• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI SULAWESI TENGGARA

DI LAHAN BASAH AIR ASAM TAMBANG PT BUKIT ASAM Tbk (Persero)

5 PEMBAHASAN UMUM

Lonkida (N. orientalis L.) ditemukan tumbuh alami pada beberapa habitat di Sulawesi Tenggara. Habitat yang ditumbuhi lonkida diantaranya habitat lahan darat kering, tergenang permanen (rawa) dan tergenang temporal (rawa temporal dan savanna rawa temporal). Jenis ini tumbuh pada wilayah dataran rendah dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial, dataran tektonik dan intrusi volkan (bahan induk ultramafik). Berdasarkan bentuk lahan tersebut maka jenis-jenis tanah dominan yang ditumbuhi lonkida diantaranya Inceptisols, Alfisols dan Oxisols. Jenis Inceptisol termasuk jenis tanah dominan pada habitat rawa, rawa temporal dan savanna rawa temporal. Penciri tanah Inceptisols adalah memiliki bahan induk aluvium dengan bentuk lahan dataran aluvial (Hardjowigeno 2010). Lonkida juga ditemukan tumbuh pada tanah Oxisols dengan karakteristik tekstur tanah bersifat liat dan banyak mengandung Fe dan Mn serta Mg>Ca (Tabel 2.1). Hasil penelitian diatas membuktikan bahwa lonkida termasuk jenis tumbuhan rawa yang memiliki sebaran ekologi yang relatif luas, dibanding kebanyakan jenis dari lahan tergenang yang umumnya memiliki amplitudo ekologi yang relatif kecil (Parolin 2009). Fakta ini menjelaskan bahwa lonkida sangat potensial dikembangkan pada berbagai kondisi lahan termasuk lahan tergenang air. Terkait dengan pengembangan jenis, maka pengetahuan kondisi klimatis perlu dikuasai. Di Australia, jenis ini dapat tumbuh pada curah hujan 800-3800 mm/thn dengan bulan kering yaitu 30-40 oC dan bulan basah 10-20 oC (Boland et al. 2006; Dayan et al. 2007).

Koleksi buah dan benih lonkida pada berbagai tempat tumbuh tersebut telah dilakukan untuk mengkaji variasi habitat terhadap karakteristik buah dan mutu benih lonkida serta pertimbangan utama untuk koleksi benih guna mendukung rehabilitasi lahan. Penelitian ini melaporkan bahwa terdapat variasi karakter buah dan benih serta mutu benih berdasarkan habitat alami lonkida. Variasi buah dan benih yang terjadi pada pohon lonkida diduga disebabkan perbedaaan habitat yang berinteraksi dengan elemen-elemen genetik. Schmidt (2000) menyebutkan bahwa produksi dan karakter buah dan benih sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Loha et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam sebagian besar jenis terdapat variasi benih antara dan dalam populasi serta antara dan di dalam individu karena dipengaruhi oleh faktor pohon induk dan lingkungan. Faktor habitat yang diduga berkontribusi terhadap variasi buah dan jumlah benih per buah adalah ketersediaan air selama proses perkembangan buah (Pranoto 1990; Kozlowski dan Pallardy 1997)

Pada penelitian ini, DK dapat mencapai 87-92% dengan rata-rata jumlah benih per kg sebanyak 3 745 318-6 289 308 benih pada habitat tergenang permanen dan tergenang temporal. Berdasarkan standar mutu benih maka mutu benih lonkida pada penelitian ini termasuk mutu A (>90%) dan mutu B (80-89%). Benih dengan mutu A dapat digunakan untuk tujuan konservasi sumberdaya genetik, arboretum, koleksi, pembangunan sumber benih serta perlindungan tanah dan air. Sedangkan mutu B untuk tujuan pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat (Balai Teknologi Perbenihan 2000). Informasi jumlah benih per kg dan daya kecambah benih lonkida sangat penting untuk menghitung kebutuhan produksi bibit dalam kegiatan rehabilitasi serta memperkaya standar mutu benih

lonkida karena sampai saat ini belum ada standar pengujian mutu fisik dan fisiologi benih lonkida di Indonesia. Sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan pembanding bagi pihak-pihak terkait. Terkait dengan koleksi benih lonkida pada musim kemarau (kering) sebaiknya diperoleh dari pohon-pohon induk dari habitat lahan tergenang permanen dan tergenang temporal. Penguasaan teknik penanganan benih yang tepat merupakan kunci sukses pengembangan lonkida di Indonesia. Oleh karena itu, benih atau bibit yang dikoleksi dari sumber benih berbagai habitat perlu diuji pada kondisi genangan baik skala rumah kaca maupun lahan basah air asam tambang.

