• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELATISASI ION ALUMINIUM OLEH ASAM ORGANIK

PEMBAHASAN UMUM

Rumput Brachiaria adalah rumput pakan berpotensi untuk daerah iklim tropik yang telah dikenal dibanyak Negara. Rumput ini mengandung nilai nutrisi yang baik yang dicirikan dengan nilai palatabilitas dan protein yang tinggi. Beberapa spesies rumput ini dikenal secara baik oleh peternak-peternak Indonesia diantaranya adalah rumput bede untuk spesies B. decumbens, rumput palisade atau rumput ya signaentotang untuk spesies B. brizantha, rumput beha untuk spesies B. humidicola dan rumput beer (Br) untuk spesies B. ruziziensis (Fanindi & Prawiradiputra 2005). Rumput Brachiaria dikenal sebagai salah satu tanaman eksotik karena tanaman ini juga mampu mereklamasi tanah atau lahan marginal (Husson et al. 2003; Agbenin dan Adeniyi 2005). Kemampuan tersebut diantaranya diperankan oleh senyawa organik eksudat akar yang mampu mengekstrak kation-kation yang berada di dalam mineral tanah menjadi bentuk tersedia, atau membentuk kelat (complex metal-organic acids) untuk detoksi metal seperti Al dan logam barat lainnya serta banyak fungsi lainnya. Dengan kemampuan eksudat akar tersebut tanaman eksotis seperti Brachiaria dapat tumbuh baik pada tanah miskin atau pada tanah-tanah yang mengandung metal berpotensi racun.

Hasil penelitian di rumah kaca mendapatkan asam-asam organik dengan berat molekul rendah dieksudasi oleh akar rumput Brachiaria ke kultur pasir untuk detoksi Al3+. Asam-asam organik tersebut difungsikan sebagai ligan untuk membentuk kelat. Pada tanaman Brachiaria seperti B. decumbens (BD), B. ruziziensis (BR) dan B. brizantha (BB), asam-asam organik yang difungsikan sebagai ligan adalah asam malat, asam sitrat dan asam oksalat dengan asam malat difungsikan lebih banyak. Dalam proses kelatisasi, ion Al diikat oleh ligan (asam organik) melalui dua gugus karboksilat yang mengikat satu ion Al untuk membentuk struktur cincin (ring structure) (Dynes & Huang 1997) (Gambar 24). Proses pengikatan Al terjadi melalui deprotonasi (pelepasan ion hidrogen) dari gugus karboksil yang ditukar dengan ion Al dari larutan kultur pasir. Untuk proses itu yang berperan adalah anion malat di-karboksilat (malat2-), anion sitrat tri- kaboksilat (sitrat 3-) dan anion oksalat di-karboksilat (oksalat2-) (Pineros et al.

2005). Stabilitas kelatisasi tercapai bila terdiri dari 5 atau 6 struktur cincin (Dynes & Huang 1997).

Gambar 24 Struktur cincin dari kompleks Al-asam-asam organik (kelat) (Dynes & Huang 1997).

Eksudasi asam-asam organik alipatik dari akar Brachiaria itu terlihat jelas diaktivasi oleh adanya Al di dalam kultur tanam (pasir) yaitu semakin tinggi konsentrasi Al di dalam kultur pasir semakin banyak asam-asam organik dieksudasi akar. Seperti dilaporkan Jorge dan Arruda (1997); Pineros et al. (2005) bahwa ekskresi asam organik dari perakaran tanaman yang toleran Al akan meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi Al di dalam larutan hara.

Terkait dengan usaha untuk memperbaiki kualitas tanah masam maka diantara tiga spesies Brachiaria, BD dianggap lebih berpotensi. Hal itu dapat dikemukakan karena selain eksudat akarnya efektif dalam detoksi (kelatisasi) Al, spesies ini juga lebih toleran terhadap tanah miskin dan kondisi kekeringan. Asumsi tersebut telah terbukti dari hasil percobaan di Lab lapang pada Kanhapludult Tegineneng Lampung.

Penanaman BD sebagai tanaman sela (intercropping) ubikayu, mampu menurunkan Al-dd tanah sampai 33%. Penurunan Al-dd tanah tersebut antara lain disebabkan oleh terbentuknya senyawa kompleks Al-asam organik yaitu antara Al dalam larutan tanah dengan asam-asam organik yang dieksudasi akar BD. Senyawa kompleks Al-organik menurunkan konsentrasi Al di dalam larutan tanah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara konsentrasi ion Al yang berada pada tapak jerapan koloid dengan Al di dalam larutan tanah. Untuk kembali ke kesetimbangan maka sebagian dari ion Al pada komplek jerapan (Al-dd) akan

dilepas ke larutan tanah. Proses tersebut menyebabkan konsentrasi Al-dd menurun. Sementara proses ketidakseimbangan juga dipercepat oleh adanya Al yang diserap perakaran BD dan diakumulasi di dalam jaringan daun (67-287 ppm).

Kemampuan BD dalam mengakumulasi Al antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi K tanah tersedia yaitu semakin tinggi kadar K tanah tersedia semakin sedikit Al diserap BD. Hal ini karena tanaman-tanaman monokotiledon seperti BD adalah tanaman yang agresif menyerap kation monovalen seperti kalium (Havlin et al. 1999; Mattos et al. 2002). Seperti dilaporkan Mattos et al. (2002) bahwa tanaman BD menyerap 72-91% K yang ditambahkan ke kultur tanam. Daya serap BD yang tinggi terhadap K, sepertinya menjadi sesuatu yang menguntungkan bila tanaman BD difungsikan untuk preservasi kalium dari pencucian. Peranan inipun terlihat dimainkan dengan baik oleh rumput BD pada percobaan di Lab lapang.

Eksudat akar BD dan pangkasan daunnya yang dikembalikan ke tanah mampu mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan K tanah. Senyawa organik eksudat akar memperkaya karbon organik tanah membuat K lebih banyak berada dalam bentuk senyawa kompleks K-organik (Gale et al. 2000; Gaskell et al. 2006). Demikian pula pangkasan daun BD yang cukup kaya K bila dikembalikan ke tanah akan memelihara ketersediaan K tanah dan mengamankannya dari pencucian. Eksudat akar BD juga memperbaiki stabilitas agregat tanah ke kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman.

Dari penelitian di Lab lapang diketahui potensi pangkasan daun BD dalam mempertahankan K tanah tersedia adalah sangat baik. Pangkasan daun BD yang dikembalikan ke tanah selama penanaman ubikayu sama artinya dengan mengembalikan sekitar 72 kg K ha-1 untuk 1 kali musim tanam ubikayu (kandungan K di dalam pangkasan daun BD terukur 6,2 g kg-1). Jumlah ini lebih dari cukup untuk mempertahankan produksi dan mutu hasil ubikayu karena hasil penelitian Howeler (2002) memperlihatkan penambahan 50 kg K2O atau 100 kg

KCl ha-1 ke tanah cukup untuk mempertahankan produksi ubikayu. Seandainya laporan Chee dan Wong (1985) diacu dalam Fanindi dan Prawiradiputra (2005) dijadikan referensi yang mendapatkan kandungan K di dalam daun BD adalah sekitar 13,5 g kg-1, maka K yang dapat dikembalikan ke tanah melalui pangkasan

daun tersebut selama satu musim tanam ubikayu bisa mencapai 200 kg K ha-1. Sementara pada panelitian di lapangan, dimana pertumbuhan BD sebagai tanaman sela ubikayu belum optimal, jumlah K yang dikembalikan ke tanah melalui pangkasan daun BD untuk 1 musim tanam ubikayu baru sekitar 22 kg K ha-1.

Potensi BD untuk perbaikan kualitas tanah masam khususnya peningkatan ketersediaan K tampaknya semakin efektif bila diinteraksikan dengan AM (arbuscular mycorrhiza) karena AM memperluas daerah serapan hara perakaran sehingga mempertinggi serapan hara tanaman pada tanah-tanah miskin (Howeler 2002; Rillig 2004). Hifa dan glomalin (protein hidrofobik) AM juga dilaporkan memperbaiki agregasi dan stabilitas agregat tanah (Rillig 2004; Bedini et al. 2009). Sementara kompos jerami padi diperkaya kalium diperlukan sebagai sumber hara K karena tanah masam seperti Kanhapludult Tegineneng Lampung mempunyai cadangan K (6 mg 100g-1) dan ketersediaan K (0,11 cmol kg-1) tanah yang relatif rendah. Perlakuan integrasi tiga amelioran tanah tersebut pada tanah masam yang ditanami ubikayu telah terbukti mampu mempertahankan dan meningkatkan kadar K tanah tersedia.

Dari sudut pandang fisika tanah, kualitas tanah masam yang baik dicirikan oleh kondisi fisik tanah yang mendukung untuk pemenuhan kecukupan air, udara dan hara bagi tanaman serta struktur tanah yang tahan terhadap tekanan mekanik. Hal itu antara lain dapat diketahui melalui pemahaman status agregat tanah baik agregat makro (1-5 mm), meso (0,25-1 mm) maupun mikro (0,052-0,25 mm) (Gale et al. 200; Roseta et al. 2006).

Hasil penelitian mengindikasikan eksudat akar BD yang meresap ke dalam pori agregat makro bersama air kapilaritas dan menjadi senyawa organik intra- agregat cenderung memfragmentasi agregat makro menjadi agregat meso dan mikro bila karbon organik intra-agregat terdekomposisi menjadi karbon bebas. Hal itu lebih terlihat ketika struktur tanah dibasahi secara cepat sebagaimana yang terjadi dalam proses analisis ayakan basah untuk mengetahui stabilitas agregat tanah. Udara di dalam pori agregat makro yang ditinggalkan senyawa eksudat akar akan terdesak oleh pembasahan dan menekan struktur tanah dari dalam sehingga mengalami slaking (pecahnya agregat oleh tekanan udara yang terkurung). Akibatnya agregat makro pecah menjadi agregat meso dan mikro.

Agregat makro pada tanah yang diperlakukan dengan BD dan AM pun rentan akan proses tersebut.

Fragmentasi agregat makro menjadi agregat meso dan mikro yang lebih mudah oleh kehadiran eksudat akar BD sebagai senyawa organik intra-agregat, bukanlah suatu indikasi stabilitas agregat makro yang lemah. Dalam kondisi alami senyawa organik eksudat akar adalah agen agregasi transient yang baik (Martins et al. 2008). Namun senyawa ini relatif mudah mengalami biodegradasi dan terdekomposisi oleh pengaruh suhu dan cahaya. Sementara itu AM dan kompos jerami didapatkan lebih efektif memperbaiki stabilitas agregat makro tanah. Dalam hal ini hifa dan glomalin (proteinaceous) dari AM serta senyawa asam aromatik (asam humat dan asam fulvat) dari kompos jerami padi, mengikat agregat mikro menjadi agregat makro yang lebih stabil (Ladd et al. 1996; Bedini et al. 2009).

Pengamatan polisakarida total dan polisakarida bukan selulosa yang terkandung di dalam agregat makro, meso dan mikro adalah usaha lebih lanjut untuk mengetahui potensi senyawa-senyawa organik yang dihasilkan bahan-bahan amelioran tanah tersebut sebagai agen agregasi partikel tanah. Dorongan eksudat akar BD dalam fragmentasi agregat makro menjadi agregat meso dan mikro, menjadikan agregat meso dan mikro mengandung lebih banyak polisakarida total. Gale et al. (2000) mendapatkan C-organik seperti getah polisakarida (mucigel) yang dihasilkan akar tanaman pada awalnya lebih dari 60% berasosiasi dengan agregat makro. Namun fragmentasi agregat makro menjadi agregat mikro menyebakan C-organik di dalam agregat mikro lebih banyak. Sementara polisakarida total yang lebih tinggi di dalam agregat makro pada tanah yang diperlakukan dengan AM dan demikian juga di dalam perlakuan interaksi BD dan AM antara lain merupakan kontribusi senyawa chitin yaitu senyawa polisakarida β-(1=4) acetylglucosaminosan di dalam hifa ekstraradikal AM yang kaya karbohidrat (Bedini et al. 2009) dan glikoprotein (glomalin) yang dihasilkan hifa (Wang & Qui 2006).

BD, AM dan kompos jerami diperkaya kalium yang terbukti mampu memperbaiki kualitas tanah masam terkait detoksi aluminium, memperbaiki K tersedia dan agregat tanah berdampak nyata terhadap perbaikan pertumbuhan dan

mutu hasil ubikayu yang ditanam pada Kanhapludult (percobaan Lab lapang). Hal itu penting artinya karena kondisi Kanhapludult Tegineneng dapat dikategorikan sebagai tanah masam miskin dimana KTK tanah 6,65 cmol kg-1, K-dd 0,11 cmol kg-1 dan cadangan K tanah 6 mg 100g-1 adalah kategori yang sangat rendah. Demikian pula kandungan hara lainnya yang secara umum adalah kategori rendah. Perbaikan kualitas Kanhapludult oleh amelioran-amelioran tanah tersebut telah direspon baik oleh pertumbuhan dan mutu hasil ubikayu UJ-5.

Hasil percobaan di Lab lapang pada Kebun Percobaan Tegineneng BPTP Lampung memperlihatkan perlakuan BD dan AM dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil ubikayu UJ-5, demikian pula dengan perlakuan pengayaan kompos jerami padi dengan 50, 100 dan 200 kg KCl ha-1. Perbaikan terhadap mutu hasil ubikayu antara lain sebagai kontribusi eksudat akar BD yang memperkaya senyawa organik tanah, mendetoksi Al3+, dan memperbaiki K tersedia serta agregat tanah ke kondisi yang lebih menguntungkan bagi perakaran tanaman. Demikian pula AM juga meningkatkan serapan hara tanaman karena hifa jamur ini nyata memperluas permukaan serapan hara akar (Chen 2008) dengan cara mengkolonisasi akar tanaman. Sebagai bukti untuk hal itu pada Tabel 21 dan Gambar 24 ditampilkan hasil pengamatan kolonisasi AM pada akar ubikayu yang ditanam pada pot tanpa dan dengan perlakuan inokulasi AM pada penelitian di Lab lapang. Kompos jerami diperkaya K menjadi bagian penting dari teknologi introduksi ini karena merupakan sumber utama K untuk Kanhapludult yang secara alami memang mempunyai cadangan hara K sangat rendah.

Pembuktian lebih lanjut di lapangan terkait efektivitas BD, AM dan kompos jerami diperkaya kalium dalam memperbaiki kualitas tanah masam dan mutu hasil ubikayu, mendapatkan hasil yang cukup baik meskipun uji penanaman baru dilakukan untuk satu kali musim tanam. Pengaruh ketiga faktor perlakuan terhadap keragaan tanaman dan hasil umbi ubikayu pada tanah yang berbeda juga bervariasi. Pada Plinthudult Abung Semulih dimana tekstur tanah liat berpasir, kadar bahan organik dan KTK tanah olah lebih rendah dibanding tanah lainnya (Tabel 8), dan kondisi drainase kurang baik yang terindikasi dari ditemukannya plintit yang cukup banyak pada horizon B dan tanah horizon A berwarna coklat

keabu-abuan gelap, serta tanah juga terasa lebih padat (Lampiran 11), terutama dibanding Hapludoks Kalibalangan (Lampiran 10), didapatkan rata-rata hasil ubikayu UJ-5 sekitar 35 ton ha-1. Hapludoks Kalibalangan yang secara alami mempunyai struktur dan aerasi tanah lebih baik-warna tanah lapisan olah coklat kemerahan (5 YR4/3) sebagai indikasi dari proses oksidasi yang intensif- sepertinya sangat mendukung untuk perkembangan akar dan serapan hara tanaman sehingga hasil ubikayu UJ-5 ditanah ini (57 ton ha-1) lebih baik dibanding tanah lainnya. Hasil ubikayu pada Hapludoks Kalibalangan ini juga menggambarkan dengan jelas bahwa ubikayu UJ-5 sangat toleran terhadap kejenuhan Al-tinggi karena kejenuhan Al pada tanah ini mencapai 71% (Tabel 8).

Sementara itu pengaruh perlakuan BD, AM dan kompos jerami padi diperkaya kalium terhadap produksi ubikayu yang ditanam pada Kanhapludult Tegineneng dan Kandiudult Kotabumi secara rata-rata hampir sama yaitu di Kanhapludult Tegineneng 47 ton ha-1 dan di Kandiudult Kotabumi Selatan 48 ton ha-1 (Gambar 17). Hal itu disebabkan sifat fisiko-kimia lapisan olah kedua tanah ini hampir sebanding (Tabel 8). Demikian pula hasil diskripsi profil (Lampiran 9 dan 12) memperlihatkan horizon-horizon kedua tanah mempunyai sifat yang juga hampir sama.

Tabel 21 Hasil pengamatan jumlah spora AM dan persentase kolonisasi AM pada akar ubikayu yang tumbuh pada tanah yang diperlakukan dengan tanpa (M0) dan inokulasi AM (M1) pada penelitian Lab lapang di Kanhapludult Tegineneng Lampung.

No, Perlakuan Ulangan Jumlah Spora di

dalam 50 g Tanah Kolonisasi (%)

1 Tanpa AM dan BD) 1 0 0

2 0 0

Rata-rata 0 0

2 Inokulasi AM, tanpa BD 1 65 51,1

2 55 -

Rata-rata 60 51,1

3 Inokulasi AM, dengan BD 1 68 58,9

2 74 -

Rata-rata 71 58,9

Gambar 25 Keragaan akar ubikayu tanpa kolonisasi mikoriza dan dengan kolonisasi hifa dan veskula mikoriza.

Hasil uji di lapangan memperlihatkan jumlah produksi umbi ubikayu UJ-5 lebih respon terhadap perlakuan pengayaan kompos jerami dengan KCl 100 dan 200 kg ha-1, namun terhadap mutu umbi yang terindikasi dari peningkatan kadar pati dan penurunan kadar senyawa sianogen, interkasi BD dan AM berpengaruh nyata sebagaimana juga dengan pengayaan kompos jerami dengan 100 dan 200 KCl ha-1. Secara rata-rata kadar pati umbi pada perlakuan interaksi tersebut yaitu 36,7% BK dan 80,5% BB adalah lebih tinggi sekitar 13% dibanding kadar pati umbi ubikayu pada perlakuan kontrol (B0M0K0) yaitu 32,7% BK dan 71,3% BB. Satu hal yang menjadi perhatian dari hasil penelitian di lapangan adalah bahwa di dalam produksi umbi yang lebih banyak belum tentu terkandung kadar pati yang lebih tinggi. Seperti kadar pati umbi pada percobaan di Hapludoks Kalibalangan yang rata-rata terukur 32 %BB atau 74 %BK, lebih rendah dibanding rata-rata kadar pati umbi ubikayu pada percobaan di Plinthudult A. Semulih (37% BK atau 77% BB), padahal produksi umbi segar di Kalibalangan (57 ton ha-1) lebih tinggi dibanding produksi umbi ubikayu di A. Semullih (35 ton ha-1). Efektivitas serapan hara terutama hara N diperkirakan lebih baik pada tanah dari bahan volkan sekunder seperti Hapludoks Kalibalangan. Hal itu disebabkan struktur Hapludoks (Oksisol) relatif lebih baik dibanding struktur Plinthudult (Ultisol). Menurut El- Sharkawy dan Cadavid (2000); Howeler (2002) serapan N yang tinggi cenderung menurunkan kadar pati umbi.

Penurunan kandungan senyawa sianogen total (cyanogenic glucoside) seiring dengan peningkatan kadar pati juga ditemukan dalam uji di lapangan. Rata-rata senyawa sianogen total tertinggi terukur pada umbi ubikayu hasil dari perlakuan kontrol yaitu 342 ppm. Sementara kadar senyawa sianogen total terrendah (202 ppm) terukur pada perlakuan interaksi BD, AM dan kompos jerami diperkaya 200 kg KCl ha-1 (artinya turun 42% dari kadar senyawa sianogen total pada ubikayu perlakuan kontol). Hasil penelitian baik penelitian di Lab lapang maupun di lapangan memperlihatkan dengan jelas bahwa ketersediaan kalium tanah betul-betul merupakan faktor kunci kalau ingin memperbaiki mutu hasil ubikayu.

Jika berpedoman pada hasil penelitian di lapangan maka pengaruh pemberian kalium ke tanah melalui kompos yang diperkaya K terhadap hasil dan mutu hasil ubikayu dapat diilustrasikan sebagaimana grafik garis kecenderungan (trendline) pada Gambar 26. Jumlah K2O yang diberikan ke tanah pada perlakuan

kompos jerami (2 ton ha-1) tanpa pengayaan K (K0) adalah 20 kg ha-1 [kandungan K2O jerami padi 1% (Tabel 6)]. Seterusnya pada perlakuan pengayaan kompos

jerami padi dengan 50, 100 dan 200 kg KCl ha-1, maka jumlah K2O yang

diberikan ke tanah oleh masing-masing perlakuan adalah 46, 72 dan 124 kg ha-1 (52% kandungan K2O di dalam KCl ditambah 20 kg K2O di dalam 2 ton kompos

jerami padi ha-1).

Khusus untuk hasil umbi ubikayu, grafik garis kecenderungan pada Gambar 26 menginformasikan bahwa secara rata-rata setiap penambahan 40 kg K2O ha-1

(77 kg KCl ha-1) pada tanah masam penanaman ubikayu yang telah diberi pupuk urea dan SP-36 masing-masing 200 kg dan 150 kg ha-1, akan meningkatkan hasil ubikayu sekitar 9% (4 ton ha-1). Artinya penambahan modal usahatani ubikayu sekitar Rp. 300.000,- ha-1 (seandainya harga pupuk KCl dapat dipertahankan Rp. 4000 kg-1), maka dapat menambah pendapatan petani sekitar Rp. 3,2 juta ha-1 (harga ubikayu segar Rp. 800,- kg-1).

Gambar 26 Pengaruh pemberian K2O terhadap umbi, pati dan senyawa

sianogen total ubikayu UJ-5 pada beberapa tanah masam Lampung.

Produktivitas dan mutu hasil ubikayu UJ-5 yang lebih baik setelah adanya perbaikan pengelolaan tanah akan tidak berarti apabila cara pengelolaan yang direkomendasikan terlalu memberatkan petani terutama dilihat dari sisi biaya produksi. Oleh sebab itu petani ubikayu perlu diberikan pertimbangan dan gambaran sampai sejauh mana perbaikan cara pengelolaan tanah untuk usahatani ubikayu berdampak baik terhadap pendapatan petani. Untuk hal itu dilakukan analisis kelayakan usahatani ubikayu yang tidak hanya terbatas sebatas komparasi tingkat kelayakan usahatani antara bentuk-bentuk teknologi pengelolaan yang diuji, tetapi juga harus dibandingkan dengan pengelolaan usahatani ubikayu cara petani, apakah petani tradisional, petani agak maju (semi maju) ataupun petani kategori maju.

Hasil analisis BC-1, NPV dan IRR mengindikasikan secara jelas bahwa dengan cara apaupun, saat ini usahatani ubikayu di tanah masam Lampung adalah usahatani yang layak (menguntungkan). Adanya perbaikan harga (pada akhir penelitian harga umbi segar ditingkat petani sekitar Rp. 800,- kg-1) adalah faktor pengungkit utama yang membuat usahatani ubikayu sebagai usahatani yang

sangat layak. Namun demikian dari analisis lebih lanjut terutama terkait dengan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) dan kebutuhan hidup layak (KHL) petani, perspektif menjadi lain.

Dari hasil wawancara dengan petani-petani ubikayu di daerah kajian didapatkan bahwa besaran KHM untuk penduduk pedesaan yang dirumuskan oleh Sajogyjo (1977) sepertinya masih cukup relevan digunakan. Bagi KK petani ubikayu kategori tradisional, Rp. 20.000,- sehari (atau sekitar (Rp. 7.300.000,- tahun-1) dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari 3 anggotanya. Artinya KHM yang dirumuskan oleh Sajogyo (1977) untuk penduduk pedesaan, yaitu seharga 320 x harga beras kg-1 (Rp, 6000 kg-1) x jumlah anggota keluarga KK-1 (4 orang) = Rp. 7.680.000,- tahun-1 memperlihat nilai taksiran yang hampir sama dengan nilai kebutuhan aktual petani tersebut. Sejalan dengan hal itu nilai KHL yang dirumuskan oleh Sinukaban (2007) yaitu sebesar 250% dari KHM, sepertinya juga nilai yang masih relevan diterima sebagai nilai patokan untuk prediksi besaran kebutuhan hidup layak.

Hasil analisis NPV memperlihatkan bahwa meskipun usahatani ubikayu ditingkat petani terutama petani tradisional dan semi maju menguntungkan (rata- rata BC-1 2,48-2,93), namun hasil bersih yang diperoleh KK petani tradisional dari mengelola 1 ha lahan usahatani ubikayu, baru bisa memenuhi 51% KHM dan 21% KHL 3 anggota keluarganya. Kalau dikaitkan dengan luasan lahan penanaman maka sedikitnya KK petani tradisional harus menanam ubikayu seluas 4,9 ha untuk bisa mencukupi KHL keluarganya. Seorang KK petani semi maju dengan 3 anggota keluarga yang mengelola 1 ha lahan usahatani ubikayu, secara rata-rata bisa memenuhi KHM keluarganya, tetapi baru mencukupi sekitar 40% KHL keluarganya. Bagi petani ini sedikitnya diperlukan mengelola 2,5 ha lahan usahatani ubikayu untuk bisa memenuhi KHL keluarganya.

Penggunaan BD sebagai tanaman sela dan juga AM serta kompos jerami diperkaya 100 dan 200 kg KCl ha-1, didukung dengan pemberian pupuk dasar urea (200 kg ha-1) dan SP-36 (150 kg ha-1) nyata meningkatkan kelayakan usahatani ubikayu. KK petani yang mengelola 1 ha lahan usahatani ubikayu bila mengaplikasikan amelioran-amelioran tanah tersebut akan mampu memenuhi 100 % KHL keluarganya (KK dengan 3 anggota).

Kemampuan BD dalam meningkatkan K tanah tersedia (laporan sebelumnya) sehingga bisa membantu petani mengatasi masalah kelangkaan dan mahalnya harga pupuk kalium dapat membawa ke model pengelolaan usahatani ubikayu yang efisien dan efektif. Demikian pula AM yang mampu memperbaiki serapan hara tanaman dan agregat tanah masam miskin hara (Rillig 2004) juga akan mengefektifkan penggunaan pupuk dan memperbaiki mutu hasil ubikayu. Namun demikian hasil analisis kelayakan usahatani ubikayu ini perlu pembuktian dan pengujian lebih lanjut di lapangan.

Peluang lain yang terbuka untuk mengoptimalkan potensi amelioran- amelioran tanah tersebut terutama BD dalam perbaikan kualitas tanah masam dan mutu hasil ubikayu adalah memanfaatkannya sebagai sumber pakan disamping memperbaiki sifat fisiko-kimia tanah. Hal itu dapat dipelajari melalui uji coba suatu sistem usahatani integrasi ubikayu-ternak dengan BD sebagai tanaman sela ubikayu. Hasil penelitian di lapangan menunjukan BD sebagai tanaman sela pada 1 ha lahan usahatani ubikayu dapat menghasilkan pangkasan daun sekitar 800-900 kg bulan-1 atau sekitar 30 kg hari-1. Pangkasan daun ini baru bisa mencukupi pakan untuk 1 ekor sapi (berat 200-300kg) hari-1 (Suhardjo et al. 1995; Maswar et al. 1995). Terkait dengan kelayakan usaha ternak sapi potong atau sapi perah bagi KK petani yaitu layak secara ekonomi bila memelihara 4-6 ekor sapi (Tawaf et al. 2006; BPTP Kalteng, 2009) maka dalam sistem usahatani integrasi ubikayu-

Dokumen terkait