• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susu kambing Peranakan Ettawa (PE) dan Peranakan Saanen (PESA) merupakan salah satu sumber protein hewani yang layak dimanfaatkan bagi pemenuhan gizi masyarakat Indonesia. Jenis ternak tersebut merupakan tipe dwiguna yang dikembangkan karena selain sebagi penghasil daging juga untuk penghasil susu. Susu kambing mengandung 0,25-0,39 g L-1 oligosakarida atau 8-10 kali lebih besar dibandingkan susu sapi (0,03-0,06 g L-1) dan susunannya lebih bervariasi dibandingkan susu sapi. Jumlah dan susunan oligosakarida yang berbeda memungkinkan probiotik yang terstimulasi juga berbeda, sehingga isolat yang diperoleh dari susu kambing juga memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan isolat pada susu sapi. Peran prebiotik secara umum adalah menstimulasi pertumbuhan probiotik yang menguntungkan bagi inangnya. Selain itu, oligosakarida pada susu kambing berperan sebagai anti inflamasi dan mencegah terjadinya colitis (Villoslada et al. 2006).

Eksplorasi keberadaan BAL probiotik pada susu kedua jenis kambing tersebut belum diteliti, sehingga sangat penting untuk dipelajari dalam rangka mendapatkan BAL dengan sifat probiotik dengan karakteristik khas. Studi ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan hewani untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri terutama peternak dan UKM.

Penelitian ini telah berhasil mengisolasi 33 isolat BAL asal susu kambing. Sebanyak 16 isolat yang diisolasi berasal dari jenis kambing PE dan 17 isolat dari jenis kambing PESA. Bakteri asam laktat termasuk dalam Gram positif, katalase negatif, berbentuk batang atau bulat. Sifat-sifat tersebut sesuai karakteristik BAL yang dinyatakan oleh Axelsson et al. (2004). Mikroba secara umum membutuhkan persyaratan suhu, pH, kadar garam untuk dapat hidup dan berkembang secara optimal. Isolat yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi untuk mengelompokkan dan menyeleksi ketahanannya terhadap lingkungan tertentu. Berdasarkan suhu, BAL hasil penelitian semua termasuk dalam kelompok mesofilik dengan suhu 37oC (100 %), namun diantaranya dapat tumbuh pada suhu 45oC (72,7%) dan pada suhu 10oC (54 %).

Ketahanan terhadap pH rendah merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi oleh BAL probiotik, sehingga proses seleksi ini juga digunakan untuk

memilih BAL berdasarkan tingkat keasaman lingkungan. Sebanyak 18 isolat (54,4%) mampu hidup dan bertahan pada pH 4,4. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Patil et al. (2006) yang menyatakan BAL yang diisolasi dari usus tikus juga mempunyai kemampuan hidup pada pH 4,4. Hal ini mengindikasikan isolat BAL dari asal susu kambing mempunyai ketahanan pH yang sama dengan isolat asal saluran pencernaan tikus. Isolat BAL probiotik akan digunakan untuk pembuatan produk pangan, yang sering menambah garam sebagai bagian dalam proses pengolahan. Produk seperti keju yang menggunakan BAL dalam prosesnya biasanya ditambahkan garam. Semua isolat BAL dapat digunakan untuk membuat keju dengan penambahan garam karena mikroba tetap aktif.

Sifat BAL yang dipelajari juga meliputi kemampuan membentuk CO2, NH3 dan dekstran. Isolat BAL yang diuji, 39 % bersifat homofermentatif adalah dan yang heterofermentatif adalah 61%. Hal ini sejalan dengan penelitian Sujaya et al. (2008) yang menyatakan bahwa dalam susu segar kuda Sumbawa BAL heterofermentatif lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan yang homofermentatif.

