• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susu Kambing

Susu merupakan hasil sekresi alami kelenjar susu pada hewan mamalia, mengandung berbagai nutrisi yang bervariasi, merupakan makanan alami untuk anak- anak serta orang dewasa. Susu umumnya bersumber dari sapi dan kambing, selain itu kerbau, domba dan onta juga menghasilkan susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia (Walstra et al. 1999).

Kambing jenis Peranakan Ettawa (PE) termasuk kambing tipe dwiguna yang dikembangkan sebagai penghasil susu di Indonesia dengan produksi susu adalah 0,45-2,2 liter/ekor/hari (Sodiq & Abidin 2008). Protein susu kambing dan susu sapi mengandung α-kasein, -kasein dan κ-kasein. Perbedaan keduanya ada pada jumlah dan susunan α-kaseinnya, yaitu susu sapi mengandung α-1s sebanyak 35 %, sedangkan susu kambing mengandung α-2s <10 % (Bevilacqua 2001). Komposisi kimia susu kambing dan susu sapi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia susu kambing dan susu sapi

Komposisi Susu kambing a Susu sapi b

Protein (%) Lemak (%) Laktosa (%) Abu (%) 3,41 3,06 4,12 0,77 3,40 3,15 4,60 0,73 Sumber : aSawaya et al.(1984); b Scott (1986)

Tabel 2.1 menunjukkan kadar laktosa susu kambing 4,12 %, hampir sama dengan kadar laktosa pada susu sapi dengan kisaran 4-5 % (Ohiokpehat 2003). Susu kambing dan susu sapi mempunyai ukuran globula lemak antara 1-10 μm, namun jumlah globula lemak yang berukuran lebih kecil dari 5 μm lebih banyak terdapat pada susu kambing (~80%) dibandingkan pada susu sapi (~60%). Lemak susu kambing mampu membentuk emulsi lebih sempurna, dan tidak membentuk kluster seperti globula lemak pada susu sapi (Park 1994). Susu kambing mengandung asam lemak rantai sedang, yaitu asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0) (Silanikove et al. 2010).

Kandungan protein susu dipengaruhi oleh jenis, periode laktasi, pakan, iklim, dan status kesehatan hewan. Susu kambing mempunyai kadar non-protein nitrogen lebih tinggi (0,4 %) dan nitrogen kasein lebih rendah (2,4 %) dibandingkan susu sapi (0,2 dan 2,6%). Protein susu terdapat dalam dua fase berbeda, yaitu fase misel yang tidak stabil dan fase larut. Fase misel berikatan dengan kalsium fosfat, magnesium, natrium, kalium dan sitrat membentuk warna putih dan bentuk opak pada susu. Fase larut terdiri dari protein whey ( -globulin, α-laktalbumin dan serum albumin) yang tetap larut pada pH rendah (4,6) (Park et al. 2006).

Secara umum susu kambing mempunyai Ca, P, K, Mg dan Cl, lebih tinggi dibandingkan susu sapi tetapi kadar Na dan S lebih rendah. Kadar Ca dan P pada susu kambing dan susu domba adalah 134 dan 121 mg dalam 100 g dan lebih tinggi dibandingkan pada ASI yaitu sekitar 33 mg untuk Ca dan 43 mg untuk P (Park et al. 2006).

Bakteri Asam Laktat sebagai Probiotik

Bakteri asam laktat (BAL) tersebar di alam dan sering diisolasi dari lingkungan kaya nutrisi organik seperti saluran pencernaan hewan dan manusia. Bakteri asam laktat memproduksi substansi antimikroba dengan cara mengubah karbohidrat untuk menghasilkan sejumlah molekul organik. Molekul tersebut antara lain asam laktat, asetat dan propionat (Salminen et al. 2004).

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri Gram positif, berbentuk bulat atau batang, tidak membentuk spora, mampu memfermentasi karbohidrat, bersifat katalase negatif dan merupakan kelompok mikroaerofilik (Axelsson 2004). Bakteri asam laktat menghasilkan berbagai komponen seperti asam laktat, diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Ouwehand 1998). Secara umum yang termasuk kelompok BAL adalah Lactococcus, Enterococcus, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Leuconostoc dan Lactobacillus (Salminen et al. 2004).

