• Tidak ada hasil yang ditemukan

PULAU TARAKAN Pendahuluan

7. PEMBAHASAN UMUM

Keberadaan ikan pepija di perairan Pulau Tarakan berkaitan dengan faktor lingkungan secara alami maupun perubahan faktor lingkungan akibat aktifitas manusia. Faktor lingkungan dengan parameter fisika (suhu, kecerahan, kecepatan arus dan pasang surut) kimia (DO, salinitas, pH) perairan dan aktivitas manusia melalui degradasi habitat serta intensitas penangkapan mempengaruhi populasi ikan pepija baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterkaitan populasi ikan pepija dengan faktor lingkungan telah dikaji dalam penelitian ini meliputi: distribusi spasial dan temporal, makan alami, pertumbuhan dan laju eksploitasi serta reproduksi (nisbah kelamin, ukuran ikan pertama kali matang gonad, musim dan tempat pemijahan, tipe pemijahan dan potensi reporoduksi) ikan pepija. Bentuk keterkaitan parameter lingkungan dan aktifitas manusia dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Keterkaitan parameter lingkungan dan aktifitas manusia sebagai dasar pengelolaan ikan pepija

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa fluktuasi populasi ikan pepija dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan aktifitas manusia (Gambar 21). Fluktuasi parameter lingkungan (Tabel 1) terutama pasang surut, kecepatan arus, suhu dan saliinitas serta sifat biologi terutama aktifitas reproduksi berpengaruh terhadap keberadaan dan pola ruaya ikan pepija. Adanya populasi ikan pepija di perairan Pulau Tarakan yang bernilai ekonomis merangsang nelayan untuk melakukan penangkapan yang intensif. Selain itu aktifitas manusia dalam mengkonversi mangrove sebagai habitat udang yang berperan sebagai makanan utama ikan pepija turut memberikan andil dalam menurunkan populasi ikan pepija, akibat berkurangnya ketersedian makanan sehingga berdampak pada rendahnya pertumbuhan ikan pepija. Pertumbuhan yang rendah memperlambat ukuran pertama kali matang gonad sehingga pemulihan stok ikan pepija juga menjadi lambat. Hal ini diakibatkan waktu yang dibutuhkan ikan pepija untuk mencapai ukuran dewasa dibutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini bisa dibuktikan dengan membandingkan nilai koefiesien pertumbuhan ikan pepija di perairan Pulau Tarakan yang lebih rendah (0.38 per tahun untuk jantan dan 0.51 per tahun untuk betina) dibandingkan dengan ikan yang sama di Saurashta dan Mumbai India serta perairan Banglades masing-masing sebesar (0.762; Khan et al. 1992 dan 0.749; Khan, 1989) ( 0.85 per tahun; Balli, 2011) ( 1.50 per tahun; Amin, 2011). Pemulihan stok yang lambat ditambah aktifitas penangkapan yang meningkat dapat mengancam kelestarian populasi ikan pepija.

Terancamnya kelestarian ikan pepija di perairan Pulau Tarakan dapat dibuktikan dengan melihat indikasi tingkat eksploitasi yang sudah berada pada angka 0.80, yang berarti sudah lebih besar dari batas optimal sebesar 0.50. Selain itu hasil studi pustaka menunjukkan bahwa ukuran ikan pepija pertama kali matang gonad cenderung mengecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan ukuran ikan pepija pertama kali matang gonad di perairan Tarakan sebesar 218 mm sedangkan spesies yang sama di perairan India yang didapatkan oleh Karinkar (1952) dan Khan (1992), masing-masing sebesar 240 dan 244 mm. Percepatan waktu reproduksi pada ikan, merupakan suatu indikator adanya tekanan populasi terhadap ikan tersebut.

Berdasarkan fakta empiris di atas maka pengelolaan terhadap ikan pepija di perairan Pulau Tarakan perlu sesegera mungkin dilaksanakan. Pengelolaan ikan pepija ini dapat mengambil acuan dari sifat ekobiologinya dengan fakta-fakta yang sudah dipaparkan di bagian bab 2 – bab 6 sebagai informasi dasar dalam pengelolaan berkelanjutan.

Untuk dapat mempertahankan dan kemudian memulihkan stok sumberdaya ikan pepija di perairan Pulau Tarakan maka harus ada upaya pengelolaan. Upaya pengelolaan ini harus mencakup aspek sumberdaya ikan, habitat, penangkapan, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Bentuk-bentuk upaya pengelolaan ini dapat menganut prinsip pengelolaan ikan yang ramah lingkungan sehingga harus diterapkan kebijakan berupa:

• Penutupan Musim Penangkapan Ikan • Penutupan daerah penangkapan ikan • Selektivitas alat tangkap

• Pelarangan alat tangkap • Kuota penangkapan ikan

Pengaturan Musim Penangkapan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan pepija bersifat total spawner. ikan pepija tidak memijah sepanjang tahun, tetapi hanya dalam waktu tertentu, sehingga musimnya sudah pasti dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Berdasarkan sebaran ikan yang telah matang gonad (TKG IV) maka dapat dinyatakan bahwa ikan pepija memijah dua kali setahun yakni bulan Juni – Agustus dan Desember – Februari. Puncak pemijahan terjadi bulan Desember sampai Januari. Dengan demikian pentupan penangkapan dapat diberlakukan pada waktu puncak pemijahan yakni pada bulan Desember. Penutupan musim penangkapan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada ikan pepija untuk memperbanyak stok populasi melalui pemijahan.