Produksi NH3 memunculkan bau amonia yang akan mengganggu pada produk-produk olahan susu, terutama produk fermentasi. Isolat BAL yang diuji tidak menghasilkan NH3.Hal ini menunjukkan isolat tersebut tidak menghidrolisis arginin untuk menghasilkan amonia. Semua isolat juga tidak menghasilkan lendir sehingga dapat disimpulkan tidak ada isolat yang termasuk dalam kelompok Leuconostoc.

Hasil pengujian isolasi dan identifikasi BAL asal susu kambing dapat memberi kesimpulan : (1) memenuhi karakteristik umum sebagai bakteri BAL karena secara morfologi berbentuk batang atau bulat, secara fisiologi merupakan kelompok Gram positif dan katalase negatif, (2) dapat hidup pada kisaran yang luas pada suhu (0-45oC), pH (4,4) dan kadar garam (6,5 %), dan (3) tidak menghasilkan amonia, dekstran tetapi mempunyai variasi terhadap sifat produksi CO2, yaitu sebagian besar heterofementatif (61 %) dan juga homofermentatif (39%).

Syarat probiotik oleh FAO/WHO (2002) secara in vitro antara lain tahan terhadap pH asam dan kondisi garam empedu saluran pencernaan, mempunyai

sifat antimikroba terhadap bakteri patogen dan mampu bertahan selama pengolahan dan penyimpanan. Sebanyak 18 isolat diuji pada pH ekstrim lambung yaitu pH 2,0; 2,5 dan 3,2. pH tersebut mewakili pH lambung dalam keadaan kosong (2,0), pH isi makanan (3,2) sesuai dengan Martini et al. (1997) bahwa stres awal BAL adalah terpapar asam lambung dengan pH sangat rendah yaitu 2,0 pada kondisi lambung kosong dan pH 3,0 pada kondisi lambung isi. Semua isolat BAL mampu bertahan pada kondisi pH yang diuji, meskipun terjadi sedikit penurunan yaitu kurang dari 1,0 log.

Garam empedu disintesa dari kolesterol dalam liver dan disimpan dalam kantung empedu kemudian dilepaskan dalam usus halus. Konsentrasi garam empedu pada manusia berkisar 0,3 % (Dunne et al. 1999). Garam empedu dapat merusak struktur membran sel bakteri, termasuk BAL. Sebanyak 8 isolat (44%) dari 18 isolat BAL mampu bertahan pada garam empedu 0,3% dengan penurunan sebesar 1- 3 unit log. Kematian sel terjadi setelah sel mengalami pengkerutan dan terjadi pelepasan material intraseluler (Leverrier et al. 2003).

Sebanyak 8 isolat BAL tersebut kemudian ditentukan spesiesnya dengan

API CH tes. Tiga isolat (kode TW 2, 3 dan 32) teridentifikasi sebagai L. rhamnosus dengan tingkat kesamaan 99,9; 99,3 dan 99,9 % dan 5 isolat (kode

TW4, 10,14,26 dan 28) teridentifikasi sebagai L. plantarum dengan tingkat kesamaan 89,2; 99,9; 99,9; 99,9 dan 99,9 %. Selanjutnya kedelapan isolat tersebut diuji aktivitas antibakterinya. Semua isolat BAL asal susu kambing mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji Gram negatif (S. Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 8739, P. aeruginosa ATCC 9027), tetapi tidak semua isolat yang diuji mampu menghambat bakteri Gram positif. Sebanyak 2 isolat tidak mampu menghambat bakteri Gram positif (S. aureus ATCC 25923). Secara umum aktivitas penghambatan BAL terhadap bakteri Gram negatif lebih besar dibandingkan terhadap bakteri Gram positif yang ditunjukkan dengan diameter penghambatan. Mekanisme antagonis menurut Ouwehand et al. (1998) dapat dijelaskan sebagai berikut : asam organik yang tidak terdisosiasi masuk ke dalam sel bakteri uji dan akan terdisosiasi dalam sitoplasma, mengakibatkan penurunan pH intraseluler atau adanya akumulasi asam yang terionisasi yang mampu membunuh bakteri patogen dan terjadi kematian sel.