Susu secara alami mengandung BAL dan umumnya digunakan untuk pembuatan kultur starter pada berbagai produk olahan. Bakteri asam laktat asal susu juga berpotensi dikembangkan sebagai probiotik untuk pengembangan pangan fungsional. Beberapa peneliti berhasil mengidentifikasi BAL dari berbagai sumber. Menurut Guessas dan

Kihal (2004) hasil identifikasi BAL pada susu adalah Lactococcus sp (76,16%), S. thermophilus (14,78%) dan Leuconostoc sp. (8,6%). Susu sapi dan onta juga

mengandung BAL yang teridentifikasi sebagai bakteri kelompok homofermentatif yaitu L. plantarum dan L. acidophilus, sedangkan dari susu kambing terindentifikasi sebagai L. fermentum (Elgandi et al. 2008). Bakteri asam laktat pada air susu ibu (ASI) teridentifikasi antara lain sebagai Pediococcus sp A16, L. fermentum A17, L. rhamnosus R21 (Puspawati 2008). Bakteri asam laktat pada rumen teridentifikasi sebagai L. lactis dan L. brevis (Suardana et al. 2007).

Identifikasi BAL dilakukan dengan pengujian morfologi, fisiologi dan sifat biokimia. Identifikasi BAL diuji dengan pewarnaan Gram; uji katalase (Tserovska et al. 2002), produksi CO2 dari glukosa, produksi dekstran dari sukrosa, produksi NH3 dari arginin, pertumbuhan pada suhu, pH dan kadar garam tertentu. Pengujian tersebut bertujuan menentukan genus BAL, sedangkan untuk menentukan tingkat spesies dilakukan dengan melihat pola fermentasi pada berbagai jenis gula. Identifkasi BAL secara molekuler dapat dilakukan dengan menggunakan urutan basa gen 16S rRNA (Arief et al. 2011).

Kultur campuran yang diproduksi secara komersial banyak digunakan untuk menggantikan fermentasi spontan. Strain BAL yang digunakan pada industri susu tergantung pada jenis dan karakteristik produk akhir yang dikehendaki. Kultur BAL mempunyai karakteristik tertentu seperti tingkat keasaman, kemampuan mensintesis bakteriosin, mempunyai ketahanan terhadap bakteriofak serta kemampuan untuk memproduksi eksopolisakarida (Ayad et al. 2004).

Beberapa produk fermentasi tradisional yang saat ini telah diproduksi, baik dengan proses fermentasi spontan ataupun telah melibatkan penggunaan BAL komersial, antara lain : Katyk-Bulgaria (Tserovaka et al. 2002), Fulani-Pakistan (Savagado et al. 2004), Dadih-Indonesia (Surono et al. 2004), Dahi-Bangladesh (Rasyid 2007), Raib- Algerian (Abdelbasset & Djamila 2008), Amasi-Zimbabwe (Todorov 2008), dan Garris- Sudan (Ashmaig et al. 2009).

Bakteri probiotik dan produk probiotik berfungsi efektif jika viabilitasnya dapat dipertahankan sampai usus halus dan usus besar. Peran mikroba probiotik adalah menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan cara memberikan proteksi pada membran mukosa terhadap mikroba patogen, dan mampu menstimulasi kekebalan spesifik dan non spesifik. Mikroba probiotik juga berperan dalam mencegah infeksi usus, lactose intolerance, konstipasi, infeksi saluran urin, antikarsinogen, antikolesterol, immunostimulator, memperbaiki sintesis dan bioavabilitas zat gizi (Oyetayo & Oyetayo

2005). Beberapa respon penting bakteri probiotik terhadap kesehatan dapat dilihat pada pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Peranan bakteri probiotik terhadap kesehatan*

Spesies BAL Peran

L. acidophilus, L. casei, L. plantarum, L. delbrueckii, L. rhamnosus

menstimulasi sistem imun

L. acidophilus, L. casei, B. bifidum berperan dalam menjaga keseimbangan mikroflora usus

L. acidophilus, L. casei, L. gasseri, L. delbrueckii

menurunkan enzim fecal

L. acidophilus, L. casei, L. gasseri, L. delbrueckii, L plantarum, B. infantis. B. adolescentis, B. bifidum, B. longum

antitumor

Saccharomyces bulgaricus, kultur campuran L. acidophilus, B. bifidum, S. thermophilus, L. bulgaricus

melindungi terhadap travellers diare

L. rhamnosus, B. bifidum melindungi terhadap diare rotavirus L. rhamnosus, S. bulgaricus melindungi terhadap diare C. difficile L. acidophilus, L. rhamnosus,

B. bifidum

melindungi terhadap jenis diare lainnya

* Sumber Zieber dan Gibson (1998)

Beberapa mekanisme penghambatan probiotik terhadap bakteri patogen yang berkolonisasi di dalam intestinal (Rolfe 2000, Vandeplas et al. 2008) dapat dijelaskan sebagai berikut ini.

