PADA SEL KANKER MCF-7 Abstract
7 PEMBAHASAN UMUM
Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan tanaman torbangun merupakan jenis tanaman herbal yang telah banyak literatur mengkaji aspek farmakologis tanaman ini bagi kesehatan manusia. Sebagai jenis tanaman perdu yang mudah dikembangkan maka penyebaran tanaman ini sangat luas diseluruh dunia terutama di daerah tropis. Di Brazil tanaman ini telah biasa digunakan sebagai tanaman obat untuk penyakit peradangan dan kanker. Dua studi menggunakan mencit yang ditranspalntasi sel tumor Sarcoma 180 dan Ehrlich ascites carcinoma kemudian diberi perlakuan berupa injeksi ekstrak hidroalkohol P amboinicus dengan dosis tertentu secara intraperitonial menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak tanaman ini dapat menghambat pertumbuhan sel tumor tersebut (Brandao et al. 2013; Gurgel et al. 2009).
Pada penelitian lain, injeksi ekstrak tanaman P amboinicus dalam bentuk minyak esensial pada mencit yang telah diinduksi dengan kanker paru-paru memperlihatkan bahwa perlakuan tersebut memberikan efek kemoterapi yang dapat menghambat pertumbuhan kanker (Manjamalai dan Grace 2013). Adapun penelitian yang menggunakan model kultur sel kanker secara in vitro sejauh ini hanya dilaporkan oleh beberapa studi yakni menggunakan sel Caco-2, HCT-15, MCF-7 (Bhatt et al. 2013; Seham S El-hawary et al. 2012; Hasibuan 2013; Minker et al. 2007). Sebagian besar eksplorasi mengenai tanaman ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan, antiinflamatory dan antimikroba.
Dalam penelitian ini proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan satu jenis pelarut yakni etanol sehingga menghasilkan satu ekstrak sedangkan fraksinasi menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda sehingga menghasilkan empat fraksi yang merupakan turunan dari ekstrak etanol tersebut yakni fraksi heksana, fraksi kloroform, fraksi etil asetat dan fraksi air. Dengan demikian komponen fitokimia yang diperoleh hanyalah komponen yang dapat terekstrak oleh etanol tersebut. Metode ini menyebabkan adanya perbedaan hasil analisa komponen fitokimia dalam studi ini dengan laporan dari penelitian lain. Seperti yang dilaporkan oleh Patel et al (2010) dimana proses ekstraksi dilakukan menggunakan petroleum eter kemudian dari ampas yang tersisa diekstrak kembali menggunakan beberapa pelarut lain dengan kepolaran yang semakin meningkat yakni kloroform, etanol dan air. Dengan metode tersebut, keseluruhan komponen fitokimia dalam tanaman dapat terekstrak karena apabila tidak tertangkap oleh pelarut dengan kepolaran rendah maka akan tertangkap oleh pelarut dengan kepolaran yang lebih tinggi.
Analisa kuantitatif menunjukkan bahwa fenolik tertinggi terdapat pada fraksi etil asetat, kemudian diikuti ekstrak etanol, dan fraksi air. Sementara fraksi heksan dan fraksi kloroform memiliki kandungan total fenol yang sangat rendah. Hasil serupa dilaporkan oleh Bhatt dan Negi (2012) dalam studinya yang memperoleh data bahwa ekstrak etil asetat memiliki kandungan total fenol tertinggi (± 59 mg GAE/g) dibandingkan pelarut lain yang digunakan yakni heksana, aseton, dan metanol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komponen fenolik terekstrak secara optimal menggunakan pelarut yang bersifat semi polar seperti etil asetat.
Aktifitas antioksidan ekstrak dan fraksi torbangun berdasarkan analisa antioksidan DPPH diperoleh bahwa fraksi etil asetat memiliki kemampuan antioksidan tertinggi yang diperlihatkan dengan nilai IC50 terendah yakni hanya
4.215 µg/ml. Fraksi lain yang memiliki kepolaran mendekati etil asetat yakni air dan etanol juga menunjukkan kemampuan antioksidan yang cukup tinggi. Adapun fraksi kloroform dan heksana memiliki aktifitas antioksidan yang jauh lebih rendah. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan rendahnya kandungan komponen fenolik pada kedua fraksi tersebut. Kandungan total fenol memiliki korelasi dengan aktifitas antioksidan namun korelasi tersebut tidak kuat karena hanya memiliki koefisien regresi 0.582. Akan tetapi cukup menunjukkan adanya kecendrungan bahwa semakin tinggi kandungan total fenol maka akan memberikan aktifitas antioksidan yang semakin kuat dengan diperlihatkannya nilai IC50 yang semakin rendah. Hal ini didukung oleh penelitian (Cai et al. 2004)
yang mengamati 112 jenis tanaman obat di Cina dan memberikan hasil bahwa terdapat korelasi yang positif dan kuat antara komponen fenolik dan aktifitas antioksidan dengan nilai R2 > 0.95. Penelitian pada tanaman yang berasal dari Malaysia juga memberikan hasil serupa (Qader et al. 2011). Hasil studi lain yang lebih komprehensif yakni mengamati 30 jenis tanaman potensial yang berasal dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia juga melaporkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara aktifitas antioksidan dan kandungan fenolik (Dudonné et al. 2009).
