• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelangsungan hidup (sintasan) dan pertumbuhan spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana fragmen spons diletakkan pada saat fragmentasi. Kondisi lingkungan yang optimal dibutuhkan spons agar luka yang terjadi akibat fragmentasi dapat pulih kembali secepatnya dan spons dapat melanjutkan aktivitas pertumbuhannya. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons hasil fragmentasi adalah TSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Total Suspended Solid (TSS) berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan TSS pada dua lokasi yang berbeda (ST1 dan ST2) di gugusan Pulau Pari. Fragmen spons yang diletakkan di ST1 memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih rendah dibanding di ST2. Kondisi ini diduga disebabkan oleh kandungan Total Suspended Solid (TSS) yang berbeda pada kedua stasiun, yaitu ST1 lebih tinggi dibandingkan di ST2.

Pengaruh lain terhadap pertumbuhan dan perkembangan spons yang difragmentasi di alam adalah berasal dari keberadaan organisme lain seperti ikan Pomacentridae. Ikan ini menggigit tubuh spons pada saat pertama kali diletakkan di lokasi. Kondisi ini menyebabkan bertambahnya luka pada permukaan tubuh spons sehingga sangat mudah terlepas dari tali. Namun demikian jika dibandingkan dengan kondisi perairan yang keruh seperti pada ST1 maka kondisi ST2 dengan adanya predator lebih dapat ditolerir oleh fragmen spons sehingga sintasannya lebih tinggi. Fragmen spons yang difragmentasikan dengan metode horizontal memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding fragmen spons yang difragmentasi dengan metode vertikal.

Faktor lain yang diduga mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup fragmen spons adalah adanya kontak fragmen spons dengan amonia hasil buangan

138 spons pada saat terjadinya pemotongan fragmen. Kondisi tersebut mengakibatkan air yang masuk melalui ostia spons adalah air yang sudah terkontaminasi dan merupakan buangan dari sisa metabolismenya sendiri sehingga keadaan fragmen makin melemah. Mulai dari proses pemotongan hingga pengamatan pertama terlihat fragmen spons peka terhadap setiap perlakuan yang diberikan, ini terlihat dari banyaknya lendir yang dihasilkan, warnanya yang memucat, menyusutnya oskulum serta keluarnya ammonia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hal ini adalah dengan melakukan pemotongan langsung di laut atau melakukan pemotongan di atas kapal dan fragmen secepat mungkin diletakan kembali di laut dengan menggunakan waring berukuran kecil untuk menghindari lolosnya fragmen. Dengan kondisi terjadinya pergantian air di laut maka spons dapat selalu memanfaatkan air segar untuk sirkulasi di tubuhnya.

Pertumbuhan rata-rata fragmen spons di kedua lokasi penelitian dan kedua metode memiliki kecenderungan yang lebih baik pada pertumbuhan vertikal, yaitu pertumbuhan yang arahnya tegak lurus terhadap tali polyetilen. Diduga hal ini terjadi akibat pengaruh sinar matahari yang menyebabkan pertumbuhan vertikal lebih cepat dibandingkan petumbuhan horisontal. Selain itu kemungkinan besar pertumbuhan vertikal tidak memerlukan energi untuk menyembuhkan luka dalam yang diakibatkan oleh adanya luka pada bagian dalam jaringan yang dilalui tali polyetilen untuk merangkai spons seperti halnya pertumbuhan horizontal. Selain itu energi yang dimiliki fragmen lebih difokuskan pada penyembuhan luka akibat potongan pada sisi spons dan penusukan tubuh spons yang dilakukan

Spons Aa juga memiliki laju pertumbuhan spesifik secara vertikal lebih baik dari pada pertumbuhan horisontalnya yang disebabkan karena pengaruh keberadaan organisme simbion berupa mikroalga yang melakukan proses fotosintesis dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh sesuai dengan arah datangnya sinar matahari. Selain itu juga secara genetik spons Aaptos aaptos

139 memiliki morfologi tubuh dengan petumbuhan vertikal lebih cepat dibandingkan horisontal.

