• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Parameter Genetik Dan Seleksi Ketahanan Terhadap Layu Bakteri Pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan Antar Genotipe Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Parameter Genetik Dan Seleksi Ketahanan Terhadap Layu Bakteri Pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan Antar Genotipe Lokal"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI

KETAHANAN TERHADAP LAYU BAKTERI PADA

TOMAT HIBRIDA HASIL PERSILANGAN ANTAR

GENOTIPE LOKAL

RIMA MARGARETA RETNYO GUMELAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Rima Margareta R. Gumelar

(4)

RINGKASAN

RIMA MARGARETA R. GUMELAR. Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan Terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal. Dibimbing oleh SURJONO HADI SUTJAHJO dan DESTA WIRNAS.

Produksi yang masih rendah dan serangan penyakit merupakan permasalahan utama dalam budidaya tomat. Penyakit yang banyak menyerang tanaman tomat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah menanam varietas berdaya hasil tinggi dan tahan penyakit layu bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai parameter genetik, daya gabung, heterosis, interaksi genetik dan lingkungan di dua lingkungan, dan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan populasi hibrida hasil persilangan antar genotipe tomat lokal.

Penelitian terdiri atas beberapa percobaan yaitu analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal. Materi genetik yang digunakan yaitu empat genotipe tomat lokal sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel. Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor (± 196 m dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang (±1 250 m dpl).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada tetua dan hibrida yang digunakan dalam penelitian. Pengujian di dua lingkungan menunjukkan bahwa tomat yang diuji di dataran tinggi memiliki keragaan lebih baik dan produksi lebih tinggi. Aceh-5  Lombok-4 memiliki produksi tinggi di dataran rendah dan dataran tinggi jika dibandingkan hibrida lain yang diuji. Pendugaan terhadap daya gabung di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa Aceh-5  Lombok-4 memiliki daya gabung khusus tinggi untuk panjang buah, diameter buah, jumlah buah, dan bobot buah. Aceh-5  Lombok-4 juga memiliki nilai heterosis tinggi untuk karakter jumlah dan bobot buah per tanaman.

Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri di dataran rendah menunjukkan bahwa terdapat dua hibrida tahan yaitu Kudamati-1  Aceh-5 dan Aceh-5  Lombok-4. Diantara hibrida yang diuji, Aceh-5  Lombok-4 dapat direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.

(5)

iii

SUMMARY

RIMA MARGARETA R. GUMELAR. Genetics Parameter Estimation and Resistance Selection Against Bacterial Wilt in Hybrid Cross among Local Tomato Genotypes. Supervised by SURJONO HADI SUTJAHJO and DESTA WIRNAS.

Low production and disease are two major problems in tomatoes cultivation. The disease that is very common in tomato crops and cause a lot of yield losses is bacterial wilt which is caused by Ralstonia solanacearum. One effort that can be used to solve the problem is growing high-yielding and bacterial wilt-resistant varieties. This study aimed to obtain information on genetic parameters, combining ability, heterosis, genotype  environment interaction, and resistance to bacterial wilt disease in a population of F1 hybrids and their parents.

The study consisted of several experiments. The experiments are genetic analysis on populations of hybrid tomato in the lowland and highland, analysis of genetic and environtmental interaction to the yield in two environtments, and the selection of bacterial wilt-resistance on the hybrid cross among local tomato genotypes and their parents. Genetic materials evaluated are four local tomato genotype which is used as a parent and six half diallel crosses of F1. Four parents used are Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, and Lombok-4. Kudamati-1 derived from Ambon, Ranti derived from Situbondo, Aceh-5 from Aceh and Lombok-4 from Lombok. Research conducted at the Experimental Field Leuwikopo Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor (196 m asl) and Experimental Field Vegetable Crops Research Institute (Balitsa), Lembang (1 250 m asl).

The results showed that there are variations among the parents and hybrid used in the study. The test in the two environments showed that the tested tomatoes had a better performance and higher production in the highlands. When compared to other hybrids tested, Aceh-5  Lombok-4 has the high production in lowland and highland. The estimate of combining ability at each location indicate that the Aceh-5  Lombok-4 has a high specific combining ability for fruit length, fruit diameter, fruit number and fruit weight. Aceh-5  Lombok-4 also had high heterosis value in fruit number and fruit weight.

(6)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI

KETAHANAN TERHADAP LAYU BAKTERI PADA

TOMAT HIBRIDA HASIL PERSILANGAN ANTAR

GENOTIPE LOKAL

RIMA MARGARETA RETNYO GUMELAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

iv

(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil Persilangan antar Genotipe Lokal dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. DIKTI selaku pemberi beasiswa melalui Program Beasiswa Fresh Graduate

(FG) tahun 2014.

2. Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo MS dan Dr Desta Wirnas SP MSi selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, kritik, saran, kesabaran, dan motivasi selama penelitian hingga penulisan tesis.

3. Dr Ir Ketty Suketi MSi selaku penguji pada ujian akhir tesis atas arahan, kritik, dan saran untuk perbaikan.

4. Kementrian Pertanian yang telah memberikan dana penelitian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) dengan judul Perakitan Kultivar Tomat Tahan Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) dan Toleran Pecah Buah Berbasis Plasma Nutfah Lokal

5. Seluruh staf pengajar program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama masa studi.

6. Staf Balitsa, Ibu Ineu, Ibu Dedeh, Bapak Ujang, dan semua pihak yang sudah membantu melancarkan pelaksanaan penelitian di lapang.

7. Bapak dan Ibu tercinta, Suradianto dan Andriani, serta adikku tersayang Dita Satupa Agustin Gen Gumelar atas doa, kasih sayang, dukungan, kekuatan, dan motivasi yang selama ini telah diberikan.

8. Keluarga besar Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman I, rekan-rekan AGH (angkatan 2010, dan rekan-rekan PBT (angkatan 2013 dan 2014) atas bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama pendidikan, penelitian, dan penyusunan tesis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

9. Semua pihak yang membantu menyelesaikan masa studi dan penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.

Bogor, Oktober 2016

(11)

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Hipotesis 2

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Tomat 4

2.2 Persilangan Dialel 5

2.3 Layu Bakteri 6

2.4 Pemuliaan Tanaman Tomat 7

3 METODE PENELITIAN 9

3.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah

adan Dataran Tinggi 9

3.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua

aLingkungan 13

3.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida

aHasil Persilangan Setengah Dialel antar Genotipe Lokal 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

4.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah

adan Dataran Tinggi 16

4.1.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran

Rendah 16

4.1.2 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran

Tinggi 28

4.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua

aLingkungan 38

4.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida

aHasil Persilangan Setengah Dialel Genotipe Lokal 41

5 PEMBAHASAN UMUM 44

6 KESIMPULAN DAN SARAN 47

6.1 Kesimpulan 47

6.2 Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 56

(12)

DAFTAR TABEL

1 Persilangan setengah dialel menggunakan empat tetua 9 2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) 11 3 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode II

Griffing 12

4 Sidik ragam gabungan satu musim di beberapa lokasi pengujian

(Roy 2000) 13

5 Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua

dan hibrida tomat di dataran rendah 16

6 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah 17 7 Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat

di dataran rendah 17

8 Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat

di dataran rendah 19

9 Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada

tetua di dataran rendah 20

10 Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua

di dataran rendah 20

11 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah 21 12 Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan

setengah dialel di dataran rendah 21

13 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat

hibrida di dataran rendah 23

14 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat

hibrida di dataran rendah 23

15 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat

hibrida di dataran rendah 23

16 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat

di dataran rendah 25

17 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat

di dataran rendah 25

18 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat

hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah 26 19 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat

hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah 27 20 Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua

dan hibrida tomat di dataran tinggi 28

21 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran tinggi 29 22 Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat

di dataran tinggi 30

23 Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat

(13)

DAFTAR TABEL (Lanjutan)

