• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perakitan varietas baru merupakan salah satu upaya dalam mengatasi masalah produksi pada beberapa komoditas hortikultura yang belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya impor yang dilakukan oleh pemeritah. Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura yang sampai saat ini masih impor. Volume impor pada komoditas ini cenderung menungkat setiap tahunnya (DEPTAN 2016b). Masalah lain yang dihadapi pada pertanaman tomat adalah serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit tersebut adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Penyakit layu bakteri menyebabkan kematian pada tomat sehingga terjadi kehilangan hasil yang cukup tinggi. Permasalahan ini dapat diatasi salah satunya dengan menanam varietas tomat yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan layu bakteri.

Varietas tomat yang ditanam di Indonesia merupakan varietas yang menyerbuk alami (OP) dan varietas hibrida (F1). Penggunaan varietas hibrida menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun bersamaan dengan perkembangan industri perbenihan sayuran (Purwati 2009). Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat meningkatkan keragaan turunan hasil persilangan (F1). Oleh karena itu, pada penelitian ini dirakit varietas hibrida yang bertujuan untuk memperoleh keragaman baru dan diharapkan pada salah satu kombinasi persilangannya terdapat hibrida (F1) berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Materi genetik yang digunakan merupakan genotipe tomat lokal yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia yaitu Kudamati-1 yang berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok.

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam perakitan varietas hibrida adalah pendugaan daya gabung. Daya gabung umum digunakan untuk menentukan tetua superior sedangkan daya gabung khusus untuk menentukan kombinasi persilangan terbaik. Hasil analisis ragam daya gabung umum maupun daya gabung khusus tidak nyata pada sebagian besar karakter. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu genotipe saling silang dengan genotipe lain atau disilangkan dengan genotipe tertentu akan menghasilkan hibrida yang tidak jauh berbeda karena memeliki kemampuan bergabung yang tidak beragam. Namun apabila berkaitan dengan produksi, meskipun perbedaanya sedikit akan berdampak besar jika diaplikasikan pada lahan yang lebih luas.

Kudamati-1  Ranti merupakan hibrida yang memilki bobot buah per tanaman paling tinggi di dataran rendah (Tabel 8), namun memiliki daya gabung khusus rendah untuk karakter jumlah buah dan bobot buah per tanaman (Tabel 12). Nilai heterosis pada karakter tersebut juga rendah (Tabel 15). Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri juga menunjukkan bahwa Kudamati-1  Ranti rentan terhadap layu bakteri (Tabel 38). Di dataran tinggi, hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi adalah Kudamati-1  Lombok 4 (Tabel 23). Nilai daya gabung khusus pada hibrida tersebut untuk karakter panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per tanaman tinggi (Tabel 27). Nilai heterosis untuk karakter jumlah buah dan bobot buah juga

tinggi (Tabel 30), namun Kudamati-1  Lombok 4 agak rentan terhadap penyakit layu bakteri (Tabel 38).

Peristiwa heterosis merupakan suatu fenomena yang dimanfaatkan dalam perakitan hibrida. Efek ini hanya terjadi pada F1 atau hibrida dan tidak ditemukan pada varietas bersari bebas. Heterosis banyak diteliti pada tanaman menyerbuk silang seperti jagung namun juga dikembangkan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti tomat (Poespodarsono 1988). Efek heterosis dapat berupa penambahan atau penurunan hibrida terhadap nilai rata-rata tetua. Hibrida yang diharapkan untuk meningkatkan produksi adalah hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi dan positif. Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter bobot buah di dataran rendah (Tabel 15), sedangkan di dataran tinggi dimiliki oleh Kudamati-1  Lombok 4 (Tabel 30).

