• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPAN KOMPOSIT KOMERSIAL

8 PEMBAHASAN UMUM DAN KESIMPULAN

8.1 Pembahasan Umum

Kesesuaian beberapa jenis kayu dalam hal ini kayu sengon, akasia dan gmelina dengan perekat polyuretan (PU) yang digunakan menunjukkan bahwa kayu sengon lebih sesuai, terlihat dari kualitas papan dari kayu sengon lebih baik dibandingkan papan dari jenis kayu akasia dan gmelina (pada kadar air partikel kering udara, 12-13%). Penentuan kualitas papan berdasarkan standar JIS A 5908:2003, meliputi kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan patah, modulus elastisitas, keteguhan rekat dan kuat pegang sekrup.

Penggunaan perekat PU dimaksudkan untuk menghindari penggunaan perekat berbasis formaldehida karena emisi yang ditimbulkannya berbahaya terhadap kesehatan manusia. Hasil penelitian menunjukkan kadar perekat 6% merupakan kadar perekat yang minimal untuk mendapatkan papan yang memenuhi standar kualitas.

Berdasarkan rekomendasi pabrik, penggunaan perekat PU pada kayu dengan kadar air kering udara (12-13%, seperti yang dinyatakan di atas), ternyata menimbulkan beberapa permasalahan dalam pembuatan papan komposit. Hal ini disebabkan perekat ini diproduksi oleh pabrik untuk peruntukan kayu lamina dengan proses kempa dingin, sehingga untuk pemakaian papan komposit dengan proses kempa panas, dibutuhkan beberapa modifikasi, diantaranya kesesuaian kadar air partikel yang digunakan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air partikel 7-10% yang dapat menghasilkan papan dengan kualitas yang baik, dalam artian dapat memenuhi standar JIS A 5908:2003. Hal ini terjadi karena penggunaan partikel dengan KA yang sangat tinggi, mengakibatkan terjadinya lower core temperature. Hal tersebut menghambat plastisasi selulosa, mengakibatkan tidak terjadinya proses ikatan secara alami (natural bonding), selain itu juga menghambat pengaliran perekat. Pada kadar air yang rendah, partikel kayu membutuhkan proses pengeringan yang lebih lama dan atau temperatur yang lebih tinggi sehingga partikel lebih kering dan mempunyai temperatur yang lebih tinggi (surface tempering). Hal tersebut dapat

mengakibatkan tidak terjadinya ikatan hydrogen sehingga berkurangnya natural bonding. (Chelak dan Newman, 1991)

Untuk meningkatkan kualitas papan, salah satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan sifat stabilitas dimensi, dalam penelitian ini adalah pengembangan tebal papan. Untuk mendapatkan hal tersebut digunakan parafin sebanyak 3% dari BKT bahan berlignoselulosa (partikel kayu dan lapisan bambu merupakan satu kesatuan dalam perhitungan BKT). Walaupun nilai pengembangan tebal yang diperoleh masih berada pada titik yang kritis yaitu sebesar 11,72% dari titik maksimum 12% yang disyaratkan dalam standar JIS A 5908:2003, hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan papan yang diproduksi dengan bahan dan metode yang sama mempunyai nilai pengembangan tebal berkisar antara 11% dan malah dapat melebihi 12% seperti pada hasil penelitian pengaruh suhu dan lama pengempaan terhadap kualitas papan komposit. Tetapi dari hasil penelitian juga terlihat bahwa penambahan parafin lebih dari 3% tidak efektif lagi menurunkan pengembangan tebal papan.

Penggunaan lapisan bambu merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan mekanis (MOR dan MOE) papan. Hal tersebut diupayakan sebagai alternatif penggunaan lapisan yang dapat meningkatkan kekuatan dan memberikan nilai dekoratif yang beragam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa anyaman bambu tegak lurus mempunyai kekuatan dalam memikul beban yang lebih tinggi dibandingkan anyaman bambu yang miring. Papan komposit dengan anyaman bambu tegak lurus mempunyai nilai MOR dan MOE yang lebih tinggi dibandingkan papan dengan anyaman bambu miring. Hal tersebut disebabkan pada saat pembebanan,

terjadinya perlemahan lapisan bambu pada saat menerima beban (pada arah 0o), tetapi

di sisi lain (pada arah 90o) terjadi penguatan pada anyaman bambu pada saat

menerima beban karena beban yang diterima masih dapat ditahan oleh bilah bambu yang arahnya tegak lurus. Hal berbeda terjadi pada anyaman miring, dimana tidak ada arah bilah bambu yag dapat meneruskan beban yang diterima.