Hasil uji MTT menunjukkan bahwa fraksi heksana dan fraksi kloroform memiliki kemampuan sitotoksik sangat kuat dalam menghambat viabilitas sel kanker MCF-7. Ini diperlihatkan dengan nilai IC50 yang sangat rendah yakni
berturut-turut 1.77 µg/ml dan 2.83 µg/ml. Adapun fraksi etanol dan etil asetat memiliki kemampuan sitotoksik yang sedang. Sementara fraksi air memiliki kemampuan sitotoksik yang rendah. Data analisa kualitatif dan kuantitatif berupa total fenol saja belum belum dapat memastikan komponen apa yang benar-benar bertanggung jawab terhadap tingginya kemampuan sitotoksik dari fraksi ini. Karena komponen fenolik tertentu dapat pula memiliki kemampuan sitotoksik sel kanker yang kuat meskipun dengan konsentrasi yang rendah. Oleh karena itu dilakukan pengujian lebih mendalam agar dapat mengetahui komponen yang berperan dalam menentukan tingginya kemampuan penghambatan viabilitas dari ekstrak dan fraksi daun torbangun ini menggunakan metode metabolomik.
Data 45 kromatogram ekstrak dan fraksi torbangun yang dihasilkan dari analisis HPLC dijadikan sebagai perwakilan profil kimia setiap sampel. Profil kimia ini dikorelasikan menggunakan Orthogonal Projection to the Latent Structure (OPLS) dengan aktifitas anti kanker yang ditunjukkan dengan nilai IC50.
Terdapat pemisahan yang nyata antara fraksi kloroform (area bagian kanan) yang memiliki kemampuan anti kanker lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi-fraksi yang memiliki kemampuan anti kanker lebih rendah yang terkumpul pada area bagian kiri plot. Y-related coefficient plot memperlihatkan korelasi antara puncak pada waktu retensi dalam kromatogram HPLC setiap sampel berikut kemampuan antikankernya. Yang menjadi target adalah puncak yang memiliki nilai positif yang tertinggi yakni 2 waktu retensi yang memiliki korelasi posistif (pada menit 40.16 - 41.28). Hal ini berarti bahwa puncak-puncak yang muncul pada kisaran waktu retensi ini memiliki kontribusi tertinggi terhadap kemampuan anti kanker. Analisis kemudian dilanjutkan untuk mengetahui fraksi mana yang paling
dominan dalam kisaran puncak menit ke 40.16 - 41.28 waktu retensi menggunakan X-varian plot. Sampel dengan kode Chlo3-250 memiliki puncak yang paling dominan. Oleh karena itu fraksi kloroform dari ulangan ketiga terpilih untuk dilakukan isolasi menggunakan HPLC semi preparative untuk mengumpulkan komponen yang terelusi pada waktu retensi terpilih yang diukur pada panjang gelombang UV 250 nm.
Terdapat 5 puncak utama terdeteksi dalam kromatogram dari sampel yang dikumpulkan. Puncak pada waktu retensi 5.33 menit merupakan puncak yang paling signifikan sehingga merupakan komponen yang jumlahnya terbanyak di antara yang lain. Spektrum massa LC-MS menunjukkan bahwa komponen tersebut adalah 7-acetoxy-6-hydroxyroyleanone (C22H30O6). Komponen ini juga
sebelumnya telah diisolasi dari P. grandidentatus, P. sanguineus, dan spesies asal Australian P. argentatus (Abdel-Mogib et al. 2002). Selain itu terdapat 4 komponen lain yang juga memiliki andil dalam aktivitas penghambatan sel kanker. Komponen tersebut adalah coleon E dan royleanone yang keduanya merupakan diterpenoid (Gambar 7.1). Penelitian terdahulu melaporkan bahwa coleon E memiliki kemampuan antioksidan sementara royleanone memperlihatkan aktifitas sitotoksik terhadap beberapa jenis sel kanker pada manusia.
