• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum L.) dan ketahanannya terhadap antraknosa, hawar Phytophthora, dan layu bakteri serta parameter genetiknya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaan beberapa genotipe cabai (Capsicum annuum L.) dan ketahanannya terhadap antraknosa, hawar Phytophthora, dan layu bakteri serta parameter genetiknya"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE

CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KETAHANANNYA

TERHADAP ANTRAKNOSA, HAWAR PHYTOPHTHORA,

DAN LAYU BAKTERI SERTA PARAMETER GENETIKNYA

NURWANITA EKASARI PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keragaan Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Ketahanannya terhadap Antraknosa, Hawar

Phytophthora, dan Layu Bakteri serta Parameter Genetiknya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Nurwanita Ekasari Putri

(3)

ABSTRACT

NURWANITA EKASARI PUTRI. Performance of Several Chilli (Capsicum annuum L.) Genotypes and Its Resistance to Anthracnose, Phytophthora Blight, Bacterial Wilt, and Their Genetic Parameters. Under direction of SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR, and WIDODO.

The aims of this research are to estimate genetic parameters to yield character and their resistance to anthracnose, phytophthora blight, and bacterial wilt. This research was conducted from June 2008 until November 2009 and consisted of three stages i.e. yield evaluation, resistance evaluation to anthracnose, phytophthora blight, and bacterial wilt, and genetic parameter estimation using diallel analysis. The characters being observed for yield evaluation were fruit weight per plant, weight per fruit, fruit length and fruit diameter. Genotype IPBC7 has the highest fruit weight per plant. Genotype IPBC28 has the highest weight per fruit. Genotypes with longest fruit were IPBC2, IPBC28, IPBC50, IPBC51, and IPBC64. Genotype IPBC5 has the biggest fruit diameter. The character being observed for resistance evaluation was disease incidence (DI). Genotypes IPBC15 and IPBC131 were resistant and moderately resistant to C. acutatum PYK04 isolate, respectively. Genotypes IPBC12, IPBC13, IPBC15, IPBC128 and IPBC130 were resistant while IPBC9, IPBC14, and IPBC19 were susceptible to

P. capsici TG01 isolate. IPBC19 and IPBC127 genotypes were slightly susceptible; IPBC12, IPBC15, IPBC125, and IPBC126 were slightly resistant genotypes; and other genotypes were resistant to R. solanacearum CHG7 isolate. Six genotypes were selected based on yield, disease resistance, and easy to cross, i.e. IPBC2, IPBC9, IPBC10, IPBC14, IPBC15, and IPBC20. These genotypes were used for diallel analysis in order to obtain genetic parameters estimation. Fruit length and phytophthora blight resistance were affected by inter-gene interaction (non allelic) except for fruit weight per plant, weight per fruit, and resistance to anthracnose and bacterial wilt. All observed-characters are controlled by partially-dominant gene action except for phytophthora blight resistance which is controlled by over-dominant gene action. Both broad and narrow-sense heritabilities are high for all characters, except for narrow-sense heritability of phytophthora resistance. Narrow heritability of phytophthora resistance is very low because there is no additive variance to control it. General combining ability and specific combining ability play important role to all observed-characters except to phytophthora blight resistance. There were no maternal effects to fruit weight and resistance to anthracnose. Additive variance is bigger than dominance variance for fruit weight per plant, weight per fruit, fruit length, and resistance to anthracnose and bacterial wilt. Thus, chilli breeding program is more directed to develop open pollinated variety. On the other hand, phytophthora blight resistance is more directed to develop hybrid variety. Based on both broad and narrow-sense heritabilities, selection can be done in early generation.

(4)

RINGKASAN

NURWANITA EKASARI PUTRI. Keragaan Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Ketahanannya terhadap Antraknosa, Hawar

Phytophthora, dan Layu Bakteri serta Parameter Genetiknya. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI, MUHAMAD SYUKUR, dan WIDODO.

Informasi genetik sangat diperlukan dalam merakit varietas cabai yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit (antraknosa, hawar phytophthora,

dan layu bakteri). Untuk mendapatkan informasi genetik ini maka dilakukan penelitian dengan tiga kegiatan, yaitu 1) evaluasi daya hasil; 2) evaluasi ketahanan terhadap antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri; 3) pendugaan parameter genetik menggunakan analisis dialel. Penelitian dilakukan Juni 2008 – November 2009 di lapangan dan laboratorium.

Kegiatan evaluasi daya hasil menggunakan 28 genotipe cabai koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman, IPB. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai daya hasil dari karakter yang diamati, yaitu bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah. IPBC7 memiliki bobot buah per tanaman paling besar. IPBC28 merupakan genotipe yang memiliki bobot per buah yang paling besar. Buah terpanjang dimiliki oleh IPBC2, IPBC28, IPBC50, IPBC51, dan IPBC64. Diameter buah terbesar adalah IPBC5. Keragaman genetiknya luas pada semua karakter yang diamati kecuali diameter buah sehingga karakter diameter buah tidak diikutsertakan dalam pendugaan parameter genetik.

Evaluasi ketahanan pada 25 genotipe cabai terhadap antraknosa menggunakan C. acutatum isolat PYK04. IPBC15 dan IPBC131 berturut-turut merupakan genotipe tahan dan moderat sedangkan genotipe lainnya adalah rentan. Ketahanan 22 genotipe cabai terhadap hawar phytophthora menggunakan

P. capsici isolat TG01. IPBC12, IPBC13, IPBC15, IPBC128, IPBC130 merupakan genotipe tahan sedangkan IPBC9, IPB14, dan IPBC19 merupakan genotipe rentan dan sisanya adalah genotipe agak tahan. Pengujian ketahanan 22 genotipe cabai terhadap layu bakteri menggunakan R. solanacearum isolat CHG7. IPBC19 dan IPBC127 adalah genotipe agak rentan. IPBC12, IPBC15, IPB125, dan IPBC126 adalah genotipe agak tahan dan genotipe lainnya tergolong tahan.

Enam genotipe dipilih berdasarkan daya hasilnya, ketahanan terhadap penyakit (antraknosa, hawar phytophthora, layu bakteri) serta kemudahan dilakukan persilangan, yaitu IPBC2, IPBC9, IPBC10, IPBC14, IPBC15, dan IPBC20. Genotipe ini digunakan sebagai tetua dalam persilangan dialel untuk menduga parameter genetiknya. Keragaman genetik pada keenam genotipe yang dipilih adalah luas pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah, namun ketahanan terhadap penyakit yang diamati keragamannya sempit. Karakter panjang buah dan ketahanan terhadap hawar phytophthora

(5)

buah, dan panjang buah masing-masing adalah tiga, satu, dan satu kelompok gen. Ketahanan terhadap antraknosa dan hawar phytophthora dikendalikan masing-masing oleh satu dan empat gen.

Ragam DGU dan DGK berperan pada semua karakter yang diamati kecuali ketahanan terhadap hawar phytophthora hanya dipengaruhi oleh ragam DGK. Ragam DGU merupakan indikasi adanya ragam aditif dan ragam DGK merupakan manifestasi ragam dominan. Pengaruh maternal tidak ada pada bobot buah per tanaman dan ketahanan terhadap antraknosa.

Ragam aditif yang lebih besar dibandingkan ragam dominan pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, ketahanan terhadap penyakit (antraknosa dan layu bakteri) maka pemuliaan cabai diarahkan membentuk varietas open pollinated sedangkan ketahanan terhadap P. capsici

lebih diarahkan membentuk hibrida. Heritabilitas arti luas dan sempit semua karakter tinggi kecuali ketahanan terhadap hawar phytophthora yang memiliki heritabilitas arti sempit yang sangat kecil akibat tidak adanya ragam aditif yang berperan. Berdasarkan nilai heritabilitas arti luas dan sempit, karakter-karakter yang diamati dapat diseleksi pada generasi awal.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE

CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KETAHANANNYA

TERHADAP ANTRAKNOSA, HAWAR PHYTOPHTHORA,

DAN LAYU BAKTERI SERTA PARAMETER GENETIKNYA

NURWANITA EKASARI PUTRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Keragaan Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Ketahanannya terhadap Antraknosa, Hawar Phytophthora, dan Layu Bakteri serta Parameter Genetiknya

Nama : Nurwanita Ekasari Putri

NIM : A253070061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Ketua

Dr. Muhamad Syukur, SP.M.Si. Dr. Ir. Widodo, M.S. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin atas rahmat dan hidayah Allah SWT yang memberikan kemudahan dan kelapangan sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis yang berjudul Keragaan Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.)

dan Ketahanannya terhadap Antraknosa, Hawar Phytophthora, dan Layu Bakteri

serta Parameter Genetiknya. Tesis ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan

Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS., Dr. Muhamad Syukur, SP.MSi., dan

Dr. Ir. Widodo, MS. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan

arahan dan bimbingan sejak perencanaan dan penyusunan penelitian hingga

penyelesaian tulisan.

2. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu Endro Kusumo, MS. sebagai penguji luar komisi

pembimbing atas`masukan dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini.

3. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan

Bioteknologi Tanaman SPs IPB yang selalu memberi arahan dalam

pelaksanaan studi selama perkuliahan hingga pelaksanaan tugas akhir.

4. Dr. Rahmi Yunianti, SP.MSi yang selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi

dan memberikan masukan serta motivasi selama perkuliahan hingga

penyelesaian tugas akhir.

5. Rektor Universitas Andalas, Dekan Fakultas Pertanian, dan Ketua Jurusan

Budidaya Pertanian yang telah memberikan izin belajar.

6. Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS.

7. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. sebagai Ketua Tim Hibah Pascasarjana

Tahun 2009 dan Dr. Muhamad Syukur, SP.MSi. sebagai Ketua Tim Hibah

KKP3T Deptan Tahun 2009 yang telah membiayai penelitian ini.

8. Ketua Tim Pemuliaan Cabai Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman

Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas bantuan bahan genetik dan

(11)

9. Dr. Ir. Widodo, MS atas sumbangan isolat Colletotrichum acutatum dan

Phytophthora capsici.

10. Kepala Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman

yang memberikan ijin untuk menggunakan isolat Ralstonia solanacearum.

11. Ady Daryanto SP, Tiara Yudilastari SP, Abdul Hakim, Endah SP, Purwati SP,

Swisci Margareth SP, Ir. Dwi Wahyuni Ganefianti MS, Undang SP, Siti

Marwiyah SP, Abdulllah bin Arif SP, Avicenna, Rohim Firdaus SP, Esa Hari

Wibowo SP, Andra, Warno, dan Pak Darwa atas kebersamaan bantuan dan

kerjasama serta kecerian selama penelitian di lapang dan laboratorium.

12. Ir. Gusti Adhi, MS yang telah membuat dan memberi ijin penggunaan listing

SAS dalam analisis dialel.

13. Teman-teman PBT 2007: Amin Nur, Hairinsyah, Rokhana Faizah, Yusie

Arisanti, Alfin Widiastuti, Heni Safitri, Erni Suminar, Fifin N. Khairunisa,

Isnaini dan Siti Nurrohmah atas kebersamaan dan saling memotivasi sejak

awal kuliah hingga penyelesaian tugas akhir.

14. Adik-adik di Blobo atas keceriaan dan kebersamaan terutama Nurul Fuadi,

Risa, dan Indah yang juga turut membantu panen di lapang.

15. Ayahanda Ir. Bustimar dan Ibunda Andi Rasnah serta adik-adikku Puput dan

Yuyuk yang tiada hentinya selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang,

pengorbanan, dan dukungan serta motivasi.

16. Suami tercinta Ardian Amien atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan

pengertiannya.

17. Keluarga besar Ardan Amien (alm.) atas doa, dukungan dan kasih sayang.

18. Para sahabat dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat dimanfaatkan guna memperkaya

khazanah pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dilahirkan di Padang pada tanggal 1 Agustus 1978

sebagai putri pertama dari ayah Ir. Bustimar dan ibu Andi Rasnah M. Penulis

menikah dengan Ardian Amien SH pada tanggal 2 Agustus 2008.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Pemuliaan

Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB pada tahun 2001.

Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai staf pengajar di Program Studi

Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Universitas Andalas.

Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister di Sekolah

Pascasarjana IPB pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman dengan

beasiswa BPPS pada tahun 2007.

Artikel yang berjudul Analisis Dialel pada Komponen Daya Hasil Cabai

telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpinan Ilmu Pemuliaan Indonesia

pada Tanggal 18-19 November 2009 di Cimanggu, Bogor. Artikel ini merupakan

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis ... 4

Ruang lingkup penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Klasifikasi Cabai ... 8

Botani Cabai ... 8

Penyakit Antraknosa ... 9

Penyakit Hawar Phytophthora ... 11

Penyakit Layu Bakteri ... 13

Perakitan Varietas Tahan ... 16

Metode Silang Dialel ... 17

Heterosis ... 20

Heritabilitas ... 21

BAHAN METODE ... 23

Percobaan 1: Karakterisasi Daya Hasil ... 23

Percobaan 2: Pengujian Ketahanan Terhadap Antraknosa, Hawar Phytophthora dan Layu Bakteri ... 24

Percobaan 3: Pendugaan Parameter Genetik Menggunakan Analisis Dialel ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Karakterisasi Daya Hasil ... 34

Evaluasi Ketahanan Terhadap Penyakit Antraknosa, Hawar Phytophthora, dan Layu Bakteri ... 38

Analisis Silang Dialel ... 44

PEMBAHASAN UMUM ... 72

SIMPULAN DAN SARAN ... 81

Simpulan ... 81

Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 89

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Pengelompokan ras penyakit Ralstonia solanacearum... 14

2 Analisis ragam rancangan acak kelompok ... 23

(14)

4 Kriteria ketahanan cabai terhadap hawar Phytophthora ... 27

5 Kriteria ketahanan cabai terhadap layu bakteri ... 29

6 Populasi full diallel dalam menduga parameter genetik untuk daya hasil 30 7 Populasi full diallel dalam menduga parameter genetik untuk ketahanan terhadap antraknosa ... 32

8 Populasi half diallel dalam menduga parameter genetik untuk ketahanan terhadap penyakit hawar phytophthora dan layu bakteri ... 32

9 Nilai kuadrat tengah beberapa sifat kuantitatif pada genotipe cabai yang diamati ... 34

10 Nilai rata-rata beberapa sifat kuantitatif pada genotipe yang diamati... 35

11 Parameter genetik pada bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah ... 36

12 Korelasi pada beberapa karakter cabai yang diamati ... 37

13 Ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK04 ... 40

14 Ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap penyakit hawar Phytophthora yang disebabkan oleh Phytophthora capsici LEONIAN isolat TG01 ... 42

15 Ketahanan beberapa genotipe cabai terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum ... 43

16 Parameter genetik ketahanan terhadap antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri ... 44

17 Genotipe-genotipe yang dijadikan tetua dalam persilangan dialel ... 45

18 Parameter genetik dari enam genotipe yang dipilih ... 45

19 Populasi full diallel dengan menggunakan enam genotipe terpilih ... 46

20 Nilai kuadrat tengah beberapa sifat kuantitatif cabai ... 47

21 Pendugaan parameter genetik pada beberapa sifat kuantittaif cabai ... 48

22 Rata-rata tetua dan F1 pada karakter yang diamati ... 49

23 Analisis ragam DGU, DGK dan resiprokal pada karakter bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah ... 54

24 Nilai rata-rata, DGU, dan DGK pada bobot buah per tanaman, bobot per buah, dan panjang buah ... 55

25 Nilai heterosis dan heterobeltiosis pada karakter cabai yang diamati... 58

26 Kuadrat tengah kejadian penyakit antraknosa... 59

27 Populasi half diallel dalam menduga parameter genetik untuk ketahanan terhadaphawar phytophthora ... 60

28 Kuadrat tengah ketahanan terhadap Phytophthora capsici ... 60

29 Populasi half diallel dalam menduga parameter genetik untuk ketahanan terhadap layu bakteri ... 61

30 Nilai kuadrat tengah ketahanan terhadap layu bakteri ... 61

31 Pendugaan parameter genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa (C. acutatum) isolat PYK04 dan hawar phytophthora ... 62

(15)

antraknosa ... 66

33 Nilai rata-rata, DGU, dan DGK serta kriteria ketahanan cabai terhadap antraknosa ... 67

34 Analisis DGU dan DGK pada ketahanan terhadap P. capsici ... 68

35 Nilai rata-rata, DGU, dan DGK serta kriteria ketahanan terhadap Hawar phytophthora... 68

36 Kriteria ketahanan populasi half diallel terhadap layu bakteri ... 70

37 Komponen analisis ragam analisis silang dialel... 94

38 Pendugaan ragam dan peragam ... 94

39 Komponen ragam untuk daya gabung pada Metode I Griffing ... 98

40 Komponen ragam untuk daya gabung pada Metode II Griffing ... 99

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan alir penelitian ... 7

2 Inokulum C. acutatum isolat PYK04 ... 25

3 Tahapan pelaksanaan inokulasi C. acutatum isolat PYK04 ... 25

4 Inokulum P. capsici isolat TG01 ... 26

5 Inokulasi P. capsici pada tanaman berumur 28 hari ... 27

6 Persiapan dan inokulasi R. solanacearum penyebab layu bakteri ... 29

7 Serangan antraknosa yang disebabkan C. acutatum pada buah ... 39

8 Serangan hawar phytophthora yang disebabkan P. capsici pada fase bibit ... 40

9 Serangan layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum ... 42

10 Hubungan varians (Vr) dan peragam (Wr) pada populasi F1 silang dialel.. ... 52

11 Hubungan varians (Vr) dan peragam (Wr) pada populasi F1 silang dialel pada ketahanannya terhadap antraknosa ... 64

12 Hubungan varians (Vr) dan peragam (Wr) pada populasi F1 silang dialel pada ketahanannya terhadap hawar phytophthora ... 65

