• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan situ Kemuning saat ini membutuhkan upaya revitalisasi situ. Faktor ancaman terhadap keberadaan situ Kemuning yang teridentifikasi dari penyusutan luas genangan air situ akibat dari kegiatan masyarakat yang kurang terkontrol telah menyebabkan perubahan kondisi morfologi situ. Pendangkalan juga merupakan indikator yang mempengaruhi kondisi situ. Pengerukan material sedimen perlu dilakukan untuk memperbaiki morfologi situ. Namun, upaya mengembalikan dan memulihkan fungsi lingkungan situ Kemuning menjadi situ baik tidak cukup hanya dengan revitalisasi sebagai pendekatan teknik sipil, tetapi perlu juga pendekatan teknik vegetatif dan sosial melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dimaksudkan untuk proses pembelajaran yang berkesinambungan untuk menstimulasi peran dan tanggung jawab masyarakat sebagai upaya proses melembagakan nilai dan aturan (institusionalisasi). Dalam hal ini, Fandeli dan Muhammad (2009) mengemukakan bahwa pendekatan pemulihan lingkungan dapat dilakukan dengan upaya technoengineering, bioengineering dan socioengineering.

Pengembangan potensi situ Kemuning untuk kegiatan wisata tirta ke arah konsep ekowisata harus dipahami sebagai pendekatan untuk melestarikan lingkungan situ. Kasus situ kemuning, keterbatasan peran serta masyarakat menjadi faktor kendala dalam mengembangkan pengeloaan situ, sehingga justru menyulitkan dalam membuat rencana pengelolaan yang berkelanjutan. Keterbatasan keterlibatan masyarakat sekitar situ juga menjadi faktor kendala mengendalikan ancaman prilaku tidak terkontrol masyarakat lain dalam mengeksploitasi situ. Ilham (2011) menjelaskan rencana kegiatan pengelolaan situ pada hakekatnya merupakan penjabaran dari analisa kondisi situ, sehingga penting melibatkan peran serta masyarakat ke dalam sistem. Damanik dan Weber (2006) menjelaskan pendapat kesepakatan beberapa ahli bahwa pertimbangan khusus atas serangkaian faktor akan menjadi kunci sukses dalam perencanaan ekowisata.

Penataan dan pengelolaan ekowisata situ sebagai bagian dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan diperlukan pemahaman antara nilai manfaat dan fungsi serta faktor yang dapat menyebabkan kerusakannya. Menyitir pendapat Mihalic (2003) dalam Munandar (2005) bahwa penurunan kulaitas lingkungan ekowisata dipahami dari suatu situasi paradoksal “tourism destroys tourism” dan aktivitas ekonomi lain yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Selanjutnya penyebab kerusakannya setidaknya juga dapat dipahami dari beberapa sudut pandang teori, yaitu: teori sistem, teori pertumbuhan dan teori prilaku. Dalam teori sistem disebutkan bahwa objek ekowisata merupakan public good. Sehingga pemerintah merupakan pihak yang bertanggungjawab dalam kegiatan ekowisata, maka dalam penetapan instrumen kebijakannya perlu memperhatikan larangan, pemberian lisensi dan penetapan standar lingkungan. Dalam teori pertumbuhan juga menjelaskan bahwa pertumbuhan akan membebani lingkungan, penekanan populasi merupakan upaya mencegah kemunduran kualitas lingkungan. pertumbuhan secara teori akan menciptakan kondisi the law of diminishing return. Dalam teori pertumbuhan pendekatan instrumen kebijakan adalah perlu penetapan carrrying capacity, pengaturan temporal pengunjung.

47 Terkait dengan perencanaan ekowisata, Damanik dan Weber (2006) menegaskan bahwa perencanaan ekowisata merupakan perencanaan mikro kawasan atraksi, dan ekowisata terkait dengan berbagai sektor sehingga perencanaannya juga harus diletakkan pada pendekatan multidisiplin, menuntut pekerjaan yang bersifat kolaborasi yang berdasarkan mekanisme yang jelas.

Gutierrez et al. (2005) menjelaskan ekowisata sering diarahkan menjadi pengaturan prinsip berdasarkan kegiatan lingkungan dan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana halnya sebuah segmen pasar khusus. Selanjutnya ekowisata dan wisata keberlanjutan memiliki potensi terkait dengan konservasi alam dengan keinginan baik dari masyarakat lokal melalui suatu jumlah keuntungan positif yang mengikutsertakan revenue generation, pelestarian budaya, dan kapasitas bangunan.