Perlakuan metode rak terhadap laju pertumbuhan spesifik spons menunjukkan bahwa pada ST1 perbedaan metode rak yang digunakan berpengaruh nyata, sedangkan pada ST2 tidak berpengaruh nyata. Pengunaan metode rak vertikal pada ST1 lebih baik jika dibandingkan dengan rak horizontal. Kondisi sebaliknya terjadi pada ST2 dengan kondisi perairan yang lebih baik dan jernih maka pertumbuhan spons pada rak horisontal lebih baik dibandingkan rak vertikal karena tidak terjadi pengadukan terhadap substrat yang menyebabkan keruhnya kondisi air. Hal ini diduga karena di ST1 dengan kondisi perairan yang lebih keruh maka penempatan fragmen pada posisi rak vertikal lebih menguntungkan karena fragmen terletak di kolom perairan sehingga kemungkinan permukaan untuk tertutup oleh substrat lebih kecil dibandingkan dengan fragmen yang ditempatkan pada rak dengan posisi horizontal. Selain itu pada rak vertikal, fragmen terkena arus yang langsung menuju badan fragmen yang secara tidak langsung membawa kandungan-kandungan senyawa organik atau nutrien dan oksigen yang dibutuhkan dalam pembentukkan dan pertumbuhan fragmen spons. Hal lainnya diduga karena letaknya yang tidak terlalu dekat dengan dasar perairan sehingga tidak banyak partikel-partikel akibat dari terjadinya pengadukan yang menempel di permukaan tubuh fragmen luka spons sehingga energi yang dimiliki oleh fragmen spons lebih difokuskan pada pertumbuhan. Berbeda dengan fragmen yang menggunakan metode rak horizontal di ST1, diduga kekuatan yang dimiliki oleh fragmen lebih difokuskan kepada pembentukan lendir yang digunakan untuk menghalau partikel dari lingkungannya serta partikel-partikel lainnya yang mengendap di permukaan tubuh fragmen spons tersebut dikarenakan letaknya yang horisontal sehingga kondisinya terlindung dari pergerakan arus sehingga pengendapan sedimen langsung terjatuh di permukaan

140 atau di atas fragmen. Sehingga untuk melakukan fragmentasi pada lokasi dengan kekeruhan tinggi maka seharusnya dilakukan dengan menggunakan metode rak vertikal. Sebaliknya untuk melakukan fragmentasi spons pada lokasi yang memiliki perairan jernih dianjurkan menggunakan metode rak horisontal.

Perlakuan jumlah luka menghasilkan respon yang tidak berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup fragmen spons. Walaupun rata-rata sintasan tertinggi terdapat pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar 100% kemudian diikuti oleh fragmen 1 luka, 4 luka, 2 luka, 3 luka dan terendah terdapat pada fragmen ukuran 1 cm2. Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada fragmen kontrol (tanpa luka) disebabkan tidak adanya lapisan pinacoderm yang terluka dan bentuknya sudah sempurna seperti bentuk induk aslinya di alam sehingga fragmen tersebut dapat mengatasi tekanan dari faktor lingkungannya seperti serangan jamur, predator dan pengendapan sedimen. Energi yang tersimpan tidak lagi digunakan untuk merekonstruksikan jaringannya yang rusak tetapi dapat digunakan untuk bersimbiosis, memproduksi bahan aktif dan melakukan proses pertumbuhan serta reproduksinya. Hasil ini menunjukkan bahwa spons Aa tahan terhadap pemotongan bagian-bagian tubuhnya dan mempunyai kemampuan pemulihan dengan cepat yaitu sekitar 1 minggu untuk menyembuhkan luka dan 4 minggu untuk mengembalikan spons seperti kondisi induknya. Sehingga metode fragmentasi dapat digunakan untuk memperbanyak koloni spons dan biomassa yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemanfaatan selanjutnya. Namun demikian terdapat keterbatasan ukuran fragmen optimal yang dapat menghasilkan sintasan dan laju pertumbuhan yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ukuran fragmen 1 cm fragmen spons tidak dapat tumbuh dengan optimal dan pada ukuran fragmen 3 cm spons masih dapat tumbuh dengn sangat baik. Sehingga dianjurkan untuk melakukan fragmentasi spons sampai dengan ukuran 1 cm dengan menggunakan jaring agar prinsip ketersediaan benih spons sebanyak

141 mungkin dapat terpenuhi dan tidak ada sisa fragmen yang tidak digunakan dalam proses fragmentasi tersebut.

