• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji tanah didefinisikan secara terbatas sebagai suatu kegiatan analisis kimia yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam tanah. Pembangunan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dilakukan mulai dari identifikasi hara tanah, melakukan interpretasi, evaluasi dan rekomendasi pemupukan serta perubahannya berdasarkan analisis kimia (Maguire dan Sims 2002).

Identifikasi hara tanah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) pengambilan tanah yang memiliki perbedaan signifikan kandungan hara dari berbagai lokasi dengan jenis tanah yang sama, dan (2) pembuatan status hara buatan yang bertingkat, yang dilakukan di satu lokasi tertentu pada luasan tertentu dengan kondisi hara awal kandungan hara tanah yang rendah atau sangat rendah (Al Jabri 2007a). Cara pertama dilakukan apabila terdapat data yang lengkap tentang kandungan status hara di berbagai lokasi pada jenis lahan yang sama. Hara tanah tersebut harus memiliki tingkatan kandungan hara dengan kriteria yang lengkap mulai dari status hara sangat rendah sampai sangat tinggi.

Pembuatan status hara bertingkat dapat dilakukan melalui metode inkubasi pupuk. Inkubasi bertujuan untuk mendapatkan kisaran hara tanah dengan konsentrasi yang lebar mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Tanah tersebut akan digunakan sebagai media untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi hara dengan hasil relatif tomat. Analisis hara lebih lanjut menggunakan berbagai metode ekstraksi hara. Analisis semua metode ekstraksi harus menunjukkan hasil yang sesuai dengan kandungan hara sebagai representasi tingkat kesuburan tanah yang mengandung hara P dan hara K seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Tahapan penelitian dapat berlanjut dengan melakukan uji korelasi di rumah kaca untuk mengetahui korelasi kandungan hara dan pertumbuhan/produksi tanaman (hasil relatif) yang terbaik.

Uji korelasi merupakan suatu tahapan kegiatan penelitian uji tanah. Uji korelasi bertujuan untuk menentukan atau menyeleksi jenis pengekstrak terbaik guna

mengetahui hubungan hasil relatif tanaman dengan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah. Uji korelasi tanah menggunakan larutan ekstraksi yang sifatnya selektif dan sebaiknya berkonsentrasi rendah (Peck dan Soltanpour 1990; Setyorini et al. 2003; Beck et al. 2004). Penelitian ini memberikan informasi bahwa larutan dan metode ekstraksi hara P tanah yang terbaik dan berkorelasi tertinggi terhadap hasil relatif tomat adalah Mehlich I dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,89. Hasil penelitian Sims et al. (2002) menyatakan bahwa pengekstrak Mehlich I digunakan sebagai metode analisis standar P tanah di negara bagian Maryland dan Virginia yang sebagian besar wilayahnya memiliki jenis tanah Ultisols dan Inceptisols. Syers et al. (2008) menambahkan bahwa pelarut Mehlich I sering digunakan sebagai metode ekstraksi hara P tanah. Metode ekstraksi hara K tanah yang terbaik untuk tanaman tomat di Inceptisols adalah Truog dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,56. Metode ekstraksi yang terpilih harus didapat dari uji tanah yang reliable (murah, sederhana, cepat dan reproducible). Metode ekstraksi ini tidak dapat diterapkan pada tanaman tomat dan sayuran lainnya pada lokasi berbeda dan waktu berbeda (spesifik lokasi). Setiap tanaman mempunyai metode ekstraksi yang berbeda, bahkan untuk varietas/jenis tanaman satu akan berbeda dengan jenis tanaman yang lain.

Pelarut Mehlich I adalah pelarut terbaik untuk mengekstrak P pada Inceptisols karena merupakan salah satu pelarut yang menggunakan dua macam asam ganda yaitu: HCl dan H2SO4, sehingga akan lebih kuat melepas ikatan molekul P dalam larutan tanah serta P terikat seperti FePO4 2H2O, AlPO4 2H2O dan Organik-P (Hesse 1972). Pengunaan pelarut asam ganda akan lebih baik dalam mengekstrak hara P tanah dibandingkan dengan satu pelarut asam saja (Page et al. 1982). Pelarut yang berasal dari ekstraktan bersifat asam akan lebih baik mengekstrak hara pada tanah-tanah masam (Fixen dan Grove 1990). Pada penelitian ini media tanam untuk tanaman tomat berasal dari tanah Inceptisols yang merupakan tanah masam.