24 Daya gabung umum karakter vegetatif dan karakter buah tomat pada

tomat di dataran tinggi 32

25 Daya gabung umum karakter komponen hasil tomat pada tetua di dataran

tinggi 32

26 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida

hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 33 27 Daya gabung khusus komponen hasil pada hibrida hasil persilangan

setengah dialel di dataran tinggi 33

28 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat

hibrida di dataran tinggi 34

29 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter buah pada tomat

hibrida di dataran tinggi 34

30 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) komponen hasil pada tomat

hibrida di dataran tinggi 34

31 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat

di dataran tinggi 35

32 Analisis ragam persilangan setengah dialel empat genotipe tomat

di dataran tinggi 36

33 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe

tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 36 34 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe

tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran tinggi 37 35 Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lingkungan (L), dan

interaksi G x L pada karakter agronomi F1 hasil persilangan genotipe

tomat lokal 38

36 Nilai tengah bobot per tanaman, bobot per bedeng, dan produktivitas 39 37 Perubahan peringkat karakter produktivitas tetua dan hibrida tomat hasil

persilangan setengah dialel 40

38 Keragaan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada tetua dan

hibrida hasil persilangan setengah dialel 41

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3

2 Teknik persilangan buatan pada tomat 14

3 Produktivitas tetua dan hibrida tomat di Bogor dan Lembang 40

4 Kurva perkembangan penyakit pada hibrida tomat 42

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data iklim Dramaga 57

2 Data iklim Lembang 57

3 Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran rendah 57 4 Keragaan buah tomat hibrida yang diamati di dataran tinggi 58 5 Keragaan Kudamati-1 (K1)  Ranti (R) di dataran tinggi 58 6 Keragaan Kudamati-1 (K1)  Lombok-4 (L4) di dataran tinggi 59 7 Keragaan Kudamati-1 (K1)  Aceh-5 (A5) di dataran tinggi 59 8 Keragaan Ranti (R)  Aceh-5 (A5) di dataran tinggi 60 9 Keragaan Ranti (R)  Lombok-4 (L4) di dataran tinggi 60 10 Keragaan Aceh-5 (A5)  Lombok-4 (L-4) di dataran tinggi 61

(15)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tomat merupakan salah satu komoditas hortikultura bernilai ekonomi tinggi yang dapat dikonsumsi segar atau olahan. Tomat juga mengandung beberapa nutrisi penting untuk kesehatan, yaitu potasium, asam folat, vitamin C, vitamin E, likopen dan β-karoten (Willcox et al. 2003). Likopen yang terkandung dalam tomat berfungsi sebagai antioksidan dan berpengaruh dalam menurunkan resiko berbagai penyakit kronis termasuk kanker (Agarwal & Rao 2000; Kailaku et al. 2007). Tomat juga sangat sesuai dikonsumsi oleh masyarakat yang saat ini lebih banyak menerapkan pola hidup sehat.

Produksi tomat tahun 2014 sebesar 915 987 ton dan menurun menjadi 878 741 ton di tahun 2015. Salah satu yang menyebabkan penurunan produksi adalah berkurangnya area panen tomat. Luas area panen tahun 2014 adalah 59 008 ha dan menurun menjadi 53 696 ha pada tahun 2015 (DEPTAN 2016a). Penurunan area panen dan produksi tomat menyebabkan permintaan tomat dalam negeri tidak terpenuhi sehingga dilakukan impor. Tahun 2014 Indonesia mengimpor tomat sebesar 11 365 ton dan meningkat menjadi 12 309 ton di tahun 2015 (DEPTAN 2016b). Menurut PUSDATIN (2014), pola perkembangan konsumsi tomat dari 2002-2013 cenderung fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 3.66% per tahun. Berdasarkan hal tersebut maka, tomat yang memiliki produktivitas tinggi sangat dibutuhkan untuk memenuhi permitaan karena luas lahan pertanian akan semakin berkurang.

Perakitan varietas hibrida merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi tomat. Keunggulan dari varietas hibrida adalah adanya efek heterosis yang dapat menyebabkan produktivitas lebih tinggi (Poespodarsono 1988). Varietas hibrida juga memiliki fenotipe yang lebih seragam karena setiap tanaman memiliki genotipe sama (Phoelman & Slepper 1979). Masalah yang dihadapi pada tanaman menyerbuk sendiri dalam perakitan varietas hibrida adalah jumlah biji yang dihasilkan dari suatu persilangan relatif terbatas, namun pada tanaman yang buahnya memiliki banyak biji seperti tomat, pembentukan hibrida melalui persilangan masih ekonomis (Poespodarsono 1988).

Langkah awal untuk merakit varietas hibrida adalah mencari tetua yang memiliki daya gabung baik. Daya gabung terbagi menjadi daya gabung umum dan daya gabung khusus. Daya gabung umum dapat digunakan dalam menduga genotipe superior untuk dijadikan tetua dan daya gabung khusus dapat mengidentifikasi kombinasi persilangan terbaik untuk mendukung pengembangan hibrida (Saleem et al. 2008).

Tujuan pemuliaan tanaman pada tomat tidak hanya peningkatan produksi, namun juga perakitan varietas tahan penyakit (Nuez & Diez 2013). Salah satu penyakit yang menyerang tomat adalah layu bakteri yang disebabkan oleh

(16)

daerah Tomohon, Sulawesi Utara menyebabkan kehilangan hasil 80-90% (Paath 1994). Kehilangan hasil yang cukup signifikan tersebut menjadi latar belakang perlunya dirakit varietas hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit layu bakteri.

Plasma nutfah yang dimiliki Indonesia dapat menjadi sumber keragaman untuk diseleksi dan digunakan sebagai tetua. Tetua-tetua tersebut dapat disilangkan untuk merakit varietas unggul berbasis plasma nutfah lokal. Studi genetik pada rekombinan hasil persilangan perlu dilakukan dari awal untuk mengetahui status genetik genotipe tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai. Genotipe – genotipe tersebut selanjutnya diseleksi dan diharapkan terdapat kandidat yang potensial untuk peningkatan produksi dan tahan terhadap layu bakteri. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya (Sutjahjo et al. 2014; Sutjahjo et al. 2015). Saat ini telah diperoleh sejumlah genotipe F1 yang perlu dievaluasi lebih lanjut di dataran tinggi dan dataran rendah. Dataran rendah berada pada ketinggian < 350 m dpl, dataran menengah 350 – 700 m dpl, dan dataran tinggi > 700 m dpl (DEPTAN 2006). Pengujian pada dua lokasi atau lebih memungkinkan untuk dilakukan analisis interaksi genetik dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai parameter genetik, daya gabung, heterosis, interaksi genetik dengan lingkungan, dan ketahanan terhadap penyakit layu bakteri pada populasi hibrida hasil persilangan genotipe tomat lokal.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Memperoleh informasi mengenai parameter genetik karakter-karakter agronomi pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel.

2. Memperoleh informasi daya gabung umum, daya gabung khusus, dan heterosis pada genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel.

3. Memperoleh informasi tentang interaksi genotipe dengan lingkungan pada tetua dan hibrida yang diuji di dua lingkungan.

4. Memperoleh tomat hibrida berproduksi tinggi dan tahan layu bakteri di dataran rendah atau dataran tinggi.

1.3 Hipotesis

1. Terdapat perbedaan karakter agronomi dan kualitas buah antar tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel.

2. Terdapat perbedaan nilai daya gabung umum dan daya gabung khusus diantara tetua.

3. Terdapat tomat hibrida yang memiliki heterosis tinggi.

(17)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian terdiri atas beberapa percobaan yaitu analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal. Kegiatan penelitian secara rinci dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir penelitian Pengujian tetua

dan hibrida di dataran rendah

Pembentukan populasi hibrida

Seleksi ketahanan tomat

terhadap layu bakteri yang disebabkan

Ralstonia solanacearum

di dataran rendah

Genotipe dengan potensi hasil tinggi dan tahan layu bakteri serta dapat beradaptasi

di dataran tinggi atau rendah Studi keragaan genotipe tomat lokal

Genotipe Tomat Lokal Koleksi Dep AGH IPB

Pengujian tetua dan hibrida di dataran tinggi

Keragaan genotipe di dataran rendah dan dataran tinggi, pendugaan daya gabung,

heterosis, dan parameter genetik, serta analisis interaksi genetik dan lingkungan

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Tomat

Tomat (Lycopersicom esculantum Mill) berasal dari Amerika Latin khususnya Peru, Kepulauan Galapagos, dan Mexico (Jones 2008). Semua varietas tomat yang berada di Eropa dan Asia dibawa oleh bangsa Spanyol dan Portugis pada abad ke-16 (Villareal 1979). Awalnya buah tomat dianggap beracun, namun pada abad ke-18 sudah mulai dimakan (Jones 2008). Tanaman tomat termasuk tanaman diploid dan memiliki jumlah kromosom dasar x = 12. Jumlah kromosom normal tomat adalah 2n = 2x = 24. Tanaman tomat tergolong famili Solanaceae dan genus Lycopersicon. Spesies yang tergolong dalam sub genus Lycopersicon adalah L. esculentum, L. pimpinelifolium, L. cheesmaniae dan L. galapagense., namun spesies L. esculentum yang sering dibudidayakan.