Berdasarkan hasil penelitian tahap kedua dan ketiga ditemukan bahwa bibit lonkida dari berbagai habitat memiliki adaptasi tinggi terhadap perlakuan kondisi genangan. Bibit lonkida berbeda habitat memiliki daya hidup tinggi (100%) sampai akhir pengamatan (90 hari) baik pada perlakuan genangan di rumah kaca maupun genangan pada konstruksi lahan basah AAT di PT. Bukit Asam (Persero) Tbk. Strategi adaptasi lonkida pada kondisi genangan terjadi dengan memodifikasi morfologi dan anatomi tubuh melalui pembentukan lentisel, akar liar dan aerenkima (Gambar 3.2 dan 4.2). Pembentukan lentisel dan akar liar terbentuk di bagian batang yang dirangsang oleh etilen dan auksin. Sedangkan jaringan aerinkima terbentuk dengan kehadiran etilen sebagai reaksi terhadap kekurangan oksigen pada kondisi genangan. Etilen akan mestimulasi aktivitas selulosa sehingga mempercepat disintegrasi sel korteks (sel korteks mengalami lisis sehingga terbentuk ruang antar sel (Kozlowski 1997; Visser dan Voesenek 2004). Mekanisme adaptasi tersebut berperan memperbaiki kemampuan serapan oksigen (menjaga respirasi aerobik dan transfernya ke jaringan tanaman yang tergenang serta meningkatkan daya hidup tanaman (Medina et al. 2010; Ashraf 2012; Yin et al. 2012). Meskipun demikian, bibit dari habitat rawa temporal cenderung memiliki pertumbuhan lebih tinggi dibanding habitat lainnya (Gambar 3.2). Beberapa studi melaporkan hal yang sama, dimana bibit yang bahan tanamannya diperoleh dari habitat tergenang cenderung pertumbuhannya lebih baik pada perlakuan genangan (Ferreira et al. 2009; Nielsen et al. 2010).

Pada penelitian ini, aplikasi FMA cenderung meningkatkan diameter tanaman di kolam AAT berisi 100 kg bokasi (Gambar 4.6). Efektivitas FMA pada kondisi genangan sangat dipengaruhi oleh jenis FMA, spesies tanaman, ketersediaan P dan jarak FMA dari rhizospher (Keeley 1980; Bauer et al. 2003; Stevens et al. 2002; Garcia et al. 2008). Salah satu jenis FMA dari inokulum mycofer IPB yang diduga sangat berperan adalah Gigaspora margarita. Beberapa studi melaporkan bahwa G. margarita merupakan salah satu jenis FMA yang adaptif pada kondisi ekologi akuatik (Khan 1993) dan meningkatkan pertumbuhan tanaman Prunus persica (Ruto et al. 2002) dan Sclerocarya birrea (Muok dan Ishii 2006) serta menekan akumulasi etanol (Ruto et al. 2002) pada kondisi genangan. Meskipun demikian, pengaruh inokulasi FMA terhadap performa tanaman pada kondisi genangan tidak konsisten (Stevens et al. 2011). Hal ini juga ditemukan pada penelitian skala rumah kaca, khsususnya pada tanaman yang berasal dari habitat tergenang.