Posisi situ Kemuning sebagai poros dalam distribusi situ buffer 20 km melingkupi sebaran situ-situ yang ada di wilayah Bogor dan Kota Depok menjadi peluang strategis pengelolaan situ terintegrasi dalam membangun peta situ hijau kawasan yang berpotensi dalam penyediaan reservoir yang berfungsi sebagai infrastruktur pengendali banjir berupa RTH konservasi yang dapat dikembangkan untuk wisata tirta dengan konsep ekowisata, mengingat keberadaan lingkungan situ kondisinya cenderung mengalami penurunan fungsi, karena jika kondisi tersebut dibiarkan berlanjut dikhawatirkan persoalan bencana atau kerusakan yang terjadi di area lokal atau Jabodetabek secara umum terkait dengan situ sebagai infrastruktur sumberdaya air akan semakin sulit untuk ditanggulangi.

Penataan dan pengelolaan lingkungan situ perkotaan pada wilayah daerah aliran sungai yang tidak dapat berdiri sendiri, serta pentingnya melihat keterkaitan antara lingkungan fisik daerah aliran sungai dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Kasus situ Gintung mengindikasikan terjadinya bencana di sekitar daerah aliaran sungai terkait dengan pelaksanaan tata ruang yang tidak terkendali, dan kurangnya pemeliharan infrastruktur kawasan hulu, (Suganda et al 2009). Keikutsertaan sektor swasta dan masyarakat sekitar situ sangat diharapkan dalam meningkatkan pemanfaatan dari potensi fungsi situ dan upaya untuk pengendalian banjir dengan ikut menanggung biaya pemeliharaan lingkungan. Menurut Indriatmoko (2010) dalam penelitiannya tentang penerapan zero delta Q dalam pembangunan menjelaskan jika pemerintah dengan segala kemampuan yang dimiliki baik tenaga ahli maupun daya kekuatan finansial di maksimalkan dengan sungguh-sungguh dan masyarakat diberdayakan dengan pemberian penghargaan atas upaya untuk kepentingan lingkungan hidup maka penerapan zero delta Q sebagai suatu budaya akan dapat membuat lingkungan terhindar dari banjir.

Terdapat kasus pengelolaan situ dengan arah startegi konservasi dengan konsep ekowisata yang dinilai cukup berhasil, sebagai contoh dalam kasus ini adalah pengelolaan situ Babakan dan situ Pengasinan. Alam (2009) memberikan hasil penelitiannya tentang kajian sumberdaya situ Babakan untuk pengelolaan dan pengembangan ekowisata DKI Jakarta dengan rekomendasi perlunya strategi yang dijalankan dengan memaksimalkan fungsi kawasan sebagai objek wisata yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta mencegah terjadinya eksploitasi kawasan yang tidak memperhatikan daya dukung. Menurut Kurniawan (2008) dengan konsep ekowisata, pengenbangan daerah pariwisata intensif dapat diarahkan dengan memanfaatkan ruang di bawah tegakan dan pembangunan fasilitas wisata yang sesuai dengan kaidah konservasi.

48

Kondisi lain juga ditemukan pada situ Pengasinan yang berada di Kota Depok. Handayani (2009) dalam penelitiannya menyebutkan diawali dengan latarbelakang adanya kecenderungan peningkatan alih fungsi ruang terbuka hijau dan badan situ untuk pembangunan fisik, sehingga mendorong perhatian masyarakat peduli lingkungan Kota Depok untuk menyelamatkan dan memelihara ruang terbuka dan keberadaan situ-situ yang secara faktual semakin berkurang luasan dan jumlahnya. Adanya kebijakan untuk dapat memanfaatkan sempadan situ yang bernilai lingkungan dan bernilai ekonomi bagi masyarakat, telah merubah strategi penanganan situ-situ melalui agrowisata. Pelaksanaan melibatkan multi pelaku dari pemerintah kota dan partisipasi aktif masyarakat. Lebih lanjut Handayani (2009) menjelaskan terjadinya sistem inovasi di dalam proses pelaksanaan kegiatan pengelolaan Situ Pengasinan yang mengarah kepada upaya pengembangan agrowisata, meskipun kegiatan ini cukup berhasil merubah tata fisik lingkungan dan persepsi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungannya, namun upaya untuk mengembangkan kegiatan agrowisata di kawasan ini masih dihadapkan oleh berbagai kendala.