Tanaman tomat memiliki beberapa organ yaitu akar, batang, daun, bunga, dan buah. Tomat memiliki akar tunggang, tumbuh baik secara horizontal maupun vertikal. Batangnya berbentuk bulat dan lunak saat muda, setelah tua berbentuk persegi empat dan keras, serta bercabang banyak. Tanaman tomat berdaun majemuk ganjil dengan jumlah 5 hingga 7 helai (Harjadi 1989). Satu hingga dua daun yang berukuran kecil biasanya tumbuh di antara daun yang berukuran besar. Bagian tepi daun bergerigi dan membentuk celah menyirip agak melengkung ke dalam (Jaya 1997).

Bunga tomat merupakan bunga sempurna karena benang sari dan putik terletak pada bunga yang sama. Diameter bunga berkisar 2 cm, memiliki mahkota bunga berbentuk bintang berwarna kuning dan kepala sari berwarna kuning menyatu membentuk tabung. Bentuk, ukuran, warna, kekerasan, dan rasa buah tomat bervariasi tergantung jenisnya. Buah tomat adalah buni (beri) berdaging, permukannya gak berbulu ketika masih muda, namun halus ketika matang. Buah biasanya mengaandung banyak biji yang berbentuk pipih dan berwarna krem muda hingga coklat. Biji biasanya memiliki panjang 2 sampai 3 mm (Rubatzky & Yamaguchi 1977).

Tanaman tomat memerlukan suhu optimum 20 oC sampai 28 oC. Tanaman ini menghendaki suhu siang panas dan suhu malam dingin untuk pembungaan yang terbaik, sehingga tomat di Indonesia banyak ditanam di dataran tinggi (Harjadi 1989). Perbedaan harian yang besar antara suhu siang dan malam cenderung meningkatkan pembungaan, pertumbuhan, dan kualitas buah (Rubatzky & Yamaguchi 1977).

(19)

2.2 Persilangan Dialel

Persilangan diallel merupakan persilangan yang masing-masing genotipe mempunyai kesempatan untuk disilangkan dalam semua kombinasi. Rancangan persilangan ini meliputi semua atau sebagian persilangan single cross yang mungkin, resiprokalnya dan selfing-nya. Persilangan dialel dilaksanakan dengan tujuan untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan keturunan terbaik. Penggunaan model analisis dialel ini harus memenuhi beberapa asumsi, yaitu (1) segregasi diploid, (2) tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokalnya, (3) tidak ada interaksi antara gen-gen yang tidak satu alel, (4) tidak ada multialelisme, (5) tetua homozigot dan (6) gen-gen menyebar secara bebas diantara tetua (Singh dan Chaudhary 1979; Roy 2000). Keuntungan dari teknik silang dialel adalah (1) secara eksperimental merupakan pendekatan sistematik, (2) secara analitik merupakan evaluasi genetik menyeluruh yang berguna dalam mengidentifikasi persilangan bagi potensi seleksi yang terbaik pada awal generasi. Menurut Hayman (1954) di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik lainnya.

Analisis dialel dapat dilakukan berdasarkan dua pendekatan yaitu Hayman dan Griffing. Pendekatan pertama memberikan informasi tentang parameter-parameter genetik tetua-tetua yang digunakan dalam persilangan, sedangkan pendekatan yang kedua memberikan informasi tentang daya gabung tetua-tetua dan hasil persilangannya. Analisis dialel juga memberikan informasi kendali genetik pada sifat kuantitatif, daya gabung umum (DGU) dan khusus (DGK) dari hibrida, heritabilitas dan heterosis (Kallo 1988).

Menurut Grifing (1956) ada empat kemungkinan silang dialel berdasarkan pendekatan Griffing, yaitu 1) silang tunggal dengan resiprokal dan selfing

(Metode I); 2) silang tunggal dengan selfing tanpa resiprokal (Metode II); 3) silang tunggal dengan resiprokal (Metode III) dan; 4) silang tunggal tanpa resiprokal dan tanpa selfing (Metode IV). Baihaki (2010) juga menyatakan bahwa analisis silang dialel diperlukan untuk menduga efek aditif dan dominan dari suatu populasi yang selanjutnya dapat digunakan untuk menduga ragam genetik dan heritabilitas serta daya gabung masing-masing tetua.

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu tetua bila disilangkan dengan galur lain yang akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior (Allard 1960). Daya gabung terdiri atas daya gabung umum dan daya gabung khusus. Daya gabung umum dapat diartikan sebagai ukuran penampilan rata-rata tetua itu. Daya gabung khusus merupakan kemampuan suatu kombinasi persilangan untuk menunjukkan penampilan keturunan (Poespodarsono 1988).

(20)

2.3 Layu Bakteri

Layu bakteri merupakan salah satu penyakit dalam pertanaman tomat yang disebabakan oleh Ralstonia solanacearum. Ralstonia solanacearum, sebelumnya diklasifikasikan dalam genus Bacillus dengan nama B. solanacearum pada tahun 1989, selanjutnya digolongkan dalam genus Pseudomonas dengan nama

P. solanacearum, dan di tahun 1992 diklasifikasikan dalam genus Burkholderia

(Alvarez et al. 2010). Penelitian terbaru oleh Yabuuchi et al. (1995), bakteri ini diklasifikasikan dalam genus Ralstonia dan masih digunakan sampai sekarang (Alvarez et al. 2010; Meng 2013; Huet 2014; Kim et al. 2016).

R. solanacearum merupakan patogen tular tanah yang biasanya berkembang pada dearah yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi (Reddy 2010).

R. solanacearum menyerang lebih dari 200 spesies tanaman, termasuk tanaman penting seperti kentang, tomat, terong, cabai, tembakau, dan pisang (Meng 2013).

R. solanacearum mampu menyebar lintas benua dan negara, menginfeksi berbagai jenis tanaman inang. Hal ini menimbulkan kerugian yang besar sehingga patogen ini menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional dan domestik.

R. solanacearum telah tersebar di seluruh dunia, termasuk di Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Eropa, Asia, Afrika, maupun Australia dan Pasifik (Elphinstone 2005).

R. solanacearum termasuk spesies yang sangat kompleks secara fisiologi, genetik,dan ekobiologi (Supriadi 2011). Kompleksitas sifat fisiologi dapat dilihat dari adanya lima tipe ras berdasarkan kisaran inang alaminya dan lima tipe biovar berdasarkan kemampuan mengoksidasi enam sumber karbon (Hayward 1964), keragaman reaksi serologi (Supriadi et al. 1995), dan pola pita protein (Supriadi dominan yang ditemukan di Indonesia adalah ras 1 (strain Solanaceae) dan ras 3 (strain kentang) (Semangun 2004). R. solanacearum termasuk dalam biovar 1, 2, 3, 4, dan 5 (Hayward 1964).

(21)

Strategi yang telah dikembangkan untuk menanggulangi penyakit ini diantaranya pencegahan masuknya patogen pada lahan sehat, pemusnahan (eradikasi), modifikasi lingkungan yang dapat menekan perkembangan patogen di dalam tanah, penanaman tanaman tahan, serta pengendalian dengan agen hayati dan pestisida nabati, namun semua cara yang paling efektif adalah penanaman tanaman tahan (Supriadi 2011; Lebeau et al. 2011; Huet 2014). Terobosan teknologi dalam pengendalian layu bakteri juga sudah banyak ditemukan, misalnya fusi protoplas dan mutasi untuk menghasilkan varietas tahan, mikroba antagonis dan pestisida nabati untuk menekan perkembangan patogen dalam tanah, serta teknik untuk menginduksi ketahanan tanaman menggunakan mikroba dan senyawa kimia penginduksi (Nakaho et al 2004; Lwin & Ranamukhaarachchi 2006; Hai et al 2008; Nguyen & Ranamukhaarachchi 2010; Supriadi 2011).

