• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN UMUM

Dari hasil penelitian ayam petelur dapat dijelaskan bahwa ransum kontrol (R0) pada ayam petelur ( mengandung 49.8 mg Zn/ kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 76) tidak menyebabkan defisiensi parah, karena tidak mengganggu performan ayam petelur. Ransum kontrol (P0) tersebut menyebabkan status Zn suboptimal pada ayam petelur yang ditandai antara lain dengan lebih rendahnya aktivitas alkalin fosfatase dalam serum, kandungan vitamin A dalam telur dan kandungan mineral Zn dalam tulang tibia dibandingkan dengan perlakuan suplementasi Zn dan enzim fitase. Perubahan rasio molar asam fitat : Zn dalam ransum dari 76 (ransum kontrol) menjadi 15 dan 7.5 direspon dengan meningkatnya berat telur (gram/butir), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata serta meningkatnya aktivitas enzim alkalin fosfatase dalam serum sebesar 20.67% pada rasio molar asam fitat : Zn = 15 dan 43.74% pada rasio molar asam fitat : Zn = 7.5, meningkatnya kandungan vitamin A dalam telur dan bertambahnya deposit mineral Zn dalam kerabang telur dan tulang tibia. Hasil ini menunjukkan bahwa tanpa suplementasi Zn dan enzim fitase dalam ransum, ketersediaan Zn rendah.

Suplementasi enzim fitase sebanyak 400 U/kg ransum memberikan pengaruh positif pada ayam petelur. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya produksi telur hen day, produksi massa telur, berat telur, menurunnya konversi ransum, meningkatnya kandungan vitamin A dalam telur, meningkatnya aktivitas alkalin fosfatase dalam serum serta dapat menurunkan ekskresi mineral P. Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase dapat me mecah ikatan antara asam fitat dengan Zn, sehingga mineral Zn menjadi lebih tersedia untuk ayam petelur. Ketersediaan mineral P juga meningkat dengan adanya enzim fitase dan hal ini menunjukkan bahwa terdapat proses hidrolisa fitat oleh enzim fitase, sehingga mineral P menjadi bebas dan tersedia untuk ayam petelur.

Ransum tikus kontrol (mengandung 28.59 mg Zn/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 27) pada penelitian ini tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan pada tikus, tetapi adanya suplementasi ZnO dengan rasio molar asam fitat : Zn = 20, 15 dan 10 dapat meningkatkan retensi mineral Zn,

kandungan Zn dan aktivitas alkalin fosfatase dalam serum, meningkatnya berat organ reproduksi ( testis dan ovarium), bertambahnya ukuran organ yang memproduksi kekebalan tubuh (thimus) serta ukuran pankreas( tempat berbagai enzim dan hormon insulin diproduksi). Ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn 10 meningkatkan status mineral Zn paling baik pada tikus. Hasil ini sesuai dengan Oberleas (2002) serta Gha rib dan Mohajer (2005) bahwa rasio molar asam fitat : Zn = 10 cukup untuk memelihara homeostasis Zn. Menurut King et al. (2000), tikus akan mengalami defisiensi Zn yang parah dan mekanisme homeostasis Zn akan terganggu jika ransum mengandung < 10 mg Zn/kg ransum.

Hasil penelitian pada tikus ini menunjukkan bahwa ransum dengan rasio molar asam : fitat = 27 menyebabkan status mineral Zn suboptimal pada tikus. Menurut FAO dan WHO (2002), makanan dengan rasio molar asam : fitat >15 dan terdiri dari serealia termasuk kategori makanan yang mempunyai ketersediaan Zn rendah (<15%). FAO dan WHO (2002) menggolongkan makanan berdasarkan ketersediaan Zn menjadi 3 kategori seperti yang dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29. Kriteria penggolongan makanan berdasarkan ketersediaan Zn _________________________________________________________________

Kategori Karakteristik Makanan

_________________________________________________________________ I. Ketersediaan tinggi Makanan halus, rendah serat kasar dari serealia,

(50%) rendah asam fitat, rasio molar asam fitat : Zn <5, protein cukup dan berasal dari non-nabati protein seperti daging atau ikan