Pengekstrak “Truog” merupakan pengekstrak yang terbaik untuk ekstrasi hara

K tanah dalam penelitian ini. Truog merupakan pengekstrak asam ganda yaitu pengunaan senyawa H2SO4 dan (NH4)SO4, sehingga akan lebih baik dalam mengetahui kandungan hara K tanah jika dibandingkan dengan pengunaan senyawa

pengekstrak asam tunggal saja (Hesse 1972). Penggunaan senyawa (NH4)SO4 akan dapat mengikat ion K+ yang dapat dipertukarkan dengan mengantikan dengan ion NH4+, demikian juga H2SO4 yang dapat menukar ikatan K+ dengan H+.

Menurut (Page et al. 1982), sebagian kecil dari total K dalam bentuk dapat dipertukarkan (1% - 2%) dan sebagian K terlarut biasanya hanya dalam jumlah kecil, serta K dalam bentuk terikat. Bentuk K dapat dipertukarkan adalah merupakan sumber utama dari K untuk diserap tanaman, sehingga prosedur uji tanah yang paling baik digunakan adalah dengan memperkirakan kebutuhan hara K yang dapat dipertukarkan.

Selain kedua metode analisis (Mehlich I dan Troug) terbaik dalam mengekstrak hara P dan K pada Incepsisols untuk tanaman tomat, keduanya pula relatif lebih membutuhkan bahan baku dan biaya analisis yang murah (ekonomis). Nilai bahan ekstraktan yang digunakan dalam metode analisis hara tanah dari termurah hingga termahal adalah: Mehlich I (Rp. 2.585,-), Truog (Rp. 2.832,-), HCl 25% (Rp. 4122,-), Morgan Vanema (Rp. 4.454,-), Bray I (Rp. 7166,-), Bray II (Rp. 9.201), Morgan Wolf (Rp. 10.710,-) dan NH4OAc (Rp. 11.178,-).

Penelitian uji korelasi di rumah kaca pada berbagai status hara P dan K yang berbeda memberikan hasil berbeda nyata pada taraf 1% pada peubah pertumbuhan tanaman tomat seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun. Peubah bobot segar dan bobot kering biomas tanaman tomat menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 1 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa selain analisis hara menggunakan berbagai metode ekstraksi memberikan hasil yang sesuai dengan perkembangan tanaman tomat, peubah pertumbuhan tanaman tomat juga memberikan perbedaan baik secara visual maupun secara statistik.

Penelitian kalibrasi uji tanah dengan tujuan melihat respon pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman di lapangan (Guerin et al. 2007). Respon pertumbuhan yang berbeda nyata pada taraf 1% antar perlakuan pada peubah tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah daun terlihat pada uji kalibrasi kedua unsur hara P dan K. Respon tanaman tomat berupa marketable yield, bobot kering dan bobot basah biomas tanaman tomat menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar

tingkat kandungan P dan K. Respon ini dapat digunakan lebih lanjut untuk membagi klasifikasi hara berdasarkan tingkat ketersediaan hara di dalam tanah.

Kelas ketersediaan status hara P tanah pada uji kalibrasi terbagi atas empat kategori. Kelas ketersediaan status hara P tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols dengan kandungan hara P ≤ 1,7 ppm P2O5 memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, diklasifikasikan sebagai kategori ”sangat rendah”. Hasil relatif dengan kategori ”rendah” sekitar 50% – 75%, ekstraktan P tanah Mehlich I antara > 1,7 – < 18,1 ppm P2O5. Hasil relatif tomat dengan kategori

”sedang” sekitar 76% - 90% dapat dihasilkan jika ekstraktan P tanah Mehlich I antara > 18,1 – ≤ 48,1 ppm P2O5. Hasil relatif produksi tomat yang lebih dari 90% atau

respon kategori ”tinggi” diperoleh apabila P tanah ekstraktan Mehlich I sebanyak > 48,1 ppm P2O5.

Kelas ketersediaan status hara K tanah pada pada tahun kedua uji kalibrasi terbagi atas empat kategori. Kelas ketersediaan status hara K tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols dengan kandungan hara K ≤ 42,8 ppm K2O memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, diklasifikasikan sebagai

kategori ”sangat rendah”. Hasil relatif dengan kategori ”rendah” sekitar 50% – 75%, ekstraktan K tanah Truog antara > 42,8 – ≤ 113 ppm K2O. Hasil relatif tomat dengan kategori ”sedang” sekitar 76% - 85% dapat dihasilkan jika ekstraktan K tanah Truog antara > 113 –≤ 191,6 ppm K2O. Hasil relatif produksi tomat yang lebih dari

85% atau respon kategori ”tinggi” diperoleh apabila K tanah ekstraktan Truog

sebanyak > 191,6 ppm K2O.