Umur spons diduga berkorelasi dengan ukurannya, dan merupakan salah satu faktor internal yang dapat mengontrol reproduksi spons. Ukuran minimum spons untuk dapat bereproduksi secara seksual berbeda-beda, misalnya Tethya serica panjangnya kira-kira 10 cm, Hippospongia lachne diameternya kira-kira 14 cm pada saat pertama kali bereproduksi seksual. Pada Mycale sp. hanya spesimen yang volume bersihnya lebih dari 200 ml mengalami oogenesis, sedangkan spesimen yang kecil memperlihatkan spermatogenesis. Sebaliknya pada Suberitas ficus, oogenesis sering terjadi hanya pada spesimen yang ukurannya tidak lebih dari 5 cm (Sara, 1992). Penelitian ini menunjukkan bahwa spons Aa mulai melakukan reproduksi seksual setelah 241 hari fragmentasi buatan dilakukan pada saat ukuran vertikalnya mencapai 11,70 cm dan ukuran horisontal mencapai 11,83 cm.

Seksualitas pada spons bisa berbeda berdasarkan lokasi dimana spons ditemukan. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari perubahan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan spons. Spons Aaptos aaptos yang diteliti di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta memiliki tipe reproduksi gonokhorik, yaitu hanya ditemukan satu jenis gamet yaitu gamet betina dan tidak pernah ditemukan secara bersama-sama gamet jantan dan betina. Tipe reproduksi gonokhorik yang ditemukan pada Aaptos aaptos yang hidup di perairan Pulau Pari merupakan tipe reproduksi yang umum ditemukan pada spons Ordo Hadromerida, seperti pada jenis Tethya crypta, Tethya citrina (Tethydae); Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara, 1992).

Cara reproduksi spons Aaptos aaptos di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah ovipar. Cara reproduksi ovipar pada Aaptos aaptos

142 juga ditemukan oleh Sara (1992) di Perairan Italia. Cara reproduksi ovipar pada spons terbagi menjadi fertilisasi internal dan eksternal. Spons yang melakukan fertilisasi internal akan menempatkan telurnya yang telah difertilisasi atau zygot di dalam mesohyl, selanjutnya dikeluarkan dari tubuh spons dan kemudian menetas (Kozloff, 1990; Ilan et al, 2004). Sedangkan pada fertilisasi eksternal telur yang belum dibuahi dikeluarkan oleh spons dan selanjutnya fertilisasi terjadi setelah telur bertemu dengan sperma di kolom air di luar tubuh spons. Berdasarkan pengamatan terhadap pemijahan spons Aa yang dilakukan secara in situ menunjukkan bahwa fertilisasi terjadi secara internal karena yang dikeluarkan adalah zygot dan setelah beberapa saat terlihat adanya pembelahan sel. Penelitian sebelumnya belum menentukan fertilisasi spons Aa dan belum diketahui perkembangan embrionya sesaat setelah dipijahkan.

Penelitian ini belum dapat mengidentifikasi gamet jantan dengan jelas karena tidak ditemukan spermatosit di dalam jaringan histologis yang diamati. Kesulitan dalam mengidentifikasi spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan antara lain oleh ukurannya yang sangat kecil dan keberadaannya hanya terlihat pada saat akan memijah sebagai akibat dari perkembangannya yang sangat singkat. Terjadinya proses spermatogenesis sebelum proses oogenesis dan pendeknya siklus spermatogenesis juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyulitkan dalam penentuan individu jantan (Sidri et al., 2007).

