• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Ternak

5 PEMBAHASAN UMUM

Senyawa aflatoksin diketahui dapat menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, teratogenik dan imunosupresif, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik klas I. Aflatoksin merupakan mikotoksin hasil metabolit sekunder dari jamur Aspergillus flavus dan A.parasiticus. Pakan ayam broiler yang tercemar

oleh aflatoksin dapat menyebabkan pengaruh negatif seperti penurunan pertambahan berat badan, berkurangnya efisiensi pakan, penurunan nilai packed cell volume, penurunan kekebalan tubuh (imunosupresif), gangguan hati, bahkan kematian ayam.

Untuk mencegah pengaruh negatif aflatoksin pada ayam broiler, maka perlu pengendalian aflatoksin dalam pakan. Penggunaan bahan pengikat maupun penyerap aflatoksin pada pakan merupakan teknologi pakan untuk melindungi ayam broiler dari gangguan aflatoksin. Bahan pengikat yang digunakan untuk mengikat mikotoksin terdapat dua kelompok yakni berbahan non-organik (mineral) dan bahan organik. Bahan pengikat non organik yang sudah digunakan antara lain hydrated sodium calsium aluminosilikat, bentonit dan zeolit, sedangkan yang berbahan organik antara lain glukomannan yang berasal dari

Saccharomyces cerevisae. Dalam penelitian ini bahan organik glukomannan hasil

dari ekstraksi umbi Amorphophalus oncophylus (iles-iles) kita uji coba kemampuannya dalam mengikat aflatoksin.

Iles-iles (A. oncophylus) merupakan tanaman berbiji tertutup

(Angiospermae) dalam famili Araceae dan kelas monocotiledoneae. Di Indonesia iles-iles mempunyai nama daerah yang berbeda seperti kerubut (Sumatera), acung (Sunda), badur, iles-iles dan porang (Jawa), subeg leres, subeg bali (Madura). Hasil tanaman adalah umbi yang terdapat dalam tanah, mengandung glukomannan. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap penelitian yakni ekstraksi glukomannan dari umbi iles-iles, uji fisik dan kimia dari glukomannan hasil ekstraksi iles-iles, uji in vitro dan uji in vivo pada ayam broiler.

Senyawa glukomannan merupakan heteropolisakarida non pati yang memiliki kemampuan mengikat aflatoksin dan mikotoksin lainnya. Glukomannan tersusun dari D-Manosa dan D-glukosa dengan ikatan 1,4-glikosida dan 1,6- glikosida dengan jumlah percabangan 8% (Zhang et al. 2001). Berat molekul

glukomannan ekstraksi dari Amorphophallus sp. adalah 2 508 x105 g/mol dengan laser light scattering (LLS) metode tunggal (Xu et al. 2013). Dengan

menggunakan transmission electron microscope (TEM), gambaran bentuk molekul glukomannan adalah lurus panjang, sedikit percabangan dan ikatannya bersifat semi-flexibel dalam pelarut aquades (Li 2006).

Ekstraksi umbi iles-iles menggunakan aquadest yang dipanaskan kemudian ditambah ethanol untuk memisahkan glukomannan dari lemak, gula sederhana dan pati, hasil rendemen yang dihasilkan dalam penelitian ini 74.1% dari tepung iles- iles. Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles memiliki kesamaan dengan glukomannan yeast product yakni tidak tengik, textur, kandungan energi bruto dan serat kasar. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata secara signifikan (p<0.05) dengan glukomannan yeast product, menunjukan komposisi bagian polisakarida yang sama.