13 Bulu batang pada cabai ... 91

(16)

15 Bentuk buah ... 92

16 Bentuk pangkal buah ... 93

17 Bentuk ujung buah ... 93

DAFTAR LAMPIRAN

... Halaman 1 Genotipe yang digunakan dalam karakterisasi daya hasil ... 89

2 Genotipe yang digunakan dalam pengujian ketahanan terhadap antraknosa, hawar phytophthora, dan layu bakteri ... 90

3 ... Descriptor for Capsicum ... 91

4 Analisis menggunakan Metode Hayman ... 94

5 Analisis menggunakan Metode Griffing ... 98

6 Karakerisasi beberapa genotipe cabai berdasarkan karakter kualitatif ... 101

7 Hasil sidik ragam ketahanan terhadap penyakit antraknosa, hawar ... Phytophthora, dan layu bakteri ... 103

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura

yang banyak digemari masyarakat. Salah satu spesies cabai yang banyak

dibudidayakan adalah cabai merah (Capsicum annuum L.). Selain dapat

dikonsumsi segar, cabai dapat dikonsumsi kering sebagai bumbu masakan dan

juga sebagai bahan baku industri. Rubatzky dan Yamaguchi (1997) menyatakan

bahwa cabai juga digunakan dalam industri pangan, pakan unggas, dan farmasi.

Bosland dan Votava (2000) melaporkan bahwa cabai mengandung zat-zat gizi

antara lain protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin (A, C, dan

B1), dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, plavonoid, dan minyak esensial.

Areal pertanaman cabai pada tahun 2007 adalah 187 236 ha dan mengalami

penurunan menjadi 107 326 ha pada tahun 2008, namun produktivitas cabai naik

dari 5.7 ton/ha menjadi 6.3 ton/ha (BPS 2009). Kenaikan produktivitas tersebut

masih jauh dari potensi produksinya. Menurut Duriat (1996) cabai memiliki

potensi produksi 12-20 ton/ha.

Rendahnya produktivitas per tanaman cabai dipengaruhi oleh faktor biotik

dan abiotik. Salah satu faktor biotik yang sangat mempengaruhi hasil cabai adalah

hama dan penyakit. Bosland dan Votava (2000) menegaskan bahwa salah satu

penyebab tidak tercapainya potensi produksi cabai adalah gangguan hama dan

penyakit. Suryaningsih et al. (1996) menyatakan bahwa penyakit yang paling

dominan menyerang pertanaman cabai adalah antraknosa (Colletotrichum sp),

hawar (Phytophthora capsici), layu bakteri (Ralstonia solanacearum), dan virus.

Penyakit antraknosa di Indonesia dapat menurunkan hasil sampai 75%.

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp menyerang buah baik

yang baru terbentuk maupun yang sudah matang sehingga menimbulkan kerugian

yang cukup besar. Patogen ini menyerang tanaman cabai di dataran tinggi dan

dataran rendah (Kusandriani & Permadi 1996). Cendawan C. acutatum

merupakan salah satu cendawan penyebab penyakit antraknosa di Indonesia

(18)

Penyakit hawar yang disebabkan oleh patogen P. capsici menyerang semua

fase dan bagian tanaman. Serangan pada pangkal batang ditandai dengan busuk

batang berwarna coklat kehitaman, tanaman layu tanpa terjadi penguningan daun

terlebih dahulu. Patogen ini menyebabkan kerugian yang sangat besar dan

bergantung terutama pada suhu dan kelembapan, intensif tidaknya tindakan

penyemprotan dengan fungisida, umur tanaman saat diserang, serta tingkat

ketahanan yang dimiliki oleh varietas cabai yang ditanam (Yunianti 2007).

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri R. solanacearum yang dahulu

bernama Pseudomonas solanacearum (Machmud 1993). Patogen ini memiliki

kisaran inang dan daerah sebaran yang luas dan kemampuan bertahan hidup dalam

tanaman yang luar biasa di dalam tanah dan rizosfer tanaman yang bukan

inangnya, dan variabilitasnya sangat tinggi serta daya rusak yang besar (Machmud

et al. 1999). Penyakit layu bakteri dapat menyebabkan kematian tanaman dan

kegagalan panen sehingga menimbulkan penurunan hasil yang cukup besar

(Semangun 2000). Pada tanaman kentang dan tomat, penyakit layu bakteri dapat

menurunkan produksi berturut-turut sebesar 75% dan tomat 100% (Persley et al.

1985).

Pengendalian patogen penyebab antraknosa, hawar phytophthora, dan layu

bakteri tidaklah mudah karena patogen ini sering ditemukan bersama di lahan

petani. Varietas yang tahan terhadap suatu penyakit kadangkala ketahanannya

dapat dipatahkan oleh munculnya ras baru dari suatu patogen. Bahkan tanaman

tidak dapat bertahan dan berproduksi baik akibat banyaknya serangan penyakit

yang datang sekaligus. Pengendalian secara kimia dapat membahayakan petani,

masyarakat sebagai konsumen dan lingkungan serta biaya yang mahal. Alternatif

yang dapat dilakukan adalah penggunaan varietas yang tahan.

Perakitan varietas cabai dapat ditempuh dengan menggabungkan beberapa

galur yang memiliki ketahanan terhadap penyakit antara lain tahan terhadap

antraknosa, hawar, dan layu bakteri. Bagian Genetika dan Pemuliaan Departemen

AGH IPB telah mempunyai bahan tanaman cabai yang memiliki karakter

ketahanan terhadap beberapa penyakit yang telah diuji oleh peneliti sebelumnya.

Syukur (2007) melaporkan bahwa diantara genotipe yang diuji hanya genotipe

(19)

sedangkan lainnya tergolong rentan. Hasil penelitian Yunianti (2007) menyatakan

bahwa genotipe IPBC2 merupakan genotipe yang tergolong agak tahan terhadap

Phytophthora ras 1. Yulianah (2007) melaporkan bahwa IPBC9 dan IPBC10

merupakan genotipe yang tahan terhadap layu bakteri.

Perbaikan produksi tanaman dapat ditempuh melalui kegiatan pemuliaan

tanaman untuk menghasilkan genotipe-genotipe cabai berproduksi tinggi. Namun,

usaha tersebut dihadapkan kepada masalah dalam memilih tetua-tetua yang

mempunyai daya gabung yang tinggi. Genotipe yang akan digunakan sebagai tetua

dalam program pemuliaan didasarkan atas penampilan keturunan yang dihasilkan

dari persilangan tertentu. Untuk itu perlu diperoleh informasi kemampuan tetua

untuk bergabung dengan tetua lainnya dalam membentuk turunannya dan metode

yang umum digunakan adalah metode silang dialel.

Metode silang dialel merupakan suatu metode yang menggunakan semua

kombinasi persilangan yang mungkin dari beberapa tetua yang digunakan.

Menurut Singh dan Chaudhary (1979), metode ini memberikan informasi daya

gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (spesific

combining ability) serta dapat menduga parameter genetik. Poehlman dan Sleeper

(1990) menyatakan bahwa daya gabung umum adalah kemampuan individu tetua

untuk menghasilkan keturunan yang unggul untuk suatu karakter tertentu yang

disilangkan dengan sejumlah tetua lainnya. Daya gabung khusus adalah

kemampuan individu tetua untuk menghasilkan turunan yang unggul jika

disilangkan dalam kombinasi yang spesifik dengan tetua lainnya. Menurut Darlina

et al. (1992) daya gabung sangat diperlukan untuk mengindentifikasi kombinasi

tetua yang akan menghasilkan keturunan yang berpotensi hasil tinggi. Baihaki

(2000) menyatakan pengujian daya gabung dapat dilakukan dengan analisis silang

dialel. Analisis ini juga berguna dalam menduga ragam genetik dan heritabilitas

serta memberikan informasi mengenai aksi gen yang terdapat dalam suatu

populasi.