Evaluasi ketahanan tomat terhadap layu bakteri untuk menghasilkan varietas tahan sudah banyak dilakukan (Hanson et al. 1996; Grimault et al. 1994; Timila & Joshi 2007; Adriani et al. 2012; Kim et al. 2016). Namun, penelitian terkait ketahananan terhadap layu bakteri akan terus berlanjut karena ketahanan varietas terhadap layu bakteri belum stabil dan masih spesifik lokasi (Hayward 1991; Hanson et al. 1996).

2.4 Pemuliaan Tanaman Tomat

Pemuliaan pada tomat memiliki tujuan yang sangat bervariasi bergantung pada lokasi, kebutuhan, dan sumber daya. Meningkatkan produktivitas masih menjadi tujuan utama dalam pemuliaan tomat (Nuez & Diez 2013). Tujuam lainnya adalah kegenjahan, resisten terhadap cekaman biotik dan abiotik, kualitas buah, serta perbaikan sifat hortikultura dan fisiologi (Tigchelaar 1986; Bergougnoux 2013; Nuez & Diez 2013). Tujuan perbaikan sifat hortikultura pada tomat berdasarkan ideotype yang dikehendaki, misalnya jumlah rangkai bunga per tanaman, jumlah bunga setiap rangkaian, ukuran dan warna buah, keerasan dan rasa serta sifat hortikultura lainya (Purwati 1997).

Perakitan varietas baru pada tomat juga bergantung pada pasar (konsumen) yang dituju yaitu tomat segar (fresh tomato) atau tomat olahan (processing tomato) (Bergougnoux 2013). Tomat segar untuk konsumen memiliki karakteristik unik, bergantung pada pengalaman tradisional konsumen di daerah setempat, sedangkan kriteria untuk tomat olahan yaitu kandungan bahan padatnya tinggi, pH rendah, mudah dikuliti, tahan terhadap retak, warnanya menarik (Villareal 1981; Tigchelaar 1986; Purwati 1997). Kualitas pada buah tomat dapat dikelompokkan menjadi kualitas bagian luar (warna kulit, bentuk buah, ukuran buah dan kekerasan), bagian dalam (ketebalan daging, jumlah biji, dan keadaan lendir), rasa (rasa manis, rasa asam, kekenyalan dan jumlah air buah) dan kandungan nutrisi (Tigchelaar 1986; Ameriana 1998; Hazra & Dutta 2011).

(22)

nutfah resisten, termasuk beberapa varietas unggul telah diidentifikasi di India, Indonesia, Filipina, Thailand, dan USA (Boshuo 2005). Varietas Venus dan Saturn merupakan varietas tahan layu bakteri di USA, namun tidak selalu tahan jika ditanam di tempat lain (McCarter 1991).

(23)

9

3 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa percobaan yaitu, analisis genetik pada populasi hibrida tomat di dataran rendah dan dataran tinggi, analisis interaksi genetik dan lingkungan terhadap hasil di dua lingkungan, dan seleksi ketahanan terhadap layu bakteri pada tetua dan hibrida hasil persilangan setengah dialel genotipe tomat lokal.

3.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi

3.1.1 Bahan Penelitian

Materi genetik yang digunakan merupakan empat genotipe tomat lokal yang digunakan sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel (Tabel 1). Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok. Kudamati-1 dan Ranti merupakan genotipe yang tahan layu bakteri, sedangkan Aceh-5 dan Lombok-4 memilki potensi hasil tinggi (Sutjahjo et al. 2015).

Tabel 1 Persilangan setengah dialel menggunakan empat tetua

Tetua betina Tetua jantan

Kudamati-1 Ranti Aceh-5 Lombok-4

Kudamati-1    

Ranti   

Aceh-5  

Lombok-4 

3.1.2 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai Juli 2014 sampai Desember 2014 di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor (±196 m dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang (±1 250 m dpl) pada bulan September 2014 sampai Pebruari 2015.

3.1.3 Metode

(24)

adalah 20 tanaman. Setiap satuan percobaan merupakan bedengan berukuran 5 m x 1 m yang ditutup mulsa plastik hitam perak.

Tahap pertama adalah menyemai benih, kemudian persiapan lahan yang terdiri atas penggemburan, pembuatan bedengan, pemberian pupuk dasar, dan pemasangan mulsa plastik hitam perak. Bedengan yang sudah siap diberi pupuk dasar terdiri atas pupuk kandang 10 ton ha-1, pupuk urea 400 kg ha-1, SP-36 300 kg ha-1, dan KCL 300 kg ha-1 dan selanjutnya ditutup dengan mulsa plastik hitam perak. Bibit disemai sampai umur 4 minggu dan ditanam dengan jarak 0.5 m x 0.5 m. Pemasangan ajir dilakukan bersamaan dengan pindah tanaman. Pemupukan dilakukan satu minggu sekali menggunakan larutan NPK (16:16:16) 10 g l-1 dan setiap tanaman diberi 250 mL. Penyemprotan dilakukan seminggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi tanaman menggunakan fungisida dan insektisida. Tunas air dibuang saat tunas air sudah mulai muncul di ketiak daun. Pemanenan dilakukan jika buah sudah berwarna kuning kemerah-merahan dan dilakukan dua kali seminggu.

Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh untuk setiap satuan percobaan. Karakter yang diamati adalah:

1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur setelah panen ke-2 dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tertinggi.

2. Diameter batang (mm)

Diameter batang diukur setelah panen ke-2 pada bagian bawah tanaman (10 cm dari permukaan tanah).

3. Panjang buah (mm)

Panjang buah diukur menggunakan jangka sorong dari ujung hingga pangkal buah yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada 10 buah tiap bedengan.

4. Diameter buah (mm)

Diameter buah diukur dengan menggunakan jangka sorong pada bagian tengah buah yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada 10 buah tiap bedengan.

5. Ketebalan daging buah (mm)

Diukur menggunakan jangka sorong pada buah yang sudah diiris melintang pada tiga bagian yang dipilih secara acak.

6. Padatan terlarut total (oBrix)

Padatan terlarut total diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat pada menggunakan handrefraktometer.

7. Kekerasan buah (mm/ 50 g/ 5 s)

Kekerasan buah diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat menggunakan penetrometer. Pengukuran dilakukan pada tiga titik yaitu ujung, tengah, dan pangkal.

8. Jumlah rongga buah

Jumlah rongga buah diukur pada 10 buah tiap bedengan yang dipanen antara panen kedua hingga keempat dengan merata-ratakan jumlah lokul yang terbentuk dari setiap buah yang diamati.

9. Jumlah buah per tanaman

(25)

10.Bobot buah per tanaman (g)

Bobot buah per tanaman merupakan jumlah keseluruhan bobot buah yang dipanen dari tanaman contoh. Pemanenan dilakukan sebanyak tujuh kali.

3.1.4 Analisis Data

Data yang telah direkapitulasi dianalisis di masing-masing lokasi menggunakan software SAS dan Microsoft Exel dengan tahapan sebagai berikut: 1. Analisis ragam dan pendugaan komponen ragam

Populasi setengah dialel dianalisis menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan menggunakan model statistik :

Yijk= μ + αi + βj + εijk, dimana:

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan pengelompokan ke-k µ = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan genotipe ke-i; (i) 1, 2, 3, 4, 5, ... 36

βj = pengaruh pengelompokan ke-j; (j) 1, 2, 3

εijk = pengaruh acak pada genotipe ke-i dan pengelompokan ke-k Tabel 2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah Kuadrat

Kuadrat

tengah Nilai harapan

Ulangan r-1 Jku

Genotipe g-1 JKg KTg

Galat (r-1)(g-1) Jke KTe

Hasil ANOVA selanjutnya digunakan untuk menduga ragam fenotipik ( ), ragam genetik ( ), ragam lingkungan ( ), dan heritabilitas arti luas ( ). = KTe/r; = (KTg-KTe)/r; = + ; = / x 100%; dimana = ragam lingkungan; = ragam genetik; = ragam fenotipe; KTg = kuadart tengah genotipe; KTe = kuadrat tengah error; r = ulangan; = heritabilitas arti luas.