Klasifikasi dan batasan kandungan unsur hara P dan K tanah yang dihubungkan dengan produksi relatif tanaman tomat bermanfaat untuk digunakan sebagai acuan pembuatan tabel interpretasi hasil analisis tanah dan sebagai dasar pemberian rekomendasi pemupukan berdasarkan tingkatan kandungan hara tanah. Nilai status hara tanah pada lahan pertanian tertentu menunjukkan batasan hara yang sangat rendah akan memberikan hasil relatif tanaman yang rendah pula, sehingga perlu upaya meningkatkan ketersedian unsur hara melalui pemupukan dengan dosis yang tinggi. Sebaliknya, apabila hasil analisis tanah menunjukkan nilai yang tinggi

akan diprediksi memberikan hasil relatif tanaman yang tinggi pula sampai pada batasan maksimum kebutuhan dan serapan hara oleh tanaman serta tidak perlu dilakukan pemupukan.

Tahapan akhir dari keseluruhan uji tanah adalah pembuatan rekomendasi pemupukan berdasarkan klasifikasi kandungan hara yang ada. Rekomendasi pemupukan P dan K dari setiap kelas hara P dan K pada tanaman tomat di Inceptisols didasari oleh hubungan dosis pupuk yang diplot dengan hasil relatif tomat yang menggunakan analisis regresi. Dosis yang direkomendasikan adalah dosis pupuk P dan K pada hasil maksimum.

Rekomendasi pertama pada tanah yang memiliki kriteria kandungan hara P

“sangat rendah”, maksimum pemberian pupuk P dengan jumlah 183,3 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 509 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi kedua untuk kandungan

hara P “rendah”, memerlukan tambahan pupuk sebanyak 71,4 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 198,4 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi pemupukan K tanah dengan status

hara K “sangat rendah”, pertumbuhan tanaman tomat dengan hasil yang maksimum

memerlukan tambahan dosis pupuk sebanyak 281,3 K2O kg ha-1 atau setara dengan KCl 468,8 kg ha-1. Tanah dengan kandungan hara K “rendah”, memerlukan tambahan

pemupukan K sebanyak 178,6 K2O kg ha-1 atau setara dengan 297,7 KCl kg ha-1. Pada penelitian ini, kandungan hara P dan K kategori sedang sampai tinggi tidak memerlukan adanya pemberian rekomendasi pemupukan karena hara di dalam tanah sudah mampu mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat. Pada lahan pertanian yang memiliki kandungan hara sedang dan tinggi, pemberian pupuk P atau K tidak akan menaikkan produksi secara signifikan, sebaliknya kemungkinan akan dapat menyebabkan penurunan produksi karena keracunan atau interaksi dengan unsur hara lainnya. Uji tanah dapat mencegah terjadinya kondisi ekstrim seperti kelebihan, kehilangan dan kekurangan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman, sehingga pertumbuhan optimum tanaman akan terpenuhi (Maguire dan Sims 2002).

Penelitian dan penyusunan rekomendasi pemupukan P dan K melalui beberapa tahap uji tanah pada tanaman tomat merupakan pertama kali dilakukan di

Indonesia. Pembuatan dosis rekomendasi pemupukan dengan metode uji tanah yang selektif, memiliki nilai ekonomis tinggi karena dosis pupuk rekomendasi disesuaikan dengan status hara yang ada sehingga penggunaan tidak berlebihan, dan rekomendasi pemupukan tersebut dapat diaplikasi oleh petani tomat. Perbedaan metode ini dengan metode lainnya ialah: metode ini tidak memerlukan tambahan analisis jaringan tanaman dengan biaya yang semakin banyak (metode Cate-Nelson), metode ini hanya menghubungkan antara kandungan hara dan produksi relatif tanaman (metode Kidder). Selain itu perbedaan metode ini adalah membagi status hara menjadi empat kategori (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi) sedangkan metode Cate-Nelson hanya membagi menjadi dua kategori yaitu rendah dan tinggi.