Pengujian hibrida hasil persilangan setengah dialel dilakukan di dua lingkungan berbeda yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Pengujian di dataran rendah dilakukan di Bogor (196 m dpl) dan di dataran tinggi dilakukan di Lembang (1 250 m dpl). Dilakukannya pengujian di dua lingkungan ini untuk mengetahui daya hasil tomat di masing-masing lokasi dan sebagai salah satu upaya untuk memperluas area tanam tomat di dataran rendah. Lahan untuk penanaman tomat di datarn tinggi semakin terbatas karena adanya persaingan dengan komoditas hortikultura lain dan konversi lahan di dataran tinggi semakin meningkat. Produksi tomat di dataran rendah juga relatif lebih rendah (Dane et al. 1991; Hanson et al. 2002) dan jumlah varietas tomat yang sudah dilepas untuk dataran rendah masih terbatas (Purwati 2007).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hibrida ataupun tetua tomat yang ditanam di Lembang (dataran tinggi) memiliki produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan di Bogor (dataran rendah) (Tabel 36). Tomat yang ditanam di dataran tinggi memiliki buah lebih besar sehingga bobot per tanaman juga lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dirakit pada penelitian ini memiliki adaptasi lebih baik di dataran tinggi. Hibrida-hibrida ini dapat juga ditanam di dataran rendah namun produksinya akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan di dataran tinggi.

Aceh-5  Lombok-4 tidak memiliki produksi tinggi di dataran rendah maupun dataran tinggi, sehingga hibrida tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida untuk dataran rendah dan dataran tinggi. Peringkat untuk produktivitas pada Aceh-5  Lombok-4 juga relatif stabil di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produktivitas ketiga tertinggi di Lembang dan hanya turun ke peringkat empat di Bogor (Tabel 37). Aceh-5  Lombok-4 juga memiliki nilai daya gabung khusus tinggi pada karakter bobot buah (Tabel 12; Tabel 27). Kombinasi persilangan yang memiliki daya gabung khusus tinggi dapat direkomendasikan untuk merakit varietas hibrida (Saleem et al. 2013).

Layu bakteri merupakan salah satu penyakit yang menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup signifikan (Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010). Cara paling efektif untuk mengendalikan layu bakteri adalah menanam varietas tahan (Hayward 1991; Supriadi 2011). Penanaman varietas kacang tanah yang tahan, seperti Schwarz-21 dan keturunannya telah berhasil mengurangi kerugian akibat penyakit bakteri (Machmud 1985). Hal yang

sama terjadi pada penanaman varietas tahan tembakau NC95, Coker 347 dan Speight G-140 dan varietas tahan tomat Hawaii 7996, telah berhasil meredam serangan layu bakteri (Boshou 2005).

Pengujian ketahanan terhadap layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida yang tahan. Persilangan antara tetua agak rentan (Aceh-5) dengan tetua agak tahan (Lombok-4) dan persilangan tetua tahan (Kudamati-1) dengan tetua agak rentan (Aceh-5) menghasilkan hibrida tahan. Menurut Grimault et al. (1994) pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dikendalikan satu gen, menurut (Osiru et al. 2001) dikendalikan dua gen, menurut Shou et al. (2006) pewarisan ketahanan layu bakteri pada tomat dipengaruhi oleh efek maternal, dan menurut Haquarsum (2016), dikendalikan oleh dua pasang gen mayor dengan aksi duplikat resesif epistasis tanpa adanya pengaruh maternal. Hal tersebut menunjukkan bahwa informasi pewarisan karakter ketahanan layu bakteri pada tomat masih beragam dan belum konsisten sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil yang masih beragam ini diduga terjadi karena perbedaan materi genetik dan isolat bakteri R. solanacearum yang digunakan serta lingkungan pengujian yang berbeda. Hayward (1991) dan Hanson et al. (1996) juga memaparkan bahwa ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi.

47

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada tetua maupun hibrida yang digunakan dalam penelitian. Pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa tomat yang diuji memiliki keragaan lebih baik dan produksi lebih tinggi di dataran tinggi. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produksi yang tinggi dan relatif stabil di dataran rendah dan dataran tinggi jika dibandingkan hibrida lain. Pendugaan terhadap daya gabung di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa Aceh-5  Lombok-4 memiliki daya gabung khusus tinggi untuk panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah.

Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida tahan yaitu Kudamati-1  Aceh-5 dan Aceh-5  Lombok-4. Aceh-5  Lombok-4 dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.

6.2 Saran

Kudamati-1  Ranti dan Kudamati-1  Lombok-4 berpotensi menjadi hibrida berdaya hasil tinggi, sedangkan Aceh-5  Lombok-4 berpotensi untuk menjadi hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri sehingga diperlukan uji lanjutan agar dapat dilepas menjadi varietas. Penambahan karakter pengamatan untuk kualitas buah juga perlu dilakukan.

Dokumen terkait