Gambar 7.1 Komponen yang terdapat pada isolat fraksi kloroform yang ditunjuk berdasarkan hasil analisis metabolomik. Ketiganya masuk dalam kategori diterpenoids (Gambar Coleon E dan Royleanone diadaptasi dari Abdel-Mogib et al. (2002)).
Untuk mengamati mekanisme komponen bioaktif tanaman torbangun dalam menginduksi apoptosis sel kanker MCF-7 maka dilakukan penelitian berikutnya dengan menggunakan dua fraksi terpilih yakni fraksi kloroform dan fraksi air. Pengamatan morfologi memperlihatkan sel-sel yang mengalami apoptosis karena sel-sel tersebut menunjukkan karakteristik yang khas yakni sel mengkerut dan terjadi pyknosis.
Hasil Real-Time PCR pada studi ini menunjukkan bahwa ekspresi mRNA gen anti-apoptotis Bcl-2 mengalami peningkatan dibandingkan kontrol, sedangkan ekspresi gen pro-apoptosis yakni Bax cenderung mengalami penurunan. Ekspresi gen p53 dan p21 mengalami peningkatan akibat perlakuan fraksi kloroform pada konsentrasi 1,55 ppm. Peningkatan ekspresi gen dipengaruhi oleh konsentrasi, yakni semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi pula peningkatan ekspresi gen. Hasil ini sejalan dengan hasil-hasil dari penelitian sebelumnya. Sementara
dengan perlakuan fraksi air terdapat perbedaan di mana tidak terjadi perubahan ekspresi gen p53, akan tetapi terjadi peningkatan ekspresi gen p21 baik dengan konsentrasi 60 maupun 20 ppm. Hal ini mengindikasikan bahwasanya komponen pada fraksi air menginduksi apoptosis secara langsung melalui p21 tanpa melibatkan gen p53.
Perlakuan dengan fraksi kloroform menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi initiator caspase (caspase 9) dan eksekutor (caspase 7) dan peningkatannnya sangat dipengaruhi oleh konsentrasi yang diberikan. Akan tetapi perlakuan dengan fraksi air pada konsentrasi 20 ppm belum mampu meningkatkan ekspresi caspase 9 and caspase 7. Ekspresi kedua gen tersebut baru dapat meningkat setelah diberi konsentrasi yang lebih tinggi. Kedua fraksi torbangun juga mengaktivasi caspase 1 yang merupakan salah satu caspase inflamasi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa apoptosis yang diinduksi oleh komponen bioaktif dalam tanaman torbangun melibatkan jalur ekstrinsik dan intrinsik.
Salah satu komponen yang ada pada fraksi kloroform adalah 7-acetoxy-6- hydroxyroyleanone (C22H30O6). Komponen ini sebelumnya telah berhasil diisolasi
dari P. grandidentatus Gurke dan dilaporkan memiliki kemampuan antiproliverative yang sangat kuat terhadap berbagai jenis sel kanker pada manusia termasuk MCF-7 (Marquez et al. 2002). Terdapat satu komponen yang keberadaannya terdapat pada kedua fraksi yakni 7α,18-dihydroxy-isopimara- 8(14),15-diene. Sementara komponen lain keberadaannya hanya pada salah satu fraksi yang menunjukkan bahwa setiap fraksi memiliki kandungan komponen yang berbeda. Gambar 7.2 memperlihatkan struktur kimia komponen yang terdapat pada fraksi kloroform, sementara gambar 7.3 merupakan komponen yang terdapat pada fraksi air. Perbedaan jenis komponen ini kemungkinan merupakan faktor penentu yang mengakibatkan adanya perbedaan dalam kemampuan bioaktifitas yang ditunjukkan dengan nilai IC50 yang sangat berbeda antara kedua
fraksi.
Gambar 7.2 Komponen yang teridentifikasi terdapat pada fraksi kloroform. (sumber gambar: Chemspider (2016); Abdel-Mogib et al. (2002) dan Rasikari (2007)).
Gambar 7.3 Komponen yang teridentifikasi terdapat pada fraksi air. (sumber gambar: Chemspider (2016); Abdel-Mogib et al. (2002) dan Rasikari (2007)).