II. Ketersediaan sedang Makanan campuran yang mengandung protein (30%) hewani atau ikan, lacto-ovo, ovovegetarian, rasio

molar asam fitat : Zn = 5 – 15

III. Ketersediaan rendah Makanan yang terdiri atas makanan tidak

(15%) dihaluskan, tidak difermentasi, tidak digerminasi, difortifikasi dengan garam kalsium, tidak

mengandung protein hewani, rasio molar asam fitat

: Zn >15

_________________________________________________________________ Sumber : FAO dan WHO (2002)

FAO dan WHO (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam respon kekebalan terjadi sebelum penurunan Zn dalam plasma. Selanjutnya dijelaskan bahwa status Zn yang rendah pada anak-anak, bukan hanya mempengaruhi pertumbuhan, tetapi juga berhubungan dengan meningkatnya resiko penyakit infeksi yang parah. Suplementasi Zn dapat mengurangi kejadian diare, infeksi saluran pernapasan dan malaria.

Hotz dan Brown (2004) menyatakan bahwa Indonesia termasuk kategori resiko tinggi terhadap defisiensi mineral Zn, yaitu sekitar 34.4% penduduk Indonesia mengkonsumsi Zn yang kurang/tidak cukup. Konsumsi Zn rata-rata penduduk Indonesia adalah 10 mg/ orang/ hari, fitat 2859 mg/orang/hari, rasio molar asam fitat : Zn = 28.4 dan Zn yang dapat diserap adalah sekitar 2.1 mg/orang/hari (20.9%). Menurut Groff dan Gropper (2000), dengan asumsi efisiensi penyerapan Zn sebesar 20%, maka kebutuhan Zn untuk seorang laki- laki dewasa adalah 15 mg/hari, untuk wanita dewasa yang tidak hamil atau tidak menyusui adalah 12 mg/hari, untuk wanita hamil adalah 15 mg/hari dan untuk wanita yang sedang menyusui adalah 19 mg/hari.

Suplementasi enzim fitase sebanyak 1000 U/kg ransum meningkatkan ketersediaan mineral Zn pada tikus yang ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan, efisiensi penggunaan ransum, retensi mineral, perkembangan organ reproduksi (testis dan ovarium), perkembangan thimus, pankreas serta hati. Hasil ini menunjukkan bahwa enzim fitase sebanyak 1000 U/kg efektif untuk mengatasi efek negatif asam fitat yang terkandung dalam ransum tikus. FAO dan WHO (2002) menyatakan bahwa kandungan asam fitat dapat dikurangi melalui aktivasi fitase yang terkandung dalam sebagian besar makanan yang mengandung asam fitat atau melalui penambahan fitase mikroba. Fitase menghidrolisa fitat menjadi inositol fosfat sederhana dan menyebabkan perbaikan absorpsi Zn.

Ketersediaan mineral dalam tubuh tidak terlepas dari interaksi antar mineral- mineral. Mineral- mineral yang mempunyai kemiripan secara fisik dan kimia, secara biologis akan berinteraksi antagonis terhadap mineral lainnya. Solomons (1988) menyatakan bahwa tempat mineral- mineral berinteraksi yang penting secara fisiologis adalah :

b. Dalam saluran pencernaan ; terjadi kompetisi untuk tempat masuk (uptake)

c. Pada tingkat jaringan, tempat-tempat penyimpanan d. Dalam transpor diantara organisme

e. Pada saluran pengeluaran (ekskresi)

Interaksi antar mineral terutama terjadi dalam saluran pencernaan. Mineral- mineral yang mirip secara kimia akan berbagi saluran (channels) untuk absoprsi. Masuknya 2(dua) buah atau lebih mineral secara bersamaan akan menyebabkan kompetisi dalam penyerapan. Sebagai contoh adalah interaksi antagonis antara mineral Zn – Fe pada manusia (Solomons, 1988), antara Zn-Cu dan Zn-Mn (Groff dan Gropper, 2000).

Solomons (1988) juga menyatakan jika simpanan mineral dalam tubuh berlebih, usus halus akan beradaptasi dengan cara mencega h (block) absorpsi mineral tersebut dari makanan. Keadaan tersebut juga akan menghambat absorpsi mineral- mineral lain yang mirip secara kimia, sebagai contoh adalah terhambatnya absorpsi Cu oleh Zn yang berlebih.