Pengelompokan nilai heritabilitas menurut Stanfield (1983) adalah tinggi (50%< h2< 100%), sedang (20% ≤ h2 ≤ 50%), dan rendah (h2< 20%). Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter dihitung berdasarkan ragam genetik dan standar deviasi ragam genetik menurut rumus berikut:

√ {

}.

Apabila > maka keragaman genetik peubah tersebut luas, sedangkan < menandakan keragaman genetik sempit (Pinaria et al. 1995).

Luas sempitnya keragaman fenotipe juga dihitung berdasarkan ragam fenotipe dan standar deviasi ragam fenotipe yang dihitung menggunakan rumus berikut:

(26)

Apabila > maka keragaman fenotipe peubah tersebut luas, sedangkan < menandakan keragaman fenotipe sempit (Syukur et al. 2010a).

2. Pendugaan daya gabung umum dan daya gabung khusus

Nilai daya gung dihitung berdasarkan Metode II Griffing (Singh dan Chaudhary 1977).

Y... = jumlah nilai seluruh genotipe

Tabel 3 Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan metode II Griffing kali ragam DGK. Nilai heritbilitas arti sempit diduga dari / .

3. Pendugaan nilai heterosis dan heterobeltiosis

Pendugaan nilai heterosis dilihat berdasarkan nilai tengah kedua tetuanya (mid parent heterosis) sedangkan nilai heterobeltiosis dilihat dari nilai tengah tetua terbaik (best parent) (Fehr 1987).

Heterosis =

100% Heterobeltiosis =

100% Keterangan:

µF1 = nilai tengah keturunan

µMP = nilai tengah kedua tetua ½ (P1 + P2)

(27)

3.2 Analisis Interaksi Genetik dan Lingkungan terhadap Hasil di Dua Lingkungan

Bahan genetik, waktu, tempat, dan metode pada percobaan ini sama dengan percobaan sebelumnya (percobaan 3.1). Analisis hanya dilakukan terhadap bobot buah per tanaman, bobot buah per bedeng, dan produktivitas. Analisis ragam dilakukan pada semua karakter di masing-masing lokasi. Selanjutnya dilakukan uji kehomogenen ragam menggunakan uji Barlett sebelum dilakukan analisis ragam gabungan.Analisis ragam gabungan dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil yang berpengaruh nyata diuji lanjut menggunakan uji Dunnet pada α 5% (Steel dan Torrie 1980).

Tabel 4 Sidik ragam gabungan satu musim di beberapa lokasi pengujian (Roy 2000)

Sumber

keragaman Derajat bebas

Kuadrat tengah

Kuadrat tengah

harapan F hit

Lokasi (l-1) M5 M5/M4

Ulangan/ Lokasi l (r-1) M4

Genotipe g-1 M3 + r ( )+rl ( ) M3/M2

Genotipe*Lokasi (g-1)(l-1) M2 +r( ) M2/M1

Galat l (g-1)(r-1) M1

=ragam lingkungan; =ragam genetik; =ragam interaksi genetik dan lokasi

3.3 Seleksi Ketahanan terhadap Layu Bakteri pada Tomat Hibrida Hasil

aPersilangan Setengah Dialel antar Genotipe Lokal

3.3.1 Bahan Penelitian

Materi genetik yang digunakan merupakan empat genotipe tomat lokal yang digunakan sebagai tetua dan enam F1 hasil persilangan setengah dialel (Tabel 1). Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati-1, Ranti, Aceh-5, dan Lombok-4. Kudamati-1 berasal dari Ambon, Ranti berasal dari Situbondo, Aceh-5 berasal dari Aceh, dan Lombok-4 berasal dari Lombok.

3.3.2 Waktu dan Tempat

(28)

3.3.3 Metode dan Analisis Data

Kegiatan penelitian ini diawali dengan pembentukan populasi hibrida (F1). Rancangan persilangan yang digunakan adalah setengah dialel. Bagan persilangan ditunjukkan pada Tabel 1. Kastrasi, emaskulasi dan penyerbukan dilakukan pagi hari pada pukul 06.00-09.00 wib. Kastrasi dan emaskulasi menggunakan pinset pada saat tetua betina reseptif. Serbuk sari diambil menggunakan pinset dari tetua jantan yang sudah antesis, selanjutnya ditempelkan ke stigma betina. Bunga yang sudah diserbuki diberi label yang berisi informasi nama-nama tetua dan tanggal persilangan (Gambar 2).

Gambar 2 Teknik persilangan buatan pada tomat

A. Bunga betina yang siap diserbuki; B. Kastrasi dan emaskulasi; C. Hasil kastrasi dan emaskulasi; D. Bunga jantan yang siap diambil serbuk sari; E. Pengambilan polen; F. Penyerbukan dengan pinset; G. Bunga betina yang sudah diserbuki; H. Pemasangan label; I. Persilangan berhasil (buah yang berwarna hijau masih muda dan yang berwarna merah siap dipanen).

Bakal buah akan mulai membesar dalam waktu 5-7 hari jika persilangan berhasil sedangkan jika persilangan gagal maka bunga akan gugur. Buah hasil persilangan dipanen saat buah tomat berwarna merah. Setiap buah yang dipanen

A

H

G

F

E

D

C

B

(29)

ditempatkan pada kantung terpisah yang sudah diberi label. Buah selanjutnya diekstrasi untuk diambil bijnya dan digunakan sebagai benih F1.

Benih tomat yang diperoleh disemai dalam tray yang telah diisi media tanam. Setiap lubang ditanami satu benih tomat. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman dan pemupukan. Penyiraman dilakukan setiap pagi atau sore. Pupuk diberikan dalam bentuk cair yaitu campuran NPK mutiara (2 g l-1) dan Gandasil D (2 g l-1). Bibit disemai sampai umur 4 minggu dan sebelum pindah tanam diinokulasi dahulu dengan bakteri R. solanacearum.

Bakteri R. solanacearum yang digunakan merupakan isolat yang diambil dari tanaman sakit di lapang. Tanaman tomat yang sakit dipotong pangkal batangnya dengan kemiringan 450 dan direndam dengan menggunakan aquades

steril selama 24 jam. Tanaman yang mengeluarkan ooz bakteri digunakan sebagai sumber inokulum.

Inokulasi dilakukan pada saat pindah tanam yaitu pada bibit berumur ±4 minggu. Tanaman yang akan diinokulasi dilukai terlebih dahulu dengan mengguting ujung akarnya, kemudian akar direndam dalam suspensi bakteri sebanyak 20 ml selama 30 menit. Selanjutnya tanaman ditanam di polybag dan suspensi bakteri sisa rendaman disiram ke tanaman.

Pengamatan dilakukan pada beberapa peubah yang meliputi: 1. Periode laten

Periode laten diamati setelah dilakukan inokulasi yaitu munculnya gejala awal yang ditandai dengan layunya daun-daun muda dan merupakan layu permanen

2. Kejadian penyakit

Perhitungan tingkat kejadian penyakit pada tanaman dilakukan dengan cara mengamati gejala eksternal pada tanaman. Perhitungan dilakukan setiap minggu setelah timbulnya gejala awal. Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut:

KP = n/ N x 100%

Keterangan: KP = Kejadian penyakit; n = jumlah tanaman terserang; N = Jumlah total tanaman.

Respon ketahanan ditentukan berdasarkan Peter et al. (1993) yang

dimodifikasi yaitu sangat tahan jika 0 ≤ KP < 5; tahan jika 5 ≤ KP ≤ 20; agak tahan jika 20 < KP ≤ 40; agak rentan jika 40 < KP ≤ 60; rentan jika 60 < KP ≤

80; dan sangat rentan jika KP>80.