Hasil uji proksimat menunjukan bahwa kadar air, kadar abu, protein kasar dan lemak kasar GYP dan EI berbeda nyata, tetapi kandungan serat kasar tidak berbeda nyata (p<0.05). Kandungan kadar air, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan karbohidrat pada glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih tinggi dibandingkan glukomannan yeast product tetapi kadar abu, protein, glukosa dan manosa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles lebih rendah dibandingkan dengan glukomannan yeast product. Kandungan serat kasar yang tidak berbeda nyata menunjukan kandungan polisacharida yang sama, glukomannan yang merupakan zat aktif dalam pengikatan aflatoksin merupakan fraksi dari polisakarida non pati. Terdapatnya polisakarida glukomannan pada GYP dan EI dibuktikan dengan uji kimia dan uji FTIR. Secara pengujian kimia di dalam GYP dan EI secara berturut turut memiliki perbandingan manosa dan glukosa 1 : 1.2 dan 1 : 1.8. Secara spektral ditemukan penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1, 1300–1000 Cm-1 dan 3400-2400 Cm-1. Penyerapan bilangan gelombang 1000 – 700 Cm-1 menunjukan vibrasi tekuk C-H menunjukan ikatan glukosidic dan mannosidic dari glukomannan, 1300 – 1000 Cm-1 menunjukan gugus C-O bentuk regang dari group ring piranosa yang dimiliki oleh glukomannan dan bilangan gelombang antara 3500-3300 Cm-1 menunjukan gugus fungsi OH yakni gugus fungsi yang ditemukan pada glukomannan yang mampu membentuk ikatan Hidrogen. Glukomannan merupakan polisakarida dari glukosa dan mannosa yang dihubungkan dengan ikatan -1, 4 glucosidik and -1,4 mannosidik, dimana terjadinya vibrasi tekuk pada C-H. Gugus OH dari glukomannan terdapat baik pada glukosa maupun mannosa (Tien 2009; Goran dan Milorad 2011).

Berdasarkan spektrum Near Infra Red (NIR) bahwa spektrum GYP dengan EI lebih serupa dibanding GYP dengan karbon aktif. sehingga sebagai bahan pengikat aflatoksin GYP dan EI merupakan satu kelompok yang berasal dari bahan organik. Spektrum NIR pada GYP dan EI terjadi penyerapan pada beberapa bilangan gelombang, sedangkan pada karbon aktif terjadi penyerapan terus menerus dari bilangan gelombang 4500 sampai 9500. Penyerapan bilangan gelombang pada NIR menunjukan GYP dan EI tersusun oleh beberapa molekul, hal ini bersesuaian dengan pengujian kimiawi bahwa GYP dan EI tersusun oleh lemak, protein, karbohidrat dan senyawa lainnya. Karbon aktif yang menyerap terus menerus dari bilangan gelombang, menunjukan sifat bahwa karbon aktif terdiri dari susunan pori-pori, sehingga gelombang elektromagnetik terus menerusterserap. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh karbon aktif menggunakan mekanisme penyerapan (absorbsi) pada pori-pori karbon aktif, bukan dengan cara pengikatan.

Hasil pengujian dengan FTIR, gugus fungsi yang dimiliki oleh GYP memiliki kesamaan gugus fungsi. Terdapat 6 gugus fungsi yang sama yakni O ̶ H, C ̶ H2, C ̶ H, C ̶ H3, C ̶ O ̶ C dan ≡C ̶ H, tetapi ada gugus fungsi yang hanya dimiliki GYP yakni C=O, dan hanya dimiliki EI yakni gugus fungsi N ̶ H (bengkok). Pengujian kimia menunjukan bahwa GYP dan EI mengandung protein, gugus N ̶ H (regang) pada protein memiliki serapan bilangan gelombang yang bersesuaian dengan O ̶ H, sehingga ketika terjadi penyerapan O ̶ H maka gugus N ̶ H (regang) tidak nampak. Jenis gugus fungsi yang sama antara GYP dan EI memberikan peluang EI mampu mengikat aflatoksin seperti GYP yang sudah dilaporkan memiliki kemampuan mengikat aflatoksin maupun T-2 baik dalam

bentuk tunggal ataupun kombinasi ke dua toksin tersebut (Girish dan Devegowda 2006).

Antara GYP dan EI memiliki kesamaan mempunyai gugus fungsi OH (hidroksil), gugus fungsi ini penting karena gugus fungsi OH merupakan bagian yang mudah bereaksi dengan senyawa lain. Gugus OH mudah bereaksi dengan gugus C=O pada aflatoksin membentuk ikatan hidrogen, sehingga aflatoksin dapat diikat oleh glukomannan membentuk senyawa kompleks glukomannan-aflatoksin yang tidak terserap ke dalam tubuh ternak. Terbentuknya ikatan Hidrogen ditunjukan dengan penurunan bilangan gelombang OH setelah berikatan dengan aflatoksin.

