• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Ekobiologi Ikan Pepija (Harpadon Nehereus, Ham 1822) Sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Ekobiologi Ikan Pepija (Harpadon Nehereus, Ham 1822) Sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Hamilton 1822) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN

BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PULAU TARAKAN

A S B A R L A G A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “ Kajian Ekobiologi Ikan Nomei (Harpadon nehereus. Ham. 1822) sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)
(5)

1822) sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan. Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI, ISMUDI MUCHSIN, dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

(6)

memeriksa gonad dan isi lambung dengan cara mengeluarkannya, diidentifikasi dan diukur beratnya untuk gonad dan dihitung jumlah dan frekuensi kehadiran serta diukur beratnya dari masing- masing jenis makanan pada semua ikan sampel.

Hasil penelitian menunjukan bahwa parameter fisika dan kimia perairan yang berfluktuasi secara nyata adalah: suhu, kecepatan arus, dan salinitas dengan fluktuasi paling besar adalah pasang surut dan kecepatan arus. Distribusi ikan pepija di perairan P. Tarakan berkaitan dengan pasang surut, ikan ini hanya ditemukan pada saat pasang perbani pada tanggal 7, 8, 9 dan 10 bulan Qomariah. Ikan pepija bergerak dari perairan Tj Simaya (st 1 pada tanggal 7) ke Tj Selayu (st 2 pada tanggal 8), ke perairan antara Tj Selayu dan Tj Juata pada tanggal 9 dan tanggal 10 di perairan Tj Juata. Distribusi ikan pepija dengan laju tangkap tertinggi pada bulan Desember dan Januari dengan laju tangkap sebesar 75.56 - 77.37 kg/jam dan rendah pada bulan April hanya 7.41 kg/jam.

Persentase ikan dengan lambung berisi makanan relatif tinggi antara 60.49 % – 90.31 %, tertinggi saat curah hujan rendah dan rendah saat curah hujan tinggi. Variasi makanan tidak banyak berubah sepanjang tahun tetapi komposisinya yang berfluktuasi. Ikan pepija bersifat karnivora dengan kelompok udang sebagai makanan utama dan kelompok ikan sebagai makanan tambahan. Ikan sebagai makanan utama di stasiun satu (Tj. Simaya), udang sebagai makanan utama di stasiun dua (Tj. Selayu) dan tiga (Tj. Juata).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ikan pepija bersifat allometrik negatif. Nilai L∞ ikan jantan dan betina sama yakni 278.78 mm dan t0 pertahun masing-masing sebesar -0,17 dan -0,23. Nilai koefisien pertumbuhan untuk

jantan dan betina sebesar 0.38 dan 0.51. Hasil pengukuran pada ikan pepija didapatkan ukuran ikan terkecil yang berhasil ditangkap pada selang kelas 128 – 139 mm. Berdasarkan bulan pengamatan, fluktuasi nilai faktor kondisi untuk ikan betina berkisar antara 0.84 – 1.10 dan 0.81 – 1.06 untuk jantan, sedangkan apabila dilihat berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan faktor kondisi juga bervariasi antara 0.93 – 0.99 pada jantan dan 0.94 – 0.98 pada betina. Tingkat eksploitasi di ketiga stasiun pengamatan sudah mengalami tangkap lebih dengan eksploitasi tertinggi di stasiun tiga yakni 0.81, dengan demikian tingkat eksploitasi ikan pepija di perairan Pulau Tarakan sudah mengalami tangkap lebih.

Secara umum rasio antara jantan betina adalah 1 : 0.93Ukuran pertama kaliPemijahan ikan terjadi dua kali dalam setahun, yakni bulan Juni – Agustus dan Desesember - Januari dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Desember sampai Januari di perairan antara Tj. Simaya sampai dengan Tj. Juata. Tipe pemijahan ikan pepija bersifat total spawning dengan nilai fekunditas berkisar antara 3.659 – 72.847 butir.

Untuk dapat mempertahankan dan kemudian memulihkan stok sumberdaya ikan pepija di perairan Pulau Tarakan yang sudah mengalami tangkap lebih maka harus ada upaya pengelolaan. Upaya pengelolaan meliputi pengaturan musim dan daerah penangkapan ikan, pengaturan selektivitas alat tangkap, pelarangan penggunaan alat tangkap yang destruktif dan kuota penangkapan.

(7)

nehereus, Hamilton 1822) as the Sustainable Management Basics in the Tarakan Island Waters. Supervised by RIDWAN AFFANDI, ISMUDI MUCHSIN, and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Bombay-duck (Harpadon nehereus, Hamilton 1822) is a member of the Synodontidae family, which local name was known as the nomei fish. This fish is one of the important economically valuable, became an excellent product and special gift of the Tarakan city. This matter might pushed the intensive catching of this fish so affected the increasing of population pressure. This condition became acute because is the same time the environmental degradation was happened. Based on the trend of capture is increased progressively and fish size to be smaller, hence the management to the fish must be carried. This management policies must be supported by scientific judgment in the form of accurate data about the nature biology, habitat, reproductive ecology, distribution and environmental factors.

(8)

gonads attendance and weighed each type of food to arround samples.

The results showed that physical and chemical of water parameters fluctuate significantly were temperature, current velocity, and salinity. According to water quality parameters, current velocity has the greatest difference between high and low tide. Fish distribution in the Tarakan island waters was associated with the tides where found only in the neap tide on 7, 8, 9 and 10 of Qomariah dates. Bombay-duck fish migrated from the Tanjung Simaya (station 1) on the 7th towards Tanjung Selayu waters (station 2) on the 8th, leaded between Tanjung Selayu and Juata waters on the 9th and 10th in the Tanjung Juata waters. The highest catch rate was occurred in December and January was accounted 75.56 - 77.37 kg/h, meanwhile the lowest and low in April was 7.41 kg/h only.

The percentage of of fish that its gastric contained food was high relatively between 60.49% - 90.31%. The highest occurred in lower rainfall, meanwhile the lowest in the higher rainfall. Food variety did not change much throughout the year but the composition fluctuates. Bombay-duck fish was carnivorous with shrimp as the main food and fish groups as additives food. Fish as a main food was found in station 1 (Tj. Simaya), 2 (Tj. Selayu) and 3 (Tj. Juata).

Based on the results of this study, it can be concluded that Bombay-duck fish growth was allometric negative. L∞ of male and female were similar, 278.78 mm and y t0 were -0.17 and -0.23 per year, respectively. Growth coefficient of males and

females were 0.38 and 0.51, respectively. The smallest of fish catch was about 128-139. Based on observation time, the fluctuation of factor condition to female ranged between 0.84 - 1.10, while to male was 0.81 - 1:06. Whereas on observation station, 0.93-0.99 to male and 0.94 - 0.98 to female. The exploitation rate in the three observation stations was overexploitation where the highest exploitation was 0.81 so it can be concluded that the exploitation of bombay-duck fish in the Tarakan Island waters was overexploitation status.

Generally, the ratio between male and female was 1: 0.93. Spawning season occured twice in a year, i.e. June to August and December to January with peak season in December and January that happened between Tj. Simaya towards Tj. Juata. Spawning type was total spawning where fecundity values ranged between 3659-72847 grains.

To be able to maintain and then restore the fish stock in the Tarakan Island waters that has reached overexploitation status, so it should be a management efforts. Management efforts included the closure of the fishing season, the closure of fishing areas, the selectivity of fishing gear, the banning of fishing gear, fishing quotas, and control of fishing effort.

(9)

© Hak Cipta IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN PEPIJA, Harpadon nehereus

(Hamilton 1822) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN

BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PULAU TARAKAN

A S B A R L A G A

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir Bambang Widigdo

Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, MSc Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir Bambang Widigdo

(13)
(14)
(15)

Pepija,Harpadon nehereus(Ham. 1822) sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Dalam proses penyusunan disertasi ini, penulis dihadapkan pada berbagai permasalahan, namun berkat usaha dan dukungan serta arahan dari pembimbing maka draf disertasi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada Penulis. 2. BPPS DIKTI yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama perkuliahan.

3. PEMDA KALTIM DAN PEMKOT TARAKAN yang telah memberikan bantuan penelitian.

4. Prof. Dr Ir Ridwan Affandi, DEA, Prof. Dr Ismudi Muchsin, dan Dr Ir Mohammad Mukhlis Kamal, selaku dosen pembimbing dan Dr. Ir Bambang Widigdo, Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, MSc serta Dr. Ir Abd Jabarsyah. MSc selaku dosen Penguji yang telah memberikan arahan, nasehat dan saran untuk penulis dalam penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada rekan-rekan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UBT atas fasilitasi dan bantuannya selama penelitian.

5. Keluarga penulis, Bapak H. Laga Sikki (Alm), Ibu Hj. Lammani (Alm), Istri Nuru, Anak Alya Rihadatul Aisya dan Afifah Qirani Azzahrah, dan seluruh kakak Penulis yang telah memberikan banyak motivasi, doa, dan dukungan kepada Penulis baik moril maupun materil.

6. Teman seangkatan di Prodi SDP (Indra G Yudha, Haryono, Lukman, Meria T Gundo dan Eva Girsang) atas kerjasama dan motivasi

7. Adik-adik mahasiswa MSP IPB angkatan 2010 atas bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga diharapkan kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan. Demikian disertasi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(16)
(17)

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kebaharuan Penelitian 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 4

Ikan pepija 4

Makanan 5

Pertumbuhan 6

Reproduksi 7

Ekobiologi 8

Pengelolaan 10

3. DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL IKAN PEPIJA (Harpadon

nehereus Hamilton, 1822) DI PERAIRAN PULAU TARAKAN 12

Pendahuluan 12

Bahan dan Metode 12

Waktu dan Tempat Penelitian 12

Prosedur Penelitian 13

Analisa Data 14

Hasil 14

Kualitas Perairan 14

Hasil Tangkapan 18

Pembahasan 19

Kualitas Perairan 19

Hasil Tangkapan 22

Kesimpulan 23

4. MAKAN ALAMI IKAN PEPIJA (Harpadon nehereus Hamilton, 1822) DI PERAIRAN PULAU TARAKAN

24

Pendahuluan 24

Bahan dan Metode 24

Waktu dan Tempat Penelitian 24

Prosedur Penelitian 25

Analisa Data 25

Hasil 26

Aktivitas Makan 26

Tingkat Konsumsi Makanan 27

Pembahasan 30

Tingkat Konsumsi Makanan 30

Kesimpulan 32

5. PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN PEPIJA (Harpadon

(18)

Prosedur Penelitian 34

Analisa Data 34

Penentuan Kelompok Ukuran Panjang 35

Hasil 36

Hubungan Panjang dan Berat 36

Faktor Kondisi 38

Pertumbuhan Populasi 39

Pertumbuhan Asimtot 41

Laju Eksploitasi 41

Pembahasan 42

Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi 42

Koefisien Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi 43

Kesimpulan 45

6. REPRODUKSI IKAN PEPIJA (Harpadon nehereus Hamilton, 1982) DI

PERAIRAN PULAU TARAKAN 46

Pendahuluan 46

Bahan dan Metode 46

Waktu dan Tempat Penelitian 46

Prosedur Penelitian 46

Analisa Data 47

Penentuan Kelompok Ukuran Panjang 48

Hasil 49

Tingkat Kematangan Gonad 49

Indeks Kematangan Gonad 54

Nisbah Kelamin 56

Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad 57

Sebaran Diameter Telur 57

Fekunditas 58

Pembahasan 59

Nisbah Kelamin 59

Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad 59

Musim Pemijahan 60

Tempat Pemijahan 60

Tipe Pemijahan 61

Potensi Reproduksi 61

Kesimpulan 62

7. PEMBAHASAN UMUM 63

Pengaturan Musim Penangkapan 65

Penutupan Daerah Penangkapan 65

Selektifitas Alat Tangkap 65

8. KESIMPULAN 67

Kesimpulan 67

(19)

1 Data parameter fisika, kimia dan curah hujan di perairan Pulau Tarakan

15

2 Laju tangkap (kg/jam) ikan nomei berdasarkan waktu dan tempat penangkapan di Perairan Pulau Tarakan

18

3 Persentase ikan dengan lambung berisidan tingkat konsumsi makanan relatif ikan pepija (H. nehereus) di perairan Pulau Tarakan,

Kalimantan Utara

27

4 Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan waktu pengamatan 27 5 Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan stasiun pengamatan 28 6 Hubungan panjang berat ikan nomei berdasarkan stasiun pengamatan 37 7 Parameter pertumbuhan K, L∞ dan to ikan nomei 41 8 Parameter pertumbuhan dan laju eksploitasiikan pepija 42

9 Nisbah kelamin berdasarkan waktu pengamatan 56

10 Nisbah kelamin berdasarkan stasiun pengamatan 57

(20)

1 Harpadon nehereus 4 2 Stasiun pengambilan contoh ikan di perairan pulau Tarakan: Stasiun 1: Tj

Simaya, Stasiun 2: Tj Selayu dan Stasiun 3: Tj Juata

13

3 Fluktuasi suhu bulanan di setiap stasiun di perairan Tarakan 16 4 Fluktuasi Kecepatan arus bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan 17 5 Fluktuasi salinitas bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan 18 6 Rata-rata laju tangkap ikan pepija berdasarkan stasiun dan waktu

penangkapan

19

7 Daerah penyebaran ikan pepija berdasarkan waktu penangkapan 20 8 Diagram komposisi IRP makanan berdasarkan waktu pengamatan 29 9 Diagram komposisi IRP makanan berdasarkan stasiun pengamatan 30 10 Perbandingan ukuran ikan pepija yang tertangkap di ketiga stasiun

pengamatan

38

11 Faktor kondisi jantan dan betina berdasarkan waktu pengamatan 39 12 Frekuensi ukuran ikan pepija berdasarkan selang kelas di perairan Pulau

Tarakan

40

13 Pola pertumbuhan ikan pepija di perairan pulau Tarakan 41

14 Tahap perkembangan ovarium ikan pepija 50

15 Tahap perkembangan testis ikan pepija 52

16 Histogram TKG ikan pepija berdasarkan waktu pengamatan 53

17 Histogram TKG ikan pepija berdasarkan tempat 54

18 Grafik IKG jantan dan betina pada ikan pepija di Perairan Tarakan 55 19 Grafik diameter telur ikan pepija di perairan Pulau Tarakan 57 20 Grafik hubungan antara panjang dan berat dengan fekunditas telur ikan

pepija di perairan Pulau Tarakan

58

21 Keterkaitan parameter lingkungan dan aktifitas manusia sebagai dasar

(21)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Ikan pepija (Harpadon nehereus, Ham. 1822) merupakan anggota dari family Synodontidae, dikenal dengan nama bombay duck. Ikan pepija merupakan ikan demersal yang ditemukan di perairan pantai yang dangkal dan muara dengan penyebaran di Laut India, Birma, Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Thailand, Indo-Cina, Cina Zanzibar dan Afrika Timur, (Haneda, 1950). Daerah penyebaran ikan pepija di Indonesia meliputi perairan Laut Jawa, Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru dan sepanjang pantai Laut Cina Selatan (Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI 2014).

Ikan pepija merupakan salah satu ikan yang bernilai ekonomis penting telah menjadi produk unggulan dan oleh-oleh khas Kota Tarakan. Hal ini mendorong intensitas kegiatan penangkapan yang menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap populasi ikan tersebut. Peningkatan produksi terus dilakukan dari tahun ke tahun. Di tahun 2001 jumlah produksi masih 58,80 ton terus meningkat dan menjadi 73,50 ton pada tahun 2007, kemudian meningkat lagi menjadi 84,9 ton pada tahun 2010 (Statistik Perikanan Kota Tarakan, 2011). Hal ini dikhawatirkan menyebabkan tekanan terhadap populasi sehingga lama-kelamaan dapat mengakibatkan kepunahan. Informasi yang didapat dari nelayan, bahwa ukuran ikan yang tertangkap cenderung mengecil dan semakin sulit didapatkan pada 3 – 4 tahun terakhir ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan pepija telah mengalami tekanan yang hebat akibat penangkapan.

Tekanan terhadap populasi ikan pepija, diperparah dengan degradasi lingkungan. Ekosistem mangrove sebagai tempat feeding ground sudah banyak yang dikonversi menjadi tambak dan pemukiman. Kerusakan lingkungan diperparah dengan penggunaan pestisida oleh petambak dalam membasmi hama. Menurut Dit. Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Ditjen RLPS (2007) luas lahan mangrove di Kaltim sebesar 883.379,000 Ha berkurang menjadi 364.254,989 Ha di tahun 2009 berdasarkan Pusat Survey Sumber daya Alam Laut (PSSDAL) BAKOSURTANAL. Kondisi yang sama juga terjadi pada luasan hutan mangrove di Kota Tarakan, berdasarkan laporan dari Bappeda (Anonim, 2003) mencapai ± 850 ha, namun seperti juga di tempat-tempat lain, hutan mangrove di Kota Tarakan dari tahun ke tahun luasannya terus mengalami penurunan. Bahkan data terakhir yang diperoleh berdasarkan laporan dari hasil identifikasi kawasan hutan mangrove Kota Tarakan (Anonim, 2005) luas kawasan hutan mangrove adalah ± 766 Ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tarakan, 2006).

Melihat tren penangkapan yang terus meningkat(Statistik Perikanan Kota Tarakan, 2011), ukuran ikan yang cenderung menjadi lebih kecil, maka pengelolaan penangkapan terhadap ikan pepija mutlak dilakukan. Untuk merekomendasikan bentuk pengelolaan yang tepat maka harus didukung dengan landasan ilmiah berupa data-data akurat tentang sifat biologi, habitat, ekologi masa reproduksinya, distribusi dan faktor-faktor lingkungan.

(22)

Simaya di timur sampai Tanjung Juata di barat. Selain waktu tersebut ikan pepija melakukan migrasi kemana belum diketahui keberadaannya, merupakan suatu siklus bulanan. Daerah penangkapan ikan pepija ini di hari pertama sekitar Tanjung Simaya, hari kedua sekitar Tanjung Selayu, hari ketiga dan keempat antara Tanjung Selayu dan Tanjung Juata. Pola migrasi ikan ini belum diketahui dengan pasti.

Informasi mengenai ikan pepija yang telah diketahui khususnya di Indonesia masih sangat terbatas sehingga sebagai pembanding dan rujukan digunakan ikan pepija dari perairan India yang meliputi distribusi genus Harpadon (Haneda, 1949 dan Pillay, 1953), gambaran hasil penangkapan ikan pepija di India (Nair and Balakrisknan, 1973) dan, kandungan protein (Kakatkar et al. 2003), umur dan pertumbuhan (Amin, 2001), dinamika populasi Harpadon nehereus di Perairan Mumbai (Balli et al. 2011), penilaian terhadap studi tentang maturation dan pemijahan ikan laut dari perairan India (Qasim, 1972). Mengingat terbatasnya informasi tentang ikan pepija yang berasal dari perairan Indonesia maka penelitian ini sangat perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

1. Memetakan pola penyebaran spasial dan temporal ikan pepija. 2. Menentukan dan menghitung komposisi makan alami ikan pepija

3. Menentukan pola pertumbuhan dan menghitung laju eksploitasi ikan pepija 4. Menentukan aspek reproduksi ikan pepija (nisbah kelamin, ukuran ikan

pertama kali matang gonad, musim dan tempat pemijahan, tipe pemijahan dan potensi reproduksi).

5. Merekomendasikan bentuk pengelolaan ikan pepija di perairan Pulau Tarakan

Manfaat penelitian

Penelitian ini akan berguna dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan sebagai landasan ilmiah dalam pengelolaan ikan pepija yang berkelanjutan.

Kebaharuan Penelitian

Kajian mengenai ekobiologi ikan pepija (Harpadon nehereus) dibeberapa negara sudah banyak dilakukan, terutama di perairan India dan Banglades tetapi penelitian masih bersifat parsial. Untuk perairan Indonesia masih terbatas atau belum terpublikasi sehingga perkembangan informasi mengenai aspek ekobiologi masih jarang ditemukan. Untuk mengisi kekosongan informasi tersebut maka dilakukanlah kajian terhadap aspek ekobiologi ikan pepija di perairan Pulau Tarakan. Dari hasil kajian yang dilakukan, maka diharapkan informasi yang ada dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat menjadi informasi ilmiah dalam pengelolaan ikan pepija secara berkelanjutan. Kebaharuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:

(23)
(24)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Pepija (Harpadon nehereus)

Klasifikasi ikan pepija menurut Whitehead (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Ordo : Aulopiformes Family : Synodontidae Genus : Harpadon

Species : Harpadon nehereus

Klasifikasi ikan pepija ini kemudian disempurnakan oleh Baily (2010) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Superclass : Gnathostomata Superclass : Pisces

Class : Actinopterygii Order : Aulopiformes Family : Synodontidae Subfamily : Harpadontinae Genus : Harpadon

Species : Harpadon nehereus

Nama Lokal (Tarakan) : Ikan tipis, ikan lembek

Gambar 1. Harpadon nehereus

Ikan pepija dikenal secara umum dengan bombay duck dan beberapa nama lokal yaitu: Burma: Barega, Malaysia/Indonesian: Luli, Luli-luli, Lumek, Lumi-lumi, Uli-uli,di Jepang: Tenagamizutengu,Vietnam: Cá khoai. Secara morfologi ikan pepija mempunyai bentuk badan memanjang dan tipis, bulat panjang, bentuk kepala sedikit bulat, moncong pendek, mata kecil, mulut lebar. Warna tubuh abu-abu dan putih perak pada bagian perut, punggung, ekor dan sirip dada hitam, (FAO, 2012).

(25)

yaitu H. nehereus, H. squamosus, H. macrochir, dan H. mortenseni. Spesies H. nehereus (Ham. Buch.), merupakan yang paling umum dan ditemukan pada perairan pantai yang dangkal dan muara, terutama di India, Myanmar, Malaysia, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Spesies kedua, H. squamosus, di perairan dalam di Teluk Benggala, di kedalaman bervariasi 4 - 10 m. Spesies ketiga, H. macrochir, Spesies keempat, H. mortenseni (Hardenberg, 1933), tertangkap pada kedalaman 100 m. Bailly (2010) menambahkan dua spesies baru yaitu: Harpadon translucens dan Harpadon erythraeus.

Makanan

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk proses metabolisme tubuhnya. Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme terhadap makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia, habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur ikan, periode harian mencari makanan dan jenis kompetitor (Hickley 1993 dalam Satria dan Kartamihardja 2002).

Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam lambungnya (Weatherley dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Natarajan dan Jhingran dalam Effendie (1997) menyatakan bahwa untuk menentukan jenis organisme makanan yang dimanfaatkan oleh ikan digunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance), yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Nikolsky (1963) mengkategorikan makanan kedalam 4 kelompok, yaitu: (1) makanan utama, makanan yang paling banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) makanan pelengkap, makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan dengan jumlah yang sedikit; (3) makanan tambahan, makanan yang jarang ditemukan dalam saluran pencernaan dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti, makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia.

(26)

dengan makanan utama crustacean, makanan tambahan pisces dan pelengkap tidak teridentifikasi. Selanjutnya keragaman makanan lebih meningkat pada musim peralihan (hujan ke kemarau) dengan makanan utamanya adalah udang dan ikan, makanan tambahan berupa makanan yang sudah hancur sehingga tidak teridentifikasi. Lebih lanjut pada musim kemarau komposisi makanan menurun tetapi makanan utama fluktuatif antara crustacean, pisces dan tidak teridentifikasi sedangkan makanan tambahan dan pelengkap juga bervariasi antara ketiga kelompok makanan tersebut.

Prashant et al. (2006) mendapatkan variasi komposisi makanan pada ikan Otolithes cuvieri di alam pada bulan yang berbeda. Jumlah makanan ikan tertinggi dalam usus tercatat selama Januari (81,07%) diikuti dengan Desember (61,59%) dan Februari (51,70%). Persentase terendah tercatat pada bulan November (6,25%). Acetes spp yang terbanyak di antara semua krustasea dan mendominasi sepanjang tahun. Tertinggi pada bulan November (88.14%) dan terendah selama bulan Desember (11,40%). Udang adalah makanan dominan kedua di antara krustasea dan ditemukan pada bulan April (28.02%), diikuti dengan Oktober (27.15%), dan terendah di bulan Januari (0,19%). cumi-cumi muda (Loligo duvauceli) dicatat dalam Desember saja (1,04%).

Pertumbuhan

Pertumbuhan ikan secara individu adalah pertambahan panjang dan berat dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang sangat kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor dalam maupun faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, umur, ketahanan terhadap penyakit dan parasit; sedangkan faktor luar diantaranya makanan dan suhu perairan. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle and Cech 2004). Hal tersebut juga ditegaskan oleh Moyle dan Cech (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu (variabel paling umum), oksigen terlarut, amoniak, kompetisi, kemampuan makan, umur dan kedewasaan. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan diperlukan sebuah pendekatan yang terukur. Lagler (1977) menyatakan bahwa pola pertumbuhan ikan dapat didekati antara lain dengan menghitung panjang–berat ikan tersebut. Pola pertumbuhan allometrik negatif merupakan pola pertumbuhan yang mengindikasikan bahwa pertambahan panjang cenderung lebih cepat daripada pertambahan beratnya sedangkan allometrik positif bersifat sebaliknya dengan pertambahan beratnya cenderung lebih cepat daripada pertambahan panjangnya.

(27)

kondisi ikan, faktor kondisi memberikan informasi kapan ikan memijah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor kondisi memperlihatkan sebagai suatu instrumen yang efisien dan menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun. Rahardjo et al. (2008) membuktikan bahwa nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina ikan tetet meningkat menjelang puncak musim pemijahan dan menurun setelah masa pemijahan, nilai faktor kondisi menurun seiring dengan meningkatnya kematangan gonad sampai pada TKG III, kemudian meningkat pada TKG IV dan menurun kembali setelah ikan memijah. Menurut Prianto et al. (2009), nilai rata-rata faktor kondisi ikan lidah betina lebih besar dibandingkan dengan ikan lidah jantan terjadi karena gonad ikan betina lebih berkembang dibandingkan dengan gonad ikan jantan, sehingga dapat menambah bobot dari ikan tersebut.

Reproduksi

Reproduksi ikan merupakan aspek yang perlu dipelajari karena sangat terkait dengan proses regenerasi. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad pada ikan yang sama jenisnya tidak selalu sama (Effendie, 1979). Menurut Blay dan Egeson (1980) yang diacu dalam Makmur et al. (2006), perbedaan ukuran ini terjadi akibat perbedaan kondisi ekologis perairan.

Nikolsky (1969) yang dikutip dalam Sulistiono et al. (2001) menyatakan bahwa nisbah kelamin di dalam populasi ikan yang sedang memijah dan berdasarkan pada kelompok-kelompok umur dan ukuran ikan, bervariasi menurut jenis ikannya yang mencerminkan hubungan antara jenis ikan tersebut dengan lingkungannya.

Floyd, (1993) dalam (Fahmi 2001) menyatakan bahwa ada beberapa strategi reproduksi dan cara reproduksi pada berbagai famili ikan laut tropis. Macam-macam strategi reproduksi meliputi: pelagic spawners, live bearer dan demersal Spawner, egg scatterers dan benthic broadcaser. Untuk famili Synodontidae strategi reproduksi adalah pelagic spawners, memijah secara berpasangan di kolom perairan, telur berbentuk bulat besar dan bersifat planktonik sampai ukuran 30-35 mm lalu hidup menetap.

(28)

pula dengan sebutan Index of Maturity. Hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi untuk menentukan siklus perkembangan gonad ikan dapat dilakukan dengan cara mengamati perubahan berat gonad yang dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad (IKG).

Induk yang matang gonad adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Woynarovich dan Horvath (1980), bila rangsangan diberikan pada saat ini akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Bila kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia.

Pemantauan terhadap Indeks Kematangan Gonad dari waktu ke waktu untuk mengetahui ukuran ikan pertama kali memijah. Ukuran ikan pertama kali matang gonad/memijah berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan, serta strategi reproduksinya (Nasution, 2008). Sejalan dengan pertumbuhan gonad, yaitu gonad akan semakin bertambah berat sampai batas maksimum sesaat sebelum terjadi pemijahan.

Menurut Welcomme (2001) ikan yang memiliki tipe multiple spawners menghasilkan jumlah telur yang relatif lebih sedikit dibandingkan ikan yang memiliki tipe total spawners. Ikan tersebut sebagian besar memijah sepanjang tahun dan umumnya bersifat parental care. Ikan yang memiliki tipe multiple spawners merupakan adaptasi dan respons terhadap fluktuasi permukaan air yang diakibatkan oleh perbedaan musim.

Pengertian fekunditas menurut Welcomme, (2001) adalah sejumlah vitellogenic oocytes (telur) yang matang dalam ovarium ikan betina yang siap dikeluarkan pada saat pemijahan. Fekunditas berbeda diantara spesies dan hal ini merefleksikan stategi reproduksi, bahkan variasi tersebut merupakan hasil dari perbedaan adaptasi terhadap lingkungannya (Siby et al. 2009).

Ekobiologi

(29)

punah dari sistem tersebut.Berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai faktor pembatas maka Karleskint et al. (2010) menyatakan beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap biota laut meliputi temperatur, salinitas, pH dan sinar matahari.

Faktor lingkungan yang lain adalah arus, gelombang dan tipe serta ukuran sedimen. Hal ini hampir sama dengan pernyataan Johannes (1978) dalam Fahmi (2001) bahwa arus dan angin merupakan faktor lingkungan yang berperan penting dalam reproduksi ikan-ikan di laut tropis. Selanjutnya Floyd (1993) dalam Fahmi (2001) menyatakan bahwa aktifitas pemijahan terbaik pada ikan terjadi ketika angin tidak bertiup kencang dan kondisi arus yang tenang. Laevastu et al. (1981) menyatakan bahwa arus mempengaruhi aspek distribusi ikan berikut:

1. Arus membawa telur pelagis dan anak-anak ikan dari spawning area ke nursery ground dan dari nursery ground ke feeding ground.

2. Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh (besar kecilnya) kecepatan arus sebagai sarana orientasi, dan sebagai modifikator rute migrasi

3. Perilaku diurnal mungkin dipengaruhi oleh arus (terutama oleh arus pasang surut)

4. Pertemuan dan arah arus, mungkin mempengaruhi distribusi ikan dewasa, baik secara langsung, melalui efeknya pada mereka atau secara tidak langsung, melalui agregasi makanan ikan, atau dengan membawa tentang batas-batas lingkungan lain bagi mereka (batas suhu misalnya).

5. Arus dapat mempengaruhi sifat-sifat lingkungan alam dan dengan demikian menentukan secara tidak langsung kelimpahan setiap spesies tertentu dan bahkan batas distribusi geografis

Laevastu et al. (1981) menyatakan bahwa setiap spesies memiliki karakteristik aklimatisasi (optimal) kisaran suhu dan batas toleransi terhadap suhu yang mungkin mengubah stok musiman dan dapat sedikit berbeda dari satu stok ke stok yang lain untuk spesies yang sama. Suhu mempengaruhi laju proses metabolisme dengan demikian dapat mengubah aktivitas ikan. Akibatnya pertumbuhan dan tingkat pemberian pakan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan.

(30)

kondisi luar biasa, untuk setiap spesies ikan jauh lebih sempit daripada kisaran maksimal toleransi, (Laevastu et al. 1981).

Nakabo (2002) menyatakan bahwa H. nehereus ditemukan di substrat dasar berpasir-berlumpur pada perairan dangkal sampai kedalaman 50 m. Menghuni lepas pantai perairan dalam hampir sepanjang tahun, tetapi juga mengumpul dalam kawanan besar di delta sungai untuk mencari makan selama musim hujan. H. nehereus merupakan sebuah predator agresif.

Bapat (1970) dalam Nair et al. (1974)menyatakan faktor yang bertanggung jawab pada distribusi ikan ini, seperti ditunjukkan oleh berbagai penulis, adalah: (i) distribusi dan gerakan dari organisme makanan favorit (ii) variasi salinitas di sepanjang pantai dan (iii) fluktuasi suhu permukaan air laut.

Pengelolaan (Pengendalian Tingkat Eksploitasi)

Undang-undang Perikanan Republik Indonesia No. 45 tahun 2009 mendefenisikan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Lebih lanjut dalam undang-undang perikanan tersebut dinyatakan bahwa tujuan pengelolaan berdasarkan pada asas manfaat dan kelestarian yang berkelanjutan.

Desniarti et al. (2006) menyatakan bahwa dalam usaha perikanan tangkap, permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya (maksimum sustainable yield/MSY) sehingga terjadi fenomena tangkap lebih yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan persatuan upaya yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Selanjutnya FAO (1998) yang diacu dalam Desniarti et al. (2006) menyatakan bahwa kapasitas perikanan merupakan jumlah maksimum biomassa ikan yang dapat ditangkap pada periode waktu tertentu (musim dan tahun) dengan armada perikanan.

FAO (1996) dalam Susilo (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan harus memenuhi persyaratan. Dari aspek ekologi pemanfaatan mensyaratkan terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa walaupun sumberdaya ikan laut bersifat dapat pulih tetapi sumberdaya ikan bukan tidak terbatas. Oleh karena itu, untuk menjamin kelestarian sumberdaya maka pemanfaatannya tidak boleh melebihi produksi populasi tersebut. Pada prinsipnya kelestarian sumberdaya akan terjamin jika jumlah (volume) ikan yang ditangkap sama dengan jumlah ikan akibat pertumbuhan populasi.

(31)

(diversifikasi-relokasi) dengan tingkat upaya optimal dan (3) Model kepemilikan dapat dilakukan pemerintah maupun swasta atau co-management.

(32)

3.

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL IKAN PEPIJA,

Harpadon nehereus (Hamilton, 1822) DI PERAIRAN

PULAU TARAKAN

Pendahuluan

Ikan pepija (Harpadon nehereus, Hamilton 1822) merupakan salah satu sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis penting yang menjadi produk unggulan Kota Tarakan, Kalimantan Utara. ikan pepija merupakan ikan demersal dengan penyebaran di perairan estuaria dan laut dangkal. Daerah penyebaran ikan pepija meliputi Indo Pacific barat: Somalia sampai Papua New Guinea, Japan di utara sampai Indonesia di selatan (fishbase, 2015). Penyebaran di Indonesian meliputiperairan Laut Jawa, Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru, Teluk Benggala dan sepanjang pantai Laut Cina Selatan (Direktorat Sumberberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI 2014). Keberadaan ikan ini di perairan Pulau Tarakan hanya pada saat pasang perbani, yaitu pada saat perbedaan antara pasang dan surut tidak terlalu tinggi (air mati, istilah lokal) sekitar tanggal 7 – 10 dan 21 – 24 setiap bulan pada penanggalan Qomariah.

Informasi mengenai ikan pepija di Indonesia masih sangat terbatas sehingga sebagai pembanding dan rujukan digunakan ikan pepija dari perairan India yang meliputi distribusi genus Harpadon (Haneda, 1949 dan Pillay, 1953), gambaran hasil penangkapan ikan pepija di India (Nair dan Balakrisknan, 1973), status Harpadon nehereus di Perairan Saurashtra (Khan et al. 1992), dan dinamika populasi Harpadon nehereus di Perairan Mumbai (Balliet al. 2011).

Pengelolaan ikan pepija yang berkelanjutan harus didukung oleh data ilmiah yang valid, agar pengelolaannya dapat berjalan efektif dan efisien. Informasi mengenai distribusi ikan pepija sangat diperlukan untuk pengelolaannya khususnya yang berkaitan dengan tempat dan waktu. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan distribusi ikan pepija secara spasial dan temporal di perairan Pulau Tarakan, Kalimantan Utara.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

(33)

Gambar 2. Stasiun pengambilan contoh ikan di perairan Pulau Tarakan : Stasiun 1: Tj Simaya, Stasiun 2: Tj Selayu dan Stasiun 3: Tj Juata

Lokasi penelitian terletak pada 117.30’ –117.40’BT dan 3.25’0” –3.28’0” LU dengan lokasi pengamatan sebanyak 3 stasiun, denganpertimbangan adanya sebaran ikan berdasarkan waktu dan daerah penangkapan ikan pepija serta letak geografis Pulau Tarakan . Stasiun 1: adalah Tanjung Simaya (perairan pantai timur laut Pulau Tarakan , yang berhadapan langsung dengan perairan terbuka yakni Laut Sulawesi Stasiun 2: adalah Tanjung Selayu (Perairan pantai utara, berada di selat antara Pulau Tarakan dan pulau Tibi, yang banyak mendapat suplai air tawar dari Sungai Sesayap dan Stasiun 3: adalah Tanjung Juata (Perairan pantai barat daya, berada di selat dan merupakan daerah penangkapan ikan pada hari ketiga dan keempat,(Gambar 2).

Prosedur penelitian

(34)

pembuka untuk panjang dan lebar, 100 : 75 cm. Pengoperasian pukat hela pada masing-masing stasiun bibagi menjadi 2 sub stasiun. Sub stasiun 1 yakni di perairan dekat pantai Pulau Tarakan sedangkan sub stasiun 2 di sisi luar masing-masing stasiun sejajar dengan garis pantai. Penangkapan ikan dilakukan secara “zig zag” dengan kecepatan 4 km/jam dengan waktu penarikan pukat hela (towing) selama 30 menit per sub stasiun. Arah penangkapan ikan dilakukan mengikuti arus dan pada saat yang lain menentang arus. Penangkapan ikan dilakukan antara jam 9.00 – 15.00 pada saat pasang perbani. Penangkapan ikan di ke-3 stasiun pengamatan dilakukan pada hari dan bulan yang sama tetapi waktu penarikannya yang berbeda. Hasil tangkapan ikan pepija dipisahkan dari ikan jenis lain dan dikumpulkan serta ditimbang seluruhnya menurut waktu penangkapan dan lokasi stasiun.

Data parameter lingkungan dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengukuran parameter fisika dan kimia air dilakukan secara insitu pada setiap selesai penangkapan ikan. Pengukuran suhu, oksigen terlarut, salinitas dan pH menggunakan water checker, kecerahan dengan secchi disk dan kecepatan arus dengan layang-layang arus. Data sekunder berupa pasang surut diperoleh dari DISHIDROS sedangkan data curah hujan diperoleh dari BMKG Kota Tarakan.

Analisis data

Untuk mengetahui distribusi ikan, maka dilakukan penghitungan laju tangkap. Laju tangkap dihitung dengan menggunakan persamaan yang diacu dalam Ernawati (2007):

C = W/t

Keterangan: C = laju tangkap (kg/jam) W = bobot hasil tangkapan (kg) t = lama towing (jam)

Data hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan gambar kemudian diulas secara deskriptif.

Hasil Kualitas Perairan

(35)

15

Parameter 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Suhu (o C) 29.04 29.60 29.31 31.44 30.07 30.53 31.06 29.54 30.1 30.66 31.48 30.47 30.03 29.69 29.59 31.83 29.54 29.71 30.98 30.67 30.68

Kecerahan (m) 1.00 0.50 0.30 1.10 0.50 0.30 1.20 1.00 0.60 1.00 0.50 0.35 1.00 0.50 0.30 1.20 0.70 0.40 1.20 1.00 0.60

Kec. Arus (m/det) 0.75 0.30 0.40 0.33 0.25 0.20 0.30 0.20 0.16 0.20 0.16 0.13 0.16 0.04 0.20 0.20 0.16 0.10 0.33 0.16 0.20

Pasang Surut (m) 0.8 - 2.9 1.0 - 2.2 1.1 - 2.4 1.1 - 2.4 1.1 - 2.5 1.0 - 2.6 1.1 - 2.5

DO 6.37 6.33 6.30 6.51 6.59 6.28 6.61 6.50 6.52 5.22 5.06 5.09 5.23 5.29 5.65 6.28 6.50 6.66 5.06 5.17 5.25

Salinitas (‰) 23.83 21.65 23.60 14.40 11.54 14.89 13.54 12.76 13.72 18.0

0 17.86 19.16 15.97 13.04 21.00 14.89 12.15 13.76 18.86 18.12 18.26

pH 7.10 7.78 7.68 7.48 7.19 7.21 7.19 7.08 7.50 6.07 7.10 6.42 7.03 6.83 6.86 7.21 7.08 7.12 7.01 6.06 6.20

Curah hujan

(mm/bln) 191.5 316.2 364.9 346.5 359.1 297.5 263.3

Lanjutan tabel 1

Waktu dan Stasiun

Parameter September Oktober November Desember 1 Desember 2 Januari Februari

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

Suhu (o C) 29.84 29.75 29.99 30.78 29.67 30.68 29.56 29.65 29.93 29.52 29.15 29.37 30.18 29.63 29.59 30.12 29.04 29.89 29.32 29.57 28.88

Kecerahan (m) 1.00 0.50 0.30 1.10 0.70 0.50 1.20 1.00 0.60 1.00 0.50 0.55 1.00 0.50 0.30 1.20 0.80 0.50 1.20 1.00 0.60

Kec. Arus (m/det) 0.10 0.08 0.04 0.2 0.16 0.13 0.13 0.1 0.08 0.8 0.75 0.5 0.2 0.16 0.13 0.16 0.08 0.04 0.33 0.3 0.25

Pasang Surut (m) 1.0 - 2.3 1.3 - 2.4 1.3 - 2.3 0.6 - 3.2 1.1 - 2.4 1.3 - 2.4 1.1 - 2.6

DO 5.17 5.27 5.38 5.29 5.17 5.25 5.28 5.21 5.51

5.17

8 5.30 5.46 5.08 5.38 5.65 6.69 6.35 6.42 6.61 6.35 6.52

Salinitas (‰) 24.40 23.40 24.10 19.26 18.12 18.26 20.76 20.19 21.06 23.60 25.7

0 26.40 17.81 20.37 21.00 23.86 22.14 23.41 23.16 21.57 23.9

pH 8.00 7.90 7.90 6.21 6.16 6.30 7.90 7.90 8.00 6.21 6.42 6.77 7.10 6.09 6.86 7.43 7.51 7.70 7.48 7.57 7.72

Curah hujan

(36)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa data kualitas fisika dan kimia perairan seperti kecerahan, oksigen terlarut, pasang surut dan pH relatif sama antar stasiun dan antar waktu pengambilan contoh, kecuali suhu, kecepatan arus dan salinitas, yang berfluktuasi cukup besar sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1, Gambar 3, 4 dan 5. Nilai kecerahan rata-rata berkisar antara 0.30 – 1.20 meter, pasang surut berkisar antara 1.10 – 1.90 meter, DO berkisar antara 5.06 - 6.69 dan pH berkisar antara 6.06 – 8.00, sedangkan rata-rata curah hujan dalam 10 tahun terakhir berkisar antara 191.5 mm – 409.50 mm. Suhu di ketiga stasiun pengamatan hampir seragam, dengan perbedaan berfluktuasi antara 0.12 – 1.28

o

C. Fluktuasi kecepatan arus antara 0.03 – 0.24 m/det dan fluktuasi salinitas antara 13.34 – 25.23‰. Rata-rata curah hujan dalam 10 tahun terakhir berkisar antara 191.5 mm – 409.50 mm/ bulan (data sekunder).

Gambar 3. Fluktuasi suhu bulanan di setiap stasiun di perairan Tarakan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola fluktuasi suhu di ketiga stasiun pengamatan hampir seragam, walaupun nilainya tidak selalu sama, dengan perbedaan berkisar antara 0.12 – 1.28 oC pada hari yang sama (Tabel 1 dan Gambar 3). Suhu di stasiun dua, cenderung lebih rendah dibandingan dengan stasiun satu dan tiga.

27 27.5 28 28.5 29 29.5 30 30.5 31 31.5 32 32.5

F M A M J J A S O N D D J F

o C

(37)

Gambar 4. Fluktuasi Kecepatan arus bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan Fluktuasi kecepatan arus di ketiga stasiun pengamatan memiliki pola yang hampir sama, walaupun nilainya berbeda dan perbedaannya tidak terlalu besar dengan rentang fluktuasi berkisar antara 0.03 – 0.24 m/det (Gambar 4). Kecepatan arus di stasiun tiga lebih kuat dibandingkan dengan stasiun dua dan satu. Kecepatan arus berkaitan dengan pasang surut. Makin tinggi perbedaan antara pasang dan surut makin cepat arusnya. Kecepatan arus tetinggi terjadi pada saat pasang purnama dengan kecepatan 0.68 m/det (Tabel 1 dan Gambar 4).

0 0.5 1 1.5 2 2.5

F M A M J J A S O N D D J F

m

et

er

/det

ik

Stasiun 3

Stasiun 2

(38)

Gambar 5. Fluktuasi salinitas bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas di ketiga stasiun pengamatan polanya hampir sama, dengan rentang fluktuasi berkisar antara 13.34 – 25.23 ‰ (Tabel 1 dan Gambar 5). Nilai salinitas di stasiun dua cenderung lebih rendah dibandingkan dengan stasiun satu dan tiga yang relatif sama.

Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan ikan pepija yang disajikan dalam bentuk laju tangkap, berfluktuasi antara satu stasiun dengan stasiun lainnya dan antar waktu pengamatan atau bulan satu ke bulan berikutnya. Data laju tangkap ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju tangkap (kg/jam) ikan pepija berdasarkan waktu dan tempat penangkapan di Perairan Pulau Tarakan

Waktu dan Stasiun

Tgl Qomariah

Februar

i Maret April Mei Juni Juli Agustus

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

7 - - - 17.2 1.1 0 - - - 11.4 1.1 0

8 - - - 2.6 17.7 0 - - -

9 - - - 0.1 23.4 17.7 - - - -

10 - - - 0 0 7.4 0 0.4 13.0 - - - -

13 0 0 0 - - - -

Waktu dan Stasiun

Tgl Qomariah

September Oktober November Desember Januari Februari

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

7 - - - 75.6 4.0 0 - - - -

8 - - - 0.4 15.4 0 0.1 15.5 0.4 - - - -

9 0 0.7 20.6 - - - 0.1 3.1 77.4 - - -

10 - - - 0 1.0 22.3

27 - - - 0 0 0 - - - -

Keterangan : 0 = dilakukan penangkapan tetapi tidak ada ikan pepija yang tertangkap - = Tidak dilakukan penangkapan

0 5 10 15 20 25 30

F M A M J J A S O N D D J F

Stasiun 1Stasiun 2

(39)

Hasil tangkapan (laju tangkap) ikan pepija di tiga stasiun pengamatan selama 13 bulan menunjukkan bahwa distribusi secara spasial dan temporal ikan pepija di perairan Pulau Tarakan dengan laju tangkap berkisar antara 0 – 77.37 kg/jam. Laju tangkap ikan ini bervariasi antar stasiun dan waktu pengamatan walaupun jarak antar stasiun tidak terlalu jauh (Gambar 3). ikan pepija tidak ditemukan di ketiga stasiun dalam waktu yang bersamaan (Tabel 2 dan Gambar 6,7). Data laju tangkap ikan pepija di ketiga stasiun pengambilan contoh selama 13 bulan pengamatan menggambarkan pola distribusi ikan secara spasial dan temporal, sebagaimana tersaji pada Gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Rata-rata laju tangkap ikan pepija berdasarkan stasiun dan waktu penangkapan.

Pembahasan Kualitas Perairan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika dan kimia perairan yang berfluktuasi secara nyata adalah: suhu, kecepatan arus dan salinitas (Tabel 1). Terjadinya fluktuasi suhu baik antar stasiun maupun antar waktu pengamatan, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi metereologi, arus pasang surut, kedalaman perairan dan volume air tawar yang masuk kedalam perairan. Secara umum suhu di stasiun dua Tanjung Selayu relatif lebih rendah dibandingkan dengan stasiun satu dan tiga. Hal ini disebabkan oleh karena perairan Tanjung Selayu lebih banyak menerima massa air tawar yang lebih dingin dari sungai Sembakung di sebelah utara dibandingkan dengan stasiun satu dan tiga. Hal ini sesuai dengan kondisi yang didapatkan Maharaniet al. (2014) di perairan pesisir Probolinggo, suhu perairan lebih rendah di daerah yang banyak mendapat massaa air tawar dari daratan. Faktor lainnya yang menyebabkan adanya fluktuasi suhu adalah besar kecilnya volume air tawar dari sungai Sembakung dan kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel yang relatif berubah

34.71

1.05 0.09

0 2.06

16.2

9.07

0.49 0 0.13

38.55 14.23 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

7 8 9 10

Laj u Tan g kap ( K g /jam )

Tanggal penangkapan (Kalender Qomariah)

(40)

seperti: mendung, berawan, gerimis dan cerah. Ini dapat dibuktikan dengan melihat fluktuasi suhu yang lebih rendah pada saat rata-rata curah hujan tinggi pada bulan Desember dan Januari (Tabel 1 dan Gambar 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2005) bahwa Suhu air laut dipengaruhi oleh kondisi metereologi yang meliputi curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari.

Gambar 7. Daerah penyebaran ikan pepija berdasarkan waktu penangkapan (Keterangan: Angka 7, 8, 9 dan 10 menunjukkan sebaran berdasarkan tanggal

penangkapannya)

Pola pergerakan kecepatan arus pada ketiga stasiun pengamatan di perairan Pulau Tarakan bentuknya sama. Perbandingan antara ke tiga stasiun menunjukkan bahwa kecepatan arus di stasiun tiga lebih cepat dibandingkan dengan stasiun satu dan dua. Kecepatan arus yang tertinggi terjadi pada saat pasang purnamadi ketiga stasiun yaitu pada bulan Desember dan Februari (Tabel 2 dan Gambar 5). Tingginya kecepatan arus saat pasang purnama ini diduga karena tingginya perbedaan antara pasang dan surut sehingga menyebabkan tekanan yang besar sehingga dorongan yang ditimbulkan juga besar. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ditemukan Subakti (2012), kecepatan arus pada saat pasang purnama jauh lebih besar dan teratur polanya, sedangkan saat pasang perbani kecepatan arus cenderung melemah dengan pola yang kurang teratur. Kondisi ini disebabkan pada saat pasang pasang purnama, gaya pembangkit pasut cenderung menguat sehingga volume air yang dipindahkan melalui arus jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi saat pasang perbani sehingga kecepatan arus akan menjadi lebih tinggi. Kecepatan arus yang tinggi, terjadi pada saat surut. Hal ini sesuai dengan pendapat Rampengan (2009) bahwa di perairan sempit dan semi tertutup seperti teluk, pasut merupakan gaya penggerak utama sirkulasi massa airnya.

(41)

Pola fluktuasi salinitas di ketiga stasiun hampir sama. Pada saat salinitas di suatu stasiun turun maka di stasiun lainnya juga turun. Hal ini menandakan bahwa perairan utara Tarakan dari Tanjung Simaya di sebelah timur sampai dengan Tanjung Juata di sebelah barat merupakan suatu kawasan yang sama. Perbedaan salinitas yang terjadi diantara ke tiga stasiun lebih disebabkan oleh perbedaan volume massa air tawar dari Sungai Sembakung yang bermuara di sebelah utara Pulau Tibi yang masuk kedalam perairan Tarakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan konsentrasi salinitas pada ke tiga stasiun yang ada. Konsentarsi salinitas di perairan Tanjung Selayu pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan Tanjung Juata dan Tanjung Selayu. Hal ini desebabkan karena perairan Tanjung Selayu paling dekat menerima limpahan air tawar dari Sungai Sembakung. Hal ini sesuai dengan penyebaran salinitas yang didapatkan Maharani et al. (2014) di perairan pesisir Probolinggo, salinitas perairan lebih rendah di daerah yang banyak mendapat massaa air tawar dari daratan. data salFluktuasi salinitas kemungkinan disebabkan oleh suplai air tawar dari laut Sulawei dan suplai air tawar dari sungai Sembakung di sebelah utara. Adanya percampuran massa air laut dan air tawar dapat dibuktikan dengan melihat hasil pengukuran salinitas pada daerah penelitian yang berkisar antara 13.44 – 25.23 ‰. Nilai ini selalu lebih rendah dibandingkan dengan kisaran salinitas air laut antara 30 –33 ‰.

(42)

Hasil Tangkapan

Hasil penelitian didapatkan hasil tangkapan ikan pepija bervariasi dimana selama pengamatan tidak pernah didapatkan secara merata pada ketiga stasiun dalam waktu bersamaan. Artinya pada saat dominan pada salah satu stasiun, maka pada stasiun lainnya jumlahnya kurang atau tidak ada sama sekali. Sebagai gambaran dihari pertama penyebaran ikan pepija terkonsentrasi di stasiun satu, hari kedua di stasiun dua, hari ketiga antara stasiun dua dan tiga serta di stasiun tiga di hari keempat (Gambar 7). Hal ini menunjukkan adanya pola migrasi harian ikan pepija dari laut terbuka di sebelah timur Pulau Tarakan melewati selat antara Pulau Tarakan dan Pulau Tibi ke perairan barat daya antara Pulau Tarakan dan Pulau Mangkudulis (Gambar 7). Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil tangkapan ikan pepija, maka dapat diketahui bahwa laju tangkap di Stasiun II (Tanjung Selayu) lebih kecil dibandingkan dengan Sasiun I dan III. Hal ini kemungkinan disebabkan perairan Tanjung Selayu hanya berperan sebagai alur migrasi dari timur ke barat Pulau Tarakan , sehingga distribusi ikan yang ada tidak bergerombol di perairan Tanjung Selayu. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari kedua atau tepatnya tanggal 8 Qomariah masih ada sebagian kecil ikan yang berada di perairan Tanjung Simaya dan sebagian lagi sudah ada yang sampai di perairan Tanjung Juata. Adanya pola migrasi harian ini kemungkinan disebabkan oleh fluktuasi suhu dan salinitas antara ketiga stasiun (Tabel 1). Oleh karena itu ikan pepija yang datang dari Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Tarakan melakukan adaptasi terlebih dahulu di sekitar perairan Tanjung Simaya dengan salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Tanjung Selayu, dan meningkat kembali di sekitar Tanjung Juata. Dengan demikian, ikan pepija saat melakukan migrasi harus melewati fluktuasi salinitas.

(43)

hampir sama dengan pernyataan Johannes (1978) dalam Fahmi (2001) bahwa arus dan angin merupakan faktor lingkungan yang berperan penting dalam reproduksi ikan-ikan di laut tropis. Selanjutnya Floyd (1993) dalam Fahmi (2001) menyatakan bahwa aktifitas pemijahan terbaik pada ikan terjadi ketika angin tidak bertiup kencang dan kondisi arus yang tenang. Laju tangkap ikan pepija di perairan ini juga tinggi pada bulan Desember – Januari atau bertepatan dengan musim pemijahan ikan pepija. Besarnya laju tangkap pada saat bulan Desember – Januari adalah 75 – 77.37 kg/jam sedangkan pada bulan-bulan lainnya hanya berkisar antara 7.41 – 23.42 kg/jam. Kondisi ini sesuai dengan yang didapatkan Ongkerset al. (2009) pada ikan teri merah dimana kelimpahan tinggi pada saat bulan September dan Oktober bertepatan dengan musim pemijahan pada ikan tersebut. Kondisi serupa juga didapatkan oleh Khan et al. (1992) di perairan Saurashtra dimana puncak penangkapan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Juni.

Kesimpulan

(44)

4.

MAKANAN ALAMI IKAN PEPIJA, Harpadon nehereus

(Hamilton, 1822) DI PERAIRAN PULAU TARAKAN

Pendahuluan

Kehadiran dan keberadaan ikan di suatu habitat atau perairan antara lain disebabkan oleh ketersedian makanan dan lingkungan yang mendukung. Makanan yang dikonsumsi sering mengalami variasi dengan berubahnya ontogenetik terutama pada ikan karnivora, Rahrdjo (2006). Faktor makanan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan suatu populasi karena mempengaruhi penyebaran, pertumbuhan, kematangan bagi tiap-tiap individu, serta keberhasilan hidupnya. Perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi direspon oleh ikan dengan berbagai cara adaptasi. Bentuk adaptasi ini dapat berupa perubahan pola makan atau jenis makanan yang dikonsumsi. Jika tidak mampu menyesuaikan dengan keadaan tersebut dapat juga dilakukan dengan bermigrasi sementara ke habitat lain dan kembali lagi saat faktor lingkungan memungkinkan. Adapun keberadaan makanan di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi biotik dan abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, salinitas, ruang dan luas permukaan (Effendie, 2002).

Giarrizzo dan Paul (2008), Taylor (2006), Giberto et al.( 2007) dan M Labropoulou (1997) mendapatkan adanya perubahan makanan karena perbedaan waktu dan habitat. Pernyataan tersebut diatas diperkuat oleh hasil penelitian terhadap komposisi makanan alami ikan kresek di perairan Ujung Pangkah Jawa Timur, yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan komposisi makanan antara musim kemarau dan musim hujan serta peralihan dari kedua musim tersebut (Sulistiono et al.2009).

Ikan pepija mempunyai karakteristik yang khas. ikan pepija ini hanya ditangkap pada saat pasang perbani (air mati) dengan menggunakan pukat hela selama 3-4 hari per periode air atau 6 – 8 hari per bulan di perairan pantai utara Pulau Tarakan dari Tanjung Simaya di bagian timur sampai Tanjung Juata di bagian barat. Daerah penangkapan ikan pepija ini di hari pertama sekitar Tanjung Simaya, hari kedua sekitar Tanjung Selayu, hari ketiga dan keempat antara Tanjung Selayu dan Tanjung Juata. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan makanan alami dan komposisinya dariikan pepija yang tertangkap di perairan Pulau Tarakan. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang peran spesies dalam ekosistem dan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya ikan tersebut.

Bahan Dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

(45)

adalah Tj. Selayu, yaitu perairan pantai utara, berada di selat antara Pulau Tarakan dan pulau Tibi, banyak mendapat suplai air tawar dari Sungai Sesayap dari Pulau Kalimantan dan Stasiun 3: adalah Tanjung Juata yaitu perairan pantai barat daya, berada di selat dan merupakan dan berdekatan dengan ekosistem mangrove (Gambar 2).

Prosedur Penelitian

Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan pukat hela (trawl) dengan ukuran panjang dan lebar sayap, badan dan kantong masing-masing 700.0 : 100.0, 500.0 : 130.0 dan 200.0 : 50.0 cm dengan besar mata jaring pada sayap, badan dan kantong masing-masing berukuran 5.0, 5.0 dan 2.5 cm. Mulut jaring bagian atas 500 cm, mulut jaring bagian bawah 400 cm dan ukuran papan pembuka untuk panjang dan lebar, 100 : 75 cm. Pengoperasian pukat hela pada masing-masing stasiun dibagi menjadi 2 sub stasiun. Sub stasiun 1 yakni di perairan dekat pantai Pulau Tarakan sedangkan sub stasiun 2 disisi luar masing-masing stasiun sejajar dengan garis pantai. Penangkapan ikan dilakukan secara “zig zag” dengan kecepatan 4 km/jam dengan waktu penarikan pukat hela (towing) selama 30 menit per sub stasiun. Arah penangkapan ikan dilakukan mengikuti arus dan pada saat yang lain menentang arus. Penangkapan ikan dilakukan antara jam 9.00 – 15.00 pada saat pasang perbani. Penangkapan ikan di ke-3 stasiun pengamatan dilakukan pada hari dan bulan yang sama tetapi waktu penarikannya yang berbeda.

Hasil tangkapan ikan pepija dipisahkan dari ikan jenis lain dan dikumpulkan serta ditimbang seluruhnya menurut waktu penangkapan dan lokasi stasiun. Ikan yang tertangkap diambil sebanyak 50 ekor pada setiap sub stasiun dari berbagai ukuran, yang mewakili hasil tangkapan, dan jika kurang dari 50 maka semua ikan yang tertangkap diambil. Sampel ikan kemudian diawetkan dalam larutan formalin 5 - 10% untuk kemudian dianalisis di Laboratorium Biologi, FPIK UBT. Ikan contoh yang telah diawetkan diukur panjang bakunya (mm), dan ditimbang beratnya (gram). Ikan dibedah rongga perutnya, saluran pencernaan (lambung) diambil serta diawetkan dalam larutan formalin 4%, selanjutnya adalah memeriksa isi lambung dengan cara mengeluarkannya, diidentifikasi, dihitung jumlah dan frekuensi kehadiran serta diukur beratnyadari masing-masing jenis makanan pada semua ikan sampel. Organisme yang terdapat didalam lambung diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi (Gosner, 1971; Lovett, 1981; Saanin, 1984) sampai ke tingkat taksonomi terendah yang dimungkinkan.

Analisis Data

Untuk mengetahui persentase ikan dengan lambung berisi dihitung dengan menggunakan persamaan:

Jumlah ikan dengan lambung berisi makanan

PILB = X 100

Jumlah sampel ikan yang diamati

(46)

Indeks kepenuhan lambung atau Index of stomach content(ISC) digunakan untuk mengetahui aktifitas makan ikan pepija, sedangkan untuk mengetahui komposisi makanan ikan pepija dilakukan analisis isi lambung dengan menghitung Indeks Relatif Penting (IRP) atau Index of Relative Important (IRI). Indeks kepenuhan lambung atau tingkat konsumsi pakan relatif adalah nilai dari perbandingan berat isi lambung dengan berat tubuh ikan (Spataru and Gophen (1992) diacu dalam Sulistiono 2009).

Berat Isi Lambung

ISC = X 100 Berat Tubuh

Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Relatif Penting (IRP) atau Index of Relative Important (IRI). Indeks ini merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian, metode jumlah dan metode berat, merupakan modifikasi dari persamaan yang ditemukan oleh Pinkas et al. (1971 dalam Rojas et al. ( 2010) dengan rumus sebagai berikut :

IRPi= [Ni + Wi]Fi

dimana: Ni = persentase jumlah satu macam makanan (%) Wi = persentase berat satu macam makanan (%)

Fi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%)

IRP i

IRPi (%) = x 100

Hasil

Ikan pepija yang ditangkap tersebar pada ketiga stasiun yang ada. Penyebaran ikan sangat jarang ditemukan pada ketiga stasiun sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Penyebaran ikan ditemukan pada ketiga stasiun secara bersamaan hanya terjadi pada bulan Januari, Maret dan November tetapi jumlahnya tidak banyak (Tabel 2). Penyebaran ikan pepija ini hampir sama setiap bulannya yakni pada setiap tanggal (7) bulan Qomariah, ikan ditemukan di daerah Tj. Simaya (stasiun 1), tanggal 8 di daerah Tj. Selayu, tanggal 9 antara Tj. Selayu dan Tj. Juata dan tanggal 10 di Tanjung Juata. Penyebaran ikan ini menunjukkan adanya ruaya dari arah timur ke barat ( perairan Juata). Penyebaran ikan pepija dari Tanjung Simaya – Tanjung Juata hanya ditemukan saat perbedaan pasang dan surut harian antara 1.0 – 1.6 meter dan itu terjadi saat pasang perbani. Perbedaan pasang surut harian di perairan Tarakan selama setahun dari terendah – tertinggi antara 0.9 - 3.3 meter.

Aktivitas Makan

(47)

Tingkat Konsumsi Makanan

Persentase ikan dengan lambung berisi dan tingkat konsumsi makanan ikan pepija disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Persentase ikan dengan lambung berisi dan tingkat konsumsi makanan relatif ikan pepija di perairan Pulau Tarakan, berdasarkan waktu pengamatan.

Bulan

M A M J J A S O N D J F

PILB (%) 87.93 80.0 88.7 3

64.7 7

57.1 4

76.1 9

62.83 63.24 60.49 91.30 75.86 91.84

ISC (%) 1.54 1.47 1.52 1.21 1.84 2.30 1.24 1.35 1.90 2.15 2.77 2.29

N (ekor) 102 32 63 57 56 48 71 43 49 105 110 90

CH (mm/bln) 316.5 364.9 346.5 359.1 297.5 263.3 305.2 323.3 409.5 311.8 291.3 191.5 Keterangan; ISC: Index of stomach content, PILB: Persentase ikan dengan lambung berisi

makanan, n: jumlah sampel ikan yang diperiksa, CH : Curah Hujan

Hasil analisis tingkat konsumsi makanan relatif ikan pepija di perairan Pulau Tarakan dengan menggunakan nilai Index of Stomach Content (ISC) memperlihatkan nilai bervariasi dan berfluktuasi tiap bulannya. Tingkat konsumsi makanan relatif ikan pepija berkisar antara 1.21 – 2.77 %. Nilai ISC terbesar (2.77 % dengan PILB 75.86 %) terjadi pada bulan Januari atau saat curah hujan relatif rendah (291.3 mm/bln) dan terendah (1.21 % dengan PILB 64.77 %) pada bulan Juni saat curah hujan tinggi (359.1 mm/bln). Persentase ikan dengan lambung berisi yang tertangkap pada bulan tersebut sebesar 75.86 % sedangkan kondisi sebaliknya terjadi bulan Juni dengan persentase ikan dengan lambung berisi hanya 57.14 %. Persentase ikan dengan lambung berisi berkisar antara 57.14 % - 91.84 %. Persentase tertinggi di bulan Februari dan terendah di bulan Juli.

Tabel 4. Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan waktu pengamatan Waktu

Makanan M A M J J A S O N D J F

Acetes sp (%) 62.28 51.98 27.24 43.20 35.30 23.19 31.81 10.15 18.07 36.09 41.35 45.76

Peneid sp(%) 2.23 14.15 5.99 11.18 3.71 0.36 54.07 50.06 10.47 12.98 44.27 38.82

Argyrosomus sp

(%) 1.60 10.39 0.87 37.29 51.91 59.28 7.46 36.24 51.83 37.06 5.22 2.09

Gazza sp (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00

Stelophorus sp

(%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.00

Ceritium sp (%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00

H. nehereus 0.00 0.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.28 0.03 0.07

Loligo sp(%) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.16 0.03

tak teridentifikasi

(%) 33.89 23.40 65.90 8.33 9.07 17.16 6.65 3.55 19.64 13.59 8.93 13.22

(48)

Tabel 5. Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan stasiun pengamatan. Stasiun

Makanan 1 2 3

Acetes sp(%) 17.14 27.94 46.00

Peneid sp(%) 12.97 33.14 31.24

Argyrosomus s

Gambar

Gambar 1.   Harpadon nehereus
Gambar 2.  Stasiun  pengambilan contoh ikan di perairan Pulau Tarakan :  Stasiun  1: Tj Simaya,  Stasiun 2: Tj Selayu dan Stasiun 3: Tj Juata
Gambar 3.  Fluktuasi suhu bulanan di setiap stasiun di perairan Tarakan.
Gambar 4.  Fluktuasi Kecepatan arus bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan  Fluktuasi kecepatan arus  di ketiga stasiun pengamatan memiliki pola yang  hampir  sama,  walaupun  nilainya  berbeda  dan    perbedaannya  tidak  terlalu  besar  dengan  ren
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi pada pengamatan 48 dan 72 jam populasi Berdasarkan pengamatan pengaruh konsentrasi Pb yang diamati dengan parameter disorientasi gerak berupa gerakan ikan