• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenotipe Obesitas

Secara fenotipe, monyet ekor panjang yang berasal dari Bali (Ubud dan Uluwatu) memiliki rata-rata bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan monyet yang berada di lokasi lainnya. Monyet tersebut juga menunjukkan gejala obesitas. Bobot badan yang tinggi akan berakibat pada IMT yang tinggi. IMT tinggi konsisten dengan meningkatnya lingkar pinggang (LPi), lingkar dada (LD), dan lipatan kulit pada monyet yang mengalami obesitas. Penentuan obesitas

pada manusia didasarkan pada IMT yang melebihi 30 kg/m2 (WHO 2005). Pada

monyet ekor panjang, belum ada kategori obesitas berdasarkan IMT. Sedangkan

pada M. radiata jantan dengan rata-rata IMT sebesar 35 kg/m2 telah

menunjukkan sindroma metabolik (Kaufman et al. 2005). Di samping itu, M. mulatta jantan telah dikategorikan mengalami obesitas bila IMT berkisar antara 32-44 kg/m2.

Lipatan kulit trisep tidak menunjukkan perbedaan antara monyet gemuk dan yang tidak gemuk. Tebal lipatan kulit trisep (TLkTr) dari monyet yang berasal dari berbagai lokasi sebagian besar sama kecuali monyet asal Uluwatu (Tabel 4). Korelasi antara IMT dan tebal lipatan kulit trisep paling kecil dibandingkan dengan lipatan kulit di bagian tubuh lainnya. Dengan demikian, lipatan kulit trisep tidak dapat digunakan sebagai pembeda antara monyet gemuk dan monyet yang tidak gemuk. Jika dibandingkan dengan manusia, lipatan kulit trisep pada individu gemuk berbeda nyata dengan lipatan kulit trisep pada individu yang tidak

gemuk (Chatterjee et al. 2006; Semiz et al. 2007). Perbedaan ini

mengindikasikan ada perbedaaan pola penyimpanan lemak subkutan antara monyet ekor panjang dan manusia terutama di daerah lengan atas.

Tebal lipatan kulit menunjukkan akumulasi lemak di bawah kulit (sub kutan). Hamada et al. (2003) menyatakan bahwa ketebalan lipatan kulit berhubungan dengan persentase massa lemak tubuh. Lebih jauh dinyatakan pula lemak cendrung diakumulasikan pada jaringan di bawah kulit daripada di dalam jaringan tubuh bagian dalam. Koganezawa (1995) menyatakan bahwa peningkatan massa lemak pada monyet jepang (M. fuscata) awalnya terjadi pada lemak penggantung usus (omentum majus), kemudian sekitar ginjal, dan akhirnya lemak subkutan. Penurunan massa lemak dimulai dengan urutan sebaliknya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penimbunan lemak di bawah kulit terjadi setelah bobot badan melebihi 7 kg. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan tebal lipatan kulit yang nyata terjadi pada kelompok monyet yang ada di Uluwatu dan Ubud. Bila dibandingkan dengan M. fuscata, Hamada et al.

(2003) menyatakan bahwa akumulasi lemak di bawah kulit pada M. fuscata

jantan mulai terjadi saat bobot badan mencapai 12 kg.

Monyet yang ada di daerah pariwisata dan pura di Bali banyak mendapat makanan sisa persembahan dan tergolong dalam makanan olahan. Di samping itu, pengunjung juga biasa memberi makan monyet-monyet yang ada di kawasan wisata tersebut. Pengunjung ke daerah wisata Uluwatu dan Ubud dapat melebihi 800 orang/hari (komunikasi pribadi dengan pengelola). Makanan olahan lebih tinggi indeks glikemiknya dibandingkan dengan makanan segar. Makanan dengan indeks glikemik yang tinggi berperan dalam peningkatan asupan pakan

dan obesitas (Teff 2005). Makanan tersebut lebih cepat dicerna dan

meningkatkan glukosa darah dibandingkan dengan makanan dengan indeks glikemik rendah. Dengan demikian, makanan olahan ini diduga sangat berperan dalam terjadinya obesitas pada monyet ekor panjang yang banyak ditemukan di Bali. Walaupun demikian, aktivitas sangat berperan dalam terjadinya obesitas. Sullivan et al. (2006) menyatakan bahwa aktivitas merupakan faktor utama yang berperan dalam perubahan bobot badan. Sebaliknya, penelitian mereka menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara asupan pakan dengan

pertambahan bobot badan pada M. mulatta.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pakan tetap berperan dalam terjadinya obesitas. Variasi obesitas muncul akibat dari adanya perbedaan dalam masuknya kalori yang ditentukan oleh perbedaan dalam asupan pakan dan atau efisiensi penyerapan nutrien. Astuti et al. (2007) menyatakan pakan dengan kandungan energi sebesar 2.42 Kal/kg bobot badan dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan nutrien pada monyet ekor panjang. Namun, hal yang menyangkut efisiensi nutrien mungkin sangat kompleks dan melibatkan pemrosesan nutrien melalui saluran pencernaan, metabolisme energi dan efisiensi dalam penyimpanan lemak.