Cara lain yang ditempuh untuk mendapatkan papan dengan kualitas yang baik berdasarkan parameter yang diuji, adalah mengoptimalkan suhu dan lamanya

waktu pengempaan papan. Pengempaan 100oC, 120oC, 140oC dan 160oC pada

masing-masing waktu 10 dan 15 menit menunujukkan bahwa suhu berpengaruh nyata pada kesemua parameter yang diuji, sementara waktu dan interaksi antara suhu dan waktu tidak berpengaruh nyata, kecuali pada keteguhan rekat baik suhu, waktu dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan suhu yang digunakan akan menentukan kecepatan aliran panas selama proses pengempaan. Kecepatan penetrasi panas ke dalam mat menentukan waktu pengempaan papan (Cai et al., 2006).

Jika dibandingkan dengan papan komersial (jenis papan komersial yang diuji adalah kayu lapis, papan partikel, MDF tebal 0,9 cm dan MDF tebal 1,6 cm), kualitas papan komposit yang dihasilkan baik sifat fisis, maupun sifat mekanis papan, berada pada kisaran nilai-nilai parameter yang diuji dari papan komersial tersebut. Artinya papan komposit yang dihasilkan mempunyai kualitas yang kompetitif di pasaran.

Nilai kerapatan terendah pada papan MDF tebal 1,6 cm yaitu 0,57 g/cm3 dan tertinggi

pada papan MDF tebal 0,9 cm dan kayu lapis yaitu 0,68 g/cm3. Dengan demikian,

kerapatan papan komposit berlapis anyaman bambu yang dihasilkan sebesar 0,60

g/cm3 termasuk dalam kisaran tersebut. Lebih rendahnya kerapatan papan komposit

yang dihasilkan dibandingkan dengan kerapatan papan MDF dan papan partikel komersil disebabkan karena jumlah perekat yang umum digunakan pada papan komposit komersial lebih banyak, biasanya 10% dari BKT bahan, sementara dalam pembuatan papan komposit berlapis anyaman bambu ini menggunakan jumlah perekat 6 % dari BKT bahan. Walaupun nilai kerapatan ini tidak sama, tetapi dalam perhitungan, tidak akan berpengaruh terhadap nilai-nilai parameter yang lain karena data yang digunakan adalah data yang telah terkoreksi dengan kerapatan

masing-masing papan, dengan mengacu pada kerapatan sasaran yaitu 0,7 g/cm3. Dimana

kadar air papan komposit yang dihasilkan mempunyai nilai yang terendah dibandingkan papan lainnya. Hal ini disebabkan karena perekat PU bersifat

cenderung menolak air sementara perekat konvensional seperti phenol dapat mengikat uap air selama pengkondisian berlangsung. Pengembangan tebal papan komposit yang dihasilkan sebesar 12,66%, sedikit di atas dari pengembangan tebal maksimal yang dipersyaratkan standar JIS A 5908:2003 yaitu 12%. Nilai pengembangan tebal papan komposit ini lebih besar dari pengembangan tebal kayu lapis, tapi lebih rendah dibandingkan pengembangan tebal papan komersial yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kayu lapis mempunyai pengembangan yang lebih besar ke arah linier dari pada pengembangan tebalnya karena susunan sel-selnya searah longitudinal.

Nilai MOR papan komposit yang dihasilkan sebesar 405 kgf/cm2. Hal ini

berarti MOR papan komposit yang dihasilkan lebih tinggi dari papan komposit dan kayu lapis yang ada di pasaran. Hal ini disebabkan papan komposit yang dihasilkan menggunakan anyaman bambu sebagai pelapis, sehingga permukaan papan lebih kuat

dalam memikul beban. MOE papan komposit yang dihasilkan sebesar 2,96 x 104

kgf/cm2, nilai ini lebih rendah dibanding MOE kayu lapis, tetapi lebih tinggi

dibandingkan MOE papan partikel dan papan MDF tebal 0,9 cm dan MDF tebal 1,6 cm. Hal ini berarti bahwa walaupun anyaman bambu dapat memberikan kontribusi yang sangat tinggi pada MOR papan sehingga nilainya lebih besar dari kayu lapis, tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya lapisan anyaman bambu papan tersebut menjadi lebih kaku, hal ini disebabkan MOE bambu tanpa kulit cukup rendah yaitu ±