Dalam rangka untuk meningkatkan tingkat kepedulian masyarakat dan kepastian hukum terhadap kelestarian situ Kemunig, sebagai wisata tirta dan sistem tata air, bila memungkingkan perlu dibahas adanya usulan untuk dibuat Peraturan Daerah, sebagaimana Rita et al. (2003) dalam Priadie (2011) pernah membahas dalam penelitiaanya, seperti yang telah dibuat untuk situ Babakan sebagai salah satu daerah tujuan wisata melalui Keputusan Gubernur Nomor 92 Tahun 2099 tentang pengelolaan perkampungan Betawi di wilayah DKI Jakarta.

Menurut Drumm dan More (2005) terdapat beberapa kemungkinan dengan ekowisata memberikan kontribusi terhadap konservasi, 1) Ekowisata dapat meneruskan upaya area pelestarian, 2) Ekowisata juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, penyediaan insentif ekonomi untuk mendukung area pelestarian, 3) Ekowisata dapat meningkatkan pendidikan lingkungan bagi pengunjung atau wisatawan, 4) Ekowisata dapat menyediakan justifikasi untuk menentukan area sebalgai perlindungan atau meningkatkan dukungan area itu sendiri, yang akhirnya program utama ekowisata mampu membatasi dampak negatif dari kegiatan pengunjung wisata alam.

Pengembangan wisata tirta situ sangat bergantung pada kualitas lingkungan. Meskipun terdapat beberapa kategori wisata yang kurang hubungannya dengan lingkungan, tapi secara umum kenyamanan wisata tetap tergantung pada lingkungan yang bersih baik di pemukiman maupun di pusat kota. Hal ini untuk menjamin kualitas wisata. Secara ekologis, hal ini pun secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan keberadaan lingkungan. Satu yang tak dapat dipungkiri bahwa pariwisata seperti berwisata di situ-situ memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan dan kebersihan air. Hal yang ingin ditekankan di sini, bahwa pariwisata sangat bergantung dan membutuhkan lingkungan yang bersih, alami dan asli sesuai keinginan pengunjung. Hal ini juga tentunya seiring dengan keinginan kita masyarakat yang menghendaki adanya kebersihan, ketertiban dan keharmonisan dengan lingkungan.

Menurut Satria (2009) meski konsep ecotourism mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini merupakan dampak negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan.

49 Pengelolaan sumberdaya alam terkait dengan pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata, menurut Yaman dan Mohd (2004) dalam konteks terkait dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan ditandai oleh: 1) partispasi anggota masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan pariwisata, 2) pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan pengunjung, 3) kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi, iklim mikro.

Pelaksanaan pengembangan Plan A (revitalisasi situ dan atau restorasi situ) dan Plan B (penataan dan pengembangan situ berbasis wisata tirta) setidaknya dapat diterapkan untuk menindaklanjuti permasalahan dan faktor ancaman situ Kemuning saat ini. Faktor persepsi dan dukungan masyarakat yang tinggi terhadap pengembangan manfaat wisata situ Kemuning perlu untuk mengakomodasi dukungan tersebut melalui suatu kelembagaan yang dikembangkan ditingkat lokal sebagai pengelola kerja situ (LOJA situ) yang bertanggungjawab. Menurut Satria (2009) partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata.

Operasionalisasi kelembagaan lokal ini keberadaannya sebatas sebagai satuan kerja pelaksanaan pengelolaan. Ada pun kewenganan tetap berada di pemerintah pusat. Kelembagaan lokal tersebut yang akan berinteraksi langsung dengan situ dalam mengatur dan mengendalikan kegiatan pemanfaatan situ. Pengembangan LOJA situ sebagai upaya untuk membuka dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitoring kegiatan. Tanggungjawab LOJA situ secara koordinasi kepada instansi yang membinanya apakah oleh langsung pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota. Menurut sidharta (2004) Pengelolaan sumberdaya air yang serba kompleks menyangkut kepentingan banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Hal ini diperlukan untuk memanfaatkan sumberdaya air agar dapat didayagunakan sekaligus mendukung pelaksanaan konservasi.

Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif atau teknis sipil melalui pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Perlindungan secara vegetatif dilakukan melalui penanaman pohon atau tanaman yang sesuai pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air, sedangkan cara teknis sipil, dilakukan melalui rekayasa teknis, seperti pembangunan, perubahan sedimen, pembuatan teras (sengkedan), dan penguatan tebing sumber air. Pendekatan terpenting adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat, sedangkan pemerintah diharapkan menjadi pihak bertanggungjawab (Sanim, 2011).

Kegiatan revitalisasi situ dan pengembangan wisata tirta dengan membangun kawasan situ melalui penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, diharapkan menjadi alternatif terapan yang dapat mendukung mewujudkan penataan ruang di kawasan jabodetabek. Permana (2011) menyebutkan pola ruang kawasan Jabodetabekpunjur mencakup pengaturan ruang terbuka hijau regional, pengaturan kawasan resapan air, pengaturan situ, pengaturan kawasan lindung dengan zonasi, pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan, dan kelembagaan, peran

masyarakat dan pembinaan. Selanjutnya Kutarga et al (2008) menambahkan

Konsep peningkatan kawasan sebagai upaya pengembangan wilayah pada kawasan tertentu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.

50

Pengelolaan situ Kemuning perlu mebutuhkan keterpaduan karena terkait dengan pemanfaatan lintas sektor sehingga untuk mewujudkan tersebut disusun

matrik penataan dan pengelolaan situ dengan upaya revitalisasi untuk mengembalikan fungsi dan manfaat situ yang selanjutnya dapat mendukung keberlanjutan (Tabel 5.1) Tabel 5.1 Matrik penataan dan pengelolaan situ berbasis wisata tirta melalui

pemanfaatan ruang potensial dengan upaya revitalisasi situ.

Program kegiatan Aksi kegiatan Fungsi dan manfaat

potensial Recovery dan perbaikan

area genangan air permukaan situ

 Re-estabilishing luas sesuai dengan data dan regulasi.

 Pengerukan sedimen

 Penyediaan tempat

hidup bagi biota air Mengembalikan fungsi habitat perairan situ Pengendalian sedimentasi

(proses pendangkalan) di perairan situ

 Menperbaiki DTA situ.

 Membuat check dam

 Membangun dan

normalisasi inlet-outlet dengan water treatment

Mengendalikan

peningkatan potensi banjir luapan air situ

Meningkatkan umur

fungsi dan manfaat situ Pengendalian pencemaran

dan gulma air

 Menata drainase di area

situ untuk pengendalian limbah domestik

 Vegetasi riparian dan

ikan koan

Mempertahankan

kualitas air situ

Mengurangi vegetasi

gulma air situ

Penataan dan pengelolaan buffer zone atau sempadan situ melalui pemanfaatan ruang potensial untuk mendukung konservasi situ dan menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat

 Re-inovasi struktur

pemanfaatan ruang secara potensial terpadu

 Pengejawantahan fungsi

dan manfaat struktur pemanfaatan ruang potensial dengan carrying capacity RTH publik sebagai mendukung natural tourism

Menperkuat fungsi dan

manfaat situ baik intrinsik-ekstrinsik Media sosialisasi

pendidikan lingkungan Pengembangan institusi

dan penguatannya dalam pengelolaan situ (local institusion) yang berinteraksi langsung dengan lingkungan situ

 membentuk forum situ

 Membangun

kesepahaman sosial terhadap nilai, norma yang disepakati dan tidak bertentangan UU

 Co-management

terkelolanya situ secara partisipasi, terpadu dan keberlanjutan berbasis pemberdayaan masyarakat. mengelola dampak timbul.  Good Governance

Inventarisasi basis data

dan sistem informasi

pengelolaan situ  Networking lintas sektoral  Diseminasi teknologi penataan dan pengelolaan situ  Riset situ berkala

Monitoring dan

evaluasi mekanisme tata kelola situ berkelanjutan

Upaya mitigasi

bencana

51

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penataan situ dalam rangka pengembangan wisata tirta berbasis konservasi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kondisi fisik situ Kemuning saat ini tergolong situ terganggu, faktor gangguan

teridentifikasi dari perubahan morfologi situ yang menunjukkan adanya penyusutan luas perairan situ yang tinggi (>25%), akibat adanya aktivitas pengurukan di area genangan situ, indikator gangguan lain juga dijelaskan oleh kondisi perairan situ telah mengalami pendangkalan.