Rekomendasi pupuk hasil penelitian ini dapat diterapkan di lokasi pertanaman tomat yang memiliki jenis tanah Inceptisol dengan karakteristik tanah yang sama di Indonesia tetapi harus diketahui status hara tanah sebelumnya (sangat rendah atau rendah). Apabila status hara yang ada pada kategori sedang dan tinggi, tidak perlu dilakukan pemupukan sebelum tanam. Selain itu perlu dipertimbangkan varietas tanaman tomat yang akan ditanam pada saat musim tanam tersebut. Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah Arthaloka dan Ratna. Idealnya untuk varietas tomat lainnya perlu juga dilakukan tahapan uji pembuatan dosis rekomendasi pemupukan seperti pada penelitian ini.

Secara umum, pembuatan dosis rekomendasi pemupukan akan lebih baik apabila dilakukan melalui tahapan uji tanah pada berbagai lokasi spesifik dan untuk berbagai jenis tanaman sayuran serta jenis varietasnya, sehingga akan diperoleh data spesifik rekomendasi dosis pupuk untuk wilayah tertentu. Semakin banyak pengujian akan meningkatkan ketelitian terkait hubungan antara kandungan hara tanah dengan produksi tanaman serta akan terpilih metode ekstraksi yang paling sesuai. Aktivitas penyusunan rekomendasi dengan uji tanah seyogyanya selalu dilakukan pada masa yang akan datang dan untuk membangun tabel interpretasi dan tabel rekomendasi di setiap area produksi.

Selama ini rekomendasi pemupukan pada tanaman tomat dan sayuran lainnya dilakukan dengan cara uji optimasi dosis pupuk terhadap hasil tanaman, tanpa

mempertimbangkan kondisi hara dan status hara tanah, sehingga saat ini dosis yang ada sangat bervariasi dengan selang antara 50-600 kg ha-1. Rekomendasi pupuk tersebut diterapkan pada semua jenis tanah (Susila 2011). Hal ini akan berakibat semakin banyak dampak negatif yang timbul seperti kandungan hara tertentu, pencemaran lingkungan, eutrofikasi, dan penurunan produktivitas tanaman.

Status hara merupakan dasar yang terpenting dalam pembuatan rekomendasi dosis pemupukan yang rasional untuk jenis tanaman tertentu pada lokasi spesifik. Saat ini informasi tentang status hara masih sangat minim. Status hara yang ada hanya dianalisis untuk tanaman padi sawah dan dipakai untuk semua jenis tanaman. Badan Litbang Pertanian melalui Gerakan Revitalisasi Sumber Daya Lahan, pada tahun 2013 akan kembali mengkaji lebih mendalam status hara tanah pertanian yang ada di Pulau Jawa untuk berbagai jenis tanaman.

Menurut Hilman et al. (2008) data sebaran status hara P dan K di sentra produksi sayuran dataran rendah di Kabupaten Bogor yang sebagian besar merupakan tanah Inceptisols, menunjukkan bahwa luas tanah berdasarkan peta status hara P sebesar 1.365,03 ha termasuk kategori sangat rendah, 3.395,37 ha kategori rendah, 21.248,71 ha kategori sedang, dan 13.978,87 ha kategori tinggi, sedangkan peta status hara K adalah 6.337,79 ha termasuk kategori sangat rendah, 12.768,03 ha kategori rendah, 17.243,78 ha kategori sedang, dan 3.638,39 ha kategori tinggi. Klas status hara ditetapkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian dan menggunakan metode ekstraksi HCl 25%. Kelemahan klasifikasi status hara dan data interpretasi ini adalah tidak disebutkan komoditas spesifik tanaman sayuran dataran rendah yang menjadi dasar pengkelasannya.

Berkaitan dengan data luasan lahan berdasarkan status hara tersebut di atas dan hasil rekomendasi pemupukan dari penelitian ini, maka pemberian pupuk P dan K hanya diberikan pada tanah yang memiliki status hara dengan kriteria sangat rendah dan rendah (seluas 4.760,4 ha untuk P dan 19.105,82 ha untuk K). Pada status hara dengan kriteria sedang dan tinggi (seluas 35.117,58 ha untuk P dan 20.871,17 ha untuk K), tidak perlu dilakukan pemupukan P dan K. Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dan penggunaannya akan lebih efisien dan efektif untuk

budidaya tanaman melalui aplikasi filosofi tingkat kecukupan hara bagi tanaman (crop sufficiency level). Namun sampai saat ini, umumnya pemberian pupuk selalu dilakukan oleh petani atau pengusaha bidang pertanian tanpa mengetahui dan mempertimbangkan kandungan hara tanah di lokasi budidaya tanamannya. Pemberian pupuk yang sesuai dosis akan lebih optimum menggantikan hara tanah yang diserap oleh tanaman. Namun apabila pemberian dilakukan dalam jumlah dosis yang tinggi dan berlebihan akan terjadi pemborosan penggunaan pupuk khususnya di lokasi yang memiliki status hara sedang dan tinggi karena dosis tersebut berada di atas kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat.

Aplikasi dan Perkembangan Uji Tanah Lebih Lanjut di Indonesia

Aplikasi dan rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis tanah telah berkembang pesat khususnya di beberapa negara maju seperti Amerika, Australia dan Eropa (Guerin et al. 2007; Horta dan Torrent 2007). Namun aplikasi dan rekomendasi pemupukan dengan metode ini di Indonesia masih banyak menghadapi kendala (Al Jabri 2007a). Beberapa kendala tersebut antara lain masih terbatasnya dana penelitian, kebijakan pembangunan pertanian yang belum optimum mendukung pengembangan subsektor hortikultura khususnya sayuran, kolaborasi dan perencanaan pengembangan teknologi ini yang masih belum berkesinambungan antar institusi dan lembaga.

Aplikasi teknologi rekomendasi pemupukan masih berpeluang besar dikembangkan di Indonesia. Pemberian rekomendasi pemupukan yang tepat akan meningkatkan produktivitas sayuran dan tanaman lainnya dengan selalu berpedoman pada pertanian berkelanjutan yang menerapkan optimalisasi penggunaan unsur hara dan memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan tanpa adanya kelebihan atau polusi unsur kimia di tanah dan air (Kidder 2003; Susila 2002).

Pembuatan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman tomat dan hortikultura lainnya perlu dilakukan terencana, berkesinambungan dan spesifik lokasi. Perlu dilakukan uji tanah di seluruh sentra produksi sayuran untuk

berbagai jenis tanaman sayuran. Pembuatan rekomendasi pemupukan melalui uji tanah yang semakin sering dilakukan akan memperbaiki keakuratan dosis rekomendasi yang dikeluarkan.

Mengingat pentingnya pengembangan rekomendasi penelitian ini maka ada beberapa program yang dapat dikembangkan:

1. Pengembangan laboratorium analisis tanah yang berskala provinsi, melalui peningkatan SDM, keterampilan dan fasilitas laboratoium, standarisasi alat dan standar prosedur operasional analisis serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara berkala. Saat ini hanya terdapat beberapa laboratorium tanah yang berkembang baik di Indonesia, namun standar analisis masih bervariasi antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya. Peluang besar dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara lebih intensif fasilitas laboratorium tanah yang dimiliki BPTP dan Universitas di daerah dengan wilayah operasional yang jelas. Setiap laboratorium uji tanah harus melakukan uji korelasi, uji kalibrasi untuk membangun rekomendasi pemupukan di wilayah kerjanya. Bila laboratorium uji tanah tidak melakukan tahapan tersebut, maka tidak diperkenankan mengeluarkan rekomendasi pemupukan.

2. Perbaikan struktur pembiayaan pembangunan pertanian, melalui dukungan pembiayaan yang optimum untuk pengembangan teknologi, informasi dan karakteristik lahan pertanaman. Peningkatan survei kondisi kesuburan tanah, peningkatan penelitian uji tanah dan diseminasi hasil teknologi rekomendasi pemupukan pada berbagai jenis tanaman dan jenis lahan tertentu. Perlu dilakukan pengembangan piranti uji tanah yang portable hasil pengembangan Pusat Penelitian Tanah Bogor (Soil Test Kit) sangat menunjang pengembangan uji tanah secara cepat di berbagai wilayah Indonesia.

3. Pengembangan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan uji tanah yang mudah dilakukan oleh petugas di lapangan dan kelompok petani dengan hasil yang dapat dipercaya dan sesuai dengan kondisi alami lahan pertanaman.

4. Terjadi perubahan persepsi dan teknik budidaya petani. Setiap kali akan memulai bercocok tanam tanaman tertentu, petani akan menganalisis tanah lahan

pertaniannya guna mendapatkan rekomendasi pemupukan yang sesuai. Perbaikan kelembagaan tani, diharapkan dapat membantu pembiayaan uji tanah yang dilakukan di semua lahan petani dalam waktu tertentu dan luasan tertentu.

Dokumen terkait