1. Mempunyai aktivitas antimikroba secara langsung

2. Menghasilkan substansi penghambat bagi bakteri patogen

Probiotik menghasilkan berbagai substansi penghambat bakteri patogen baik untuk bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Substansi penghambat termasuk asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin.

3. Mencegah penempelan (blocking of adhesion).

Probiotik mampu menempel pada sel epitel, sehingga dapat berkompetisi dengan bakteri patogen.

Probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan.

5. Degradasi reseptor toksin. 6. Menstimulasi kekebalan.

Mekanisme penghambatan bakteri probiotik terhadap bakteri patogen terangkum dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kompetisi bakteri probiotik dengan bakteri patogen (Vandeplas et al. 2008)

Probiotik telah diformulasikan pada berbagai jenis produk termasuk produk pangan, obat-obatan dan suplemen, termasuk Lactobacillus dan Bifidobacterium. Strain Lactobacillus yang digunakan dalam fermentasi pangan juga berpengaruh positif pada kesehatan (World Gastroenterology Organisation 2008). Strain L. plantarum merupakan kelompok BAL probiotik yang banyak ditemukan dalam susu, daging, sayuran, produk fermentasi dan saluran pencernaan manusia. Strain L. rhamnosus GG terdapat dalam usus manusia, dan telah digunakan sebagai strain probiotik hampir 20 tahun (Ahrne et al. 1998). Beberapa karakteristik BAL sebagai probiotik secara in vitro, yaitu ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu, aktivitas antimikrobanya serta kemampuan menempel pada usus.

Ketahanan pada pH Rendah

Tekanan awal BAL masuk ke dalam tubuh manusia adalah terpapar asam lambung, dengan tingkat pH yang sangat rendah yaitu sekitar 2,0 pada kondisi lambung

kompetisi nutrisi produksi antimikroba langsung kompetisi pengikatan produksi substansi bakteriosidal nasuknya nutrisi produksi komponen yang menguntungkan epitelium Peristaltik modulator

kosong dan sekitar 3,0 pada kondisi lambung berisi (Martini et al. 1987). Ketahanan hidup BAL dalam lambung akan meningkat dengan adanya makanan dalam lambung karena pengaruhnya terhadap pH dan akan melindungi BAL dari pengaruh enzim pepsin dan asam lambung. Beberapa strain BAL komersial memiliki perbedaan ketahanan terhadap pH rendah (Lin et al. 2006).

Faktor utama penentu ketahanan bakteri melewati lambung sampai dengan usus halus adalah pH lambung. Makanan yang masuk berperan sebagai bufer dan merupakan faktor utama yang mempengaruhi pH lambung. Laju pengosongan lambung dan jumlah serta keadaan fisiologi bakteri juga sangat berpengaruh terhadap ketahanan bakteri di saluran pencernaan. Probiotik dengan resistensi tinggi dapat bertahan dalam simulasi cairan lambung dengan pH 3,0 yang diinkubasi selama 90 menit (Minellia et al. 2004).

Ketahanan terhadap Garam Empedu

Garam empedu disintesis dari kolesterol dalam hati dan disimpan dalam kantung empedu kemudian disekresikan ke dalam usus halus. Konsentrasi garam empedu pada lumen manusia adalah 0,3 % (Dunne et al. 1999) dan 0,5 % (Zavaglia et al. 1998), kisaran tersebut digunakan untuk mengevaluasi ketahanan BAL terhadap garam empedu saluran pencernaan.

Keberadaan garam empedu merupakan kondisi kritis bagi bakteri karena garam empedu dapat merusak dan bersifat toksik terhadap struktur membran sel bakteri (Morgolles et al. 2003). Ketahanan terhadap garam empedu merupakan karakteristik penting bagi strain BAL untuk mampu bertahan dan berkembang pada kondisi kritis tersebut.