Keberadaan oosit yang ditemukan pada penelitian ini berada dalam suatu kantong pembesaran gamet yang disebut sebagai ’brood chamber’ atau ’nurseries’. Oosit berkembang pada lapisan mesohyl dan menyebar luas di dalam mesohyl. Oosit ini mempunyai lapisan luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan sel lainnya dalam lapisan mesohyl. Jadi pemisahan antara bagian yang reproduktif dan tidak reprodukitf dalam lapisan mesohyl terlihat jelas. Penyebaran oosit spons pada lapisan mesohyl terjadi sebelum oosit masuk ke dalam brood

143

chamber. Brood chamber ini kemungkinan merupakan bentuk adaptasi untuk melindungi oosit dari predator, kerusakan akibat turbulensi ataupun melindungi oosit dari dehidrasi (Fromont, 1994). Adanya kantong gamet yang berisi telur di dalamnya kemungkinan juga merupakan bentuk adaptasi dari spons jenis Aaptos aaptos ini untuk melindungi keberlangsungan hidupnya.

Tahapan perkembangan gamet betina pada spons Aaptos aaptos yang tidak difragmentasi maupun difragmentasi di alam dikelompokan menjadi empat tahap perkembangan, yaitu I-IV. Karakter dan tahap perkembangan gamet betina spons Aaptos aaptos yang diambil dari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu sedikit berbeda dengan yang diteliti oleh Haris (2005) di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Perbedaan yang paling jelas terlihat dari adanya kantong pembesaran gamet betina yang ditemukan pada lapisan mesohyl spons Aaptos aaptos. Kantong pembesaran gamet betina ini tidak ditemukan pada penelitian Haris (2005). Selain itu ukuran oosit untuk setiap tahapan perkembangan gamet betina juga agak berbeda untuk kedua lokasi diatas, yakni ukuran oosit spons yang diambil di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu lebih kecil dibanding di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan spons. Kondisi lingkungan P. Pari lebih buruk dibandingkan dengan P. Barrang Lompo karena beban yang diterima P. Pari dari daratan P. Jawa dan aktivitas ekonomi melalui lalu lintas laut di P. Pari dan jumlah penduduk yang lebih tinggi sehingga beban daya dukung di P. Pari lebih tinggi dibandingkan P.Barrang Lompo.

Pembuktian lain tentang tipe dan cara reproduksi spons Aaptos aaptos ditunjukan dari hasil pemijahan spons Aa yang diamati dua jam sebelum dan dua jam sesudah matahar i terbenam yaitu sekitar pukul 16.00-20.00 WIB sore sampai malam hari secara in situ. Hasil menunjukkan bahwa frekuensi pemijahan paling sering terjadi sesaat sebelum dan sesudah matahari terbenam yaitu pada pukul

144 17.00-18.00 WIB sore hari. Gamet yang dikeluarkan adalah telur yang telah dibuahi (zigot). Hasil pemijahan tersebut melayang di kolom air selama 5-10 detik, kemudian tersebar dan tidak terlihat lagi dalam kolom air karena terbawa oleh arus. Pemijahan ini dikeluarkan oleh beberapa oskulum spons dari koloni yang sama. Fenomena ini memperlihatkan bahwa fertilisasi spons jenis Aa ini terjadi secara internal yaitu telur yang akan dikeluarkan telah dibuahi oleh sperma menjadi zigot dan cara reproduksi seperti ini dinamakan ovipar.

Pemijahan spons dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal. Keberadaan faktor eksternal tersebut merupakan pemicu terjadinya pemijahan pada spons. Beberapa faktor eksternal tersebut adalah suhu air, kisaran pasang surut air laut, dan cahaya bulan. Ketiga faktor ini merupakan indikasi dari terjadinya fase bulan. Hoope dan Reichert (1987) menjelaskan juga bahwa pemijahan spons jenis Neofibularia nolitangere di daerah tropis berhubungan erat dengan fase bulan. Dengan demikian fase bulan dan pasang surut serta interaksinya dapat menjadi faktor eksternal penting dalam menentukan waktu pemijahan. Hasil penelitian terhadap spons Aa di P.Pari menunjukkan bahwa ketiga faktor eksternal tersebut berbanding lurus dengan frekuensi terjadinya pemijahan spons. Adanya pasang surut air laut pada setiap fase bulan mempengaruhi suhu air dan kisaran pasut dan keberadaan cahaya merupakan faktor pemicu yang mempercepat terjadinya pemijahan tersebut. Beberapa spons yang memiliki cara reproduksi vivipar melakukan pemijahan pada pagi hari disaat matahari terbit. Kondisi ini dibutuhkan spons untuk memberikan peluang hidup bagi larvanya karena keberadaan sinar matahari memicu aktivitas larva menjadi lebih tinggi sehingga dapat menemukan substrat yang sesuai bagi tempat tumbuhnya. Kondisi yang berbeda terjadi pada spons ovipar, yaitu pengeluaran telur atau embrio perlu dukungan kondisi perairan yang dingin dan tenang yang memungkinkannya untuk berkembang sebelum menetas atau melakukan fertilisasi untuk telur.

