berfluoresensi. Diperoleh 15 jenis asam amino (Tabel 5) dengan komposisi asam amino polar (>63%) lebih tinggi daripada non polar. Konsentrat protein kedelai komersial digunakan sebagai pembanding.
Analisis asam amino menggunakan HPLC C18 dengan standar α-amino butiric acid (AABA) diperoleh 17 asam amino, yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, serin, treonin, tirosin, arginin, histidin, lisin, alanin, isoleusin, leusin, prolin, sistin, metionin, fenilalanin, dan valin. Prolin dan sistin tidak diperoleh pada metode analisis sebelumnya. Komposisi asam amino polar lebih besar (>59%) daripada non polar. Kadar lisin pada konsentrat protein kedelai lebih tinggi (43.5 mg/g) daripada konsentrat protein bekatul (30.1-34.6 mg/g), namun kadar metionin (1.8 mg/g) dan sistin (1.0 mg/g) pada konsentrat protein kedelai lebih rendah. Menurut Muchtadi (2010), protein serealia seperti beras dan terigu kekurangan asam amino lisin, sedangkan protein kacang-kacangan seperti kedelai kekurangan asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistin.
Kedua metode menghasilkan kadar asam amino yang berbeda karena penggunaan standar dan pelarut yang berbeda. Namun, kedua analisa tersebut menghasilkan komposisi yang mirip dimana asam glutamat, arginin, leusin, asam aspartat, valin, alanin, glisin, fenilalanin, dan lisin memiliki kadar yang tinggi dalam konsentrat protein bekatul. Arginin, lisin, leusin, valin, fenilalanin, merupakan asam amino esensial yang penting bagi kesehatan. Asam glutamat berpotensi digunakan sebagai penguat rasa.
Tabel 5. Komposisi asam amino konsentrat protein bekatul dan kedelai
Asam Amino Konsentrat Protein Bekatul* (mg/g) Konsentrat protein kedelai* URB Ciherang URB Pandanwangi SRB Ciherang SRB Pandanwangi Polar Asam aspartat 55,3 52,1 52,1 50,4 52,1 Asam glutamat 114,2 106 116,5 111,4 98,9 Glisin 37,3 34,8 37,9 35,8 29,9 Serin 25,2 24,2 24 23,4 36,3 Treonin 24,7 23,2 22,1 21 27 Tirosin 21,8 20,7 20,1 18,3 34 Arginin 69 65,8 71,1 71,1 49,3 Hstidin 17,7 16,8 17,8 17,1 14,5 Lisin 34,6 30,7 30,9 30,1 43,5 Sub total 399,8 374,3 392,5 378,6 385,5 (63,7%) (63,8%) (66,4%) (66,2%) (67,9%) Non Polar Alanin 44,6 42,3 40,3 40,3 25,7 Isoleusin 30,6 29,4 26,1 24,9 31,8 Leusin 55,7 51,2 45,7 45,6 54 Metionin 13,7 12,4 11,1 11 1,8 Fenilalanin 35,5 32,4 31,8 29,9 36 Valin 47,7 44,9 43,5 41,7 33,2 Sub total 227,8 212,6 198,5 193,4 182,5 (36,3%) (36,2%) (33,6%) (33,8%) (32,1%) Jumlah 627,6 586,9 591 572 568
Karakter protein dipengaruhi oleh sifat asam amino penyusunnya, sedangkan asam amino dipengaruhi oleh gugus samping. Asam amino alifatik (alanin, ileusin, leusin, metionin, prolin, valin) dan asam amino dengan gugus samping aromatik (fenilalanin, triptofan, tirosin) bersifat hidrofobik dan lebih larut dalam pelarut non polar. Asam amino yang bermuatan (arginin, aspartat, glutamat, histidin, dan lisin) dan tidak bermuatan (serin, treonin, asparagin, glutamin, dan sistein) bersifat hidrofilik dan sangat larut dalam pelarut polar. Arginin dan lisin memiliki gugus samping guanido dan amino sehingga bermuatan positif pada pH netral. Histidin memiliki gugus samping imidazole sehingga bermuatan positif pada pH netral. Aspartat dan glutamat memiliki gugus samping karboksil sehingga bermuatan negatif pada pH netral. Asam amino asam dan basa bersifat sangat hidrofilik dan menentukan muatan protein (Fennema 1996).
Persentase asam amino bermuatan pada SRB protein Ciherang dan SRB Pandanwangi lebih tinggi daripada URB protein Ciherang dan URB protein Pandanwangi, sehingga memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada beberapa titik pH. Namun, pola kelarutannya pada pH 2 sampai dengan pH 9 memiliki kesamaan. Kelarutan protein meningkat pada pH asam dan basa ekstrim (Cao et al.
2009), dan terendah pada pH 4 yang merupakan titik isoelektriknya. Menurut Wang et al. (1999), protein pada pH di bawah 4 dan di atas pH 7 dapat mengalami hidrolisis sehingga kelarutannya meningkat. Pada pH isoelektris, interaksi elektrostatik minimal sehingga kelarutan menurun. Komposisi asam amino
konsentrat protein bekatul berbeda secara signifikan (p<0.05) antar varietas. Sedangkan, antar perlakuan berpengaruh nyata (p<0.05) pada konsentrat protein bekatul varietas Ciherang.
