• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejadian AI pada DOC selama ini belum pernah diteliti oleh karena itu dilakukan penelitian tentang kajian epidemiologi virus AI pada distribusi DOC. Sebanyak 240 ekor sampel DOC yang diambil di Bandar Udara Soekarno Hatta, sampel berasal dari perusahaan pembibitan yang berada di Propinsi Jawa Barat dan Banten yang akan didistribusikan ke daerah-daerah di luar Jawa selama Bulan April, Juni, Juli, September 2008. Bulan-bulan tersebut diasumsikan mewakili perbedaan musim yang terjadi. Pada Bulan April diasumsikan sebagai akhir musim penghujan, Bulan Juni dan Juli diasumsikan sebagai musim kemarau dan Bulan Agustus diasumsikan sebagai awal musim penghujan.

Hasil sampling diperoleh sampel DOC pedaging sebanyak 156 ekor (65%) dan DOC petelur sebanyak 84 ekor (35%). DOC tersebut berasal dari Kabupaten yaitu Subang (42.5%), Cianjur (22.5%), Tangerang (22.5%), Bogor (7.5%), dan Sukabumi (5%). DOC tersebut kemudian diambil darahnya untuk uji serologis dan dinekropsi untuk mendeteksi keberadaan virus AI di organ (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal) serta kuning telur yang berada di tubuh DOC dengan menggunakan metode pewarnaan imunohistokimia (IHK) dan RT-PCR.

Hasil pemeriksaan serologis dari 240 sampel darah DOC menunjukkan titer antibodi terhadap virus AI H5N1 yang bervariasi antara titer 0 sampai 10 (log 2) dengan uji HI. Titer antibodi 2P

3

P

(3log 2) merupakan titer antibodi protektif banyak terdapat pada DOC yaitu sejumlah 40 ekor, sedangkan dibawah titer protektif sebanyak 94 ekor. Kumar et al. (2007) mengatakan bahwa ayam dengan titer antibodi lebih rendah dari 10 atau 3 log2 maupun negatif tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI, tetapi dapat mencegah shedding virus, sedangkan titer yang lebih tinggi dari 40 akan menyebabkan kematian dan shedding virus.

Hasil pemeriksaan IHK untuk mendeteksi keberadaan virus pada organ diketahui bahwa sebanyak 158 sampel (65.8%) menunjukkan hasil positif ditemukannya antigen pada organ. Pada 104 sampel dari 158 sampel positif (65.8%) keberadaan antigen hanya ditemukan pada organ trakea, paru-paru dan usus, sedangkan pada 54 sampel positif lainnya (34.2%) keberadaan antigen ditemukan pada semua organ yang diperiksa (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal). Antigen virus AI jarang ditemukan pada hati dan ginjal kemungkinan

karena infeksi virus AI masih pada tahap awal sehingga belum menyebar ke organ viseral lainnya. Virus influenza lebih menyukai bereplikasi pada saluran pencernaan dan menyebabkan tingginya titer virus pada feses (Horimoto & Kawaoka 2001).

Banyaknya antigen yang terdeteksi pada organ paru-paru dan trakea karena virus AI memiliki kecenderungan berkembang biak pada sel epitel bersilia di saluran pernafasan. Organ saluran pernafasan merupakan sasaran utama virus AI, sel-sel epitel saluran pernafasan rentan terhadap infeksi virus. Mo et al. (1997) berpendapat bahwa diduga kuat virus HPAI menyerang saluran pernafasan untuk kemudian bereplikasi di sini dan menyebar ke semua organ viseral. Derajad kerusakan akibat penyakit AI tergantung pada banyak faktor antara lain virulensi dari virus, status kekebalan dan diet dari hospes adanya infeksi bakterial dan stress yang dibebankan pada hospes. Virulensi virus AI juga sangat dipengaruhi oleh peranan HA di mana memperantai ikatan virus dengan sel reseptor dan mendorong pembebasan ribonukleoprotein virus melalui fusi membran. HA virus AI yang tidak virulen biasanya hanya memecah dalam sejumlah sel tertentu, sehingga hanya menyebabkan infeksi lokal di dalam saluran pernafasan atau intestinal atau keduanya mengakibatkan infeksi yang ringan atau tanpa gejala sama sekali. HA virus AI yang virulen mampu memecah pada berbagi sel yang berbeda dari hospes, sehingga menyebabkan infeksi sistemik yang mematikan pada unggas (Easterday et al. 1997).