Kolonisasi FMA pada penelitian baik pada genangan skala rumah kaca dan lahan basah AAT sekitar 23%. Kolonisasi FMA pada penelitian ini lebih tinggi dari kolonisasi FMA pada akar tanaman Bidans frondosa dan Eclipta prostrata yakni <20% (Stevens et al. 2011) dan Typha latifolia, <6% (Ipsilantis dan Sylva

2007). Kehadiran struktur FMA mengindikasikan bahwa masih terjadi simbiosis FMA dengan akar tanaman lonkida selama 90 hari baik pada kondisi genangan air maupun cemaran AAT. Selain genangan, kolonisasi FMA juga sangat dipengaruhi oleh bahan organik. Persentase kolonisasi menurun seiring dengan penambahan jumlah bahan organik (Gambar 4.4). Hasil penelitian ini sejalan beberapa peneliti sebelumnya. Wigand et al. (1998) melaporkan bahwa bahan organik dan P yang rendah berkorelasi dengan kolonisasi FMA yang tinggi di bagian akar atau sebaliknya penambahan P dapat menekan kolonisasi FMA pada kondisi genangan (Ipsilantis dan Sylvia 2007; Cornwell et al. 2011). Powell dan Bagyaraj (1984) bahwa tanah yang kurang subur akan menurunkan membran fosfolipid akar, meningkatkan permiabilitas sel akar sehingga terjadi kebocoran dalam akar yang mengakibatkan berkurangnya karbohidrat dan asam amino, peristiwa tersebut akan memacu pembentukan mikoriza. Pada konteks sebagai agen fitoremediasi, FMA diduga berperan sebagai fitostabilisasi logam. Hal ini diindikasikan dengan kecenderungan rendahnya kadar logam pada tanaman lonkida bermikoriza.

Pada kondisi lahan basah AAT, penambahan bahan organik berupa bokasi dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman lonkida. Hasil uji t pada penelitian ketiga menunjukkan bahwa penambahan bokasi 200 kg meningkatkan tinggi dan diameter tanaman. Input pemupukan berupa bahan organik penting dilakukan karena pada kondisi pH rendah, beberapa unsur hara penting bagi tanaman tidak tersedia seperti P serta kelarutan unsur seperti Al, Fe, Mn yang tinggi dapat toksik bagi tanaman. Ketersediaan hara bagi tanaman menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Dengan demikian, pemberian pupuk (jenis dan kuantitas) sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan biomassa tanaman lonkida baik skala rumah kaca maupun di lapangan. Selain itu, keberadaan bahan organik juga berperan dalam penjerapan logam berat.

Selain adaptif pada kondisi genangan, jenis lonkida juga berpotensi sebagai tanaman fitoremediasi. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa lonkida dapat menyerap dan mengakumulasi unsur Fe, Mn, Cu, Zn dan Pb di konstruksi lahan basah AAT. Mekanisme yang dilakukan oleh tanaman lonkida untuk penghilangan logam adalah dengan teknik rhizofiltrasi yang ditunjukkan dengan nilai TF<1. TF untuk semua logam <1 mengindikasikan bahwa tanaman lonkida tidak dapat mengakumulasi metal di bagian pucuk, translokasi dibatasi hanya di bagian bawah (akar dan akar liar). Kemampuan rhizofiltrasi tanaman lonkida juga dilaporkan untuk Fe (Mawaddah 2012) dan Hg (Ekamawanti et al. 2014). Kemampuan lonkida tersebut diduga karena memproduksi metabolit sekunder (senyawa fenolik) tertentu yang berfungsi sebagai pengkelat logam dan memiliki kemampuan menyimpan logam dalam akar (Lane 2003 dalam Raghavamma et al. 2011). Rizofiltrasi lonkida pada penelitian ini sejalan dengan beberapa studi yang pernah dilakukan dimana tumbuhan-tumbuhan lahan basah AAT lebih banyak menyimpan logam di bagian akar (Mays dan Edwards 2001; Karathanasis dan Johnson 2003; Nyquist dan Greger 2009; Lottermoser dan Ashley 2011).