Hasil penelitian pada tikus membuktikan bahwa kandungan mineral Zn maksimum dalam serum dicapai oleh perlakuan R1 (suplementasi ZnO 13 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 20). Suplementasi ZnO yang lebih tinggi dari perlakuan tersebut tidak meningkatkan kandungan mineral Zn dalam serum tikus. Dalam hal ini terdapat mekanisme pencegahan (block mechanism) dari tubuh tikus. Dengan makin tingginya mineral Zn dalam ransum tikus, yaitu pada perlakuan R2 (suplementasi ZnO 29 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat: Zn = 15) dan R3 (sup lementasi ZnO 61 mg/kg ransum dengan rasio molar asam fitat : Zn = 10), retensi semu mineral kalsium dan fosfor dihambat (menurun). Hasil ini membuktikan bahwa tingginya Zn dalam ransum menghambat absorpsi mineral kalsium dan fosfor.

Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa di dalam usus halus mineral- mineral terikat dengan zat pengikat (ligand chelate) yang dapat membantu proses absorpsi atau zat pengikat yang menghambat absorpsi. Zat-zat pengikat yang membantu proses absorpsi diantaranya adalah protein dan asam-asam amino,

sedangkan zat pengikat penghambat absorpsi mineral diantaranya adalah oksalat, fitat dan tanin.

Persaingan antar mineral- mineral dalam menggunakan alat transpor juga terjadi di dalam darah. Mineral Zn bersaing dalam menggunakan histidin dan sistein dengan mineral kuprum (Cu). Mineral Zn bersaing dalam menggunakan albumin dengan mineral Cu dan kalsium (Ca). Mineral Zn bersaing dalam menggunakan transferin dengan zat besi (Fe) dan mangan (Mn). Mineral Zn bersaing dalam menggunakan ? – 2- makroglobulin dengan mineral Mn. Mineral Zn dengan mineral fosfor kemungkinan menggunakan alat transpor yang sama dalam darah, yaitu protein (Groff dan Gropper, 2000).

Fenomena interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral- mineral Cu, Mn, Fe, Ca dan P dalam menggunakan alat transpor yang sama dalam darah diperlihatkan oleh hasil penelitian pada ayam petelur, yaitu kandungan mineral- mineral tersebut dalam telur, kerabang dan daging ayam. Dengan adanya suplementasi Zn yang tinggi pada perlakuan P1 (suplementasi ZnO 252 mg/kg ransum, rasio molar asam fitat : Zn = 15) dan pada perlakuan P2 (suplementasi ZnO 567 mg/kg ransum, rasio molar asam fitat : Zn = 7,5) dapat menekan deposit mineral Mn, Fe, Cu, P dan Ca ke dalam telur dan daging ayam. Hal ini membuktikan bahwa mineral- mineral tersebut kalah bersaing oleh mineral Zn dalam mendapatkan alat transpor di dalam darah.

Secara garis besar, gambaran mekanisme transpor mineral Zn dengan adanya suplementasi enzim fitase dan mineral Zn serta interaksi antagonis antara mineral Zn dengan mineral Cu, Mn dan Ca pada penelitian ini disajikan pada Gambar 15 (untuk mineral Zn), Gambar 16 (untuk mineral Cu), Gambar 17 (untuk mineral Mn), Gambar 18 (untuk mineral Ca) dan Gambar 19 (untuk mineral P).

Perlakuan pada penelitian ini tidak ditujukan pada hewan- hewan coba yang defisien Zn, baik pada ayam maupun tikus. Oleh karena itu, hewan-hewan coba tidak dibuat defisien mineral Zn. Ransum kontrol pada penelitian ini menggunakan ransum yang biasa digunakan pada peternak dan fokus penelitian ini adalah melihat rasio molar asam fitat : Zn yang ada pada ransum tersebut sebagai landasan untuk melakukan suplementasi Zn.

Zn2+ Zn2+ Zn2+

Z n

2+

Penggunaan fungsional

SEL

( retensi Zn = 34.92%)

Protein DARAH

Zn

2+

asam amino

ENTEROCYTE

Zn

2+

Zn

2+

Zn

2+

Zn

2+

ATP ADP

USUS HALUS

HCl/protease

Zn pakan Zn

2+

Zat pengikat: Zn

2+

- fitat

Ekskresi

fitat

(65.08%, P2)

Dokumen terkait