Kemampuan BAL probiotik berkompetisi dengan mikroba patogen dalam usus merupakan salah satu cara menyeimbangkan mikroflora usus. Penempelan mikroba pada mukosa merupakan salah satu mekanisme agar BAL dapat bertahan hidup di usus sehingga BAL memenuhi sifat probiotik. Isolat BAL mampu menempel pada usus tikus bagian duodenum, jejunum, ileum, sekum dan kolon dengan jumlah penempelan BAL sebesar 0,59-2,19 log cfu ml-2. Secara umum penempelan pada usus halus (duodenum, jejunum dan ileum) lebih tinggi dibandingkan sekum dan kolon. Mekanisme penempelan dijelaskan oleh Kos et al. (2003) bahwa penempelan merupakan proses kompleks yang diawali dengan terjadinya kontak bakteri dengan sel membran dan terjadi interaksi dengan permukaan. Wadstrom dan Ljung (2006) menjelaskan bahwa lapisan permukaan S (S-layer) protein yang membentuk kristal dan menyelimuti bakteri akan memberikan proteksi sekaligus berperan sebagai mediator terjadinya penempelan seperti pada L. acidophilus M92.

Pengujian karakteristik probiotik secara in vitro pada BAL telah menghasilkan sifat-sifat unggul terhadap parameter yang diuji. Pengujian tersebut secara tidak langsung sebagai seleksi awal untuk mendapatkan BAL probiotik. BAL yang dinyatakan sebagai BAL probiotik hasil uji in vitro adalah isolat L.rhamnosus TW2, L.plantarum TW4 atau L.plantarum TW14. Ketiga isolat tersebut mempunyai potensi sangat baik sebagai BAL probiotik.

Tahap aplikasi BAL probiotik pada produk keju dilakukan untuk memperoleh karakteristik produk pangan fungsional. Matrik keju tersusun dari protein, lemak dan mineral selain berperan sebagai carrier bagi BAL probiotik, juga berperan sebagai enkapsulasi alami. Enkapsulasi berfungsi untuk mempertahankan viabilitas dan stabilitas BAL probiotik selama pengolahan maupun selama melewati saluran pencernaan. Pemilihan isolat L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 untuk pembuatan keju selain berdasarkan pada hasil pengujian in vitro juga berdasarkan pada tingkat kemurnian isolat terhadap referensi API tes. Karakteristik keju lunak yang dinilai adalah stabilitas BAL selama penyimpanan, kimia, fisik dan sensori. Keju lunak mempunyai kisaran kekerasan tekstur 10,78 - 47,75 gf dan kelengketan -8,23 sampai dengan -11,53 gs. Keju yang dibuat dengan kultur tunggal L. rhamnosus TW2 mempunyai

kekerasan paling rendah yaitu 10,78 gf yang artinya bertekstur lembek dengan kadar air tertinggi yaitu 60,07 % serta penilaian sensori terendah untuk atribut tekstur yaitu skor 2,7 (agak suka). Panelis juga menilai rasa keju tersebut tidak disukai dengan perolehan skor 1,7 (tidak suka-agak suka) karena adanya aftertaste rasa pahit yang kuat yang terdeteksi pada keju. Walaupun demikian isolat L. rhamnosus TW2 mempunyai keunggulan pada pengujian in vitro terutama pada tingkat penempelan pada ileum seperti tergambar dalam mikrofotografinya, sehingga potensinya sebagai probiotik tetap perlu dikembangkan walaupun tidak dalam bentuk keju.

Keju lunak yang dibuat dengan kultur tunggal L.plantarum TW14 mempunyai karakteristik keju lebih baik dibandingkan keju lunak dengan isolat tunggal L.rhamnosus TW2 dengan tingkat kekerasan tertinggi yaitu 47,75 gf, kadar lemak adalah 27,77 % dan mempunyai karakteristik sensori yang dapat diterima oleh panelis dan mempunyai nilai tekstur, rasa dan aroma yang sama dengan keju komersial. Isolat tersebut layak diaplikasikan untuk pembuatan keju lunak probiotik. Kelemahan dari isolat L.plantarum TW14 berdasarkan mikrofotografinya adalah tingkat penempelannya sangat kecil dibandingkan isolat L.rhamnosus TW2.