145 Fragmentasi spons yang dilakukan di kolam selama 7 bulan menunjukkan terjadinya perubahan fungsi reproduksi seksual spons Aa, yaitu terjadi kelambatan perkembangan alat reproduksi. Oosit yang didapatkan dari tiap fase bulan tidak mengalami perkembangan yaitu masih berada pada tahap I. Begitu pula dengan ukuran oositnya yang rata-rata lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran oosit pada spons yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi di alam. Perubahan kondisi lingkungan akibat pemindahan spons dari habitat alam ke kolam merupakan penyebab utama penurunan fungsi reproduksi ini. Adaptasi spons terhadap kondisi lingkungan baru di kolam memerlukan energi yang besar. Hal lainnya adalah karena spons selalu dilukai pada setiap pengambilan jaringan untuk histologis sehingga untuk menghasilkan dan mengembangkan oosit diperlukan energi yang besar dan energi ini tidak cukup tersedia apabila spons dalam keadaan terluka. Adanya pemotongan menyebabkan spons lebih mengutamakan untuk mempertahankan tubuhnya terlebih dahulu untuk tetap hidup dan memulihkan lukanya dibandingkan untuk meningkatkan fungsi reproduksinya, sehingga pada penelitian fragmentasi spons di kolam fungsi reproduksinya terganggu.

Selain alat reproduksinya, pertumbuhan spons di kolam juga lambat namun warna pinacoderm lebih coklat dibandingkan dengan spons yang difragmentasi di alam. Kelambatan pertumbuhan ini diduga disebabkan karena ketidakcukupan pakan alami yang dibutuhkan oleh spons di kolam. Pakan alami yang dibutuhkan yaitu plankton sangat rendah keanekaragaman dan kelimpahannya. Kondisi in i disebabkan karena sumber air yang digunakan di kolam berasal dari teluk Jakarta yang sudah sangat menurun kesehatannya sehingga tidak dapat mrndukung kehidupan plankton secara alami. Saat awal penempatan fragmen spons di kolam pernah dilakukan penambahan pakan buatan namun tidak efektif karena pemberian pakan ini justru memicu peningkatan kesuburan air sehingga makro alga tumbuh dan mengakibatkan tertutupnya spons

146 dari sinar matahari. Sehingga diperlukan uji coba pemeliharaan lebih lanjut dengan berbagai formula pakan hidup dan buatan.

Sedangkan warna spons yang lebih coklat di kolam jika dibandingkan dengan yang di alam disebabkan karena lebih banyaknya spons menerima cahaya matahari sehingga organisme simbionnya menjadi lebih aktif melakukan fotosintesis. Selain itu juga disebabkan karena lapisan pinacodermnya menjadi lebih tebal yang digunakan untuk melindungi spons dari penetrasi cahaya matahari yang berlebih. Dengan kedalaman kolam yang hanya mencapai 80 cm maka penetrasi cahaya matahari bisa mencapai dasar kolam secara maksimal dan menyebabkan suhu air naik dan sebaliknya pada saat kondisi udara dingin seperti pada malam hari maka suhu air di kolam juga turun. Perubahan suhu ini menyebabkan spons memerlukan mekanisme untuk melindungi dirinya dari kerusakan dan energi yang ada digunakan untuk alasan tersebut sehingga pertumbuhan menjadi lambat. Kondisi ini berbeda dengan di alam dimana spons yang diteliti berada pada kedalaman 6-7 meter sehingga penetrasi cahaya tidak terlalu tinggi dan perubahan suhu perairan tidak sedrastis di kolam.

