• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cabai merupakan salah satu produk hortikultura yang dapat dikonsumsi segar maupun sebagai bahan dasar dalam industri makanan maupun farmasi dan kosmetika. Kuantitas dan kualitas merupakan fokus utama bagi pemulia dalam memperbaiki atau merakit varietas cabai. Produksi varietas cabai yang ada masih jauh dari potensi produksinya sehingga upaya pemuliaan dapat terus dilakukan untuk mendapat varietas cabai dengan produksi tinggi. Permasalahan lain yang sering timbul adalah adanya gangguan hama dan penyakit serta virus yang menurunkan produktivitas dan kualitas cabai. Penyakit penting yang sering ditemukan di pertanaman cabai adalah antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri. Oleh karena itu, kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan cabai yang berproduksi tinggi dan tahan terhadap beberapa penyakit terus diupayakan.

Untuk mendapatkan sumber gen berproduksi tinggi dan ketahanan terhadap beberapa penyakit maka dilakukan evaluasi daya hasil dan ketahanannya terhadap penyakit antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri pada beberapa genotipe cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Karakter daya hasil yang diamati adalah bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah dan diameter buah. Variabel yang diamati dalam mengevaluasi ketahanan pada ketiga penyakit adalah kejadian penyakit (KP).

Karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah memiliki keragaman genetik yang luas pada 28 genotipe yang diuji sehingga seleksi sangat efektif jika dilakukan pada karakter-karakter tersebut dan memberikan harapan pada kemajuan genetiknya. Keragaman ini terlihat pada Tabel 10 bahwa bobot per tanaman bervariasi dari 133.36-642.78 g, bobot per buah 0.91-15.31 g dan panjang buah 3.48-14.20 cm. Sebaliknya, karakter diameter buah memiliki keragaman genetik yang sempit sehingga tidak efektif dilakukan seleksi karena genotipe-genotipe yang digunakan memiliki konstitusi genetik yang mirip satu sama lainnya untuk karakter diameter buah dan ini ditunjukkan oleh kisaran diamater buah yang sempit, yaitu 0.61-2.09 mm (Tabel 10). Untuk itu

perlu dilakukan peningkatan keragaman genetik diameter buah, diantaranya dengan melakukan persilangan atau melakukan eksplorasi.

Nilai heritabilitas pada semua karakter daya hasil yang diamati tergolong tinggi dan ini menunjukkan bahwa karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah lebih dipengaruhi secara genetik dibanding lingkungan. Karena dikendalikan secara genetik maka karakter-karakter tersebut dapat diwariskan kepada turunannya. Karakter diamater buah walaupun sempit keragaman genetiknya namun dapat diwariskan.

Untuk melihat keeratan hubungan suatu karakter terhadap karakter lainnya dapat diketahui dengan melihat korelasinya. Karakter bobot buah per tanaman berkorelasi positif dengan bobot per buah, panjang buah dan diameter buah sehingga peningkatan bobot per buah, panjang buah dan diameter buah akan meningkatkan bobot buah per tanaman. Korelasi positif juga terjadi pada bobot per buah dengan panjang buah dan diameter buah, semakin panjang buah dan semakin besar diameter buah maka akan meningktkan bobot per buah. Namun, tidak terdapat korelasi antara panjang buah terhadap diamater buah, artinya perubahan diameter buah tidak mempengaruhi panjang buah. Dengan mengetahui korelasi suatu karakter dengan karakter lainnya maka seleksi dapat dilakukan dengan menggunakan semua karakter yang berkorelasi atau menggunakan salah satu karakter dengan memperhatikan bentuk korelasinya, positif atau negatif. Nilai korelasi yang mendekati 1 dan -1 berarti memiliki korelasi yang kuat sehingga dalam memilih karakter yang digunakan untuk seleksi sebaiknya memilih karakter dengan korelasi yang kuat. Untuk mengetahui bobot buah per tanaman maka karakter bobot per buah (r=0.62**) dapat dijadikan karakter seleksi selain panjang buah (r=0.59**) dan diameter buah (r=0.44*). Hal yang sama jika ingin memperoleh bobot per buah yang tinggi maka dapat diseleksi dengan karakter panjang buah (r= 0.55**) dan diamater buah (r=0.82**).