Keuntungan menggunakan analisis dialel adalah dapat menduga parameter

genetik pada populasi F1 tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 dan BCP2

(20)

sangat sistematik dalam mengevaluasi genetik pada generasi awal sehingga

diketahui persilangan yang berpotensi untuk diseleksi (Johnson 1963).

Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi terhadap populasi cabai yang

merupakan koleksi dari Bagian Genetika dan Pemuliaan Departemen AGH IPB

guna memperoleh informasi daya hasil dari berbagai genotipe. Genotipe-genotipe

yang terpilih diuji ulang ketahanannya terhadap penyakit antraknosa, hawar

phytophthora dan layu bakteri. Selanjutnya, tetua terpilih dibuat persilangan

dialelnya. Dengan analisis dialel dapat diperoleh informasi yang dapat digunakan

dalam menentukan metode seleksi yang akurat dalam merakit varietas tahan dan

berproduksi cukup tinggi.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memperoleh informasi tentang karakter daya hasil beberapa genotipe cabai

koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Departemen AGH IPB.

2. Menguji ulang ketahanan terhadap penyakit antraknosa, hawar phytophthora

dan layu bakteri pada beberapa genotipe cabai.

3. Mendapatkan informasi parameter genetik beberapa genotipe cabai untuk

karakter produksi dan ketahanannya terhadap penyakit antraknosa, hawar

phytophthora, atau layu bakteri.

4. Mendapatkan informasi daya gabung beberapa genotipe cabai untuk karakter

produksi dan ketahanannya terhadap penyakit antraknosa, hawar

phytophthora, atau layu bakteri.

Kerangka Pemikiran dan Pengajuan Hipotesis

Perbaikan produksi cabai baik secara kualitas maupun kuantitas dapat

dilakukan dengan kegiatan pemuliaan tanaman. Kegiatan ini memerlukan

pengetahuan mengenai informasi genetik yang bekerja mengendalikan suatu

karakter. Informasi genetik yang diperlukan dapat dilakukan salah satunya dengan

analisis dialel. Analisis ini dapat menduga parameter genetik pada populasi F1

tanpa harus membentuk F2 dan backcrossnya. Menurut Johnson (1963), analisis

(21)

merupakan pendekatan sistematik dan secara analitik merupakan evaluasi genetik

menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan pada awal generasi.

Penelitian mengenai ketahanan terhadap penyakit antraknosa, hawar

phytophthora, dan layu bakteri telah banyak dilaporkan oleh peneliti sebelumnya.

Namun, informasi mengenai kendali genetik pada masing-masing penyakit

berbeda-beda. Hal ini mungkin terjadi karena populasi dan metode yang digunakan

pun berbeda. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan gen-gen ketahanan terhadap

ketiga penyakit kepada genotipe yang berdaya hasil tinggi membutuhkan

informasi genetik dari populasi yang kita gunakan sehingga dapat diketahui

metode yang efektif dan efisien dalam merakit varietas berdaya hasil tinggi dan

tahan terhadap beberapa penyakit.

Berdasarkan serangkaian kegiatan penelitian maka hipotesis yang diajukan

adalah sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa genotipe yang memiliki daya hasil yang tinggi.

2. Terdapat genotipe yang tahan, moderat dan rentan terhadap penyakit

antraknosa, hawar phytophthora, atau layu bakteri.

3. Terdapat satu atau beberapa genotipe yang mempunyai daya gabung yang

tinggi untuk produksi dan ketahanannya terhadap penyakit antraknosa, hawar

phytophthora, atau layu bakteri.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu 1) karakterisasi daya hasil,

2) evaluasi ketahanan terhadap penyakit antraknosa, hawar phytophthora, dan layu

bakteri, dan 3) pendugaan parameter genetik menggunakan analisis dialel.

Pada percobaan pertama dilakukan karakterisasi daya hasil pada koleksi

plasma nutfah cabai milik Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen

Agronomi dan Hortikultura IPB. Koleksi ini terdiri dari varietas lokal, galur-galur

hasil kegiatan pemuliaan, dan juga introduksi. Dari percobaan pertama akan

diperoleh informasi genotipe yang berdaya hasil tinggi, sedang, dan rendah.

Beberapa genotipe koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman

Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB telah diidentifikasi tahan terhadap

(22)

yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pada percobaan kedua

dilakukan uji ulang ketahanan terhadap penyakit antraknosa, hawar phytophthora,

dan layu bakteri pada beberapa genotipe dari plasma nutfah cabai termasuk yang

belum diidentifikasi ketahanannya terhadap ketiga penyakit tersebut. Hasil

percobaan kedua akan diperoleh informasi genotipe-genotipe yang tahan, moderat,

dan rentan pada ketiga penyakit yang diamati.

Pada percobaan ketiga akan dilakukan persilangan dialel dengan

menggunakan enam genotipe sebagai tetua. Pemilihan enam genotipe ini

berdasarkan informasi daya hasil yang diperoleh dari percobaan pertama,

informasi ketahanannya terhadap antraknosa, hawar phytophthora, dan layu

bakteri yang diperoleh dari percobaan kedua dan kemudahannya dalam bersilang (’easy to cross’) dengan genotipe lain. Hasil dari percobaan ketiga ini akan memberikan informasi mengenai paramater genetik dan kemampuan daya gabung

dari genotipe yang digunakan. Keseluruhan kegiatan penelitian dirangkum pada

(23)

Gambar 1 Bagan alir penelitian. Plasma nutfah cabai

(koleksi dan introduksi)

Percobaan 1:

Karakterisasi daya hasil

Percobaan 2:

Uji ulang ketahanan terhadap penyakit:

Antraknosa

Hawar phytophthora

Layu Bakteri

Percobaan 3:

Pendugaan parameter genetik menggunakan analisis dialel

Informasi parameter genetik

Metode seleksi yang efektif dan efisien

Genotipe tahan terhadap antraknosa, hawar

phytophthora, dan layu bakteri

Genotipe terpilih Genotipe dengan

(24)

TINJUAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Cabai

Cabai (Capsicum sp) merupakan tanaman herba tropika yang biasanya

ditanam sebagai tanaman tahunan (Bosland dan Votava 2000). Genus Capsicum

termasuk ke dalam famili Solanaceae. Capsicum dikelompokan oleh ahli

taksonomi menjadi lima spesies yaitu C. annuum L., C. frutescens L., C.

chinense, C. pubescens, dan C. baccatum yang berasal dari pusat penyebaran yang

berbeda. C. annuum L. berasal dari Meksiko, dua spesies berikutnya berasal dari

Guatemala dan dua spesies terakhir berturut-turut dari Bolivia dan Peru (Greenleaf

1986).

Spesies cabai liar yang pernah diidentifikasi adalah sebagai berikut:

(1) C. praetermisum Heiser & Smith yang menyebar di Brasil Selatan; (2)

C. chacoense A.T. Hunz yang menyebar di Argentina Utara, Bolivia dan

Paraguay; (3) C. galapagoense A.T. Hunz menyebar di Pulau Galapagos; (4)

C. cardenasii Heiser & Smith menyebar di Bolivia; (5) C. eximiun A.T Hunz

menyebar di Argentina Utara dan Bolovia; (6) C. tovarii Eshbaugh, Smith,

Nickrent menyebar di Andes, Peru (Greenleaf 1986).

Tanaman cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri namun dapat

terjadi persilangan secara alami sekitar 7.6-36.8% dengan bantuan lebah.

Persilangan antar spesies mungkin terjadi. Namun Greenleaf (1986) menerangkan

bahwa terdapat beberapa spesies yang sulit disilangkan misalnya C. annuum L. x

C. frutescens, dan C. annuum x C. pubescens.

Botani Cabai

Seperti famili Solanaceae lainnya, tanaman cabai memiliki bunga

berbentuk terompet. Umumnya, bunga tunggal dan tumbuh pada ujung ruas dan

merupakan bunga sempurna (hermaprodit). Mahkota bunga berwarna putih atau

ungu tergantung varietasnya, helaian mahkota bunga lima atau enam helai. Setiap

bunga memiliki satu putik (stigma) dengan kepala berbentuk bulat dan berwarna

kuning kehijauan. Benang sari cabai berkisar 5-8 helai dengan kepala sari (anther)

(25)

Bunga pertama terbentuk pada umur 23-32 hari setelah tanam (HST) dan buah

pertama mulai terbentuk pada umur 29-40 HST. Sekitar 45 hari setelah pembuahan

buah yang dihasilkan sudah bisa dipanen. Struktur buah terdiri atas kulit, daging

buah, dan sebuah plasenta tempat melekatnya biji. Daging buah umumnya renyah

atau kadang-kadang lunak pada beberapa kultivar. Biji cabai berwarna kuning

jerami (Greenleaf 1986).