Jika dibandingkan antara hasil uji serologis dengan hasil pemeriksaan IHK diketahui bahwa keberadaan virus AI pada tubuh DOC tidak dipengaruhi oleh titer antibodi induk (Tabel 10). Pada tabel tersebut terlihat bahwa jumlah positif antigen dengan uji IHK banyak terdapat pada titer antibodi protektif (2 log3) maupun titer negatif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumar et al (2007) bahwa ayam dengan titer antibodi lebih rendah dari 10 atau 3 log2 maupun titer negatif tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI, tetapi dapat mencegah shedding virus.

Tabel 10. Perbandingan titer antibodi DOC dengan hasil positif IHK

Titer HI (log2) Jumlah positif IHK Jumlah sampel

0 23 28 1 19 28 2 25 38 3 28 40 4 18 28 5 21 34 6 17 24 7 6 15 8 0 2 9 1 2 10 0 1

Konfirmasi uji dan identifikasi menggunakan RT-PCR dengan primer matrik (FAI; RAI) serta primer H5 (FH5; RH5) (Lee et al. 2004) pada 40 kumpulan sampel organ trakea dan paru-paru hanya 3 kumpulan sampel yang positif Influenza A, sedangkan identifikasi pada 80 sampel kuning telur DOC menunjukkan 44 sampel (55%) kuning telur positif Influenza A dan dari sampel positif Influenza A tersebut 19 sampel (43.2%) menunjukkan positif virus AI subtipe H5 dan 25 sampel (56.8%) positif AI subtipe lainnya (Hx).

Sedikitnya jumlah sampel positif pada pemeriksaan sampel organ tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengambilan sampel yang dilakukan secara

pooling (6 ekor dalam satu tabung) sehingga jumlah DNA virus yang ada kurang

dari 0,01-0,1 µg sehingga tidak dapat diamplifikasi menggunakan RT-PCR. Menurut Wuryastuti (1996) keberhasilan PCR ditentukan oleh komposisi dan konsentrasi primer, Taq DNA polimerase, deoksinukleotida trifosfat (dNTP) serta ion MgP

2+

P

. Selain itu kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu dengan didapatkannya produk amplifikasi yang tidak diinginkan atau bahkan tidak spesifik. Konsentrasi DNA sebesar 0,01-0,1 µg setiap µl larutan template sudah cukup baik untuk PCR namun yang paling penting adalah DNA harus bebas dari pengotor seperti protein atau bahan-bahan yang tersisa saat purifikasi seperti fenol atau alkohol.

Adanya sampel yang positif primer matrik tetapi negatif H5 pada pemeriksaan sampel kuning telur menunjukkan bahwa kemungkinan DOC

terinfeksi virus Influenza A subtipe yang lain. Influenza A yang virulen dan menunjukkan gejala klinis pada ayam dan kalkun hanya subtipe H5 dan H7 (OIE 2005). Perbedaan hasil positif ini mungkin karena perbedaan sequence primer dan kemungkinan adanya perbedaan susunan genetik virus. Penggunaan primer harus tepat sesuai dengan perkembangan dan dinamika virus AI di Indonesia.

Pengujian Kappa untuk membandingkan hasil pengujian IHK dan RT-PCR (Lampiran 5) diperoleh hasil yang cukup baik, berarti kedua pengujian tersebut memberikan hasil yang valid. Hasil positif pada kuning telur dengan primer matrik (FAI dan RAI) serta primer H5 (FH5 dan RH5) menunjukkan adanya fenomena bahwa kemungkinan virus AI dapat ditularkan secara vertikal. Bukti awal lapangan dan analisis laboratorium mengindikasikan bahwa virus dapat ditemukan di dalam kuning dan putih telur yang dihasilkan pada kelompok ayam dalam situasi puncak infeksi AI. Handayani (2009) meneliti bahwa virus AI dapat terdeteksi pada ovarium itik dengan menggunakan metode pewarnaan imunohistokimia sehingga besar kemungkinan adanya virus pada telur yang dihasilkan.