Pengujian ketahanan 25 genotipe cabai terhadap penyakit antraknosa menggunakan Colletotrichum acutatum isolat PYK04. Inokulasi menggunakan metode tusuk pada buah hijau yang sudah tua. Pengamatan dilakukan pada kejadian penyakitnya. Sastrosumardjo (2003) menyatakan bahwa kejadian penyakit adalah variabel yang baik untuk mengidentifikasi kelas ketahanan.

IPBC15 dan IPBC131 berturut-turut merupakan genotipe tahan dan moderat, sedangkan 23 genotipe lainnya tergolong rentan (Tabel 13). Syukur (2007) juga melaporkan bahwa IPBC15 tahan terhadap C. acutatum isolat PKY04.

Pengujian ketahanan 22 genotipe cabai terhadap penyakit hawar

phytophthora menggunakan Phytophthora capsici isolat TG01. Genotipe yang tergolong tahan adalah IPBC12, IPBC13, IPBC15, IPBC128, dan IPBC120 dan rentan adalah IPBC9, IPBC14, dan IPBC19, serta genotipe lainnya tergolong agak tahan (Tabel 14). Yunianti et al. (2007) melaporkan bahwa IPBC15 tergolong agak tahan dan IPBC14 tergolong sangat rentan.

Evaluasi ketahanan 22 genotipe cabai terhadap Ralstonia solanacearum

penyebab layu bakteri dilakukan di lapangan. Sebagian besar genotipe tergolong sebagai genotipe tahan. Genotipe yang agak tahan adalah IPBC12, IPBC15, IPBC125, IPBC126, sedangkan yang agak rentan adalah IPBC19 dan IPBC127 (Tabel 15).

Keragaman genetik pada genotipe-genotipe yang dievaluasi ketahanannya terhadap penyakit antraknosa adalah sempit. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe tersebut memiliki kekerabatan yang dekat pada gen-gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa. Ketahanan terhadap hawar phytophthora dan layu bakteri memiliki keragaman genetik yang luas dan ini mengindikasikan bahwa genotipe yang digunakan sangat beragam sehingga memberi peluang yang bagus untuk dilakukan seleksi karena memiliki sumber gen ketahanan yang berbeda-beda (beragam). Heritabilitas arti luas pada antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri tergolong tinggi, artinya ketahanan terhadap semua penyakit yang diamati lebih dipengaruhi secara genetik dibanding lingkungan dan dapat diwariskan.

Parameter genetik pada bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah dapat dipelajari melalui analisis dialel. Enam genotipe dipilih berdasarkan kemudahan dilakukan persilangan dan hasil evaluasi daya hasil dan ketahanannya terhadap penyakit (antraknosa, hawar phytophthora). Genotipe yang dipilih harus memiliki jarak genetik yang jauh. Enam genotipe terpilih tersebut adalah IPBC2, IPBC9, IPBC10, IPBC14, IPBC15, dan IPBC20 (Tabel 17). Genotipe yang terpilih tersebut memiliki heritabilitas yang tinggi pada semua karakter daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit yang diamati. Hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh genetik lebih besar dibanding lingkungan dalam mengendalikan karakter tersebut. Genotipe yang terpilih memiliki keragaman genetik yang luas pada karakter-karakter daya hasil namun keragaman genetik pada karakter ketahanan terhadap ketiga penyakit yang diamati adalah sempit (Tabel 18). Hal disebabkan keenam genotipe tersebut diseleksi dari populasi dengan keragaman genetik yang luas berdasarkan karakter-karakter daya hasil namun memiliki keragaman genetik yang sempit pada karakter ketahanan terhadap antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri (Tabel 18).

Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis dialel adalah tidak adanya interaksi non alelik. Hartana (1992) menyatakana interaksi non alelik (intergenik) adalah interaksi yang melibatkan dua atau lebih gen dari lokus yang berbeda dan menentukan suatu fenotipe. Pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan ketahanan terhadap antraknosa tidak terdapat interaksi non alelik kecuali pada panjang buah dan ketahanan terhadap hawar

phytophthora. Menurut Hayman (1954) adanya interaksi non alelik dapat menekan nilai pendugaan parameter derajat dominansi ((H1/D)1/2), jumlah kelompok gen pengendali karakater yang diamati, proporsi gen dominan dan resesif (Kd/Kr), dan proporsi gen positif dan negatif (H2/4H1) sehingga tidak dapat digunakan.