Daun tumbuh secara spiral pada batang utama (Kusandriani 1996b). Batang

yang berupa kayu memiliki percabangan yang banyak. Pembentukan kayu pada

batang utama mulai terbentuk pada umur 30 HST. Pada setiap ketiak daun tumbuh

tunas baru mulai 10 HST. Tipe percabangan tegak atau menyebar (Rubatzky dan

Yamaguchi 1997).

Akar tanaman cabai diawali dengan akar primer yang panjangnya 35-50

cm. Kemudian muncul akar lateral yang tumbuh ke samping yang panjangnya

mencapai 34-45 cm. Sistem perakaran cabai termasuk tipe dangkal (Rubatzky dan

Yamaguchi 1997).

Penyakit Antraknosa

Serangan penyakit antraknosa dapat mengurangi produksi cabai karena

patogennya menggugurkan buah baik yang masih hijau ataupun yang sudah

matang. Selain itu, benih yang dihasilkan dari tanaman yang terinfeksi antraknosa

dapat menularkannya melalui benih (seed borne). Patogen penyebab tular benih

biasanya berupa miselium atau spora yang dorman pada permukaan benih, atau

berupa miselium yang dorman pada embrio. Colletotrichum pada buah masuk ke

dalam ruang biji dan menginfeksi biji (Semangun 2000). Agrios (1997)

menerangkan bahwa cendawan ini dapat menyebabkan infeksi ringan pada daun

dan batang muda yang mungkin tidak terdeteksi namun cendawan ini mampu

bertahan dan berkembang biak pada tahapan tertentu hingga buah mulai masak

menjadi rentan terhadap infeksi.

Antraknosa disebabkan oleh cendawan dari genus Colletotrichum.

Kim et al. (1999) menggolongkan Colletotrichum menjadi 6 spesies utama, yaitu

Colletotrichum gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici, dan C.

coccodes. Yoon (2003) melaporkan bahwa C. gloesporioides dan C. acutatum

(26)

Suryaningsih et al. (1996) menyatakan bahwa C. capsici dan C. gloeosporioides

adalah spesies yang paling banyak dijumpai di Indonesia. C. capsici banyak

menyerang pertanaman cabai di dataran tinggi dan C. gloeosporioides di dataran

rendah.

C. acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Jika

dibalik, koloni berwarna orange hingga merah muda. Konidia berbentuk silindris

dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8-16.9) x 4.8 (4.0-5.7) μm. Suhu

optimal adalah 280C dengan rata-rata pertumbuhan 10.3 mm/hari (AVRDC 2003).

Gejala yang timbul akibat serangan antraknosa pada buah adalah

terdapatnya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya

menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik

hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat

dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya

berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun 2000).

Suryaningsih et al. (1996) menyatakan infeksi cendawan Colletotrichum

bersifat laten dan bertahan dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus.

Aservulus dapat bertahan dan tumbuh lama dalam biji kemudian miselium tumbuh

di luar kulit biji. Miselium dan aservulus dapat tumbuh ± 9 bulan dalam biji.

Varietas tahan masih dapat terserang penyakit antraknosa jika ditanam pada tanah

yang sudah terinfeksi cendawan ini.

Cendawan Colletotrichum dapat menyerang buah yang masih hijau

maupun yang sudah masak. Gejala yang ditimbulkan adalah bintik-bintik kecil

berwarna kehitaman dengan tepi berwarna kuning, membesar dan memanjang,

bagian tengah menjadi semakin gelap. Dalam keadaan lembab, cendawan

membentuk badan buah (aservulus) dalam lingkaran-lingkaran sepusat yang

membentuk massa spora (konidium) berwarna merah jambu. Penyakit masih

berkembang terus pada waktu buah cabai disimpan atau diangkut (Semangun

2000).

Colletotrichum merupakan penyakit tular biji dan dapat bertahan di dalam

tanah. Cendawan ini memiliki banyak inang (Suryaningsih et al. 1996). Serangan

penyakit antraknosa sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Serangan paling

(27)

dan suhu di atas 300C (AVRDC 1998). Penanaman cabai yang terus menerus

dalam areal yang sama merupakan faktor yang memudahkan tersebarnya

cendawan penyebab antraknosa. Penyakit antraknosa akan berkembang sangat

cepat jika tidak dilakukan pengendalian yang efektif.

Penyakit antraknosa sulit dikendalikan karena patogennya bersifat laten

dan sistemik serta menyerang semua fase pertumbuhan tanaman (Sinaga et al.

1992). Pengendalian penyakit ini dengan fungisida kurang efisien dan bersifat

sementara (Wijaya 1991). Selain itu dapat menyebabkan pencemaran lingkungan,

berbahaya baik bagi petani maupun konsumen, biaya relatif mahal dan tekanan

seleksi dapat menimbulkan ras-ras patogen baru yang resisten (Suryaningsih dan

Suhardi 1993).

Penyakit Hawar Phytophthora

Penyakit hawar phytophthora pada pertanaman cabai disebabkan oleh

Phytophthora capsici Leonian (Kurt dan Emir 2004). P. capsici termasuk famili

Pythiaceae ordo Peronosporales, kelas Oomycetes (Alexopoulus dan Mims 1979).

Menurut Sinaga (2003) Phytophthora merupakan cendawan penghuni tanah (

soil-inhabitant fungi) yang menggunakan sebagian hidupnya dalam tanah dan bertahan

sebagai saprofit.

Siklus hidup P. capsici terdiri dari fase pertumbuhan aktif dalam jaringan

dan fase dormansi (Lamour dan Hausbeck 2001a). Fase dormansi berupa oospora

berdinding tebal yang diproduksi selama reproduksi seksual (Lamour dan

Hausbeck 2001b). Oospora membutuhkan periode dormansi sebelum berkecambah

yang akan menghasilkan Coenocytic mycelium, yang secara langsung menginfeksi

atau berdiferensiasi menjadi cadicous sporangia dalam kondisi sesuai. Sporangia

dapat menyebabkan infeksi secara langsung atau dimediasi air bebas dengan

melepaskan 20-40 zoospora (Lamour dan Hausbeck 2001a).

Zoospora sebagai inokulum bila sampai ke permukaan jaringan tanaman

maka inokulum tersebut akan menempel dengan bantuan protein atau glikoprotein

yang ada pada permukaan jaringan (Coffey dan Gees 1991). P. capsici yang telah

masuk ke dalam jaringan akan mengganggu aktivitas fotosintesis dengan

(28)

terjadinya disfungsi biosintesis C18:3 yang merupakan komponen utama asam

lemak pada membran tilakoid tanaman (Souli et al. 1989). Gangguan pada

komponen kloroplas tersebut akan menyebabkan penurunan kapasitas fotosintesis

inang (Yunianti 2007).

Cendawan P. capsici akan membentuk struktur hifa primer dalam sel inang

dan menyebar melalui ruang interseluler. Dari hifa primer akan dibentuk hifa

sekunder (haustorium) yang menembus ke dalam sel. Hifa selanjutnya akan

berkembang membentuk sporangiofor. Struktur tersebut muncul dari stomata

inang dan selanjutnya membentuk cabang-cabang pendek. Pada cabang-cabang

tersebut dibentuk sporangium. Cendawan mampu membentuk ribuan sporangium

pada tempat penetrasi hanya dalam waktu beberapa hari. Di dalam sporangium

dibentuk zoospora yang akan dilepas melalui papila setelah dinding sporangia

pecah (Agrios 1997).

Perbedaan interaksi isolat dengan genotipe cabai mengindikasikan bahwa

ada ras-ras patogenik pada isolat P. capsici (Hwang et al. 1996). AVRDC telah

mengidentifikasi tiga ras yaitu ras 1, 2, dan 3. Ras 1 adalah yang paling virulen

diikuti oleh ras 2 dan ras 3. Galur-galur diferensial cabai yang digunakan untuk

identifikasi ras adalah PI 188478, PBC 602, PBC 137, Early Calwonder (AVRDC

2000).

Cendawan P. capsici menyerang semua fase dan bagian tanaman. Serangan

pada pangkal batang ditandai dengan busuk batang berwarna coklat kehitaman,

tanaman layu tanpa terjadi penguningan daun terlebih dahulu (Yunianti 2007).