Hasil pemeriksaan laboratorium dan hasil kuesioner pada penelitian ini kemudian dianalisis secara epidemiologi. Hasil prevalensi AI tertinggi pada distribusi DOC adalah di Kabupaten Bogor sebesar 91.7%, diikuti oleh Kabupaten Tangerang (89.7%), Kabupaten Subang (85.7%), Kabupaten Cianjur (81.9%), dan prevalensi terendah di Kabupaten Sukabumi (77.6%).

Hasil analisis tingkat ternak diketahui bahwa Kabupaten Bogor (Bgr), awal hujan (awl hjn), dan DOC pedaging (broiler) yang memiliki asosiasi positif terhadap adanya virus AI pada DOC, sedangkan alat transportasi milik perusahaan pembibitan (milik) cenderung mengurangi kemungkinan penularan AI. Kejadian AI tertinggi pada peternakan di Kabupaten Bogor, hal ini sesuai dengan penelitian Susanti (2008) yang menyatakan bahwa prevalensi AI subtipe H5N1 pada unggas air di Kabupaten Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Unggas air ini berpotensi sebagai sumber penular virus AI pada unggas darat dan manusia.

Penyakit flu burung atau AI biasanya muncul pada saat pergantian musim. Kondisi ini biasanya situasi cuaca tidak stabil sehingga membuat ternak menjadi

mudah stres, akibatnya daya tahan tubuh melemah dan memudahkan ayam terkena penyakit infeksius (Soejoedono & Handharyani 2006). Iklim tropis Negara Indonesia merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena memiliki tingkat kelembaban dan temperatur udara yang cukup tinggi. Kondisi iklim ini sangat mendukung penyebaran dan pertumbuhan virus AI. Wilayah Bogor terletak di 06,33° sampai 10,9° LS dari equator dan 106,44° sampai 58,5° BT dengan ketinggian 190 m sampai 330 m dari permukaan laut. Data dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor-BMG menunjukkan rerataan temperatur udara tahunan 26°C (antara 21.8°C sampai 30.4°C). Rataan kelembaban udara 70% dan rerataan curah hujan tahunan 3500 sampai 4000 mm. Karakter klimat Bogor cenderung pada temperatur yang hangat, curah hujan tinggi dan sangat lembab. Kondisi ini sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan virus AI (Suprayogi & Satrija 2007).

Penggunaan alat transportasi milik perusahaan pembibitan (milik) untuk mendistribusikan DOC juga cenderung mengurangi kemungkinan penularan AI daripada alat transportasi yang disewa oleh perusahaan, hal ini disebabkan karena biosekuriti alat tranportasi milik perusahaan lebih baik dibandingkan persewaan alat angkut.

Hasil dari pengujian linieritas pada tingkat peternak menggunakan

Unweighted Least Squares Linear Regression juga diketahui bahwa faktor-faktor

yang memiliki asosiasi positif terhadap prevalensi AI adalah Awal Musim Hujan, Akhir Musim Hujan dan DOC pedaging, sedangkan yang berasosiasi negatif adalah musim kemarau dan Kabupaten Sukabumi. Pada musim kemarau kejadian AI cenderung lebih sedikit, hal tersebut karena virus AI relatif tidak stabil dalam lingkungan. Virus cepat mengalami inaktivasi ketika terjadi perubahan pH atau kondisi nonisotonik, suhu (panas), dan kekeringan (Perez et al. 2005).

Variabel lain yang juga berasosiasi negatif adalah Kabupaten Sukabumi (Sukabm). Data FAO (2008) menyebutkan bahwa pada Kabupaten Bogor perternakan ayam pedaging cenderung lebih banyak (637 farm) dibandingkan dengan peternakan ayam petelur (90 farm) dan unggas lain (88 farm) dan di Kabupaten Sukabumi perternakan ayam pedaging sebanyak 342 farm, petelur sebanyak 28 farm dan unggas lain sebanyak 16 farm. Peternakan unggas di

Kabupaten Sukabumi kebanyakan adalah peternakan dengan populasi sekitar 14.001-35.000 ekor. Skala usaha dengan jumlah populasi >30.000 menurut FAO termasuk dalam sektor II dan III yang tidak memproduksi DOC, oleh karena itu kejadian AI pada DOC yang didistribusikan lebih sedikit pada Kabupaten Sukabumi daripada kabupaten lainnya.

Dokumen terkait