Ragam fenotipe terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan, dan interaksi ragam genetik dan lingkungan (Baihaki 2000). Ragam genetik terdiri dari ragam aditif dan ragam non aditif (ragam dominan+ragam interaksi gen+epistasi). Ragam aditif lebih besar pengaruhnya dibandingkan ragam dominan dalam menentukan karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, dan ketahanan terhadap antraknosa sedangkan ketahanan terhadap hawar phytophthora

hanya dipengaruhi oleh ragam dominan. Keberadaan ragam aditif dan ragam dominan pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan ketahanan terhadap antraknosa meningkatkan nilai ragam genetik sehingga heritabilitas arti luasnya tergolong tinggi. Makmur (2001) menyatakan bahwa heritabilitas dalam arti luas adalah proporsi besaran ragam genetik terhadap besaran ragam fenotipe suatu karakter tertentu. Pada karakter panjang buah dan ketahanan terhadap hawar

tidak hanya terdiri ragam aditif dan dominan tetapi juga ragam dari interaksi antar gen dari lokus yang berbeda.

Heritabilitas arti sempit merupakan proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipenya. Besarnya nilai ragam aditif pada semua karakter yang diamati kecuali ketahanan terhadap hawar phytophthora menyebabkan nilai heritabilitas masing-masing karakter menjadi besar. Namun nilai heritabilitas arti sempit pada karakter ketahanan terhadap hawar phytophthora adalah nol dan ini diakibatkan karena tidak adanya peran ragam aditif yang ditandai tidak nyatanya ragam aditif (Tabel 31).

Gen-gen yang mengendalikan karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora tidak tersebar diantara tetua yang digunakan. Hal ini tercermin dari nilai H2 yang nyata dan sangat nyata. Nilai H1>H2 mengindikasikan bahwa lebih banyak gen positif dibandingkan gen negatif pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah serta ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora.

Proporsi gen positif dan negatif dalam tetua juga dapat dilihat pada nilai H2/4H1. Nilai (H1/D)1/2

yang lebih dari 1 menunjukkan adanya overdominansi sedangkan jika nilainya 0-1 menunjukkan adanya dominansi parsial (Hayman 1954). Tingkat dominansi pada semua karakter yang diamati baik karakter daya hasil maupun ketahanan menunjukkan adanya dominansi parsial dan dapat dilihat juga dari nilai D>H1. Ketahanan terhadap hawar phytophthora dikendalikan dengan aksi over dominance, selain itu dapat dilihat juga dari nilai H1>D.

Interaksi non alelik pada karakter panjang buah dan ketahanan terhadap hawar phytophthora menekan nilai derajat dominansi ((H1/D)1/2), jumlah gen pengendali, proporsi gen positif dan negatif, dan proporsi gen dominan terhadap gen resesif (Kd/Kr) sehingga nilai yang diperoleh bias.

Proporsi gen dominan dalam dilihat pada nilai Kd/Kr. Jika nilai Kd/Kr > 1 maka gen dominan yang lebih banyak dalam tetua dan sebaliknya jika Kd/Kr ≤ 1 maka gen-gen resesif lebih banyak dalam tetua. Proporsi gen dominan terhadap gen resesif dapat dilihat juga dari nilai F. Karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah memiliki Kd/Kr=1 yang berarti gen-gen resesif yang mengendalikan karakter tersebut lebih banyak dalam tetua dan ini juga tercermin

pada nilai F nya yang negatif. Sebaliknya, karakter ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora memiliki nilai Kd/Kr > 1 dan nilai F positif yang artinya lebih banyak gen dominan dalam tetua untuk kedua karakter tersebut.

Gen yang mengendalikan bobot buah per tanaman, bobot per buah dam ketahanan terhadap antraknosa berturut-turut minimal tiga, satu, dan satu kelompok gen. Panjang buah dan ketahanan terhadap hawar phyotphthora

dikendalikan berturut-turut minimal satu dan empat kelompok gen, namun dengan adanya interaksi gen menyebakan jumlah gen tersebut bisa lebih besar.