Pada tanaman dewasa, infeksi ditandai dengan munculnya lesio berwarna ungu

gelap dekat dengan permukaan tanah. Pada buah akan muncul bercak kecil, berarti

atau basah dan berwarna pudar. Perkembangan lesio lebih cepat biasanya

sepanjang ujung buah dibandingkan bagian tengah buah. Bagian jaringan yang

terinfeksi akan menjadi kering, cekung dan terdapat garis-garis (Erwin dan

Ribeiro 1996). Pada daun akan memperlihatkan gejala berupa bercak gelap dengan

bentuk dan ukuran yang tidak beraturan, jaringan mengering dan tampak seperti

terbakar matahari (Doolittle 1953).

Yunianti (2007) melaporkan bahwa gejala nekrosis pada bagian pangkal

(29)

dengan cendawan P. capsici. Marwiyah et al. (2006) melaporkan bahwa kematian

cabai dapat mencapai 65.3% setelah diinokulasi dengan isolat P. capsici ras 1.

Harahap (1991) menyatakan bahwa masa inkubasi penyakit berlangsung 2-3 hari

setelah inokulasi dan mengakibatkan buah gugur pada hari kelima serta kematian

tanaman pada hari ketujuh. Agrios (1997) menegaskan bahwa masa inkubasi

bervariasi waktunya dipengaruhi oleh interaksi antara inang dan patogennya,

stadium perkembangan inang, dan keadaan lingkungan.

Penyakit ini menyebabkan kerugian yang sangat besar. Perkembangannya

bergantung terutama pada suhu dan kelembapan, intensif tidaknya tindakan

penyemprotan dengan fungisida, umur tanaman saat diserang, serta tingkat

ketahanan yang dimiliki oleh varietas cabai yang ditanam (Yunianti 2007).

Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh Rasltonia solanacearum yang

semula bernama Pseudomonas solanacearum. Penyakit ini menyerang tanaman

tembakau pada tahun 1890-an dan menyerang kacang tanah pada tahun 1905.

Penyebaran patogen ini meluas pada tanaman kentang, pisang, jambu mete, jahe,

dan cengkeh (Machmud 1993). Penyakit layu bakteri dapat menurunkan produksi

pada tanaman kentang sebesar 75% dan tomat 100% (Persley et al. 1985). Patogen

ini memiliki kisaran inang yang luas dan bersifat soil borne. Kemampuannya yang

mudah berubah strain menyebabkan penyakit ini sulit untuk dikendalikan

(Hayward 1991).

Bakteri R. solanacearum memiliki inang sebagian besar dari famili

Solanaceae, Musaceae, Asteraceae, dan Fabaceae (Hayward 1991). Pada tahun

1994, Hayward melaporkan bahwa jumlah inang patogen ini mencapai 50 famili.

Menurut Machmud et al. (1999) patogen penyakit ini memiliki kisaran inang dan

daerah sebaran penyakit yang luas dan kemampuan bertahan hidup dalam tanaman

yang luar biasa di dalam tanah dan rizosfer tanaman yang bukan inangnya, dan

variabilitasnya sangat tinggi serta daya rusak yang besar.

Bakteri R. solanacearum dikelompokkan menjadi lima ras berdasarkan

kisaran inangnya dan lima biovar berdasarkan kemampuannya mengkonsumsi

(30)

sulit dilakukan terutama pada tingkat sub spesies karena sifat patogen ini yang

kompleks dan sangat heterogen (Machmud et al. 1999).

Tabel 1 Pengelompokan ras penyakit R. solanacearum (Persley et al. 1985)

Ras Inang Daerah Sebaran

1 Kacang tanah, famili solanaceae dan beberapa spesies gulma

Dataran rendah tropik dan sub tropik

2 Pisang, Heliconia, dan tanaman famili Musaceae lainnya

Asia, daerah tropik Amerika

3 Khusus menyerang kentang dan beberapa inang alternatif

Daerah tropik dan subtropik

4 Jahe 5 Mulberry

Yulianah (2007) melaporkan bahwa pada penelitiannya, gejala layu terlihat

pada daun, pangkal batang serta akar menghitam dan tampak basah. Pada genotipe

yang rentan terhadap layu bakterti akan terlihat gejala layu mulai 4 hari setelah

inokulasi. Martin dan French (1985) menyatakan gejala khas penyakit layu adalah

terjadinya kelayuan, daun menguning dan tanaman menjadi kerdil. Pada tanaman

tahan, kelayuan berkurang namun terjadi pengerdilan pada tanaman muda.

Hayward (1983) menerangkan bahwa gejala layu pertama kali terlihat biasanya

pada tanaman yang berumur kurang lebih 6 minggu dan dimulai pada daun-daun

muda. Pada tanaman muda dan sukulen dari varietas rentan, kelayuan yang hebat

disertai dengan robohnya batang tanaman. Batang tanaman yang sakit jika

dipotong akan terlihat berkas pembuluh yang berwarna coklat dan jika ditekan

akan mengeluarkan eksudat berupa lendir yang berwarna putih susu. Semangun

(2000) menyatakan bahwa jika potongan batang yang sakit dimasukkan ke dalam

air steril maka berkas pembuluh akan mengeluarkan aliran massa bakteri yang

berwarna putih. Ini merupakan ciri penting penyakit layu bakteri yang

membedakannya dengan penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium

sp.

R. solanacearum cenderung membentuk koloni tidak virulen atau tingkat

virulensinya lemah pada media biakan. Koloni virulen dan tidak virulen dapat

dideteksi dengan menumbuhkannya pada media yang mengandung 2,3,5

(31)

muda dengan bentuk tidak beraturan. Koloni yang tidak virulen berbentuk bulat

kecil dengan pusat merah tua. Pada media cair, bakteri virulen biasanya non motil

dan yang aktif bergerak merupakan bakteri yang tidak virulen (Hooker 1981).

Kelembaban dan suhu tanah mempengaruhi bertahannya bakteri penyebab

penyakit layu. Akiew (1985) melaporkan bahwa populasi R. solanacearum

menurun tajam pada peningkatan suhu tanah serta menurunnya kelembaban tanah.

Sedangkan pada kelembapan tanah tinggi dan suhu rendah, bakteri mampu

bertahan hidup lama dalam tanah. Kelman (1953) menerangkan bahwa suhu

optimum untuk perkembangan penyakit adalah 27-37 0C.

Kondisi pertumbuhan tanaman inang mempengaruhi ketahanannya

terhadap penyakit. Agrios (1997) menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan

nitrogen dapat meningkatkan kerentanan tanaman tomat terhadap layu Fusarium

dan layu R. solanacearum, tanaman tumbuh lebih lama, lebih lambat dan lebih

cepat tua. Kelebihan nitrogen menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi

sukulen dan dapat menyebabkan tumbuhan menjadi lebih rentan terhadap patogen

yang menyerang jaringan tumbuhan tersebut.

Pengujian ketahanan cabai terhadap layu bakteri dapat dilakukan dengan

cara menanam genotipe cabai pada lahan yang sudah terinfeksi secara alami dan

dapat juga dilakukan dengan inokulasi buatan. Khairul (2005) melaporkan bahwa

metode inokulasi dengan perendaman akar bibit yang telah dilukai lebih efesien

dibandingkan inokulasi dengan metode penyiraman suspensi ke pangkal batang

dan pengguntingan daun. Metode perendaman akar bibit ini dapat mempercepat

munculnya gejala layu (9.3 HSI) dengan kejadian penyakit yang lebih tinggi yaitu

sebesar 65%.

Perakitan Varietas Tahan

Pengendalian penyakit dengan menggunakan bahan kimia seperti yang

banyak dilakukan petani sangat tidak menguntungkan. Selain berbahaya bagi

petani dan konsumen, bahan kimia tersebut mahal dan tidak ramah lingkungan.

(32)

mempunyai modal terbatas sehingga dianjurkan pengendalian penyakit dengan

menanam varietas toleran, bibit yang sehat dan rotasi tanaman. Alternatif yang

baik dalam pengendalian penyakit adalah penggunaan varietas tahan.

Tahapan yang paling penting dalam program pemuliaan tanaman untuk

menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber

ketahanan dan menentukan pola pewarisan sifat ketahanan tanaman serta sifat

genetik dari interaksi antar tanaman dengan patogen (Allard 1960). Varietas

tanaman yang tahan penyakit akan dihasilkan melalui seleksi plasma nutfah dan

persilangan dengan tetua terpilih. Sifat tahan ini dapat berasal dari varietas yang

berbeda, varietas komersil, atau spesies liar (Kallo 1988).