Umur juga berperan dalam kejadian obesitas pada monyet ekor panjang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak ditemukan monyet muda yang mengalami obesitas. Di lain pihak, obesitas pada manusia dapat terjadi pada anak-anak (Hainerová et al. 2007). Selain umur, cekaman juga berpengaruh

pada obesitas. Pada monyet bonnet (M. radiata) remaja ditemukan kejadian obesitas (Kaufman et al. 2007), karena pengaruh perlakuan cekaman (variasi pakan) pada masa awal kehidupan monyet tersebut. Cekaman pakan mengganggu perkembangan saraf dan dapat menyebabkan obesitas.

Kriteria obesitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah IMT yang ditentukan menurut Kaufman et al. (2005). Namun berdasarkan penelitian ini, IMT saja belum cukup. Beberapa monyet yang berasal dari Baluran, walaupun IMTnya melebihi 30 kg/m2, tebal lipatan kulit perutnya masih rendah bahkan relatif lebih rendah dari monyet asal Palembang. Dengan demikian, tebal lipatan kulit perut perlu diperhatikan dalam penentuan status obesitas monyet. Berdasarkan data penelitian ini, 89% (25/28) dari monyet yang mengalami obesitas memiliki tebal lipatan kulit perut yang melebihi 5 mm. Di samping itu, lingkar pinggang juga perlu dipertimbangkan menjadi kriteria obesitas pada monyet oker panjang.

Berdasarkan analisis komponen utama, ada tiga parameter fenotipe yang berperan dalam kejadian obesitas pada monyet ekor panjang yaitu: indeks massa tubuh (IMT), tebal lipatan kulit perut (LPi) dan lingkar pinggang (LPi). Berdasarkan data penelitian ini, monyet ekor panjang dapat digolongkan ke dalam monyet gemuk dan sangat gemuk. Monyet yang tergolong gemuk mempunyai IMT (30-46 kg/m2), tebal lipatan kulit perut (5-30 mm) dan lingkar pinggang (39-60 cm). Monyet yang mempunyai ukuran melebihi kisaran tersebut di atas digolongkan ke dalam monyet yang sangat gemuk.

Polimorfisme MC4R

Mutasi MC4R pada manusia sebanyak lebih dari 70 mutasi (Tao, 2005) dan menyebabkan terjadinya obesitas. Walaupun demikian, tidak semua mutasi yang ditemukan selalu menyebabkan obesitas karena ada penelitian yang tidak menunjukkan adanya asosiasi antara mutasi MC4R dengan obesitas seperti yang ditemukan Gotoda et al. (1997) bahwa mutasi V103I pada laki-laki Inggris tidak ada hubungannya dengan obesitas.

Hasil yang diperoleh pada penelitian menunjukkan ada 13 mutasi nonsinonim yang ditemukan pada MC4R monyet ekor panjang. Secara umum, mutasi terjadi pada monyet gemuk dan tidak gemuk. Walaupun demikian, jenis mutasi yang terjadi tidaklah semuanya sama pada monyet gemuk dan monyet tidak gemuk. Ada 5 jenis mutasi yang terjadi pada monyet gemuk, 6 jenis terjadi

pada monyet yang tidak gemuk, dan 2 jenis terjadi baik pada monyet gemuk maupun tidak gemuk (Lampiran 5). Hasil ini menunjukkan bahwa ekspresi fenotipe obesitas bergantung pada jenis (tipe) mutasi. Monyet pembawa mutasi tetapi tidak gemuk mungkin disebabkan oleh mekanisme lain yang mempengaruhi ekspresi mutan ini. Di samping itu, kemungkinan monyet ini membawa varian lain (misalnya varian gen leptin).

Mutasi MC4R ditemukan di daerah sitosol (intrasel), ektrasel, dan membran plasma (Gambar 24). Mutasi pada ujung NH3+ (ekstrasel) dari MC4R dianggap sangat berpengaruh karena ujung ini sangat penting untuk aktivitas reseptor dan berperan dalam penerimaan sinyal (Srinivasan et al. 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa mutan di daerah ini belum pernah ditemukan pada manusia yang tidak gemuk. Mutan Asn3His ditemukan pada monyet gemuk asal Alas Purwo. Perubahan asam amino menjadi His (histidin) akan mempengaruhi struktur sekunder protein (Li dan Li 2006) sehingga konfigurasi protein akan berubah dan mengakibatkan perbedaan fungsi biologi.