Nilai korelasi r yang menghubungkan peragam Wr, Vr dan Yr dapat memberikan informasi arah dominansi. Nilai r (Wr+Vr<Yr) yang positif menyatakan bahwa bobot per buah yang kecil dominan terhadap bobot per buah yang besar, buah yang pendek dominan terhadap buah yang panjang. Nilai r (Wr+Vr<Yr) yang negatif menyatakan bahwa bobot buah per tanaman yang tinggi dominan terhadap bobot buah per tanaman.

Urutan dominansi genotipe yang digunakan sebagai tetua mencerminkan kandungan gen dominan dan resesif. Semakin dekat ke titik pusat maka semakin banyak kandungan gen dominan dan semakin jauh dari titik pusat maka kandungan gen resesif yang paling banyak. Urutan dominansi tetua pada karakter bobot buah per tanaman sebagai berikut IPBC15, IPBC20, IPBC2, IPBC14, IPBC10, dan IPBC9 (Gambar 10a). Tetua IPBC15 merupakan tetua yang paling banyak gen dominannya dan tetua IPBC9 memiliki paling banyak gen resesif. IPBC15 memiliki bobot buah per tanaman yang tertinggi namun tidak nyata dengan IPBC14. Urutan dominansi tetua pada bobot per buah sebagai berikut IPBC20, IPBC10, IPBC2, IPBC15, IPBC9, dan IPBC14 (Gambar 10b). Tetua IPBC20 dan IPBC14 berturut-turut memiliki gen dominan paling banyak dan gen resesif paling banyak. Urutan dominansi tetua pada panjang buah sebagai berikut IPBC20, IPBC10, IPBC15, IPBC9, IPBC2, dan IPBC14 (Gambar 10c). IPBC20 memiliki paling banyak gen dominan dan IPBC14 memiliki paling banyak gen resesif. Urutan dominansi tetua terhadap antraknosa adalah IPBC14, IPBC2, IPBC10, IPBC9, IPBC20, dan IPBC15 (Gambar 11). Genotipe IPBC15 memiliki gen resesif paling banyak dan tahan terhadap antraknosa. Urutan dominansi tetua pada ketahanan terhadap hawar phytophthora sebagai berikut IPBC15, IPBC14,

IPBC20, IPBC10, IPBC2, dan IPBC9 (Gambar 12). Genotipe IPBC15 berada paling dekat dengan titik pusat yang mengindikasikan memiliki gen dominan paling banyak dibanding tetua lainnya, sedangkan IPBC9 paling jauh dari titik pusat yang mengindikasikan memiliki lebih banyak gen resesif dibanding gen dominan.

Pengaruh maternal ditemukan pada bobot per buah, panjang buah, dan ketahanan terhadap hawar phytophthora. Pemilihan genotipe yang akan dijadikan tetua betina mempengaruhi penampilan karakter-karakter tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa gen-gen yang berada diluar inti ikut mengendalikan karakter tersebut. Sebaliknya, karakter bobot buah per tanaman dan ketahanan terhadap antraknosa tidak terdapat pengaruh maternal sehingga persilangan bolak balik antara dua genotipe memberikan respon yang sama.

Ragam DGU dan DGK yang sangat berbeda nyata pada bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang, dan ketahanan terhadap antraknosa. Hal ini menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat satu tetua dan persilangan yang memiliki nilai tengah DGU dan DGK yang berbeda diantara genotipe yang diamati. Ragam DGU merupakan penduga adanya peran ragam aditif yang bekerja dalam mengekspresikan suatu karakter dan ragam DGK merupakan penduga dari non aditif (dominan dan aditif) (Roy 2000).

Ragam DGU yang besar memberikan harapan bahwa suatu genotipe dapat bersilang dengan baik dengan genotipe lainnya dalam memperbaiki suatu karakter IPBC14 dan IPBC15 merupakan penggabung yang baik pada karakter bobot buah per tanaman. IPBC2, IPBC9, dan IPBC15 merupakan penggabung yang baik pada karakter bobot per buah. Panjang buah > 12 cm termasuk kategori buah mutu kelas I berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI). IPBC2 adalah penggabung yang baik untuk panjang buah dan sekaligus memenuhi standar buah mutu kelas I (13.66 cm). IPBC15 adalah penggabung yang baik pada ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora.