Penggunaan kultur campuran isolat L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 menghasilkan karakteristik yang baik. Penggunaan kultur campuran menghasilkan tingkat kekerasan 34,73gf dan tingkat kelengketan -10,18 gs kadar lemak 34,42 %, kadar protein 30,5 %. Keju tersebut mempunyai nilai kesukaan testur, rasa dan aroma yang sama dengan keju lunak komersial yang diuji. Selama penyimpanan keju lunak mempunyai stabilitas BAL sangat baik dan selama 4 minggu dengan jumlah BAL dapat dipertahankan pada kisaran 8,59 – 9,69 log cfu g-1.

L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 dalam bentuk isolat maupun keju diberikan pada tikus jenis Sprague Dawley untuk mengetahui ketahanannya pada saluran pencernaan dan efektivitasnya terhadap infeksi S.Typhimurium. Pemberian isolat campuran BAL tersebut efektif berperan sebagai pencegah infeksi S.Typhimurium selama 13 hari pemberian. Fungsi pencegahan ditunjukkan pada jumlah BAL yang terdeteksi lebih tinggi pada ileum dan

sekumnya pada saat infeksi S. Typhimurium. Kemampuan mencegah kemungkinan terjadinya infeksi juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah S. Typhimurium yang terdeteksi pada saat infeksi sebesar 1,0 log cfu g-1 dibandingkan kontrol. Fungsi BAL untuk memperbaiki mikroflora akibat infeksi S. Typhimurium ditunjukkan pada tidak adanya S. Typhimurium yang terdeteksi setelah 10 hari pasca infeksi dan terjadi peningkatan jumlah BAL pada sekumnya dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan kemampuan isolat BAL campuran mampu bertahan, beradaptasi pada saluran pencernaan, juga mampu menempel dengan baik pada mukosa usus. Hasil ini didukung oleh tingkat penempelan BAL berkisar 0,50-2,19 log cfu cm-2 pada pengujian in vitro.

Fungsi sebagai pencegah dan memperbaiki mikroflora usus pasca infeksi pada isolat campuran (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14), juga didukung oleh jumlah limfosit yang tinggi selama 23 hari masa percobaan dan berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol. Hasil absorbansi sIgAnya lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kontrol pada tahap infeksi dan pasca infeksi. Hal ini menjelaskan bahwa tubuh mampu memberikan respon terhadap S.Typhimurium dengan mengaktifkan sistem imun bawaan melalui fagasitosisnya, selanjutnya terjadi proses pembunuhan terhadap bakteri penyebab infeksi

Tingkat kerusakan mukosa usus ditunjukkan pada ada tidaknya perubahan morfologi usus. Ukuran vili yang utuh, lebih tinggi dan adanya kerusakan merupakan indikasi kesehatan usus. Secara morfologi kelompok pemberian probiotik memiliki ukuran vili pada ileum yang lebih tinggi dan tidak mengalami kerusakan. Vili yang terlihat lebih pendek meunjukkan kehilangan eritrosit dan meningkatnya kedalaman kripta yang mengakibatkan terjadinya penebalan pada mukosa usus. Penebalan mukosa dengan vili yang pendek akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk penyerapan protein. Perubahan tersebut diperparah oleh faktor diare dan infeksi yang menyebabkan atropi vili dan tidak berfungsinya usus (Rodgrigues et al. 2007).

Agar klaim isolat probiotik dan keju probiotik dapat dilakukan, maka sesuai dengan pedoman FAO/WHO (2002) masih harus dilakukan pengujian terhadap strain L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 serta dilakukan pengujian isolat probiotik terhadap manusia.

Dokumen terkait