Toleransi bakteri terhadap garam empedu merupakan tahapan seleksi probiotik secara in vitro, terutama untuk strain Lactobacillus. Hal ini merupakan salah satu penyebab beberapa isolat BAL tahan terhadap keberadaan garam empedu. Beberapa strain L. acidophilus mempunyai ketahanan terhadap garam empedu yang cukup tinggi dan mampu meningkatkan jumlah Lactobacillus fakultatif pada usus halus (Chou & Weimer 1999).

Burns et al. (2008) membandingkan ketahanan strain Lactobacillus asal saluran pencernaan dan asal produk susu terhadap garam empedu. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus asal saluran pencernaan lebih tahan dibandingkan dengan Lactobacillus asal produk susu. Erkkilae dan Petaeja (2000) juga menguji ketahanan L. curvatus dan

P. acidilactici terhadap garam empedu, hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu bertahan pada kondisi asam dan garam empedu 0,3 %.

Mekanisme mikroba probiotik terhadap pH rendah dan garam empedu dipelajari dari strain B. longum. Garam empedu terkonjugasi dipecah oleh Bile Salt Hidrolase (BSH), garam empedu kemudian masuk ke dalam sitoplasma secara difusi pasif dalam sitoplasma, garam empedu terionisasi dan terprotonasi. Selanjutnya mengeluarkan substansi tersebut dari sitoplasma.

Mekanisme toleransi BAL terhadap garam empedu juga dijelaskan dengan terjadinya peningkatan sintesis molekul chaperone dan terjadinya penurunan sintesis asam lemak rantai panjang KoA ligase. Kondisi pH asam atau adanya asam empedu menyebabkan deprotonasi sitoplasma. Kondisi ini dapat dinetralkan oleh produksi amonia dari deaminasi glutamin atau pemompaan proton dari sel oleh F1F0-ATPase yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem ini (Sanchez et al. 2008). Mekanisme pertahanan probiotik B. longum terhadap pH rendah dan garam empedu terdapat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Skema mekanisme probiotik (B.longum) terhadap pH asam dan garam empedu (Sanchez et al. 2008)

Aktivitas Antimikroba

Antimikroba BAL berperan sebagai penghambat atau menginaktivasi mikroba dalam pangan maupun mikroba patogen dengan menggunakan kemampuan antagonisnya sehingga peran antimikroba BAL dalam pangan semakin meningkat (Davidson &

Zivanovic 2003). Beberapa strain BAL berperan sebagai pengawet dengan memproduksi bakteriosin (Brink et al. 1994).

Salah satu mekanisme antagonis BAL disebabkan asam organik yang dihasilkan oleh BAL terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi berdifusi secara pasif melewati membran sel bakteri. Asam organik akan terionisasi dalam sitoplasma, yang menyebabkan penurunan pH. Kondisi tersebut menyebabkan rusaknya gradien proton elektrokimia dan terjadinya kerusakan sistem transpor, sehingga sel kekurangan energi dan mengalami kematian (Lindgren & Dobrogosz 1990).

Pengukuran aktivitas antimikroba BAL dapat dilakukan dengan dua metode. Metode tersebut adalah difusi dan metode spot-on-lawn. Metode difusi sangat sensitif untuk pengujian P. aeruginosa ATCC 27853, E. coli ATCC 25927 dan P. aeruginosa ATCC 10145. Metode spot-on-lawn sangat sensitif terhadap B. subtilis ATCC 6633 dan E. coli O157:H7 (Caradici & Citak 2005). Penelitian terhadap sifat antibakteri BAL asal susu kambing Algeria dilakukan oleh Anas et al. (2008) yaitu L. plantarum, L. paracasei dan L. rhamnosus yang dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. Beberapa bakteri patogen seperti S. aureus, E. coli, P. aeruginosa, S. Thypi, S. marcescens dan C. albicans telah diuji ketahanannya terhadap produk probiotik dengan metode overlay. Pengujian memberikan tingkat penghambatan yang berbeda-beda tergantung pada jenis produknya (yakult, yogurt dan susu bubuk) (Chuayana 2003).