Peran ragam dominan memunculkan beberapa persilangan yang berpeluang dijadikan hibrida. Persilangan IPBC9xIPBC14 memiliki DGK tertinggi dengan bobot buah pertanamannya adalah 744.04 g. Persilangan IPBC2xIPBC14 memiliki DGK tertinggi untuk bobot per buah, yaitu sebesar 8.93, sedangkan persilangan

IPBC14xIPBC15 merupakan genotipe dengan DGK tertinggi pada panjang buah (12.36). Dalam memilih genotipe yang akan dijadikan hibrida harus memperhatikan nilai DGU, DGK dan rata-rata dari karakter yang diamati. Persilangan IPBC2xIPBC14 dan IPBC2xIPBC15 adalah hibrida yang memiliki DGK yang selalu positif dan cukup tinggi rata-rata-rata bobot buah per tanaman, bobot per buah , dan panjang buah. Kedua persilangan ini memiliki nilai heterosis yang cukup tinggi pada semua karakter kecuali panjang buah pada persilangan IPBC2xIPBC15.

Pengujian ketahanan terhadap penyakit diamati diukur berdasarkan kejadian penyakitnya. Semakin besar kejadian penyakit maka semakin rentan suatu genotipe terhadap suatu penyakit, sebaliknya semakin kecil kejadian penyakit maka semakin tahan genotipe tersebut. Hal ini mengarahkan kita dalam memilih genotipe atau persilangan dengan nilai DGU dan DGK yang rendah. Semua hasil persilangan full diallel rentan terhadap antraknosa. Persilangan IPBC15xIPBC20 dan resiprokalnya memiliki DGK yang paling kecil dengan rata-rata kejadian penyakit yang kecil juga, yaitu masing-masing 37.05 dan 57.9%. Kedua persilangan ini berasal dari tetua yang memiliki DGU terkecil dengan rata-rata kejadian penyakityang kecil juga.

Semua hasil persilangan half diallel tahan terhadap hawar phytophthora

(Tabel 35). Walapun tetua IPBC9 dan IPBC14 tergolong rentan namun tidak satu pun hasil persilangan yang rentan. Ketahanan terhadap hawar phytophthora

dikendalikan oleh dua pasang gen duplikat resesif epistasis (Yunianti 2007). Persilangan rentan (IPBC9) dengan rentan (IPBC14) menghasilkan respon tahan pada hibridanya (IPBC9xIPBC14). Hal ini diduga bahwa dengan kehadiran aksi gen duplikat resesif epistasis memodifikasi ekspresi gen rentan menjadi tahan jika gen berada dalam keadaan heterozigot pada kedua lokusnya.

Semua tetua yang digunakan dalam persilangan half diallel kecuali IPBC15 yang agak tahan terhadap layu bakteri. Berdasarkan Tabel 18 genotipe tetua memiliki keragaman genetik yang sempit pada karakter ketahanan terhadap layu bakteri. Hasil persilangan half diallel dikelompokkan menjadi tahan dan agak tahan. Yulianah (2007) melaporkan bahwa ketahanan terhadap layu bakteri dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dengan aksi epsitasis komplek (epistasis

dominan dan resesif duplikat). Berdasarkan aksi gen ini dan keragaman yang sempit pada tetua yang digunakan menyebabkan ketahanan terhadap layu bakteri pada hasil persilangan tidak beragam (agak tahan dan tahan).

Ragam aditif yang besar pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, dan ketahanan terhadap antraknosa memungkinkan dibentuknya varietas open pollinated dalam memperbaiki karakter-karakter tersebut. Adanya peran ragam dominan pada karakter tersebut memberi peluang dibentuknya varietas hibrida dan ini dibuktikan dengan adanya fenomena heterosis yang menunjukkan beberapa persilangan lebih baik dari rata-rata kedua tetuanya atau salah satu tetua terbaiknya. Berdasarkan nilai heritabilitas arti luas dan sempit yang tinggi pada semua karakter kecuali ketahanan terhadap hawar

phytophthora maka seleksi dapat dilakukan pada generasi awal. Ketahanan terhadap hawar phytophthora dipengaruhi oleh ragam dominan dan interaksi antar gen sehingga berpeluang juga untuk membentuk varietas hibrida. Heritabilitas arti luasnya yang besar memungkin juga dilakukan seleksi pada generasi awal.