Interaksi GYP and EI dengan aflatoksin menghasilkan perubahan kimia, dengan indikasi perubahan gugus fungsi sebelum dan sesudah diinteraksikan dengan aflatoksin. Pengujian spektroskopi FTIR pada glukomannan yeast product dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebelum dan sesudah direaksikan dengan aflatoksin menunjukan perubahan gugus fungsi. Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles setelah bereaksi dengan aflatoksin timbul gugus fungsi C≡C dan C=O, sedangkan gugus N ̶ H menghilang sedangkan Glukomannan yeast product setelah bereaksi dengan aflatoksin berkurang bilangan gelombang untuk gugus

≡C ̶H. Perubahan gugus fungsi setelah bereaksi dengan aflatoksin menunjukan adanya perubahan kimiawi dan terbentuknya senyawa baru. Pengujian spektroskopi ini memberikan bukti bahwa antara glukomannan yeast product dan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu berikatan dengan aflatoksin dengan ikatan hidrogen.

Hasil uji in vitro dan in vivo menunjukan bahwa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin. Pengujian in vitro menunjukan bahwa semakin berat bahan pengikat baik glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles semakin besar pula nilai persentase daya ikat aflatoksin. Persentase daya ikat aflatoksin dari glukomannan hasil ekstraksi iles- iles adalah 4.08; 28.72; 36.73 dan 89.07%. pada berat bahan pengikat adalah 41.05; 82.1; 123.15 dan 164.2 mg dan berat aflatoksin 0.1642 µg. Hubungan antara berat GYP dan EI memiliki korelasi positip yang signifikan (p<0.05) dengan nilai koefisien korelasi untuk GYP adalah 0.9602 dan EI adalah 0.9338. Persamaan regresi dari GYP adalah Yp = -6.92+12.03x, sedangkan untuk persamaan regresi EI adalah Ye = -31.53+21.07x. Penelitian fisika maupun kimia yang sudah dilaksanakan sebelumnya mendukung uji invitro yang menyatakan bahwa glukomannan yeast product maupun glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu mengikat aflatoksin. GYP dan EI memiliki gugus fungsi OH yang bersifat negatif akan tarik menarik dengan gugus C=O yang bermuatan positip dari molekul aflatoksin. Walaupun ikatan hidrogen tidak sekuat dengan ikatan kovalen, tetapi dalam sistem biologi, ikatan ini akan memberikan efek metabolisme yang besar.

Uji in vivo memberikan hasil bahwa Aflatoksin menyebabkan penurunan konsumsi pakan, efisiensi pakan, anemia ditunjukan dengan penurunan nilai packed cell volume, perubahan warna hati menjadi coklat gelap, coklat kuning belang putih dan secara mikroskopik di dalam hati ditemukan pendarahan dan infitrasi lemak. Perubahan warna coklat gelap, coklat kekuningan dan belang kuning keputihan karena terjadi pendarahan, degenerasi dan nekrosis pada hati.

Metabolisme aflatoksin menghasilkan O2°(superoksid), H2O2 (peroksida) dan OH° (radikal hidroksil) yang merupakan racun pada sel hati. Hati membentuk enzim katalase dan superokside dismutase untuk mengendalikan racun tersebut tetapi jika induksi aflatoksin itu terus menerus akan menyebabkan enzim superokside dismutase tidak mampu menetralisir O2°(superoksid), H2O2 (peroksida)dan OH° (radikal hidroksil) sehingga akan menimbulkan stress oksidatif, sebagai tandanya adalah peningkatan peroksidasi lipid, sehingga terjadi perlemakan hati yang menyebakan warna kekuningan dan pertambahan berat organ hati. Hati yang berwarna coklat gelap disebabkan oleh terjadinya pendarahan karena aflatoksin menyebabkan kegagalan pembekuan darah (coagulopathy), kondisi ini sesuai dengan pengujian hematologi bahwa ayam yang diberi cemaran aflatoksin pada pakan dengan kadar 2 mg/kg mengalami penurunan jumlah packed cell volume.