2. Situ Kemuning meskipun tergolong situ terganggu masih mempunyai potensi wisata yang didukung oleh kelayakan daerah operasi dan objek wisata alam. Terdapat luas 5.27 ha (34.35%) sebagai unit pemanfaatan ruang potensial untuk pengembangan wisata alam. Kapistas daya dukung kawasan wisata tirta untuk wahana pemacingan sebesar 202 orang/hari, kegiatan atraksi air 142 orang/hari dan untuk aktivitas relaxing, jogging sebesar 1698 orang/hari yang terdistribusi. Penataan situ berbasis wisata tirta melalui pemanfaatan ruang potensial diimplementasikan dengan upaya pengelolaan dampak timbul kegiatan pengembangan bertujuan menjaga dan mempertahankan kualitas dan kondisi fisik lingkungan situ sehingga dapat keberlanjutan. Daya dukung dan pengelolaan dampak menjadi instrumen kebijakan penataan dan pengelolaan kegiatan yang perlu diterapkan untuk menyiasati faktor kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi.

3. Empat strategi prioritas arahan pengembangan pengelolaan situ dihasilkan untuk menindak lanjuti tata kelola situ berbasis wisata tirta berkelanjutan melalui pemanfaatan ruang potensial untuk saat ini dan masa depan, yaitu: 1) Revitalisasi situ dan strukturisasi pengaturan pemanfaatan ruang potensial sebagai model penataan situ terpadu, 2) Sosialisasi kepada masyarakat melalui pemberdayaan dan pelajar melalui pendidikan lingkungan hidup di sekolah, 3) Mengembangkan menejemen kolaboratif untuk penguatan kelambagaan tata kelola situ yang berkelanjutan dan 4) Membangun area konservasi situ berbasis RTH yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka direkomendasikan saran- saran sebagai berikut:

1. Revitalisasi situ sebagai tindak lanjut untuk mengembalikan fungsi dasar situ baik ekologis maupun hidrologi dalam rangka optimalisasi pemanfaatan situ. Pengembangan dari Plan A bila memungkinkan dilakukan restorasi situ. 2. Pemberdayaan masyarakat sekitar diperlukan dalam pengelolaan situ bersama

melalui kegiatan insentif untuk mendorong “rasa memiliki” dan untuk mengatasi faktor ancaman terhadap kelestarian lingkungan situ.

52

53

DAFTAR PUSTAKA

Afra D, Damayanti VD, Hadi AA. 2008. Perencanaan Penataan Lanskap Gunung Kapur Cibadak untuk Ekowisata di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Jurnal Ilmu Petanian Indonesia. 13.3:182-193.

Alam AS. 2009. Kajian Sumberdaya Situ Babakan untuk Pengelolaan dan Pengembangan Ekowisata DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2008. Desain Ekologi Bentang Alam untuk Revitalisasi Situ-Situ di Jabodetabek. [internet]. di unduh 2013 jam 15:00. Tersedia pada http://ruanghijau.wordpress.com/2008/11/28/desain-ekologi-bentang-alam- untuk-revitalisasi-situ-situ-di-jabodetabek/.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2013. Data Curah Hujan Bojonggede Tahun 2013 – 2013. Bogor.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2010. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Bojonggede: Bogor.

[BBWSCC] Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane. 2007. Inventarisasi Situ-Situ di Jabodetabek sampai 2007. PKSA BBWS Ciliwung Cisadane. [BPSDAWSCC] Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Ciliwung

Cisadane. 2012. Data dan Inventarisasi Situ di Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane: Bogor.

Basuni S, Soedargo. 1988. Beberapa Pengertian dan Terminologi dalam Rekreasi. Media Konservasi, 2.1: 4-6.

Damanik J, Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori dan Aplikasi. Yogyakarta (ID): PUSPAR UGM dan ANDI.

Dewi RA (2011). Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Kerusakan Situ Rawa Badung. (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[DBMP] Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor. 2013. Data Inventarisasi Situ Tahun 2011. Bogor.

[DPSDA dan LPPM ITB] Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat ITB. 2004. Pedoman Eksploitasi dan Pemeliharaan Situ di Jawa Barat: Bandung (ID).

[DJPHKA-DWAPJL] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam-Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2003. Pedoman Analisis Daerah Operasi Objek dan Daya Tarik Wisata Alam. Bogor.

Djakapermana RD. 2011. Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur: Upaya menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang.