Gambar 24 Situs mutasi pada MC4R monyet ekor panjang. Situs mutasi nonsinonim dilengkapi dengan hurup yang menunjukkan perubahan asam amino, sedangkan situs mutasi sinonim hanya ditunjukkan dengan angka. E1, E2, dan E3 adalah lengkung ektrasel. C1, C2, C2 adalah lengkung sitosol/intrasel

V253A V255G N3H G233A R236P I245N L250P L263P H264P C271W L300R L328W S329A 173 230 295 309 318 329 55 Ektrasel Membran plasma Sitosol/ intrasel E1 E2 E3 C1 C2 C3

64

Aktivitas MC4R juga ditentukan oleh lengkung C3 dan ujung COO-. Ke dua

bagian ini berperan dalam interaksi MC4R dengan protein G dalam mengaktifkan adenilat siklase (Lodish et al. 2004). Mutasi yang terjadi di daerah ini juga diduga sebagai penyebab tidak berfungsinya MC4R. Bagian lain dari MC4R bukan berarti tidak penting tetapi merupakan suatu kesatuan utuh supaya dapat berfungsi dengan sempurna.

Peranan MC4R dalam menghantarkan sinyal kekenyangan, melibatkan proses pengaktifan adenilat siklase. Ujung ekstrasel MC4R akan menerima sinyal dari a-MSH sehingga MC4R menjadi aktif. MC4R aktif akan akan mengaktifkan protein G. Sub unit a

protein G mengikat guanosin trifosfat (GTP) dan mengalami pemisahan yang kemudian berikatan dengan enzim adenilat siklase. Adenilat siklase aktif akan mengkatalisis perubahan ATP menjadi cAMP dan fosfat. Dengan demikian, proses ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP (cyclic adenosin monophosphate) di dalam sel. Selanjutnya, cAMP ini akan mengaktifkan molekul lain seperti protein kinase A untuk memfosforilasi protein (peptida) sehingga bisa masuk ke dalam sel (Lodish et al. 2004).

Hasil penyejajaran urutan yang diperoleh dalam penelitian ini dengan

urutan yang diperoleh di GenBank (Lampiran 1) menunjukkan bahwa ada mutasi

yang terjadi pada seluruh individu yakni pada posisi 499A/G dan 993G/A. Mutasi yang pertama adalah bersifat nonsinonim, sedangkan yang ke dua bersifat sinonim. Mutasi nonsinonim menyebabkan perubahan asam amino Arg167Gly. Dengan demikian, hal ini dapat dijadikan ciri khas pada monyet ekor panjang yang ada di Indonesia, walaupun masih perlu pembuktian yang lebih luas dengan melibatkan sampel dari daerah lainnya.

Berbagai asumsi diungkapkan dalam menjelaskan kejadian obesitas ini. Pertama, asumsi bahwa variasi adipositas terjadi secara epigenetik yang melibatkan mekanisme metilasi kromatin. Epigenetik didefinisikan sebagai tidak adanya perubahan genetik tetapi menyebabkan terjadinya perubahan fenotipe. Kemungkinan perubahan terjadi tergantung pada lingkungan yang berifat obesogenik, saat puncak proliferasi jaringan adiposa setelah lahir, atau kandungan lemak diet mendekati 55 Kkal%. Kedua, perbedaan epigenetik di antara individu terjadi secara stokastik pada setiap tahap perkembangan dan konsekuensi dari variasi menjadi bukti pada kondisi yang cocok. Walaupun demikian masih ada kemungkinan lain apakah karena pengaruh epigenetik atau adanya perubahan pada daerah pengatur (upstream) dari gen yang berkaitan

dengan obesitas (Koza et al. 2006). Kejadian epigenetik ini dapat menjelaskan bahwa banyak monyet yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan gejala obesitas tetapi tidak menunjukkan mutasi pada MC4R. Selain itu, kejadian ini tidak terlepas dari kemungkinan pengaruh gen lainnya.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa gen sangat berperan dalam terjadinya obesitas. Gen kelaparan/hemat (thrifty gene) dianggap berperan dalam terjadinya obesitas pada manusia maupun hewan. Pada manusia, gen ini dianggap sebagai hasil seleksi selama sejarah perkembangan manusia.