Tanaman tahan dan rentan dapat dibedakan dengan mudah jika ketahanan

dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, pada keadaan tersebut varians

ketahanan akan menunjukkan kurva sebagian terputus atau diskontinyu. Seringkali

pada ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada perbedaan yang

jelas antara individu tanaman tahan dan tanaman rentan dalam populasi yang

bersegregasi (Allard 1960). Penentuan ketahanan terhadap sutau penyakit dapat

dilihat dari kejadian penyakitnya dan intensitas serangan. Russel (1981)

menyatakan bahwa penting untuk melakukan pengukuran atau estimasi terhadap

besarnya intensitas serangan dengan sistem pemberian nilai skor atas gejala yang

muncul.

Akhir-akhir ini varietas tahan yang banyak beredar di petani mulai dapat

dipatahkan ketahanannya akibat munculnya ras-ras baru dari suatu patogen

penyakit. Varietas tahan yang ada umumnya memiliki ketahanan vertikal yang

hanya tahan pada satu ras penyakit dan tidak bertahan lama. Kondisi ini semakin

diperburuk oleh kehadiran beberapa penyakit sekaligus di areal pertanaman petani.

Penyakit yang dominan menyerang pertanaman cabai adalah antraknosa, hawar

phytophthora, layu bakteri, dan virus.

Untuk mendapatkan varietas yang tahan pada beberapa penyakit maka

perlu dirakit suatu varietas multiline. Agrios (1997) menyatakan bahwa varietas

multiline adalah campuran individu-individu yang memiliki sifat agronomis yang

sama namun memiliki gen ketahanan yang berbeda. Perakitan varietas multiline

(33)

gen-gen ketahanan yang berbeda dengan genotipe yang memiliki sifat agronomi

yang baik. Gen-gen tersebut dipindahkan melalui hibridisasi.

Metode Silang Dialel

Pongoh (1987) menyatakan bahwa persilangan yang melibatkan dua tetua

sebagai induk persilangan akan membentuk rekombinasi gen yang sangat terbatas

dan tidak semua gen yang dikehendaki terkumpul pada galur yang diuji.

Disamping itu, keadaan demikian dapat mempersempit dasar genetik yang ada dan

mempercepat terjadinya pemantapan blok linkage serta kerapuhan genetik. Oleh

karena itu, sebaiknya setelah persilangan perlu diikuti dengan suatu metode seleksi

yang terarah atau memperbesar jumlah tetua persilangan yang akan digunakan.

Berkaitan dengan jumlah tetua yang digunakan maka dikenal istilah metode silang

dialel.

Analisis dialel membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar

populasinya serta memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program

pemuliaan. Persilangan dialel adalah persilangan yang melibatkan sejumlah

genotipe (varietas, galur, klon) dalam semua kombinasi sehingga masing-masing

genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotipe lain, dan

dapat juga dilakukan persilangan sendiri pada genotipe itu. Dengan analisis dialel

dapat diketahui kombinasi mana yang baik untuk menghasilkan suatu varietas

yang lebih baik. Penggunaan metode dialel harus memenuhi asumsi yaitu (1)

segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, (3) tidak

ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel, (4) tidak ada multiallelisme, (5)

tetua homozigot, dan (6) gen-gen menyebar secara bebas diantara tetua (Singh &

Chaudhary 1979; Roy 2000).

Greenleaf (1986) menyatakan bahwa cabai merupakan tanaman diploid.

Hal ini menunjukan bahwa cabai memiliki gen-gen yang bersegregasi diploid

sehingga memenuhi asumsi untuk dilaksanakannya analisis dialel.

Singh dan Chaudary (1979) menyatakan bahwa pengujian nilai koefisien

regresi b pada garis Wr (peragam antara tetua dan keturunann dari array ke-r)

terhadap garis Vr (ragam dalam array ke-r) dapat menunjukkan ada atau tidaknya

(34)

dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi non allelik dan sebaliknya, jika diperoleh b≠1 maka mengindikasikan adanya peran interasi non allelik dalam mengendalikan suatu sifat.

Analisis silang dialel dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu Hayman

dan Griffing. Pendekatan yang dikembangkan oleh Hayman dapat memberikan

informasi mengenai parameter genetik dari tetua-tetua yang digunakan dalam

persilangan sedangkan pendekatan Griffing memberikan informasi kemampuan

daya gabung dari tetua-tetua yang digunakan dalam persilangan (Singh dan

Chaudhary 1979).

Informasi yang dapat diperoleh dari pendekatan Hayman adalah (1) nilai D

yaitu keragaman akibat pengaruh aditif; (2) F yaitu nilai tengah Fr genotipe

(rata-rata Fr untuk semua array), F peragam pengaruh aditif dan non aditif pada array

ke-r; (3) H1 yaitu keragaman karena pengaruh dominansi; (4) H2 yaitu menduga

sebaran gen dalam tetua dan digunkan untuk menduga proporsi gen negatif dan

positif pada tetua; (5) h2 merupakan pengaruh dominan (sebagai jumlah aljabar

dari semua persilangan saat heterozigous); (6) E yaitu keragaman karena pengaruh

lingkungan; (7) rata-rata tingkat dominansi; (8) proporsi gen-gen dengan pengaruh

positif dan negatif dalam tetua; (9) proporsi gen-gen dengan pengaruh dominan

dan resesif dalam tetua; (10) jumlah kelompok gen yang mengendalikan sifat dan

menimbulkan dominansi; (11) heritabilitas arti luas dan sempit (Singh dan

Chaudary 1979).

Menurut Griffing (1956) dalam melakukan analisis daya gabung

diperlukan tiga materi genetik, yaitu tetua, F1, dan resiproknya. Dengan

menggunakan ketiga set materi genetik tersebut, Griffing memberikan empat

metode dalam analisa daya gabung, yaitu Metode I yang disebut juga full diallel

yang melibatkan n tetua dan F1 hasil silangan serta resiprokalnya masing-masing

sejumlah [n(n-1)/2 persilangan; Metode II disebut juga metode half diallel yang

melibatkan n tetua dan F1 saja dengan jumlah [n(n-1)/2] persilangan; Metode III

melibatkan F1 hasil silangan serta resiprokalnya tanpa tetua dengan jumlah

silangan [n(n-1)] dan Metode IV hanya melibatkan F1 dengan jumlah silangan

(35)

Daya gabung adalah ukuran kemampuan suatu tetua bila disilangkan dengan

galur lain yang akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior (Allard

1960). Singh dan Chaudary (1979) menjelaskan bahwa daya gabung dibedakan

menjadi dua, yaitu gabung umum (general combining ability) dan daya gabung

khusus (spesific combining ability). Daya gabung umum adalah kemampuan suatu

genotipe yang menunjukkan kemampuan rata-rata keturunan bila disilangkan

dengan sejumlah genotipe lain. Daya gabung khusus adalah kemampuan individu

tetua untuk menghasilkan turunan yang unggul jika disilangkan secara spesifik

dengan tetua lainnya.

Daya gabung umum (DGU) yang besar dan positif menunjukkan bahwa

tetua tersebut mempunyai daya gabung yang baik. Nilai DGU yang negatif berarti

tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung (rata-rata) yang lebih rendah

dibandingkan dengan tetua-tetua lainnya. Daya gabung khusus (DGK) yang positif

menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi

dengan salah satu tetua yang digunakan. Sebaliknya, apabila DGK negatif berarti

tetua tersebut tidak mempunyai kombinasi hibrida yang tinggi dengan salah satu

dari tetua-tetua yang digunakan (Sujiprihati 1996).

Informasi genetik yang diperoleh dari pengujian DGU, DGK, dan

resiprokalnya akan berguna untuk menentukan tetua dan metode pemuliaan

tanaman yang sesuai dalam rangka perbaikan sifat-sifat tanaman (Sujiprihati

1996).DGU adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi

persilangan bila disilangkan dengan dengan galur-galur lain. DGK adalah

penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan tertentu

lebih baik dari pada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan

DGKnya baik (Poehlman dan Sleeper 1990). DGU yang besar menunjukkan tetua

yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan semua tetua

sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai

kemampuan bergabung yang kurang baik terhadap semua tetua yang lain.

Menurut Falconer (1981) efek DGU dan DGK adalah indikator penting

dari nilai potensial suatu galur murni dalam kombinasi hibrida. Welsh (1981)

menambahkan bahwa DGU terutama merupakan hasil dari aksi gen aditif,

(36)

Heterosis

Allard (1960) menggambarkan heterosis sebagai vigor hibrida dari F1 yang

melebihi rata-rata kedua tetuanya. Sebenarnya vigor hibrida menerangkan

pertambahan dalam ukuran dan vigor suatu tanaman sedangkan heterosis

digunakan untuk pertambahan maupun pengurangan ukuran dan vigor suatu

tanaman. Istilah heterobeltiosis lebih menggambarkan vigor hibrida F1 yang

melebihi dari tetua terbaiknya.