Glukomannan hasil ekstraksi iles-iles mampu melindungi hati dari kerusakan hati karena tidak terbentuk coklat kekuningan, coklat gelap dan belang kuning putih dalam organ hati. Pemberian EI dengan dosis 2 g/kg pakan lebih melindungi ayam broiler dari serangan aflatoksin dengan kadar 2 mg/kg, dibandingkan dengan pemberian EI dosis 1 g/kg. Hal ini dapat dilihat pada berkurangnya warna belang kuning keputihan pada hati yang diberi EI dengan dosis 2 g/kg pakan. Gambaran makroskopik dari hati tersebut sesuai dengan pengamatan mikroskopik, yakni pada organ hati yang hanya diberi aflatoksin 2mg/kg saja memberikan gambaran pendarahan dan perlemakan hati yang besar tetapi kondisi pendarahan dan perlemakan berkurang pada kelompok ayam yang diberi pakan aflatoksin 2 mg/kg pakan dan EI 2g/kg dan tingkat pendarahan hati lebih sedikit pada pemberian EI 2g/kg daripada EI 1 g/kg.

Aflatoksin 2 mg/kg menyebabkan pertambahan berat organ hati, sedangkan organ ginjal, limpa dan jantung tidak mengalami pertambahan berat organ. Hati merupakan tempat detoksifikasi dari aflatoksin, sehingga semakin banyak aflatoksin ke hati akan menambah berat kerja hati dan terjadilah pertambahan sel hati yang akan menyebabkan pembengkakan organ. Ginjal tidak membengkak karena aflatoksin dibuang melewati ginjal dalam bentuk asam merkapturi. Organ Jantung dan limpa tidak berkait langsung dengan detoksifikasi aflatoksin karena aflatoksin bukan dikenali sebagai antigen oleh tubuh ternak dan tidak terjadi pembentukan antibodi terhadap terhadap aflatoksin yang harus melibatkan sistem kekebalan yakni limpa, bursa fabrisius dan thymus.

Pemberian EI dosis 1 g/kg pakan mampu melindungi ayam broiler dari pengaruh aflatoksin 2 mg/kg dengan indikator meningkatkan berat ayam hidup, jumlah konsumsi pakan, nilai packed cell volume, mengurangi perubahan bentuk dan warna hati normal dan menurunkan pembengkakan hati. Secara mikroskopis pemberian ekstrak iles-iles mampu menurunkan pendarahan dan perlemakan di hati. Walaupun pemberian EI dengan dosis 1 g/kg dan dosis 2 g/kg pakan belum mampu melindungi ayam broiler dari cemaran aflatoksin 2 mg/kg dengan indikator masih rendahnya titer antibodi terhadap ND yang belum sama dengan titer antibodi terhadap ND pada kontrol. Supaya ayam broiler betul-betul dapat terlindungi dari cemaran aflatoksin sampai tingkat cemaran aflatoksin 2 mg/kg, maka EI yang diberikan perlu dikombinasi dengan bahan antioksidan.

Kemampuan EI dalam dosis yang sama yakni 1 g/kg memiliki kemampuan yang sama dengan GYP dalam dosis 1 g/kg, baik dalam parameter berat ayam

hidup, konsumsi pakan, FCR, PCV dan titer antibodi terhadap penyakit New Castle Disease. Oleh karena itu penggunaan ekstrak iles-iles dapat digunakan untuk menggantikan bahan pengikat GYP, walaupun untuk meningkatkan perlindungan terhadap ayam dari cemaran aflatoksin harus ditingkatkan dosisnya.

Secara keseluruhan penelitian baik pengujian fisika-kimia, uji in vitro dan uji in vivo memberikan bukti ilmiah bahwa glukomannan hasil ekstraksi iles-iles

mampu mengikat aflatoksin dan mengurangi pengaruh negatif aflatoksin. Ketiga tahap pengujian saling mendukung akan kemampuan glukomannan hasil ekstraksi iles-iles sebagai bahan pengikat aflatoksin. Dosis Ekstrak Iles-iles 1 g/kg pakan mampu melindungi ayam dari pengaruh negatif cemaran aflatoksin 50 μg/kg dan 2 mg/kg yakni penurunan berat akhir ayam hidup, penurunan jumlah konsumsi pakan, efisiensi pakan, anemia, peningkatan berat organ hati, perubahan makroskopis hati, perubahan mikroskopis hati dan penurunan titer antibodi ND pada cemaran aflatoksin 50 μg/kg, tetapi belum mampu meningkatkan titer antibodi terhadap ND pada cemaran aflatoksin konsentrasi 2 mg/kg.

.

Dokumen terkait