Forskolin merupakan diterpenoid jenis labdane yang ditemukan pada P. barbatus (Lukhoba et al. 2006). Forskolin diketahui merupakan activator protein kinase A yang bergantung pada cAMP yang dapat memberikan efek dan kemampuan anti kanker (Huang et al. 2005), meskipun penelitian sebelumnya melaporkan bahwa forskolin memiliki kemampuan penghambatan yang lemah terhadap pertumbuhan sel MCF-7 (Melck et al. 1999). Coleon U quinone dilaporkan telah diisolasi dari P forsterii ‘Marginatus’ Benth dan dilaporkan memiliki aktifitas antilarva dan antibakteri (Wellsow 2006). Betulin yang merupakan salah satu komponen dalam fraksi kloroform dilaporkan memiliki aktifitas anti kanker terhadap berbagai jenis galur sel seperti neuroblastoma, payudara, paru-paru, dan kanker kolon. Aktifitas anti kanker betulin terjadi melalui mode aksi dalam mengubah morfologi sel, menurunkan motilitas sel dan menginduksi kematian sel dengan apoptosis (Rzeski et al. 2009). Horminone, suatu diterpene yang diisolasi dari Lamiaceae Schacele chamaedryoides (Balbis) Briq yang berasal dari Chile dilaporkan memiliki kemampuan melindungi lambung dari serangan kanker saat diuji menggunakan mencit serta memiliki kemampuan sitotoksik terhadap sel kanker lambung yang diuji secara in vitro (Areche et al. 2009). Keberadaan betulin, horminone dan 7α-acetoxy-6 - hydroxyroyleanone berikut komponen lain merupakan faktor yang menentukan tingginya kemampuan anti kanker yang dapat dilihat sebagai potensi untuk dikembangkan menjadi kandidat obat.
Setelah diketahui identitas komponen di dalam tanaman yang berperan aktif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker, maka untuk mengembangkan komponen tersebut agar dapat dijadikan kandidat obat diperlukan beberapa tahapan.
Berdasarkan panduan yang dibuat oleh FDA (US Food and Drug Administration) terdapat beberapa tahap yang harus dilalui oleh komponen alami untuk dapat dijadikan obat (FDA 2016):
1. Penemuan dan Pengembangan
Tahap penemuan dilakukan melalui penelitian awal dari ribuan komponen maka diperoleh beberapa komponen yang berpotensi.
Tahap pengembangan dengan melakukan penelitian untuk mengetahui:
 Bagaimana komponen tersebut diserap, didistribusi, dimetabolisme dan diekskresikan
 Manfaat dan mekanisme aksi  Dosis optimum
 Metode penggunaan (oral atau injeksi)  Efek samping atau toksisitas
 Bagaimana komponen ini berpengaruh terhadap kelompok manusia yang berbeda (gender, suku atau ras)
 Bagaimana interaksi dengan obat atau komponen lain  Bagaimana efektifitas dibandingkan obat sejenis 2. Uji pre-klinis
Sebelum diuji pada manusia maka peneliti harus mengetahui apakah komponen yang diuji memiliki potensi yang membahayakan (toksisitas). Uji ini dapat dilakukan dengan 2 metode:
 In vitro: di dalam gelas atau tabung reaksi  In vivo: di dalam tubuh makhluk hidup
FDA mensyaratkan peneliti untuk menggunakan Good Laboratory Practices (GLP) untuk studi pre-klinis. Aturan ini mengatur standar minimum dalam hal: pelaksanaan, personil, fasilitas, peralatan, protokol tertulis, prosedur operasi, teknik pelaporan, dan penjaminan kualitas sesuai standar keamanan yang diatur oleh FDA. Setelah uji pre-klinis peneliti mengetahui apakah layak untuk dilanjutkan ke uji klinis.
3. Uji klinis
Ketika uji pre-klinis menjawab pertanyaan dasar mengenai keamanan komponen tersebut maka tahapan selanjutnya yaitu mengetahui interaksi kandidat obat tersebut dengan tubuh manusia. Uji klinis berarti diujikan pada manusia. Sebelum melakukan uji klinis maka peneliti atau sponsor (perusahaan) harus mengajukan Investigational New Drug Process (IND) ke FDA yang mencakup informasi tentang: data studi menggunakan model hewan serta data toksisitas, metode produksi, rencana studi (clinical protocols), data penelitian sebelumnya pada manusia, informasi tentang peneliti.
FDA melalui tim yang terdiri dari pakar di berbagai bidang kemudian menilai kelayakan aplikasi uji klinis yang diajukan. Apabila layak maka disetujui untuk dilanjutkan uji klinis.
Tahapan pada uji klinis:  Tahap 1.
Melibatkan pasien sejumlah 20-100 orang yang sehat maupun yang mengalami kondisi penyakit tertentu. Lama studi beberapa bulan. Tujuan untuk mengetahui keamanan dan dosis yang tepat.