Hal ini menunjukkan bahwa proses fragmentasi buatan yang dilakukan di alam tidak mengalami perubahan terhadap respon pertumbuhan yang terjadi dan faktor lingkungan yang baik pada stasiun penelitian dapat berpengaruh terhadap spons yang difragmentasi untuk kembali pada keadaan yang semula (pertumbuhan yang sama) dengan spons yang tidak difragmentasi.

Kondisi sebaliknya terjadi pada spons yang difragmentasikan pada kolam buatan yang memerlukan penanganan khusus untuk mempertahankan hidupnya pada kondisi lingkungan yang sangat berbeda dengan habitat aslinya. Proses adaptasi yang dilakukan pada hewan ini (Aa) belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal sehingga didapatkan hasil rata-rata laju pertumbuhan spesifik yang lebih rendah dari spons yang tidak difragmentasi (kontrol) dan yang difragmentasi

147 di alam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan faktor lingkungan pada saat proses adaptasi sehingga terjadi penurunan produktifitas lingkungan yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme dan pertumbuhan pada spons Aa di kolam. Selain itu faktor ukuran dari fragmen spons dikolam dapat berperan terhadap tingkat kematian dan respon pertumbuhannya.

Ukuran fragmen spons berhubungan dengan kapasitas energi yang tersimpan untuk beradaptasi pada lingkungannya yang baru tetapi hubungan tersebut tidak selalu linier karena berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan bahwa spons yang dipelihara di kolam dan memiliki ukuran besar (> 10 cm) mengalami tingkat kematian yang cepat dari pada spons yang memiliki ukuran yang kecil. Hal ini dimungkinkan oleh kebutuhan faktor lingkungan yang kurang mendukung seperti halnya pakan, oksigen, intensitas cahaya dan ruang tumbuh yang terbatas. Kemudian adanya proses metabolisme dan pertumbuhan yang lambat dimungkinkan oleh penurunan biomasa dari alga simbion (cyanobakteria) dalam sel atau jaringan spons. Penurunan biomasa algae simbion (cyanobakteria) tersebut ditandai oleh perubahan warna pada saat proses adaptasi. Menurut Wilkinson (1981) bahwa hasil simbiosis cyanobakteria melalui proses fotosintesis dalam sel dan jaringan spons akan ditranslokasikan sebagai sumber makanan untuk peningkatan biomasa dan laju metabolismenya.

Pengamatan preparat histologi terhadap oosit spons yang hidup pada habitat buatan/kolam percobaan hanya ditemukan menyebar pada lapisan mesohyl dengan ukuran yang kecil. Sedangkan pada oosit spons yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi di alam menunjukkan bahwa oosit ditemukan berada dalam kantong maupun menyebar di luar kantong pada lapisan mesohyl.

Tahap perkembangan gamet betina pada spons Aaptos aaptos di kolam hanya ditemukkan satu tahap perkembangan gamet. Pengamatan histologi spons pada sample di kolam hanya menunjukkan perkembangan gamet betina pada

148 TKG I. Tahap oosit ini telah memiliki butiran lemak dan inti oosit serta telah dilengkapi dengan dinding oosit. Tahap ini, oosit spons yang ditemukan ukurannya masih sangat kecil dan oosit masih mengumpulkan cadangan makanan.

Sebagian besar oosit spons Aaptos aaptos terdiri dari lapisan lemak. Butiran-butiran lemak ini merupakan salah satu bahan yang mengisi kuning oosit (yolk). Butiran lemak tersebut akan semakin memadat seiring dengan berkembangnya oosit. Sel somatik yang bertugas menyediakan sumber kuning oosit selama proses oogenesis disebut nurse cell atau trophocytes. Oosit Aaptos aaptos yang teramati dalam kantong memiliki dinding yang cukup tebal dan terpisah antara satu oosit dengan oosit lainnya, dimana pada masing-masing oosit terdapat inti dan anak inti.

Penelitian terhadap fragmen di alam baik yang tidak difragmentasi dan yang difragmentasi menunjukkan bahwa oosit terletak dalam kantong gamet dan adanya butiran lemak yang merupakan komponen terbesar pada oosit selain inti dan anak inti. Oosit tersebut juga memperlihatkan adanya lapisan yang cukup

Dokumen terkait