Shull (1908) pertama kali mendeskripsikan fenomena ini, dimana dikatakan

bahwa individu yang heterozigot mengalami pembagian sel, pertumbuhan dan

mempunyai proses fisiologis yang lebih baik dari pada individu yang homozigot.

Kusandriani (1996a) melaporkan bahwa pada tanaman cabai juga ditemukan

fenomena heterosis sehingga dimungkinkan dibentuknya hibrida cabai. Greenleaf

(1986) menerangkan bahwa hibrida akan memperlihatkan penampilan yang lebih

baik dari rata-rata kedua tetuanya. Untuk itu perlu dibentuk tetua dari populasi

galur murni yang berbeda secara genetik. Fenomena inilah yang menjadi dasar

dibentuknya varietas hibrida.

Poespodarsono (1998) menerangkan bahwa terdapat teori dasar yang

menjadi landasan terjadinya heterosis, yaitu adanya interaksi antar alel dalam satu

lokus dimana fungsi masing-masing gen berbeda sehingga menambah nilai

interaksi dan ini dikenal dengan efek heterozigositas dalam arti dominan lebih

(overdominan). Selain itu, heterosis juga merupakan akumulasi alel dominan,

sehingga persilangan antara kedua tetua akan menambahkan alel dominan pada

F1nya. Teori terakhir yang menjelaskan tentang heterosis adalah adanya interaksi

antar alel dari lokus yang berbeda (interaksi nonalelik) dan ini berkaitan juga

dengan terjadinya epistasi.

Dikenal dua istilah ynag menjelaskan fenomena heterosis yaitu heterosis itu

sendiri dan heterobeltiosis. Heterosis merupakan peningkatan atau penurunan

penampilan hibrida dibandingkan nilai rata-rata kedua tetuanya. Heterobeltiosis

adalah peningkatan penampilan hibrida dibandingkan tetua terbaik yang digunakan

(37)

Heritabilitas

Heritabilitas adalah proporsi besaran ragam genetik terhadap besaran ragam

fenotipe suatu karakter tertentu (Makmur 1992). Roy (2000) menyatakan bahwa

heritabilitas arti sempit (narrow sense) menggambarkan pengaruh aditif dari alel

yang diwariskan dari tetua kepada turunannya. Seleksi sifat yang dikendalikan

oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.

Crowder (1993) menegaskan bahwa heritabilitas merupakan parameter genetik

yang efektif dalam melakukan seleksi yang efektif.

Heritabilitas dapat digunakan dalam penentuan metode seleksi. Basuki

(1995) menjelaskan bahwa jika nilai heritabilitas arti sempit tinggi maka lebih

tepat menggunakan seleksi massa. Sebaliknya jika nilai heritabilitasnya rendah

maka dapat digunakan seleksi silsilah, uji kekerabatan (sib-test), dan uji keturunan

(progeny test). Selanjutnya bila ragam epistasis tinggi maka lebih tepat

menggunakan metode seleksi diantara famili dan pemuliaan galur (line breeding).

Bila gen dominan berperan maka program pemuliaan diarahkan untuk pembuatan

galur silang-dalam untuk membentuk hibrida. Bila ragam interaksi lingkungan

(GE) besar maka program pemuliaan diarahkan untuk mendapatkan varietas yang

sesuai dengan wilayah ekologis tertentu. Heritabilitas arti sempit dapat digunakan

untuk kemajuan genetik harapan akibat seleksi. Semakin besar nilai heritabilitas

suatu sifat maka semakin besar kemungkinan sifat tersebut diturunkan ke generasi

selanjutnya.

Roy (2000) menyatakan bahwa heritabilitas dapat diduga langsung dari

pendugaan komponen ragam dan secara tidak langsung melalui pendugaan nilai

regresi (b) serta korelasi antar kelas (t). Pendugaan komponen ragam dapat

diperoleh dari studi populasi dasar (P1, P2, F1, F2, dan backcross) dan berbagai

rancangan persilangan. Pada tanaman yang memperbanyak diri secara aseksual

seperti klon, seluruh ragam genetik diturunkan pada turunannya sehingga hanya

dapat diduga heritabilitas arti luas (h bs), Jika heritabilitas arti sempit mempunyai

nilai yang kecil melalui pendugaan komponen ragam maka diduga adanya

pengaruh dominansi atau pengaruh lingkungan yang besar. Namun kelemahan

menduga heritabilitas dari komponen ragam adalah standar error tidak dapat

(38)

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terdiri dari tiga percobaan, yaitu 1) karakterisasi daya hasil;

2) pengujian ketahanan terhadap penyakit (antraknosa, hawar phytophthora, dan

layu bakteri); dan 3) pendugaan parameter genetiknya menggunakan analisis

dialel. Penelitian ini dilakukan mulai Juni 2008 sampai November 2009 yang

bertempat di KP Leuwikopo, KP Alam Sinar Sari-Cibereum, dan Lab. Dik

Pemuliaan Tanaman Departemen AGH Faperta IPB.

Percobaan 1: Karakterisasi Daya Hasil

Karakterisasi daya hasil dilakukan terhadap 28 genotipe cabai yang berasal

dari koleksi Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen AGH IPB,

galur-galur introduksi dari AVRDC dan cabai lokal yang sudah digalurkan.

Genotipe-genotipe yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. Percobaan

dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)

faktor tunggal dengan 3 ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20

tanaman. Peubah yang diamati terdiri sifat kualitatif dan kuantitatif berdasarkan

Descriptors for Capsicum (IPGRI 1995) disajikan pada Lampiran 3.

Analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Analisis ragam dengan menggunakan software SAS versi 9.0 dan bila

hasilnya menunjukkan hasil yang berbeda nyata maka dilakukan dengan uji

lanjut dengan DMRT taraf α =0.05. Sumber keragaman dalam RKLT

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Analisis ragam rancangan acak kelompok

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (db)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai Harapan KT

F hitung

Ulangan r-1

Genotipe t-1 KTg σ2+ rσg2 KTg/KTe

Galat (r-1)(t-1) KTe σ2

2. Ragam genetik mengikuti formula Singh dan Chaudhary (1979) σ2

(39)

Keterangan: σ2

g = ragam genetik

KTg = kuadrat tengah genotipe KTe = kuadrat tengah galat r = ulangan

3. Standar deviasi ragam genetik

σ

σ2g = √[2/n2][(KTg2/(dbg +2)) + (KTe2/(dbe+2))]

Keterangan:

σ

σ2g = standar deviasi ragam genetik

KTg = kuadrat tengah genotipe

KTe = kuadrat tengah galat

n = ulangan

dbg = derajat bebas genotipe

dbe = derajat bebas galat

4. Heritabilitas arti luas

h2bs= (σ2g / σ2f ) x 100%

5. Analisis korelasi (r) menggunakan software Minitab versi 14. dengan

koefisien korela

Gambar

Gambar 3  Tahapan pelaksanan inokulasi C. acutatum isolat PYK 04. (a) buah yang telah dicuci; (b) inokulasi; (c) inkubasi dalam bak plastik
Tabel 3  Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa
Tabel 10  Nilai rata-rata beberapa sifat kuantitatif pada genotipe cabai yang diamati
Tabel 11 Parameter genetik pada bobot buah per tanaman, bobot per buah, panjang  buah, dan diameter buah cabai yang diuji
+7

Referensi

Dokumen terkait

Target utama dari Arimaya Steak dan Pasta ini adalah masyarakat di kota Palembang namun tidak menutup kemungkinan masyarakat dari kota lain dengan rentang usia 30-50 tahun

Dengan demikian kekuatan mutu plat beton 20 MPa sangat berpengaruh terhadap kekuatan yang dihasilkan oleh Dapat dilihat pula kekuatan yang bekerja pada bidang

Salah satu cara untuk meningkatkan motivasi dan minat belajar adalah dengan menerapkan media pembelajaran yang tepat pada anak usia Sekolah Dasar dalam hal ini anak usia kelas

Unit Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Industri pupuk X mempunyai unit penanggulangan kebakaran yaitu bagian Keselamatan dan Pemadam Kebakaran (KPK). Unit

Materi yang digunakan dalam penelitian 22 ekor induk sapi potong (12 ekor induk sapi SimPO, 10 ekor induk sapi LimPO) yang di- flushing dan 27 ekor induk sapi potong

Penelitian ini akan mengkritisi dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai sosok pahlawan borjuis yang digambarkan dalam karakter Batman sebagai superhero dalam

berulang-ulang dan melihat hasil setelah perlakuan (Sunanto dkk, 2007: 26). Data bersumber pada anak Down syndrome kelas VII melalui observasi langsung kemudian