Kemampuan Penempelan BAL

Kemampuan probiotik untuk menempel dan berkolonisasi pada usus memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi inangnya, karena terjadi interaksi dengan membran mukosa, kompetisi dengan patogen, dan pengaturan sistem imun. Strain BAL mempunyai kemampuan penempelan yang berbeda terhadap inang spesifiknya (Saarela et al. 2000). Penempelan BAL pada mukosa usus merupakan proses kompleks, termasuk kontak bakteri dan interaksinya pada permukaan sel membran. Penempelan tersebut sangat dibutuhkan untuk terjadinya kolonisasi, mencegah eliminasi karena gerakan peristaltik usus dan memungkinkan terjadinya kompetisi dengan patogen.

Beberapa studi penempelan mikroba secara in vitro dengan teknik yang berbeda telah dikerjakan seperti : teknik PCR (Huijsdens et al. 2002), pada ileum babi (Kos et al. 2003), penggunaan radioaktif [3H], metode mikroskop dengan slide diagnostik dan pewarnaan sel dengan methylene blue dan metode flouresen (Edelman et al. 2003), pengujian dengan menggunakan permukaan padat seperti lempeng baja (stainless stell)

(Evanikastri 2003), penghitungan mikrobiologi (Nitisinprasert et al. 2006), kultur sel seperti caco-2 (Collado et al. 2006) dan permukaan usus tikus (Anggraeni 2010).

Kos et al. (2003) mempelajari penempelan L. acidophilus M 92 pada ileum babi kemudian diamati dengan mikroskop. Hasilnya menunjukkan bahwa L. acidophilus M 92 mampu menempel dengan kuat pada ileum babi. Brink et al. (1994) memperlihatkan mikroba probiotik mampu menempel pada ileum setelah 6 jam dibiarkan pada suhu 8oC dengan kisaran 5-6 log cfu g-1. Penempelan strain L. curvatus dan L. casei LHS adalah 6-7 log cfu g-1, sedangkan penempelan untuk L. plantarum 423 dan P. pentosaceus lebih kecil dari 5 log cfu g-1.

Peranan BAL dalam Produksi IgA

Imunoglobulin A (IgA) pada manusia terdapat dalam serum dan mukosa usus. Imunoglobulin A serum dihasilkan oleh limfosit B dari sumsum tulang dan organ limfoid lainnya, bersifat sangat heterogen dan berbentuk monomer, sedangkan sekresi IgA mukosa (sIgA) terdapat dalam bentuk dimer atau polimer (pIgA). Imunoglobulin A dari organ mukosa disekresikan oleh lamina propria selanjutnya melewati permukaan mukosa usus. Sekitar 80 % IgA manusia dihasilkan mukosa dengan jumlah 40-60 mg/kg/hari (Suzuki et al. 2007). sIgA lebih mencerminkan respon humoral usus dibandingkan IgA monomerik serum. Respon sIgA terhadap keberadaan antigen diukur dengan sampel usus dan dikerjakan dengan teknik ELISA (Erickson & Hubbard 2000).

Salah satu respon humoral probiotik terhadap keberadaan antigen dalam usus adalah dengan meningkatnya sekresi IgA usus (sIgA). Mikroba probiotik berperan meningkatkan respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik IgA dengan cara membantu mencegah atau mengurangi terjadinya infeksi usus. Probiotik mampu meningkatkan sIgA, berperan dalam transpor antigen dari lumen ke Peyer’s patches dan meningkatkan produksi IFN- .

Beberapa penelitian respon humoral dari mikroba probiotik terhadap produksi sIgA, antara lain telah dilakukan oleh Perdigon et al (1999) yang menunjukkan bahwa L. casei dan L. plantarum mampu meningkatkan IgA dan sel CD4+. Kimura et al (2006) membuktikan strain L. plantarum yang diisolasi dari susu fermentasi asal Mongolia mampu menginduksi respon IgA dalam jumlah besar, tahan terhadap asam lambung dan garam empedu saluran pencernaan serta mampu menempel pada sel Caco-2. Kadar IgA yang tinggi menandai meningkatnya sistem imun oleh probiotik (Kokkunen et al. 2009).