3. Area Under Disease Progress Curve (AUDPC).

AUDPC dihitung berdasarkan rumus Van der Plank (1963). AUDPC = ∑ )

(30)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah dan

aDataran Tinggi

4.1.1 Analisis Genetik pada Populasi Tomat Hibrida di Dataran Rendah

4.1.1.1 Keragaan Nilai Tengah Karakter Agronomi pada Hibrida dan Tetua

Materi genetik yang digunakan merupakan tomat lokal yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia. Empat tetua yang digunakan yaitu Kudamati 1, Ranti, Aceh 5, dan Lombok 4. Kudamati 1 dan Ranti merupakan genotipe genotipe lokal yang tahan layu bakteri sedangkan Aceh 5 dan Lombok 4 merupakan genotipe lokal yang memilki potensi hasil tinggi (Sutjahjo et al. 2015). Hibrida yang diharapkan dari persilangan antar genotipe tersebut adalah hibrida berdaya hasil tinggi dan tahan layu bakteri. Keragaan fenotipe bentuk buah empat tetua tersebut juga berbeda. Kudamati 1 dan Ranti memiliki buah berbentuk gelombang, sedangkan Aceh 5 dan Lombok 4 buahnya lebih besar dan tidak bergelombang.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap semua karakter yang diamati kecuali diameter batang, padatan terlarut total, dan diameter buah (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat keragaman di antara tetua dan F1 pada sebagian besar karakter yang diamati. Hasil analisis yang tidak nyata menunjukkan bahwa pada karakter diameter batang, padatan terlarut total, dan diameter buah tidak beragam.

Tabel 5 Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah

Karakter Kuadrat tengah F-Value

Genotipe Galat

Tinggi tanaman 712.40 83.07 8.58**

Diameter batang 1.48 1.34 1.10tn

Tebal buah 0.72 0.21 3.53*

Kekerasan buah 1650.40 340.43 28.02**

Padatan terlaut total 4.13 4.31 2.19tn

Jumlah rongga buah 18.77 0.09 202.02**

Panjang buah 72.64 7.95 9.13**

Diameter buah 93.79 69.55 1.18tn

Jumlah buah 107.68 37.11 2.90*

Bobot buah 26370.43 10759.65 2.45*

* = berpengaruh nyata pada α = 5% dan ** = berpengaruh sangat nyata pada α = 1%

4.1.1.1.1 Tinggi tanaman dan Diameter Batang

(31)

lainnya. Diameter batang berada pada kisaran 7.27 sampai 9.88 mm dan berdasarkan uji statistik tidak berbeda nyata. Tetua maupun hibrida memiliki diameter batang yang tidak beragam (Tabel 6).

Tabel 6 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah

Genotipe Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (mm)

Kudamati-1  Ranti 75.83abc 8.32

Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%

4.1.1.1.2 Karakter Buah

Kudamati-1 dan Ranti memiliki daging buah lebih tipis, sedangkan Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki daging buah lebih tebal. Persilangan Kudamati-1 dan Ranti dengan Aceh-5 memiliki hibrida dengan daging buah yang lebih tebal. Hasil persilangan Kudamati-1 dan Ranti dengan Lombok-4 juga menunjukkan hal yang sama. Persilangan antara dua tetua yang memiliki daging buah tipis (Kudamati-1

 Ranti) menghasilkan hibrida dengan daging buah tipis juga. Persilangan antara tetua dengan daging buah tebal (Aceh-5  Lombok-4) menghasilkan hibrida dengan daging buah paling tebal yaitu 3.65 mm (Tabel 7).

Tabel 7 Keragaan nilai tengah pada karakter buah pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah

(32)

Nilai yang rendah pada hasil pengukuran kekerasan buah menunjukkan bahwa buah lebih keras sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan bahwa buah tersebut lebih lunak. Hasil penelitian menunjukkan Kudamati-1 dan Ranti memiliki buah lebih lunak jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok-4. Persilangan antara buah lunak (Kudamati-1 Ranti) menghasilkan buah yang lunak juga. Hibrida Aceh-5  Lombok-4 memiliki buah yang keras, sama dengan kedua tetuanya. Persilangan antara buah lunak dengan buah keras (Kudamati-1  Aceh-5, Kudamati 1  Lombok-4, Ranti  Aceh-5, dan Ranti  Lombok-4) menghasilkan hibrida yang buahnya lebih lunak jika dibandingkan dengan salah satu tetua yang buahnya keras (Tabel 7). Tomat diharapkan memiliki buah yang lebih keras sehingga dapat lebih lama disimpan dan tidak mudah rusak selama ditransportasikan (Hazra & Dutta 2011).

Padatan terlarut total (PTT) berpengaruh terhadap rasa. Rasa asam akan berkurang dengan bertambahnya nilai PTT. Tomat diharapkan memiliki rasa yang tidak terlalu asam atau memiliki padatan terlarut total yang tinggi (Saputra 2014). Nilai PTT berada pada kisaran 6-7 0Brix dan tidak berbeda antara tetua maupun hibrida. PTT pada tomat dipengaruhi oleh lingkungan maupun faktor genetik. Intesitas cahaya yang lebih tinggi, penyinaran lebih lama, dan cuaca yang kering saat panen dapat meningkatkan PTT (Tigchelaar 1986). Tomat yang buahnya lebih kecil dan memiliki tipe pertumbuhan indeterminate juga memiliki PTT lebih tinggi (Emery & Munger 1970).

Kudamati-1 dan Ranti merupakan tetua yang memiliki jumlah rongga lebih banyak jika dibandingkan Aceh-5 dan Lombok-4. Kombinasi persilangan yang salah satu tetuanya memiliki rongga buah sedikit akan menghasilkan hibrida dengan jumlah rongga yang sedikit. Hal ini dapat dilihat pada Kudamati-1 

Aceh-5, Kudamati-1  Lombok-4, Ranti  Aceh-5, dan Ranti  Lombok-4. Semua kombinasi persilangan tersebut memiliki jumlah rongga buah 2 atau 3 (Tabel 7).

Jumlah rongga buah memiliki peran penting dalam menentukan kualitas buah dan berkorelasi positif dengan ukuran buah dan jumlah buah per tanaman (Bhutani & Kallo 1991). Genotipe yang memiliki rongga buah banyak, umumnya mengandung banyak air (Hazra & Dutta 2011). Hal ini dapat dilihat pada

Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki buah lebih panjang jika dibandingkan Kudamati-1 dan Ranti. Persilangan antara Kudamati-1 dengan Ranti dan Aceh-5 dengan Lombok-4 menghasilkan hibrida yang buahnya lebih pendek dari kedua tetuanya. Persilangan antara buah pendek (Kudamati-1 dan Ranti) dengan buah panjang (Aceh-5 dan Lombok-4) memiliki buah yang panjangnya berada diantara kedua tetua, tidak lebih panjang atau lebih pendek. Diameter buah tetua berkisar 28.62 – 32.88 mm dan diameter buah hibrida berkisar 26.02 – 31.89 mm. Kisaran diameter buah antara tetua dan hibrida yang tidak jauh berbeda menunjukkan bahwa diameter buah lebih seragam (Tabel 8).

(33)

hibrida memiliki jumlah buah diantara kisaran tetua, tidak ada yang lebih sedikit atau lebih banyak. Bobot buah per tanaman merupakan salah satu komponen hasil yang akan berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Kudamati-1 merupakan tetua yang memiliki bobot buah tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan tiga tetua lainnya (Tabel 8).

Kudamati-1  Ranti dan Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki bobot buah per tanaman paling tinggi jika dibandingkan hibrida lainnya. Hal tersebut terjadi karena Kudamati-1  Ranti ukuran buahnya lebih kecil namun jumlahnya lebih banyak, sedangkan Aceh-5  Lombok-4 ukuran buahnya lebih besar namun jumlah buahnya lebih sedikit (Tabel 8). Panjang buah, diameter buah, dan jumlah buah merupakan karakter-karakter yang akan berpengaruh terhadap bobot buah. Panjang dan diameter buah akan menentukan ukuran buah. Bobot buah yang tinggi bisa disebabkan oleh jumlah buah yang lebih banyak dengan ukuran kecil, jumlah buah lebih sedikit dengan ukuran buah lebih besar, atau jumlah lebih banyak dan ukuran lebih besar.

Tabel 8 Keragaan nilai tengah pada komponen hasil pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah

Angka diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%

4.1.1.2 Pendugaan Daya Gabung Umum dan Daya Gabung Khusus

Daya gabung umum (DGU) terbaik dipilih pada tetua yang memiliki nilai DGU tinggi pada karakter tinggi tanaman, diameter batang, tebal daging buah, padatan terlarut total (PTT), panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Nilai yang dipilih pada karakter kekerasan buah dan jumlah rongga buah adalah nilai terkecil karena seleksi kedua karakter tersebut adalah seleksi negatif, yaitu mengurangi kekerasan buah dan jumlah rongga buah pada genotipe terpilih.