Logam yang banyak diserap oleh lonkida adalah Fe diikuti Mn>Zn>Cu>Pb>Cd. Kadar Fe pada bagian akar liar lonkida lebih besar dari kadar Fe di akar tanaman wetland AAT yang pernah diteliti oleh para peneliti (Mays dan Edwards 2001; Karathanasis dan Johnson 2003; Jayaweeraa et al. 2008; Khan et al. 2009; Nyquist dan Greger 2009; Mawaddah 2012). Jika ditinjau

dari bagian tanaman, akar liar termasuk bagian tanaman yang memiliki konsentrasi logam tertinggi, diikuti akar, daun dan batang. Fakta ini menjelaskan bahwa selain berfungsi membantu ketersediaan oksigen di jaringan akar, mengurangi kebutuhan respirasi fermentatif (memelihara respirasi aerobik), mengakselerasi cepat adaptasi tanaman (Yin et al. 2009; Tanaka et al. 2013), akar liar juga mampu menyerap dan mengakumulasi logam pada jaringannya karena bersentuhan langsung dengan AAT. Ditinjau dari asal habitat, bibit dari habitat tergenang seperti rawa cenderung memiliki pertumbuhan dan akumulasi logam yang tinggi dibanding habitat lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka lonkida dapat dikategorikan sebagai jenis berpotensi fitoremedian air asam tambang. Beberapa pertimbangan utama lonkida sebagai fitoremedian yakni a) memiliki toleransi terhadap kondisi kemasaman tinggi (pH rendah) dan miskin hara, b) logam terkonsentrasi di bagian bawah (akar dan akar liar), c) pembentukan dan perkembangan akar liar cukup intensif dan d) tidak mudah terbawa oleh aliran air. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada penelitian ini juga berperan sebagai agen fitoremedian melalui mekanisme fitostabilisasi untuk Mn dan Zn.

Berdasarkan hasil rangkaian penelitian maka lonkida berpotensi dikembangkan sebagai jenis pohon untuk rehabilitasi lahan rawa terdegradasi dan sebagai salah satu jenis fitoremediasi AAT di Indonesia. Potensi tersebut harus didukung oleh teknik budidaya lonkida yang tepat. Teknik budidaya yang diperoleh pada penelitian ini meliputi penanganan benih, produksi bibit di persemaian dan pertumbuhan bibit di lapangan. Eksplorasi buah dan benih dari pohon-pohon induk pada berbagai tipe habitat telah dilakukan. Buah lonkida dapat dikoleksi dari pohon induk dengan cara memungut dan atau memanjat pohon. Ciri buah masak berwarna coklat kekuningan sampai coklat. Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan teknik ekstraksi basah. Benih hasil ekstraksi sebaiknya langsung dikecambahkan untuk mendapatkan daya kecambah yang tinggi. Perkecambahan benih tidak membutuhkan perlakuan awal. Berdasarkan mutu benih lonkida pada penelitian ini maka sumber benih yang direkomendasikan untuk dikembangkan adalah benih yang dikoleksi dari pohon induk yang tumbuh pada habitat tergenang (DK 87-92%).

Produksi bibit lonkida dapat berasal dari benih. Bibit dari habitat tergenang rawa temporal dan savanna rawa temporal memiliki pertumbuhan baik pada kondisi cekaman lingkungan berupa genangan air. Sedangkan pada lahan basah AAT, pertumbuhan tinggi lebih baik dijumpai pada tanaman asal habitat rawa dan rawa temporal pada kolam berisi 200 kg bokasi. Dengan demikian, produksi bibit untuk tujuan pengkayaan lahan basah, khususnya tergenang AAT sebaiknya benih diperoleh dari pohon-pohon induk di habitat tergenang. Untuk mendukung pertumbuhan tanaman, penambahan bahan organik perlu dilakukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan menstimulir aktivitas biologi di lahan basah AAT.

Pola pengembangan lonkida dapat berupa pembangunan hutan tanaman di ekosistem/habitat rawa dan rawa gambut dan penanaman untuk tujuan rehabilitasi lahan terdegradasi. Khusus di lahan basah AAT, lonkida dapat ditanam dengan pola pengkayaan dengan tumbuhan lahan basah lainnya. Selama ini, pembangunan lahan basah AAT menggunakan rumput-rumputan seperti Typha angustifolia untuk menyerap logam berat sehingga cenderung tidak produktif.

Oleh karena itu, penanaman lonkida yang dikombinasikan dengan tumbuhan lahan basah lainnya akan meningkatkan nilai ekologi dan ekonomi lahan basah AAT di Indonesia.

Dokumen terkait