Salah satu mekanisme peningkatan sistem imun sIgA oleh mikroba probiotik dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Keterangan : (EC: sel epitel, MC : sel microfold, DC : sel dendrit, MQ : makrofag, IFN : gamma interferon, TNF α : tumor nekrosis faktor, BL :

limfosit B, IL: interlukin, PC: sel plasma, MS : sel mastosit, TL: limfosit T, TGF- : Tumor growth faktor)

Gambar 2.3 Respon kekebalan lokal usus oleh probiotik dengan menghasilkan IgA usus (sIgA) (Galdeano et al. 2007)

Respon alami probiotik pada usus melalui jalur yang berbeda, dimulai dengan terjadi internalisasi bakteri probiotik dalam lumen usus melalui sel microfold (MC), sel epitel (EC) dan sel dendrit (DC). Makrofag dan atau sel dendrit berperan sebagai antigen presenting cell (APC) untuk berinteraksi dengan probiotik atau fragmennya. Interaksi probiotik dengan sel epitel juga menginduksi pelepasan IL-6. Makrofag dan sel dendrit memfagosit mikroba probiotik atau fragmennya sekaligus menginduksi sitokin seperti TNFα dan IFN . Sel mastosit juga dirangsang untuk memproduksi IL-4. Sitokin lainnya, seperti IL-10 dan IL-6 dihasilkan untuk merangsang limfosit B untuk menghasilkan antibodi IgA pada plasma sel dalam lamina propria usus. Interlukin 6 (IL6) selanjutnya bersama dengan IL-4 dan TGF- dapat menginduksi limfosit B untuk memproduksi sejumlah antibodi IgA dalam lamina propria usus.

Perlakuan pemberian sinbiotik mampu meningkatkan konsentrasi total sIgA lumen ileum usus tikus. Keberadaan prebiotik dalam ileum akan meningkatkan pertumbuhan probiotik sehingga akan menstimulasi sintesis sIgA (Roller et al. 2004). Pemberian campuran probiotik aktif L. acidophilus, E. faecium dan B. bifidum pada anak

fragmen bakteri

bakteri probiotik IgA non spesifik

fagositosis mukus

babi mampu meningkatkan jumlah IgA serum, menjadikan vili usus lebih tinggi, kripta lebih dalam dan jumlah koliform pada fekal lebih rendah dibandingkan probiotik yang inaktif (Rodrigues et al. 2007).

Keju dengan Sifat Probiotik

Keju merupakan produk olahan susu yang bergizi, mudah diolah, serta mempunyai bentuk, tekstur dan aroma yang bervariasi (Farkye 2004). Nutrisi yang terkandung di dalam keju dipengaruhi oleh jenis susu yang digunakan, cara pembuatannya, dan derajat pematangan (O’Brien & O’Connor 2004). Pembuatan keju melibatkan empat kombinasi yaitu susu, mikroba, renet, dan garam dengan proses produksi asam, pembentukan gel, pemisahan whey, serta penambahan garam dan diikuti dengan pemeraman (Puerto et al. 2004). Prosedur pembuatan keju sangat bervariasi tergantung jenis keju yang dibuat. Keju dibuat dengan memanaskan susu pada suhu 65oC selama 30 menit, dan didinginkan pada suhu ruang (30oC). Renet komersial ditambahkan sebanyak 0,01 % dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2 jam sampai terbentuk gumpalan, kemudian gumpalan dipotong segi empat dengan diameter kurang dari 1 cm selanjutnya disaring dengan kain penyaring dan ditambahkan bakteri probiotik serta diinkubasi semalam pada suhu ruang apabila akan dibuat keju probiotik. Penambahan garam sebanyak 10 % pada permukaan keju dilakukan dan selanjutnya tahap pemeraman dilakukan pada suhu 4-6oC selama 71 hari (Kourkoutas 2006).

Klasifikasi produk keju berdasarkan kadar air terbagi dalam tiga yaitu keju keras (20-42%), keju semi keras atau semi lunak (45-55%), dan keju lunak (> 55%) (Heller et al. 2008). Komposisi kimia beberapa jenis keju dengan bahan baku susu kambing terdapat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komposisi kimia keju susu kambing Kandungan (%)

Jenis keju Kadar air Lemak Protein Abu

Lunak 59,8 22,5 18,9 1,74

Feta 52,3 25,3 25,1 4,30

Cheddar 41,7 26,6 30,3 3,60

Sumber Park (1990)