(34)

Genotipe Aceh-5 merupakan tetua terbaik untuk memperlebar diameter batang, menebalkan daging buah, meningkatkan padatan terlarut total, dan memperpanjang buah. Nilai daya gabung pada karakter tersebut secara berurut sebesar 0.35, 0.32, 0.23, dan 3.87. Lombok-4 merupakan penggabung terbaik untuk karakter kekerasan buah dengan nilai DGU sebesar -16.54 dan jumlah rongga buah dengan nilai DGU sebesar -1.64 (Tabel 9; Tabel 10).

Hasil analisis DGU menunjukkan bahwa tidak ada tetua yang memiliki daya gabung terbaik untuk semua karakter. Satu tetua dapat memiliki DGU tinggi pada satu atau beberapa karakter namun juga memiliki DGU rendah pada karakter lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa tetua untuk memperbaiki karakter yang dituju.

Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukkan nilai daya gabung khusus (DGK) yang bervariasi pada berbagai karakter dan kombinasi persilangan. Ranti  Lombok-4 memiliki DGK terbaik pada tinggi tanaman yaitu sebesar 10.23, diikutti Kudamati-1  Aceh-5 sebesar 7.18. Hibrida yang memilki DGK terendah pada karakter tinggi tanaman adalah Ranti  Aceh-5 dengan nilai DGK sebesar -8.52. Nilai DGK pada karakter diameter batang berada pada kisaran -1.48 sampai 2.13. Ranti  Lombok-4 memiliki DGK terbaik dan Kudamati-1  Lombok-4 memiliki DGK terendah. Hibrida Aceh-5  Lombok-4 memiliki DGK terbaik untuk karakter tebal buah, diikiti Ranti  Lombok-4 dan Kudamati-1  Aceh-5.

(35)

Nilai DGK tertinggi adalah yang diharapakan pada karakter panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaman, dan bobot buah per tanaman. Karakter panjang buah memliki DGK pada kisaran -9.36 sampai 4.53 sedangkan pada karakter diameter buah berada pada kisaran -10.42 sampai 5.29. Persilangan yang memiliki DGK terbaik pada panjang buah dan diameter buah adalah Aceh-5  Lombok-4. Persilangan Ranti  Lombok-4 memiliki DGK terbaik untuk karakter jumlah buah per tanaman yaitu sebesar 4.39. Pada karakter bobot buah, persilangan Aceh-5  Lombok-4 memiliki DGK terbaik dengan nilai 106.86 dan terendah sebesar -159.62 pada persilangan Ranti  Aceh-5.

Tabel 11 Daya gabung khusus karakter vegetatif dan karakter buah pada hibrida hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah

Kombinasi

Nilai daya gabung yang negatif menunjukkan bahwa genotipe-genotipe maupun kombinasi persilangan yang diuji berkontribusi terhadap penurunan keragaan karakter dan sebaliknya. Seleksi terhadap daya hasil diarahkan pada tetua yang memiliki nilai DGU tinggi dan positif atau hibrida yang memiliki nilai DGK tinggi dan positif. Sebaliknya, seleksi terhadap kejadian atau serangan penyakit diarahkan pada genotipe yang memiliki nilai daya gabung negatif. Gen-gen positif pada karakter yang memiliki nilai DGU tinggi akan berkumpul pada generasi lanjut sehingga genotipe tersebut direkomendasikan sebagai tetua untuk merakit varietas galur murni (Sujiprihati et al. 2007; Saputra et al. 2014). Nilai DGU tinggi pada tetua juga mengindikasikan bahwa tetua tersebut mampu berkombinasi dengan baik dengan tetua lainnya dalam menghasilkan hibrida.

(36)

pada karakter panjang buah. Hibrida yang memiliki panjang buah terbaik berasal dari persilangan antara Aceh-5 yang memiliki DGU tinggi (3.87) dengan Lombok-4 yang memiliki nilai DGU tinggi juga (0.21).

Hibrida yang memiliki daya gabung khusus terbaik tidak semuanya berasal dari tetua dengan daya gabung umum tinggi (Kumar et al. 2015). Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat hibrida yang memilki daya gabung khusus terbaik berasal dari tetua yang memiliki daya gabung umum tinggi pada salah satu tetuanya. Hal ini dapat dilihat pada persilangan Ranti  Lombok-4 yang memiliki daya gabung khusus terbaik pada karakter jumlah buah per tanaman. Kombinasi persilangan tersebut berasal dari Ranti yang memiliki daya gabung umum tinggi (0.27) dan Lombok-4 yang memiliki daya gabung umum rendah (-5.02).

Aceh-5  Lombok-4 juga memiliki daya gabung khusus terbaik pada karakter bobot buah per tanaman. Aceh-5 dan Lombok-4 memiliki daya gabung umum bernilai rendah dan negatif yaitu -16.41 dan -45.20 (Tabel 10). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Sekhar et al. (2010) dan Saputra et al. (2014) bahwa nilai DGK tinggi dan positif pada karakter bobot buah per tanaman terdapat pada kombinasi persilangan DGU tinggi  DGU rendah dan DGU negatif  DGU negatif. El-Gabry et al. (2014) memaparkan bahwa tidak semua tetua yang memiliki daya gabung umum terbaik akan menghasilkan hibrida dengan nilai daya gabung khusus tinggi. Iriany et al. (2011), menduga bahwa fenomena ini terjadi akibat gen-gen yang menguntungkan pada suatu genotipe dapat menutupi gen-gen yang merugikan pada genotipe pasangannya dan mampu bergabung dengan baik.

Kemampuan daya gabung umum dapat digunakan untuk menduga genotipe tetua superior dan daya gabung khusus dapat digunakan untuk mengindentifikasi persilangan terbaik yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjadi varietas hibrida (Saleem et al. 2008; El-Gabry et al. 2014). Perakitan varietas hibrida lebih diarahkan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki daya hasil tinggi, dalam hal ini karakter bobot buah per tanaman menjadi karakter penting dalam menentukan kombinasi yang diharapkan (Saputra et al. 2014). Berdasarkan hal tersebut kombinasi persilangan Aceh-5  Lombok-4 dapat diarahkan untuk varietas hibrida. Kombinasi persilangan tersebut memiliki nilai daya gabung khusus positif dan tinggi untuk karakter panjang buah, diameter buah, jumlah buah per tanaan, dan bobot buah per tanaman (Tabel 10).

4.1.1.3 Heterosis dan Heterobeltiosis

Peristiwa heterosis sangat penting dalam perakitan kultivar hibrida karena menjadi indakator diperolehnya hibrida yang lebih baik dari tetuanya. Heterosis merupakan fenomena biologis yang menunjukkan keunggulan hasil persilangan F1 atau hibrida melebihi kedua tetuanya. Heterosis dapat terjadi akibat akumulasi gen dominan, overdominan, dan interaksi antar alel berbeda lokus (Birchler et.al

2010; Syukur et.al 2012). Menurut Premalatha (2006) hibrida potensial dipilih dengan menggabungkan informasi nilai rata-rata, daya gabung, dan heterosis.

(37)

peningkatan hasil panen. Heterosis dapat pula meningkatkan kemampuan reproduksi, adaptasi, kecepatan tumbuh, dan perbaikan parameter kualitas (Chattopadhyay & Paul 2012).

Tabel 13 Heterosis (MP) dan heterobeltiosis (BP) karakter vegetatif pada tomat hibrida di dataran rendah

Kombinasi persilangan Tinggi tanaman (cm) Diameter batang (mm)

MP BP MP BP

(38)

Karakter tebal daging buah memiliki nilai duga heterosis -6.41-12.71% dan nilai duga heterobeltiosis berkisar -19.91-3.96%. heterosis terbesar dimiliki oleh Kudamati-1  Lombok-4 sedangkan heterobeltiosis terbesar dimiliki Aceh-5  Lombok-4. Kudamati-1  Aceh-5 memiliki heterosis terbaik pada karakter keerasan buah sedangkan heerobeltiosis terbaik dimiliki oleh Kudamati-1

 Ranti. Persilangan Ranti  Lombok-4 memiliki nilai heterosis sebesar 13.65 dan heterobeltiosis sebesar 13.34% untuk karakter padatan terlarut total. Ranti  Lombok-4 memiliki nilai heterosis sebesar -44.18% dan Aceh-5  Lombok-4 memiliki nilai heterobeltiosis sebesar -4.96 untuk karakter jumlah rongga buah (Tabel 14).