Konsentrat protein bekatul yang diperoleh memiliki asam amino non polar 33-36%. Protein dengan komposisi asam amino non polar lebih dari 30% memiliki sifat emulsi dan sifat pembentukan buih yang bagus. Kemampuan protein dalam membentuk emulsi dan buih sangat dipengaruhi oleh pH dan memiliki pola yang mirip dengan sifat kelarutannya. Dalam penelitian ini, aktivitas dan stabilitas emulsi antara perlakuan dan antar varietas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Demikian pula dengan kapasitas dan stabilitas buih.
Kapasitas buih pada pH isoelektrik terlihat sangat tinggi. Hal ini disebabkan pada pH isoelektrik protein secara cepat teradsorpsi ke permukaan dan membentuk buih. Namun, buih yang terbentuk besar dan mudah pecah sehingga stabilitasnya rendah. Proses adsorpsi protein ke permukaan dapat dipercepat dengan pengadukan menggunakan pengaduk magnetik (Zayas 1997).
Kemampuan protein dalam menyerap air dan minyak sangat penting dalam menentukan karakter pangan, seperti pada sosis, donat, dan mayonais. Sifat fungsional ini dipengaruhi oleh kelarutan protein, ukuran partikel, serta adanya komponen lain seperti karbohidrat dan lemak (Zayas 1997). Kapasitas menahan air dan minyak konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan diameter partikel konsentrat protein. Hasil pengukuran diameter partikel menunjukkan bahwa konsentrat potein dari bekatul yang tidak distabilisasi memiliki diameter lebih kecil sehingga memiliki luar permukaan yang lebih besar dan berkemampuan lebih banyak menyerap air maupun minyak. Diameter partikel konsentrat protein dari bekatul Pandanwangi dan Ciherang yang tidak stabilisasi yaitu 234.2 nm dan 260.6 nm, sedangkan yang distabilisasi adalah 398.2 nm dan 340.8 nm.
Perbedaan antar varietas dan perlakuan memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap kapasitas protein bekatul dalam menyerap air. Kapasitas penyerapan minyak menjadi tidak berbeda nyata pada konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi. Hal ini dapat disebabkan oleh terbukanya lipatan protein (unfolded) sehingga sebagian sisi hidrofobik protein terekspos ke sisi luar dan mempengaruhi kemampuannya dalam menyerap minyak.
Dalam penelitian, analisa kadar fitat pada bekatul 2.72-4.05%, sedangkan pada konsentrat protein bekatul adalah 0.34-0.52%. Menurut Sharma et al. (2004), ekstrusi dapat menurunkan kandungan fitat dalam bekatul. Honig (1984) melaporkan kadar fitat pada isolat protein kedelai sebesar 0.95-1.75%. Proses isolasi protein bekatul dapat mengeliminasi fitat yang bersifat sebagai kelator mineral sehingga konsentrat proten bekatul berpotensi sebagai ingredien pangan.
Fraksinasi Konsentrat Protein Bekatul
Umumnya, fraksinasi protein dilakukan terhadap bekatul yang telah dihilangkan lemaknya (Hamada 1997). Dalam penelitian ini, fraksinasi protein dilakukan terhadap konsentrat protein dari bekatul yang telah distabilisasi dengan ekstruder ulir ganda tanpa die. Fraksinasi menggunakan 5 pelarut yang berbeda, yaitu air untuk mendapatkan fraksi protein albumin yang larut dalam air; NaCl
untuk mendapatkan fraksi protein globulin yang larut dalam garam; etanol 70% untuk mendapatkan fraksi prolamin; asam asetat dan NaOH untuk mendapatkan fraksi protein glutelin yang larut dalam asam dan basa encer. Masing-masing fraksi protein dalam pelarutnya dilakukan analisis protein terlarut (Lowry 1951) dan distribusi berat molekul dengan SDS PAGE tipe gradien gel.
Fraksinasi protein dari konsentrat protein bekatul diperoleh tiga fraksi yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Chanput et al.(2009) melaporkan bahwa kadar total protein pada fraksi protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah pada fraksi glutelin (22.7%), albumin (21.6%), globulin (17.4), dan prolamin (8.1%). Hasil berbeda dilaporkan oleh Hamada (1997) bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada protein bekatul dari yang tertinggi ke terendah adalah fraksi albumin (32-39.5%), globulin (12.8-17.45), glutelin larut asam asetat (6-14.7%), dan prolamin (5.3-7.8%). Sekitar 24.2-42.2% merupakan residu protein yang larut dalam NaOH.
Cao et al. (2009) melaporkan bahwa kadar total protein (Kjeldahl) pada fraksi albumin (42.71%+2.47) dan fraksi glutelin (larut dalam NaOH) (40.25%+2.55) dari protein bekatul perbedaannya tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kadar total protein pada fraksi albumin dan glutelin dari protein bekatul sangat variatif. Hasil ini didukung oleh Santos et al.
(2013) yang menyatakan bahwa perbedaan varietas padi mempengaruhi persentase kadar protein pada fraksi albumin dan glutelin.
Konsentrat protein dari bekatul yang tidak distabilisasi mengandung fraksi albumin dengan berat molekul 17 dan 30.9 kDa, dan glutelin 11.44-66.74 kDa, sedangkan pada fraksi globulin tidak terlihat adanya pita. Konsentrat protein dari bekatul yang distabilisasi mengandung fraksi albumin dengan berat molekul 17 dan 32.96 kDa, globulin 35.61-76.21 kDa, dan glutelin 11.44-66.74 kDa.