Keju dari susu kambing umumnya termasuk dalam kategori keju lunak (Park 1990). Umumnya keju lunak dikonsumsi dalam keadaan segar dan mempunyai umur penyimpanan terbatas. Keju memiliki tekstur lebih lunak karena mengandung lebih banyak globula-globula lemak yang berdiameter kecil yang menyebabkan luas

permukaan lemak semakin besar. Permukaan keju merupakan tempat penyebaran misel kasein yang terjerat pada permukaan globula lemak sekaligus melapisinya (Walstra et al. 1999). Protein susu merupakan komponen utama yang dikoagulasi membentuk padatan keju (curd), selanjutnya diolah menjadi keju. Curd merupakan tempat terkonsentrasinya lemak, protein, dan mineral susu seperti seperti kalsium, fosfor, dan magnesium (Miller et al. 2007).

Mekanisme penggumpalan protein susu diawali terjadinya pemecahan kappa-kasein (κ-kasein) oleh renet terutama pada misel kasein yang ada dipermukaan yang menyebabkan terjadinya koagulasi. Kappa-kasein dihidrolisis selama koagulasi oleh renet yang terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah hidrolisis κ-kasein pada ikatan Phe105-Met106 yang menghasilkan para-κ-kasein dan makropeptida, kemudian makropeptida yang mengandung ~γ0% κ-kasein berdifusi ke dalam fase cair. Hilangnya makropeptida menyebabkan tegangan permukaan dan stabilitas koloida misel menurun sehingga dapat terkoagulasi oleh Ca2 (McSweeney 2007). Proses dilanjutkan dengan aglomerasi yang menghasilkan massa protein seragam, yaitu misel yang tergabung satu sama lain, sehingga terjadi ikatan kuat diantara dua misel yang berdekatan membentuk gel. Gel tersebut memiliki pori dan jaringannya yang tidak teratur, selanjutnya terjadi pengeluaran air dengan adanya penekanan. Selama proses berlangsung, lemak akan mempertahankan integritas membran dan merupakan cara untuk memerangkap protein sehingga terbentuk matrik tiga dimensi (Pereira et al.2009). Skema koagulasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(a) (b) (c)

Gambar 2.4. Skema koagulasi susu oleh renet (a) misel kasein dengan lapisan κ-kasein diserang oleh chymosin, (b) misel kehilangan sebagian besar lapisan κ-kasein, (c) misel yang telah lepas lapisan κ-kasein selanjutnya masuk dalam proses agregasi. Selanjutnya terjadi pelepasan makropeptida dan perubahan viskositas selama koagulasi renet.

Atribut Sensori Keju

Rasa dan aroma merupakan penilaian terpenting keju. Rasa khas keju dihasilkan dari proses lipolisis, proteolitik dan degradasi lanjutan asam amino oleh kultur starter dan kultur nonstarter BAL. Pemecahan kasein menjadi peptida kecil dan asam amino akan membentuk flavor keju cheddar (Singh et al. 2003). Produk proteolisis akan memberikan flavor keju secara langsung atau berperan sebagai senyawa prekusor flavor keju. Perubahan tekstur terutama terjadi selama proses kyuring. Tekstur keju sendiri tergantung pada bahan baku dan perubahan biokimia selama pemeraman.

Bakteri asam laktat mempengaruhi flavor dan tekstur keju. Flavor dan tektur pada keju yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi dan menggunakan starter BAL termofilik lebih disukai oleh konsumen (Awad 2006). Katabolisme asam amino oleh mikroba starter dan non starter akan menghasilkan flavor keju, seperti pada proses deaminasi, dekarboksilasi dan transaminasi yang akan menghasilkan asam keto, ammonia, amina, aldehida, asam dan alkohol yang akan membentuk rasa dan aroma keju. Sebanyak 38 komponen volatil teridentifikasi dalam keju Ras dari Egyptia dan yang berperan menghasilkan rasa dan aroma khas keju tersebut adalah senyawa alkohol, aldehida, keton, ester dan lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda (Ayad et al. 2004).

Peran protease dan peptidase dalam matrik keju dibutuhkan selama pemeraman. Amino Acid Converting Enzymes (AACEs) menghasilkan komponen flavor volatil yang berperan terhadap flavor khas keju, seperti pada enzim yang telah dimurnikan dan dikarakterisasi dari strain Lactococcus lactis. Selama proses proteolisis, asam amino

Dokumen terkait