Karakter panjang buah dan diameter buah memilki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif untuk semua persilangan. Hal ini menunjukkan bahwa hibrida yang dihasilkan memiliki ukuran buah lebih kecil dari rataan tetua maupun tetua terbaik. Hibrida hasil persilangan memiliki jumlah lebih banyak dari rataan tetua namun tidak melebihi tetua yang memiliki jumlah buah terbanyak. Hal ini dapat dilihat dari nilai duga heterosis dan heterobeltiosis. Pada karakter jumlah buah hanya persilangan Ranti  Lombok-4, Kudamati-1  Lombok-4, dan Aceh-5  Lombok-4 yang memiliki nilai heterosis positif sedangkan semua kombinasi persilangan lain memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif. Heterosis dan heterobeltiosis positif pada karakter bobot buah hanya dimiliki Aceh-5  Lombok-4 (Tabel 13; Tabel 14).

Nilai heterosis dan heterosis pada tanaman tomat umumnya rendah, namun dapat digunakan untuk memperoleh tanaman genjah, memperbaiki vigor dan mempercepat pengembangan varietas dengan kombinasi karakter yang diinginkan (Wahyuni 2014). Perakitan varietas hibrida sering memanfaatkan fenomena heterosis dan heterobeltiosis, namun keragaan tanaman juga menjadi faktor penting dalam menilai keunggulan hibrida sehingga, meskipun hibrida memiliki heterosis dan heterobeltiosis terbaik tetapi tidak memiliki keragaan yang terbaik maka hibrida tersebut sulit dimanfaatkan sebagai varietas hibrida (Saputra 2014). Aceh-5  Lombok-4 merupakan hibrida yang memiliki keragaan terbaik serta memilki nilai heterosis dan heterobeltiosis tertinggi untuk karakter bobot buah jika dibandingkan hibrida lainnya (Tabel 8; Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa Aceh-5  Lombok-4 dapat dikembangkan lebih lanjut untuk varietas hibrida berdaya hasil tinggi di dataran rendah.

4.1.1.4 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas

Hasil analisis yang menunjukkan pengaruh ragam DGU dan DGK pada karakter pengamatan disajikan dalam Tabel 16 dan Tabel 17. Daya gabung umum pada karakter tinggi tanaman, kekerasan buah, dan jumlah buah per tanaman beragam, sedangkan daya gabung khususnya tidak beragam. Karakter diameter batang, tebal daging buah, padatan terlarut total, panjang buah, diameter buah, dan bobot buah memiliki daya gabung umum dan daya gabung khusus yang tidak beragam. Karakter yang memiliki keragaman pada daya gabung umum dan daya gabung khusus adalah jumlah rongga buah.

(39)

dapat digunakan untuk menduga ragam DGU (σ ) dan ragam DGK (σ ) yang selanjutnya digunakan untuk menduga ragam aditif dan ragam dominan (Singh & Chaudhary 1979). mengendalikan suatu karakter sangat dibutuhkan untuk merakit varietas hibrida (Pradhan et al. 2016). Nilai ragam daya gabung umum (σ ) yang lebih tinggi daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ / σ lebih besar dari satu, dan ragam aditif ( ) lebih besar dibandingkan ragam dominan ( ) menunjukkan bahwa gen aditif lebih berperan dalam menentukan keragaan fenotipiknya. Apabila nilai ragam daya gabung umum (σ ) yang lebih rendah daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ / σ lebih kecil dari satu, dan ragam dominan ( ) lebih besar dibandingkan ragam aditif ( ) maka keragaan fenotipiknya lebih dipengaruhi oleh gen non-aditif seperti dominan dan epistasis (Rini 2015).

(40)

tersebut dapat dilihat dari nilai (σ ) yang lebih rendah daripada nilai ragam daya gabung khusus (σ ), rasio σ / σ lebih kecil dari satu, dan ragam aditif ( ) lebih kecil dibandingkan ragam dominan ( ) (Tabel 18; Tabel 19).

Aksi gen yang terlibat dapat terlihat dari derajat dominansi. Derajat dominansi yang berada pada kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna, jika derajat dominansi berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan negatif tidak sempurna, jika derajat dominansi = 0 menunjukkan tidak ada dominansi pada karakter tersebut, jika derajat dominansi = 1 atau = -1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan sempurna atau resesif sempurna, dan jika derajat dominansi < -1 atau derajat dominansi > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen over dominan (Petr & Frey 1966).

Tabel 18 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah

Komponen ragam

Berdasarkan Tabel 18 dan Tabel 19 dapat diketahui bahwa tinggi tanaman, diameter batang, kekerasan buah, padatan terlarut total, panjang buah dan jumlah buah per tanaman dikendalikan oleh aksi gen dominan positif tidak sempurna karena memilki nilai derajat dominansi diantara 0 dan 1. Tebal daging buah, diameter buah, dan bobot buah dikendalikan oleh aksi gen over dominan yang ditandai dengan derajat dominansi > 1.

(41)

buah per tanaman menunjukkan bahwa masih ada gen aditif yang terlibat dalam mengendalikan karakter tersebut. Diameter buah dan bobot buah per tanaman merupakan beberapa komponen hasil yang berpengaruh terhadap produktivitas sehingga aksi gen over dominan pada karakter tersebut memberi peluang pada kombinasi persilangan yang ada untuk dikembangkan menjadi hibrida berdaya hasil tinggi.

Tabel 19 Nilai duga komponen ragam dan heritabilitas genotipe-genotipe tomat hasil persilangan setengah dialel di dataran rendah

Komponen ragam

Kriteria luas sempit Sempit sempit

3.48 -2.19 13.18 25.69

Heritabilitas merupakan proporsi keragaman teramati yang disebabkan oleh sifat menurun (Poespodarsono 1988). Berdasarkan komponen ragam genetik, heritabilitas dibagi menjadi dua dua yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas memepertimbangkan keragaman total genetik dalam kaitannya dengan keragaman fenotipik yang berarti pengaruh semua gen dilibatkan secara bersama-sama, sedangkan heritabilitas arti sempit lebih spesifik yaitu melihat pengaruh ragam aditif terhadap keragaman fenotipiknya (Poehlman & Sleeper 1979; Poespodarsono 1988)

Berdasarkan Stansfield (1983), nilai heritabilitas dikelompokkan menjadi

tiga kriteria yaitu tinggi (0.5<X≤1), sedang (0.2<X≤0.5), dan rendah (0<X≤0.2).

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Gambar 2 Teknik persilangan buatan pada tomat
Tabel 5  Rekapitulasi pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi pada tetua
Tabel 6 Keragaan nilai tengah pada karakter tinggi tanaman dan diameter batang pada tetua dan hibrida tomat di dataran rendah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Materi yang digunakan dalam penelitian 22 ekor induk sapi potong (12 ekor induk sapi SimPO, 10 ekor induk sapi LimPO) yang di- flushing dan 27 ekor induk sapi potong

50 abstraksi dokumen akademik dari data yang dikumpulkan setiap universitasnya akan digabungkan menjadi satu file dokumen besar sebelum proses preprocessing

Indikator pemeringkatan klasterisasi perguruan tinggi yang lebih berorientasi kepada outcome dan salah satunya terkait kuesioner tracer study yaitu persentase

Makanan dan pakaian sering dipakai sebagai ungkapan untuk kebutuhan hidup sehari-hari (band. 6:25).Yang manapun penafsirannya, yang jelas disini tidak ada unsur

Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal

Desain pakaian para awak kabin PT Garuda Indonesia, Tbk berguna sebagai salah satu bentuk pesan komunikasi nonverbal untuk menarik perhatian masyarakat yang melihat mereka

Jadi, kata ‘bagai’ yang digunakan pada bait ke-1, 9 dan 10 yang ada dalam gaya bahasa perumpamaan difungsikan untuk menggambarkan keadaan dan suasana kelaparan yang berdampak

Penelitian ini akan mengkritisi dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai sosok pahlawan borjuis yang digambarkan dalam karakter Batman sebagai superhero dalam