Drumm A, More A. 2005. Ecotourism Development, A Manual for Conservation Planners and Managers Volume 1: An Introduction to Ecotourism Planning. USA: The Nature Conservancy.

Emilia F. 2009. Alternatif Pemanfaatan Danau bagi Pengembangan Wisata melalui Konsep Keberlanjutan Sumberdaya Perairan dan Perikanan Di Danau Singkarak, Sumatera Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

54

Faizal H, Nasuha N. 2011. Tinjauan pada Pengelolaan Situ-Situ di Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane. Bogor: Balai PSDA Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane.

Fakhrudin M, Wibowo H, Ridwansyah I. 2007. Karakteritik Hidrologi Danau Semayang Melintang dalam Pengkajian Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Limnologi: Laporan Teknis. Bogor: LIPI.

Fandeli C. 1995. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta (ID): Penerbit Liberty.

Fandeli C, Muhammad. 2009. Prinsip-Prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Gonku H. 2012. Bahan Presentasi Metode Ecospirit Religion: Studi Kasus Situ Pengasinan. Depok.

Gutierrez E, Lamoureux K, Matus S, Sebunya K. 2005. Linking Communities, Tourism and Conservation: A Tourism Assessment Process. Washington DC (ID). The george Washington University.

Handayani SP. 2009. Inovasi Kesisteman Pengembangan Agrowisata melalui Pengelolaan Situ Pengasinan di Kota Depok. [internet]. Bandung: Master Theses from JBPTITBPP Studi Pembangunan. Institut Teknologi Bandung.

[diunduh 2013 September 4]. Tersedia pada

http://konservasisitudepok.wordpress.com.

Hariyani GS, Fakhrudin M, Chrismadha T, Lukman, Ridwansyah I. 2007. Konsep Strategi Pengelolaan Lingkungan Danau Studi Kasus Danau Limboto. dalam Pengkajian Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Limnologi: Laporan Teknis Bogor: LIPI.

Ilham AI. 2011. Funsgi Situ, Kebijakan dan Strategi. [internet]. diunduh 2013 tersedia di http://antonirfanilham.blogspot.com/2011/07/fungsi-situ- kebijakan-dan-strategi.html. jam 23.15.

Indriatmoko RH. 2012. Penerapan Prinsip Kebijakan Zero Delta Q dalam Pembangunan Wilayah. JAI. 1.1:77-83.

Irianto EW, Triweko RW, Yudianto D. 2010. Pengembangan Kriteria Status Mutu Ekosistem Danau bagian dari Indikator Pengelolaan Terpadu Wilayah Sungai. Jurnal Teknik Hidraulik. 1.1:1-94.

Jaya INS. 2012. Tehnik-Tehnik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Jakatra (ID).

Kumurur VA. 2009. Pengaruh Perubahan Pemanfaatan Ruang Daratan Sekitar Danau Terhadap Eutrofikasi Perairan Danau. Jurnal Sabua.1.1: 9-20.

Kurniawan I. (2008) Pengembangan Ekowisata di Kawasan Waduk Cacaban Kabupaten Tegal. Jurnal Ilmu Lingkungan. 2: 1-25.

Kutarga ZW, Nasution Z, Tarigan R, Sirojuzilam. (2008). Kajian Penataan Ruang Kawasan Danau Tawar dalam rangka Pengembangan Wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Wahana Hijau Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 3.3:106-115.

Maryono A. 2006. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup. McCool SF, Lime DW. 2001. Tourism Carrying Capacity: Tempting Fantasy or

55 Michalic T. 2003. Economic Instruments of Environmental Tourism Policy Derived from Environmental Theories. Di dalam: Fennell DA, Dowling RK (ed). Ecotourism Policy and Planning. Cambridge (ID): CABI Publishing. Munandar A. 2005. Hand Out Mata Kuliah Kebijakan dan Pengelolaan Ekowisata.

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Nasution. 2007. Sosial Budaya Masyarakat Nelayan: Konsep dan Indikator Pemberdayaan. Jakarta (ID): Badan Riset Kelautan dan Perikanan, departemen Kelautan dan Perikanan.

Natasaputra S. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Universitas Padjajaran 7 November 2000. Bandung: Fakultas Perikanan dan Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran.

Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Gahlia Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008

tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Rancangan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2009 tentang Evaluasi Kriteria Penilaian Kualitas Situ. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Dokumen terkait