Kelangsungan hidup (survival) manusia selama evolusi bergantung pada usaha

untuk mendapatkan makanan, yang pada gilirannya bergantung juga pada aktivitas fisik. Walaupun demikian, ketersediaan makanan tidak pernah konsisten. Jadi, dapat dikatakan bahwa pemburu jaman dahulu memiliki siklus berpesta dan kelaparan, yang disela dengan periode aktivitas fisik dan istirahat. Oleh karenanya, seleksi gen kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan istirahat. Untuk meyakinkan kelangsungan hidup selama periode kelaparan, gen tertentu berkembang untuk mengatur asupan dan pemanfaatan sumber energi secara efisien. Gen semacam ini disebut gen kelaparan/hemat (thrifty gene) sejak 1962. Lebih jauh, bukti yang meyakinkan memperlihatkan bahwa gen kuno ini tetap tidak berubah lebih dari 10 000 tahun dan tentunya tidak berubah dalam 40-100 tahun terakhir. Walaupun asupan kalori manusia modern nampaknya lebih rendah dibandingkan dengan leluhurnya, keseimbangan kalori positif pada mayoritas populasi orang dewasa terutama oleh meningkatnya gaya hidup santai dalam masyarakat sekarang. Kombinasi kelimpahan makanan dan ketidakaktifan fisik yang berkelanjutan dapat menghilangkan siklus biokimia yang terprogram secara evolusi yang berasal dari siklus pesta-kelaparan dan siklus aktivitas-istirahat. Kombinasi tersebut pada gilirannya mengakhiri siklus proses metabolik tertentu, akhirnya menyebabkan gangguan metabolik seperti obesitas dan DM tipe 2. Identifikasi kandidat gen kelaparan ini akan membantu pengungkapan proses patogenetik berbagai kelainan yang berhubungan dengan aktivitas fisik (Chakravarthy dan Booth 2004).

Hipotesis fenotipe thrifty juga dijelaskan oleh Hales dan Barker (2001). Keadaan malnutrisi pada masa janin dan bayi akan mengarah ke obesitas. Keadaan ini diawali dengan penghematan nutrisi semasa bayi yang berdampak pada perkembangan organ tubuh tetapi ada perlindungan terhadap perkembangan otak. Pertumbuhan tersebut yang berlangsung secara permanen

akan mengubah struktur dan fungsi tubuh. Sekresi insulin yang tidak baik tidak merusak individu yang terus mendapat nutrisi jelek. Individu tersebut akan tetap kurus dan insulinnya menjadi peka. Ketidaktoleranan glukosa akan dipicu oleh keseimbangan kalori positif sebagai akibat dari meningkatnya asupan pakan dan menurunnya penggunaan energi. Hal ini akan mengarah pada obesitas.

Di lain pihak, Chiang et al. (2009) menemukan gen (IKK e) pada tikus yang berperan dalam mengatur keseimbangan energi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa tikus yang dihilangkan gen IKKe-nya tidak akan menjadi gemuk walaupun diberikan makanan dengan kandungan lemak yang tinggi. Tikus tersebut memperlihatkan peningkatan penggunaan energi dan termogenesis. Disamping itu, terjadi perubahan protein enzim pengatur yang terlibat di dalam metabolisme glukosa dan lipid.

Hubungan Kegiatan Konservasi dengan Monyet Gemuk

Monyet ekor panjang yang hidup di Ubud dan Uluwatu (Bali) sangat dilindungi dan dianggap duwé (milik Tuhan) oleh masyarakat setempat. Sikap masyarakat seperti ini sangat berperan dalam konservasi monyet ekor panjang di daerah tersebut. Manajemen pengelolaan pada daerah tersebut juga berperan. Pihak pengelola kawasan memberikan pakan tambahan kepada monyet ekor panjang misalnya: buah-buahan, daun pepaya, ketela rambat, telur dan lain-lain. Selain itu, pemanfaatan lokasi tersebut sebagai obyek wisata sangat menunjang konservasi monyet ekor panjang. Banyaknya wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut sangat berperan juga. Rata-rata jumlah wisatawan yang berkunjung ke masing-masing kawasan tersebut mencapai 800 orang/hari. Pengunjung biasanya memberikan pakan pada monyet. Selain wisatawan, umat Hindu setiap hari melakukan persembahan di pura yang ada di lokasi tersebut. Sampah sisa persembahan merupakan sumber pakan bagi monyet. Monyet juga sering mengambil kue ataupun buah-buahan yang ada pada persembahan. Monyet juga mendapat pakan dari alam. Di Ubud, monyet sering memanfaatkan tanaman pertanian yang ada di sekitar kawasan sebagai sumber pakannya. Semua hal tersebut di atas merupakan faktor pendukung ketersediaan pakan bagi monyet di kawasan tersebut. Dengan demikian, usaha konservasi yang dilakukan di ke dua daerah tersebut sangat menunjang terjadinya obesitas pada monyet ekor panjang.

Dokumen terkait