Penutupan Daerah Penangkapan

Berdasarkan data eksperimental fishing dan perhitungan laju tangkap serta sebaran ikan pepija yang TKG IV, memberikan gambaran bahwa perairan Tarakan mulai dari Tanjung Simaya sampai Tanjung Juata merupakan daerah penyebaran dan sekaligus menjadi daerah penangkapan ikan pepija pada saat pasang perbani (air mati). Pasang perbani di perairan Tarakan terjadi, bertepatan dengan tanggal 7 – 10 dan tanggal 21 – 24 setiap bulannya pada penanggalan Qomariah. Hasil wawancara dengan nelayan menyatakan bahwa kepadatan ikan yang tinggi terjadi pada hari kedua dan ketiga penangkapan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemulihan populasi ikan pepija dihubungkan dengan ikan yang telah matang gonad (TKG IV) maka penutupan sementara daerah penangkapan (fising ground) ikan mulai dari perairan Tanjung Selayu (117.35 BT) sampai Tanjung Juata (117.25 BT) di bulan Desember.

Selektivitas alat tangkap

Hasil perhitungan sampel ikan yang tertangkap, menunjukkan bahwa 73.65 % ikan pepija yang tertangkap masih juwana. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap pukat hela yang digunakan oleh nelayan dengan ukuran mata jaring sebesar 5.0 : 5.0 : 2.5 cm masing-masing pada bagian sayap, badan dan kantong kurang selektif. Penentuan ikan yang boleh ditangkap didasarkan pada ikan yang telah mampu melakukan reproduksi untuk regenerasi atau kelangsungan keturunannya. Oleh karena itu, ikan yang boleh ditangkap adalah yang memiliki ukuran panjang standar lebih besar 221 mm dengan tinggi badan 31mm. Oleh karena itu, untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap maka ukuran mata jaring harus diperbesar yang dapat meloloskan ikan yang masih berukuran juwana.

Pengelolaan ini dapat dilakukan dengan menerapkan secara bersamaan atau satu-satu. Dengan mempertimbangkan sifat biologi terutama pola reproduksinya yang bersifat total spawner dengan puncak pemijahan pada bulan Desember – Januari, maka upaya pengendalian penangkapan ikan pepija dapat dilakukan dengan penutupan sementara daerah penangkapan ikan mulai dari perairan Tanjung Selayu (117.35 BT) sampai Tanjung Juata (117.25 BT). Penutupan selama satu hari khususnya pada hari ketiga penangkapan di bulan Desember saja maka dapat mengurangi mortalitas akibat penangkapan sebesar 21.116 kg/tahun. Nilai ini merupakan akumulasi dari 200 perahu nelayan yang menggunakan pukat hela (DKP Kota Tarakan, 2012) yang beroperasi di perairan

Pulau Tarakan dikalikan dengan rata-rata laju tangkap selama setahun sebesar 26.40 kg/jam yang beroperasi selama empat jam perhari. Susilowati (2012) menyatakan bahwa dalam penyusunan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem. Hal ini sejalan dengan metode pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem yang mempertimbangkan beberapa domain yaitu aspek sumberdaya, habitat, teknik penangkapan, aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek kelembagaan. Prioritas dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan dengan melakukan pemulihan dan menjaga kondisi tempat hidup (habitat) ikan; membuat kebijakan pengelolaan perikanan yang disesuaikan dengan nilai budaya masyarakat; dan membuat basis data tentang keterangan jenis-jenis ikan yang ditangkap. Penutupan daerah penangkapan selama satu hari saja sangat berarti bagi pemulihan stok populasi ikan pepija yang telah mengalami gejala tangkap lebih. Penerapan aturan penutupan daerah penangkapan ini akan berhasil jika adanya sosialisasi yang intens kepada nelayan- nelayan ikan pepija tentang maksud dan tujuannya serta manfaat yang nantinya didapatkan jika aturan ini diterapkan dan bagaimana dampaknya jika penangkapan saat ini tidak diterapkan. Kebijakan pengelolaan ikan pepija ini telah mendapat dukungan dari pemerintah daerah dengan di diterbitkannya Peraturan Gubernur Kalimantan Utara No. 26/2014 tentang pengelolaan ikan pepija di wilayah perairan Kalimantan Utara. Adapun isi peraturan Gubernur tersebut meliputi: pelarangan kegiatan penangkapan ikan didaerah perlindungan, Spesifikasi kapal penangkap ikan, Zonasi jalur IB: 2 – 4 mil laut dan jalur II: 4 – 12 mil laut dan Izin penangkapan. Setelah aturan ini diterapkan, maka harus diikuti dengan pengawasan dari beberapa instansi yang terkait. Pengawasan terhadap perairan ini, tidaklah terlalu sulit mengingat daerah yang dimaksudkan relatif tidak terlalu luas.

8.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait