• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Masam di Daerah Lampung

Klas tanah masam yang terhampar luas di Propinsi Lampung adalah Oksisol (Mulyani et al. 2003). Oksisol adalah tanah matang yang terbentuk oleh proses desilikasi dan laterisasi di daerah lembab dan hangat yaitu daerah tropik dan merupakan tanah yang mengalami pelapukan berat bahkan melebihi Ultisol. Pada lapisan bawah (horizon B) ditemukan horizon oksik, yaitu horizon sub permukaan yang mengandung liat hidrous-oksida atau seskuioksida dan liat kaolinit dalam jumlah besar. Pada banyak Oksisol juga ditemukan plintit dan selain itu karena muatan elektrik dari Oksisol adalah muatan variabel, tanah ini kadang juga sebagai referensi untuk tanah bermuatan variabel (Tan 2000).

Di kawasan Bangun Rejo, Lampung Tengah ditemukan grup tanah Oksisol yaitu Hapludoks dengan rata-rata pH ≤ 4,5. Tanah ini secara umum miskin hara (Tala’ohu et al. 2003). Tanah Hapludoks juga didapatkan di Baradatu, Kabupaten Waykanan dengan pH tanah kisaran 4,3-4,9. Tanah ini mempunyai kandungan P tersedia rendah dan kadar K potensial sangat rendah yang terutama akibat pelapukan lanjut menyebabkan mineral-mineral sumber hara K tidak dijumpai lagi di dalam tanah. Hasil identifikasi lebih lanjut mendapatkan tanah ini didominasi oleh mineral kuarsa dan opak yang merupakan mineral tahan lapuk sebagai sisa dari hasil pelapukan lanjut (Prasetyo & Ritung 1998).

Di Lampung Tengah, tepatnya di kawasan Purwodadi dan Simbawaringin ditemukan tanah Ultisol. Tanah Ultisol adalah tanah matang yang terbentuk oleh kombinasi proses laterisasi dan podsolisasi dan pada sub horizon ditemukan horizon argilik atau kandik (Soil Survey Staff 1999). Kelompok Ultisol yang ditemukan di Lampung adalah Hapludult dan Plinthudult, dengan pH kisaran 4,5 – 4,8 dan hara K merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman (Widowati et al. 2003). Tanah Ultisol lainnya yang ditemukan di Lampung Tengah tepatnya di daerah Sidowaras adalah Kandiudult. Tanah ini mempunyai kadar liat tinggi dengan kandungan hara secara umum rendah (Nasution 2003). Di wilayah Lampung Utara juga ditemukan tanah Ultisol, tepatnya di daerah Abung

Barat yaitu Kandiudult dengan pH kisaran 5,0-5,4 dan mempunyai status P tersedia rendah (Sutriadi et al. 2003).

Aluminium Pada Tanah Masam

Sifat-sifat kimia tanah masam yang membatasi pertumbuhan dan menurunkan produksi tanaman antara lain kehadiran ion beracun seperti Al, Mn dan tidak tersedianya unsur-unsur hara penting untuk pertumbuhan tanaman seperti P, K, Ca, Mg, Mo dan Si (Pietraszewska 2001).

Aluminium adalah metal yang paling banyak pada kerak bumi yang kebanyakan berupa bentuk yang tidak larut. Tetapi pada tanah pH < 5, spesies Al3+ yang bersifat racun larut pada tingkatan yang menghambat pertumbuhan akar dan menurunkan produksi tanaman (Le Van & Masuda 2004). Menurut Jorge dan Arruda (1997) Al adalah unsur tanah masam yang paling beracun dimana bila pH tanah turun, kelarutan Al akan semakin memperburuk produktivitas tanaman. Al pada tingkatan beracun akan menghambat perpanjangan akar sebagai konsekwensi dari terganggunya ujung akar. Brady et al. (1990) menginformasikan 2 μM Al di dalam larutan hara menyebabkan reduksi nyata dari perakaran kedelai.

Kehadiran Aluminium (Al) sebagai kendala utama produktivitas tanah masam terjadi dalam bentuk yang berbeda di dalam larutan tanah. Al3+ hadir pada pH 4-5, Al(OH)2+ dan Al(OH)2+pada pH 5,5-7, dan Al(OH)4- pada pH 7-8. Ion kompleks

lain seperti AlO4Al12(OH)24(H2O)127+(Al13) juga bersifat racun. Tetapi tidak ada

keracunan rizosfir terdeteksi untuk kehadiran AlSO4+ dan Al(SO4)2- atau Al-F

(yaitu AlF2+ and AlF2+). Status dari Al(OH)2+ dan Al(OH)2+

Dai et al. (1989); Hikmatullah et al. (1990); Hidayat et al. (1989) melaporkan bahwa tingkat kejenuhan Al untuk masing-masing jenis tanah masam di daerah Lampung sangat bervariasi, mulai dari tanpa masalah kejenuhan Al sampai kepada kejenuhan Al sangat tinggi. Salah satu faktor yang cukup berpengaruh, adalah bahan induk tanah. Tanah masam lahan kering yang berkembang dari bahan induk desit, liparit, batuan liat dan granit kelihatannya cenderung mempunyai kejenuhan Al rendah sampai sangat tinggi. Jenis tanah tidak tentu meskipun hasil penelitian mengindikasikan Al-OH bersifat racun (Kinraide 1997; Pietraszewska 2001).

yang berkembang dari bahan induk tersebut bisa Inseptisol (Distropept), Oksisol (Hapludoks dan Kandiudoks) atau Ultisol (Hapludult dan Kandiudult). Berdasarkan penyebaran jenis tanah, terindikasi pula tanah dengan kejenuhan Al sedang sampai tinggi lebih banyak ditemukan di wilayah Lampung bagian Utara, sementara di daerah Lampung bagian Selatan, kejenuhan Al tidak terlalu bermasalah.

Ubikayu (Manihot esculenta crantz)

Ubikayu tergolong ke dalam famili Euphorbiaceae. Ubikayu adalah tanaman semak/pepohonan semi kayuan berasal dari Amerika Selatan. Brazilia merupakan pusat asal dan keragaman ubikayu. Euphorbiaceae mempunyai sekitar 7200 spesies (Prihandana et al. 2008). Klasifikasi tanaman ubikayu sebagai berikut:

Klas : Dicotyledoneae

Sub klas : Arhichlamydeae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Sub famili : Manihoteae Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz (Sumber: Prihandana et al. 2008)

Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) dikenal juga sebagai Manihot utilissima dan Manihot alpi adalah tanaman semak tahunan yang cukup tinggi dengan tinggi tanaman bisa mencapai 7 m, dan diameter batang untuk spesies tertentu (bukan komersil) bisa mencapai 20 cm. Tanaman terdiri dari satu atau beberapa batang, sedikit bercabang, dengan warna hijau muda sampai sedikit kemerahan, Kulit luar mulus bewarna coklat muda sampai abu-abu kekuningan, kulit dalam krem-kehijauan, mengeluarkan getah, berair, dan kayunya lunak (USDA & NRCS 2009).

Kultivar-kultivar ubikayu dibedakan atas dasar morfologi (bentuk dan ukuran daun, tinggi tanaman, serta warna tulang daun), bentuk umbi, lama

kematangan, hasil dan kandungan senyawa sianogen (cyanogenic glucoside). Berdasarkan kandungan senyawa sianogen ubikayu dibedakan atas dua kelompok yaitu varitas pahit dan manis. Varitas manis masih mengandung sedikit senyawa sianogen. Daun ubikayu tersusun secara spiral dan muncul dari bagian buku batang dan petiole (tulang daun) menjari, dengan warna hijau terang/muda sampai merah serta bentuk daun mirip pedang. Warna daun bagian atas hijau tua dan bagian bawah abu-abu kehijauan, sedikit pucat, kadang beraneka warna, dan helai daun sempit dengan panjang daun 2,9-12,5 kali lebar (White et al. 1998; USDA & NRCS 2009).

Umbi ubikayu panjang dan melonjong dengan daging keras yang cukup seragam ditutupi kulit umbi berwarna coklat dan kasar setebal ±1mm. Umbi tumbuh dalam bentuk kluster dan pada varitas komersil diameter umbi sekitar 5- 10 cm dengan panjang 50-80 cm. Sepanjang pusat umbi diisi bagian yang mengayu berbentuk pita. Daging umbi bisa seputih kapur atau menguning, mengandung pati yang tinggi (20-30% berat basah) dan kandungan mineralnya seperti kalsium dan posfor masing-masing sekitar 50 dan 40 mg 100 g-1 serta vitamin C sekitar 25 mg 100g-1

Varitas UJ-5 (Umas Jaya-5) adalah ubikayu KU-50 (Kasetsart University- 50) yang telah diuji oleh Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) dan dinyatakan sebagai ubikayu unggul untuk bahan baku industri dan diberi nama UJ-5. Badan Litbang Pertanian (2010) menyatakan UJ-5 memenuhi syarat sebagai sumber bahan baku FGE (fuel grade ethanol) karena; 1) kadar pati tinggi, 2) potensi hasil tinggi, 3) tahan cekaman biotik dan abiotik dan 4) fleksibel dalam usahatani dan umur panen (Prihandana et al. 2008). Potensi produksi ubikayu UJ-5 sekitar 25-38 ton ha

. Sebagai sumber energi (karbohidrat), hasil ubikayu perluasan tanam hanya kalah oleh tebu, namun ubikayu miskin akan protein dan nutrisi lainnya. Sementara daun ubikayu yang kadang dimanfaatkan sebagai sayuran atau pakan cukup kaya akan protein meskipun juga mengandung senyawa sianida (HCN) yang cukup tinggi (Tonukari 2004; USDA & NRCS 2009).

Ubikayu Varitas UJ-5

-1

, kadar pati 20-30% berat basah (BB) dan kadar HCN>100 ppm (rasa agak pahit). Tinggi tanaman > 2,5 m dengan umur

panen 9-10 bulan dan merupakan varitas yang agak tahan penyakit CBB (Cassava Bacterial Blight). Sifat-sifat lainnya dari umbi UJ-5 antara lain bahan kering 46,31%, kadar gula 43,47%, kadar pati 80,24% dan konversi ubi segar menjadi bioetanol adalah 4,35 kg liter-1. Kelebihan varitas ini dibanding varitas lain yang juga direkomendasikan untuk bahan baku industri adalah kadar air yang lebih rendah dan kadar gula serta kadar pati yang lebih tinggi. Kekurangannya adalah umur panen yang sedikit lebih lama (Wargiono et al. 2006; Ginting et al. 2006 diacu dalam Prihandana et al. 2008; Badan Litbang Pertanian, 2010). Sifat lain yang menguntungkan dari UJ-5 adalah; 1) daun tidak cepat gugur, 2) adaptif terhadap tanah masam (pH rendah) dan tanah alkali (pH tinggi), 3) adaptif pada kondisi populasi tinggi sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma, dan 4) dapat dikembangkan pada pola tumpang sari (Wargiono et al. 2006).

Brachiaria sp.

Rumput Brachiaria adalah rumput daerah tropik basah yang berasal dari Afrika terutama Uganda, Kenya, dan Tanzania. Rumput ini mulai diperkenalkan ke Indonesia pada tahun 1958 (Siregar & Djajanegara 1971, diacu dalam Fanindi & Prawiradiputra 2005). Genus Brachiaria termasuk ke dalam tribus Paniceae, merupakan tanaman rumput berumur panjang dan tumbuh semi tegak sampai tegak (prostate/semierect-erect) serta merayap (creeping perennial). Tangkai bunga (spikelets) dapat tumbuh mencapai tinggi 1 m (Jayadi, 1991). Bentuk daun lurus dengan panjang 10-100 cm dan lebar 3-20 mm, berambut atau berbulu dan berwarna hijau. Tangkai bunga berbentuk bujur (oblong/ovate) dan terdiri dari 2- 16 tandan bunga (racemes) dengan panjang 4-20 cm (Schultze-Kraft 1992). Tanaman ini berkembang biak dengan rizoma, stolon atau dengan biji dan untuk spesies Brachiaria brizantha dapat diperbanyak dengan menggunakan stek batang (Schultze-Kraft & Teitzel 1992). Selengkapnya klasifikasi tanaman Brachiaria (Reksohadiprojo (1985) sebagai berikut:

Filum : Spermatopyta Sub-Filum : Angiospermae Klas : Monocotyledoneae Ordo : Glumiflora Famili : Gramineae Tribus : Paniceae Genus : Brachiaria

Spesies : 1. Brachiaria ducumbens

2. Brachiaria ruziziensis

3. Brachiaria brizantha

Rumput Brachiaria dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah tidak subur denga Tiga spesies terpenting dari kelompok Brachiaria yang ditanam untuk lahan pengembalaan adalah B. decumbens (BD), B. brizantha (BB) dan B. ruziziensis (BR). BD dan BB agak sedikit sulit dibedakan. BR dikenali oleh lebar daunnya yang lebih sempit, rachis (tandan bunga) berbentuk sayap dengan lebar 2-3,5 mm, sementara BD mempunyai lebar rachis berbentuk sayap dengan lebar 1-1,7 mm. Pada kedua spesies ini spikelets (tangkai bunga) muncul dua baris dan tekstur dari glume serta lemma yang lebih bawah seperti selaput. Sementara BB mempunyai tandan bunga (rachis) berbentuk bulan sabit dengan lebar kadang > 1 mm, tangkai bunga (spikelets) tunggal dan tekstur dari glume dan lemma lebih bawah seperti tulang rawan (Shalton 2008).

Hal lain yang membedakan BB dari BD dan BR adalah daun yang lebih tegak, merumpun dan sering lebih panjang. Sedangkan BD dan terutama BR daunnya agak lebih sempit. Di lapangan keragaan pertumbuhan BB dan BD cendrung hampir serupa, dan keduanya hanya dapat dibedakan oleh bentuk rachis, susunan spikelet dan tekstur. BD beradaptasi lebih baik terhadap tanah berpasir, tanah masam dan miskin dibanding BB yang lebih membutuhkan tanah dengan kesuburan alami yang tinggi, namun BB menghasilkan biomasa (hijauan) yang lebih banyak dibanding BD (Usberti & Martins 2007).

Brachiaria decumbens (BD)

BD oleh sebagian petani Indonesia dikenal sebagai rumput bede. Nama yang lebih umum untuk rumput BD adalah rumput suriname atau rumput signal (signal grass). Rumput BD berasal dari Afrika dan tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan sub tropis. Diperkenalkan ke daerah tropis Australia pada tahun 1930 dan baru sekitar 20-25 tahun yang lalu potensi hijauannya sebagai sumber pakan dikembangkan secara penuh (Shelton 2008).

BD meskipun rumput daerah tropik basah, namun toleran kondisi kekeringan 4 – 5 bulan. BD lebih menyukai CH >1500 mm tahun-1 dan tumbuh jelek bila kekeringan > 5 bulan. Pada kondisi kekeringan pangkasan hijauannya lebih baik dibanding rumput Brachiaria mutica, Panicum maximum, dan digitaria decumbens. Rumput BD menjadi penting karena produktivitasnya yang tinggi di bawah penggunaan yang intensif, bertoleransi baik pada tanah miskin dan rendah P. Kemampuan adaptasi tinggi pada tanah miskin antara lain disebabkan kemampuan sistem perakarannya yang tumbuh bercabang secara aktif dan cepat (Gaume et al. 2004). BD juga relatif bebas dari serangan hama dan penyakit dan tahan terhadap perumputan berat serta tetap hijau dalam musim kering (Mardi 2008).

Secara umum rumput ini tumbuh menjalar dan cepat membiak. Buku ruas pada batang mengeluarkan akar hingga bisa berkembang dengan cukup cepat. Tinggi BD 30-50 cm, daunnya pendek, meruncing dan tajam pada bagian tepi, berwarna hijau dan mempunyai sedikit bulu halus. BD meskipun berbunga tetapi bijinya kurang subur karena dormansi biji yang panjang akibat karakter kulit biji yang menghalangi difusi oksigen (Whiteman & Mendra, 1982, diacu dalam Usberti & Martins 2007). Cara yang paling baik untuk menanam ialah dengan potongan tunggul akar (Mardi 2008). Bila menanam dengan biji maka jumlah biji yang diperlukan sekitar 2-4 kg ha-1. Hasil penelitian menunjukkan biji yang baru dipanen agak sulit berkecambah, oleh karena itu biji sebaiknya ditoreh terlebih dahulu dengan menggunakan asam sulfat komersil selama 10-15 menit atau disimpan dahulu selama 6-12 bulan sebelum digunakan (Schultze-Kraft. 1992; Grof 1968 diacu dalam Shalton 2008).

Dalam pengembangan sebagai rumput pengembalaan, BD ditanam bersamaan dengan kacang-kacangan seperti Desmodium heterophyllum, D. ovalifolium dan ipil-ipil dapat menghasilkan biomasa pakan yang lebih banyak (hasil biomasa kering antara 14 - 26 ton ha-1 tahun-1) (Fisher & Kerridge 1996 diacu dalam Shalton 2008; Mardi 2008). Hijauan BD dengan kadar protein sekitar 8,5%, lebih direkomendasikan untuk pakan ternak ruminansia besar (Mardi 2008).

Kandungan Hara dan Senyawa Organik dari Daun BD

Norton et al. (1990); Wenzl et al. (2003); Chee dan Wong (1985) diacu dalam Fanindi dan Prawiradiputra (2005) mengemukakan hasil analisis kandungan hara dan beberapa senyawa organik di dalam daun BD (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan hara dan senyawa organik dari daun BD

Kandungan Terukur Hara dan senyawa

organik

Chee & Wong (1985) diacu dalam Fanindi & Prawiradiputra (2005) Norton et al. (1990) Wenzl et al. (2003) N P K Ca Mg Protein kasar Selulosa Hemiselulosa Lignin g kg-1 g kg 16,9 1,5 13,5 3,0 1,9 106 - - - g kg -1 10,1 1,48 - - - - 367 319 17,3 -1 34-48 1,8-4,5 47-68 1,3-5,2 0,7-4,1 - - - - Keterangan: - = tidak diamati

Peranan BDdalam Perbaikan Kualitas Tanah Masam

BD merupakan spesies yang tahan terhadap keracunan aluminium. Dari hasil penelitian terbukti penambahan 200 µM Al ke media tanam, sama sekali tidak mempengaruhi pertumbuhan BD. Sementara untuk perlakuan yang sama, menurunkan sekitar 50% panjang akar BR. Ketahanan tersebut terkait dengan eksudat yang dihasilkan perakaran, yaitu berupa senyawa-senyawa organik, diantaranya asam sitrat dan malat (Grundy et al. 2002).

Hasil pengujian lain mengindikasikan BD lebih beradaptasi pada tanah dengan kandungan P rendah dibanding BR. Dari hasil observasi diketahui penyebabnya yaitu sistem perakaran BD lebih aktif tumbuh dan bercabang dibanding perakaran BR. Selain itu terlihat asosiasi perakaran BD dengan mikoriza yang berperan dalam meningkatkan serapan P tanah (Gaume et al. 2004).

Kemampuan besar sistem perakaran BD dalam memperbaiki tanah terdegradasi adalah melalui perbaikan siklus hara, peningkatan bahan organik, perbaikan struktur tanah dan peningkatan infiltrasi air (Husson et al. 2003; Charpentier et al. 2006). Namun hasil penelitian di Brazilia mendapatkan ada indikasi penurunan kandungan K tanah di bawah penanaman rumput tersebut dan hal itu diduga sebagai akibat perumputan yang banyak membawa K keluar lahan (terangkut bersama biomasa BD) (Araujo et al. 2004).

Eksudat Akar dan Rizosfir

Senyawa kimia yang dikeluarkan akar ke tanah secara garis besar direferensikan sebagai eksudat akar (Walker et al. 2003). Bahan ini disamping berperan sebagai pendukung mekanik tanaman, pengambilan air dan hara, akar juga memperlihatkan peranan khusus, mencakup kemampuan untuk mensintesis, mengakumulasi dan mensekresi sederetan senyawa-senyawa kimia (eksudat akar). Namun proses yang dimediasi oleh akar di rizosfir tersebut belum begitu banyak diketahui (Walker et al. 2003).

Senyawa kimia yang beragam dari eksudat akar akan mempertahankan kontak tanah-akar, melumasi ujung akar, melindungi akar dari desikasi (kekeringan), menstabilkan agregat mikro tanah, menyerap dan menyimpan ion- ion yang terseleksi, mengatur komunitas mikroba tanah di sekitar perakaran, mengatasi mikroba penganggu, mendukung simbiosis yang menguntungkan, pertukaran sifat-sifat fisika dan kimia tanah, dan menghambat pertumbuhan spesies tanaman kompetitor. Dengan kata lain senyawa-senyawa yang dikeluarkan akar juga akan berperan sebagai penarik (attractan) dan penangkis (repellants) di lingkungan sistem perakaran (Walker et al. 2003).

Rizosfir merupakan bagian dari tanah yang berada di bawah pengaruh langsung sistem perakaran tanaman dengan ketebalan sekitar beberapa millimeter dari permukaan akar. Sifat tanah ini dipengaruhi oleh eksudat akar yang bervariasi tergantung spesies tanaman dan tipe tanah. Di rizosfir jumlah serta aktivitas mikroba lebih banyak dibanding dengan tanah yang jauh dari pengaruh perakaran (Angle et al. 1996). Rizosfir yang sehat akibat adanya eksudat akar juga terbukti mempunyai daya pegang air tanah yang lebih baik (Young 1995, diacu dalam Walker et al. 2003).

Akar tanaman mempengaruhi karakteristik fisika, kimia dan biologi tanah di rizosfir. Reaksi biogeokimia yang disebabkan oleh mikroorganisme di daerah pertemuan akar-tanah, memainkan peranan penting dalam ketersediaan hara bagi tanaman (Gobran & Clegg 1996). Akar tanaman mempengaruhi rizosfir dengan berbagai cara. Ketika sel akar mati dan terkelupas maka mikroorganisme dengan cepat mendegradasi komponen sel. Namun yang lebih penting adalah ekskresi akar berupa beragam senyawa organik yang akan mempengaruhi jumlah dan keragaman mikroba di rizosfir (Angle et al. 1996).

Sifat fisiko-kimia lainnya yang berbeda antara zona mikro (rizosfir) dengan tanah bulk adalah keasaman, kelembaban, status hara, konduktivitas elektrik dan potensial redoks (Chen 2008). Selain adanya eksudat akar, perbedaan karakteristik tersebut juga disebabkan oleh asosiasi akar dengan organisme simbiosis dan non- simbiosis seperti bakteri dan jamur mikoriza. Populasi mikroba adalah bagian penting dari rizosfir dan mempengaruhi rizosfir dengan berbagai aktivitas seperti pengambilan air, hara, eksudat dan transformasi secara biologi (Koo et al. 2005). Senyawa yang teridentifikasi dalam eksudat akar juga memperlihatkan suatu peranan penting dalam interaksi akar-mikroba yaitu mencakup senyawa flavonoid yang ditemukan di dalam eksudat akar kacang-kacangan. Senyawa ini mengaktifkan gen Rhizobium melioti yang bertanggung jawab dalam proses nodulasi (Peters et al. 1995 diacu dalam Walker et al. 2003). Senyawa ini juga kemungkinan bertanggung jawab untuk kolonisasi mikoriza (Walker et al. 2003). Hasil penelitian di Afrika Barat mengindikasikan struktur komunitas mikroba di rizosfir sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman yang ditanam. Di bawah penanaman tanaman biji-bijian secara terus menerus, struktur komunitas

mikroba rizozfir mempunyai kesamaan yang tinggi. Sementara di bawah sistem pergiliran tanaman ditemukan struktur komunitas mikroba dengan variabilitas tinggi. Interaksi faktor-faktor kimia dan biologi akibat variabilitas mikroba yang tinggi di bawah pergiliran tanaman, sangat menguntungkan dalam kaitannya dengan peningkatan N, ketersediaan P, perubahan pH dan infeksi mikoriza, serta penurunan parasit nematoda. Keragaman struktur mikroba di bawah pergiliran tanaman sangat terkait dengan perbedaan jenis dan jumlah eksudat akar yang dikeluarkan oleh masing-masing spesies tanaman (Alvey et al. 2003).

Kehadiran eksudat akar di rizosfir berperan dalam mempengaruhi reaksi kimia dan aktivitas mikroba di lingkungan tersebut. Di dalam larutan tanah, kation-kation berada dalam konsentrasi rendah dan cenderung diadsorbsi ke perakaran melalui suatu pertukaran ion, ikatan hidrogen (Hydrogen bonding) dan kompleksasi (complexation). Tingkat transfer ke perakaran atau ke sel mikroba akan sangat bergantung pada reaksi biogeokimia antara tanah, perakaran tanaman (eksudat) dan mikroba di rizosfir (Koo et al. 2005).

Perubahan pH di rizosfir terjadi karena pengambilan hara terlarut oleh tanaman dilakukan melalui proses pengasaman rizosfir. Proses asidifikasi ini terjadi karena keluarnya proton mengikuti pengambilan kation. Penelitian lebih lanjut mengindikasikan bahwa asidifikasi hanya terjadi di bawah kondisi terang (cahaya), dimana pengambilan kation akan meningkat saat ada cahaya (Rao et al. 2002).

Asam Organik dan Kelatisasi Ion

Senyawa-senyawa utama yang didapatkan di rizosfir, antara lain asam-asam organik, gula, asam amino, lemak, kumarin, flavonoid, protein, enzim, alipatik dan aromatik. Diantara senyawa tersebut, asam organik mendapat perhatian lebih karena peranannya dalam menyediakan substrat untuk metabolisme mikroba dan mediasi reaksi biogeokimia di dalam tanah (Angle et al. 1996; Koo et al. 2005). Senyawa asam organik yang utama di zona mikro (soil-root interface) tersebut adalah asam organik dengan berat molekul (BM) rendah (Tan 2000).

Asam organik dengan BM rendah dipercayai memegang peranan penting dalam berbagai proses di dalam tanah seperti membuat hara tanah lebih tersedia

dan meningkatkan kelarutan hara P dan detoksi Al3+, membantu respon kemotaktik dan pembentukan asosiasi simbiotik (Gottlein, et al. 1999; Dakora & Philipe 2002 diacu dalam van Hees et al. 2005), melindungi tereksposnya perakaran tanaman ke konsentrasi beracun dari Al3+ pada tanah masam, mengganti muatan permukaan dan sifat-sifat elektrokinetik tanah dan pelapukan dari mineral-mineral tanah. Namun pemahaman mendasar dari peranan-peranan penting tersebut di dalam tanah belum begitu jelas (Wang et al. 2007).

Komponen asam organik dari eksudat akar terdiri dari tartarat, oksalat, sitrat, malat, asetat, propionate, butirat, suksinat, fumarat, glikolat, valerat dan malonat. Asam-asam organik yang dilepas ke tanah oleh akar dengan aktif meningkatkan kemampuan tanaman untuk hidup dan berkembang secara normal di bawah kondisi defisiensi hara yang berat (Shen et al. 1996). Menurut Tan (2000), kebanyakan dari asam organik hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah di dalam tanah. Asam organik hanya dapat dideteksi dengan lapisan tipis atau gas kromatografi. Asam format biasanya ditemukan di dalam tanah dalam rentang 0,5-0,9 mmol 100g-1 tanah, sementara asam asetat antara 0,7 dan 1,0 mmol 100g-1

Khususnya asam organik fenolik dan alipatik, tidak hanya mampu meningkatkan ketersediaan hara seperti PO4 dan Fe secara biologi, tetapi juga

aktif dalam detoksi Al

tanah (Tan 1986 diacu dalam Tan 2000).

Hasil penelitian Lu et al. (2001) memperlihatkan asam-asam organik seperti sitrat, malat, oksalat, dan tartarat merangsang mobilisasi P. Kemampuan dalam memobilisasi P ini secara order sitrat > oksalat > tartarat > malat. Jerapan P oleh tanah masam juga berkurang oleh asam organik BM rendah dengan tingkat efisiensi 23,5 - 48,36%. Asam organik dapat menghambat jerapan P dengan mengganti posisi hara tersebut pada tempat-tempat jerapan terutama pada tanah dengan kelarutan Fe dan Al oksida-hidroksida yang tinggi.

3+

dan kemungkinan ion-ion beracun lain. Dari hasil penelitian terindikasi bahwa dalam kelatisasi (detoksi) Al3+, perakaran spesies tanaman berbeda akan mengeluarkan asam organik berbeda. Dalam merespon keberadaan Al, akar tanaman jagung mengeksudasi 2-4 kali lipat asam sitrat dibanding asam malat (Jorge & Arruda 1997), tanaman gandum (wheat) mengeluarkan sepuluh kali lipat asam malat dibanding asam sitrat (Delhaize et al.

1993, diacu dalam Jorge & Arruda 1997), sementara tanaman kacang-kacangan

Dokumen terkait