 Tahap 2.
Melibatkan pasien sejumlah ratusan orang dengan lama studi beberapa bulan hingga 2 tahun. Tujuan untuk mengetahui efektivitas dan efek samping.
 Tahap 3.
Melibatkan relawan sejumlah 300-3000 orang dengan lama studi 1-4 tahun. Tujuan untuk mengetahui efficacy dan memonitor reaksi efek samping yang terkadang belum terlihat saat uji klinis tahap 2.
 Tahap 4.
Melibatkan beberapa ribu relawan dengan tujuan mengetahui keamanan dan efficacy.
Apabila uji klinis telah dilaksanakan maka peneliti diwajibkan membuat laporan tertulis. Proses ini terus berlanjut hingga peneliti memutuskan untuk menghentikan uji klinis atau mulai mengajukan aplikasi pemasaran. Sebelum mengajukan aplikasi pemasaran, pengembang (perusahaan) harus memiliki data minimal dari 2 hasil uji klinis ukuran besar yang terkontrol.
4. Review oleh FDA
Semua data sejak pre-klinis hingga klinis disertakan dalam pengajuan New Drug Application (NDA) oleh perusahaan disertai informasi detail berkaitan dengan obat yang akan dipasarkan yang meliputi: labeling, safety updates, informasi patent, cara penggunaan dan lain-lain yang bertujuan untuk memastikan keamanan dan efektifitas obat. Berdasarkan data-data tersebut maka FDA mempertimbangkan untuk menyetujui atau menolak untuk dipasarkan.
5. Post-market monitoring oleh FDA
Meskipun uji pre-klinis dan klinis telah memberikan informasi mengenai keamanan dan efektifitas obat namun kondisi akan selalu berubah di pasaran setelah beberapa waktu pemasaran. Beberapa hal yang dilakukan oleh FDA dalam mengawasi keamanan obat setelah dipasarkan antara lain inspeksi rutin pada perusahaan produsen obat, mengatur labeling pada iklan dan promosi, dan pengawasan secara aktif melalui suatu sistem (Sentinel Initiative).
Komponen asal alam yang telah disetujui menjadi obat anti kanker secara umum dikategorikan menjadi dua berdasarkan mekanisme kerjanya (Nobili et al. 2009):
1. Tubulin-binding agent
Tubulin adalah protein penyusun mikrotubule yang merupakan komponen penting dari sitoskeleton sel dan berperan dalam berbagai fungsi seluler. Komponen ini berperan dalam pergerakan organel-organel selama fase interphase dan mitosis yang membentuk mitotic spindle yang mentransport
kromosom-kromosom anakan menuju kutub yang berbeda pada sel yang sedang membelah. Komponen yang mengintervensi proses ini akan mengakibatkan gagalnya penempatan kromosom pada posisinya sehingga menghambat terjadinya pembelahan sel. Beberapa contoh komponen dalam kategori ini adalah Vinca alkaloids (vincristine, vinblastine dan vindesine) yang berasal dari Vinca rosea, paclitaxel atau Taxol yang berasal dari Taxus brevifolia.
2. Topoisomerase inhibitor
DNA topoisomerase adalah enzim pada inti sel yang mereduksi tekanan torsional pada DNA yang berbentuk koil sehingga terjadi relaksasi pada area tertentu sehingga memungkinkan terjadi replikasi, rekombinasi, perbaikan dan transkripsi. Contoh komponen dalam kategori ini adalah kelompok camptothecin (irinotecan, topotecan) yang berasal dari Camptotheca acuminata. Camptothecin ini mengakibatkan kerusakan DNA dengan menstabilkan ikatan kompleks topoisomerase dengan DNA sehingga mencegah terjadinya ligasi kembali.
Penelitian untuk mencari solusi terhadap penyakit kanker ini terus dilakukan selain berdasarkan kedua metode tersebut, termasuk menjadikan apoptosis sebagai target pengobatan. Ini dapat dilakukan dengan mentarget protein-protein pada family Bcl-2, p53, IAP (inhibitor of apoptosis protein) atau caspase. Akan tetapi belum ada penelitian yang sedang berjalan atau telah dilakukan yang telah sampai pada fase uji klinis yang berkaitan dengan kanker payudara yang menarget apoptosis dalam penanganannya (Wong 2011). Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang untuk dapat mengembangkan komponen yang berasal dari produk alam berbahan lokal sebagai alternatif pengobatan kanker di masa mendatang melalui penelitian yang fokus mengeksplorasi mekanisme induksi apoptosis.