5,50 x 104 kgf/cm2. Selain itu, rendahnya nilai MOE papan yang dihasilkan juga

dipengaruhi oleh rendahnya MOE bahan baku partikel kayu yang berasal dari kayu

sengon, dimana MOE kayu sengon cukup rendah sebesar 4,45 x 104 kgf/cm2

8.2 Kesimpulan

Kualitas papan komposit yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah jenis kayu, kadar perekat, kadar air partikel, jenis lapisan pada face dan back papan serta suhu dan lamanya waktu kempa yang digunakan.

Diantara tiga jenis kayu yang digunakan yaitu kayu sengon, akasia dan gmelina dengan perekat PU, dengan kadar 2%, 4% dan 6%, kayu sengon dengan kadar perekat 6% menunjukkan kesesuaian yang lebih baik (pada kadar air partikel kering udara, 12-13%). Berdasarkan standar JIS A 5908:2003, nilai-nilai parameter yang diuji memenuhi standar tersebut kecuali nilai MOE.

Penggunaan perekat PU lebih sesuai pada kadar air partikel 7-10%, dan untuk meningkatkan stabilitas dimensi papan, dalam hal ini pengembangan tebal, penggunaan parafin pada kadar 3% dapat menurunkan pengembangan tebal papan, tetapi masih berada pada titik yang kritis yaitu rata-rata 11,72%, sementara yang dipersyaratkan dalam standar JIS A 5908:2003 adalah maksimal 12%. Dengan demikian kemungkinan papan mempunyai nilai pengembangan tebal lebih besar dari 12% sangat besar, tetapi penambahan parafin lebih dari 3% tidak efektif lagi karena akan menurunkan sifat mekanis papan.

Lapisan anyaman bambu dengan kulit memberikan kekuatan (MOR dan MOE) yang relatif lebih tinggi dari anyaman bambu tanpa kulit tapi tidak berbeda nyata, dan lebar bilah 2 cm lebih kuat dibandingkan lebar bilah bambu 1 cm tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kekuatan papan. Papan komposit dengan anyaman bambu tegak lurus lebih kuat (MOR dan MOE) sekitar 50% dibandingkan papan dengan anyaman bambu miring.

Hasil penelitian pengaruh suhu dan waktu kempa terhadap kualitas papan

komposit menunjukkan bahwa papan yang dikempa pada suhu 100oC mempunyai

sifat fisis dan mekanis yang lebih rendah dibanding papan yang dikempa pada suhu

120, 140 dan 160oC. Waktu pengempaan selama 15 menit menghasilkan papan yang

15 menit-temperatur 120oC merupakan perlakuan yang optimal untuk jenis perekat PU untuk mencapai cure jika digunakan pada kadar air partikel 7-10% (rata-rata sekitar 8%).

Jika dibandingkan dengan produk papan yang komersial, berdasarkan parameter sifat fisis papan komposit, maka papan komposit yang dihasilkan mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan MDF dan papan partikel yang ada di pasaran. Nilai MOR papan komposit berlapis anyaman bambu mempunyai nilai lebih tinggi 20% dari MOR kayu lapis, lebih tinggi 40% dari MOR MDF dan lebih tinggi 200% dibandingkan MOR papan partikel komersial yang diuji. Nilai MOE papan komposit berlapis anyaman bambu yang dihasilkan lebih tinggi 80% dari MOE papan partikel dan 10% dari MOE MDF, tetapi lebih rendah 40% dari MOE kayu lapis.

8.3 Saran

Untuk dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis papan, maka perlu pengetahuan lebih lanjut mengenai pemakaian lapisan dari bahan lain atau bambu dengan jenis dan pola anyaman lain sebagai alternatif selain kayu. Hal lain yang perlu penelitian lanjutan adalah penggunaan perekat non-formaldehida lainnya guna mendapatkan papan komposit yang kuat, ramah lingkungan dan lebih ekonomis.