• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanaman cabai di lapangan dilakukan pada bulan Oktober 2012 hingga April 2013. Lokasi penanaman terletak di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo. Lahan penelitian merupakan lahan dengan jenis tanah latosol yang telah terus menerus digunakan untuk penanaman cabai mengakibatkan pH tanah turun, sehingga sebelum dilakukan penanaman diberikan kapur sebanyak 0.5 kg pada lubang tanam selain itu lahan dibera dan diaplikasikan basamid selama 2 minggu sebelum penanaman pada permukaan lahan untuk mengatasi penyakit layu bakteri.

Penanaman dilakukan pada musim hujan dengan curah hujan berada pada kisaran 297.9-550 mm bulan-1. Curah hujan tertinggi pada bulan November 2012 (550 mm bulan-1) sedangkan curah hujan terendah pada bulan Maret 2013 (297.9 mm bulan-1). Suhu di sekitar lapang berkisar 25-26.2 0C dan kelembaban udara antara 84-88% (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor 2013).

Kegiatan transplating ke lapangan dilakukan pada pertengahan bulan Oktober. Kegiatan ini dilakukan pada musim penghujan dengan kondisi lapangan memiliki kelembapan yang cukup tinggi. Kondisi ini merupakan kondisi optimum untuk hama dan penyakit tanaman tumbuh dan berkembang. Musim hujan mengakibatkan tanaman cabai lebih banyak terserang penyakit dibandingkan terserang hama (Prasath et al 2007). Beberapa penyakit yang banyak ditemukan pada lahan penelitian adalah layu fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. capsici, layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum (E.F.) Sm., penyakit kuning yang disebabkan virus Begomovirus dengan vektor kutu kebul (Bemisia tabaci), dan antraknosa yang disebabkan cendawan Colletotrichum spp. Serangan layu fusarium dan layu bakteri dikarenakan perubahan cuaca yang tidak menentu ditambah kelembapan udara yang tinggi yaitu dapat mencapai 88% pada bulan Januari 2013. Kelembapan udara yang tinggi tersebut dapat meningkatkan penyebaran dan perkembangan penyakit tanaman.

Cabai merupakan salah satu komoditi sayuran yang dikonsumsi segar oleh sebagian masyarakat Indonesia. Cabai dapat dibedakan berdasarkan tipe ukurannya menjadi besar, keriting dan rawit (Berke 2000). Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini tipe cabai yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi adalah tipe cabai besar, selanjutnya baru diikuti tipe cabai keriting dan rawit. Cabai besar memiliki bobot buah mencapai 16 g buah-1, sedangkan cabai keriting memiliki bobot buah hanya mencapai 4 g buah-1, sementara itu cabai rawit hanya memiliki bobot buah sekitar 1.4 g buah-1. Secara data bobot buah cabai besar sangat mengguungguli cabai tipe lainnya. Secara jumlah buah cabai rawit umumnya memiliki jumlah yang lebih banyak dari pada tipe cabai lainnya, diikuti oleh cabai keriting dan terakhir cabai besar. Akan tetapi cabai besar tetapi menggungguli cabai tipe lainnya jika dikonfersikan kedalam bobot buah per tanaman. Menurut Syukur et al (2010a) kondisi ini membuat perlu dilakukan pengembangan dan pembentukan cabai tipe baru dengan memiliki keunggulan gabungan dari karakter beberapa tipe cabai, yaitu dengan ukuran buah yang besar dan jumlah buah yang juga banyak.

Komoditi hortikultura yang dikonsumsi segar harus memenuhi kriteria konsumen (Syukur et al 2012a). Konsumen cabai di Indonesia memiliki kriteria khusus dalam mengonsumsi tipe cabai. Tidak seluruh masyarakat Indonesia mengonsumsi cabai tipe besar, keriting atau rawit secara rutin. Masyarakat yang berdomisili di Jawa Barat umumnya menggunakan cabai tipe besar sebagai sumber warna (merah) pada masakan dan menggunakan tipe cabai rawit sebagai sumber kepedasan pada masakan. Maka tipe cabai yang berkembang dan ditanaman oleh petani di sekitar Jawa Barat adalah tipe cabai besar yang tidak pedas dan tipe cabai rawit sebagai sumber kepedasan. Kondisi yang berbeda terjadi pada masyarakat yang berdomisili di Sumatera Barat, umumnya mereka mengkonsumsi dan menggunakan cabai tipe keriting sebagai sumber warna (merah/hijau) dan sumber kepedasan pada masakan. Oleh karena itu umumnya tipe cabai yang berkembang dan ditanaman oleh petani di Sumatera Barat adalah tipe cabai keriting dengan kepedasan tertentu.

Pengembangan tanaman cabai tipe baru dengan ukuran buah tertentu perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas cabai (Syukur et al 2010a) secara nasional. Perbaikan penampilan tipe cabai keriting dalam rangka peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan pembentukan cabai semi keriting. Tipe cabai ini diharapkan memiliki ukuran sedikit lebih besar dari cabai keriting, dengan tidak menghilangkan ciri khas cabai keriting yang berlekuk-lekuk, jumlah buah yang lebih banyak per tanaman dan tingkat kepedasan tinggi. Menurut Kirana (2006) tipe cabai ini dapat dikembangkan dengan cara melakukan rangkaian kegiatan pemuliaan tanaman. Dengan demikian masyarakat yang umumnya mengkonsumsi tipe cabai keriting dapat menggunakan tipe cabai ini dengan produktivitas yang tinggi.

Kegiatan pemuliaan tanaman cabai diarahkan pada peningkatan daya hasil dengan karakteristik ukuran buah tertentu. Pembentukan cabai tipe semi keritng merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas cabai secara nasional. Peningkatan daya hasil merupakan sasaran utama dalam setiap program pemuliaan tanaman. Oleh karena itu menurut Poehlman dan Sleeper (1977) rangkaian kegiatan pemuliaan tanaman perlu dilakukan. Umumya diawali dengan identifikasi galur-galur potensial yang dapat dijadikan sebagai sumber pembentuk keragaman baru yang diharapkan. Penelitian tahap 1 pada kegiatan pemuliaan ini menggunakan 20 genotipe potensial koleksi laboratorium pendidikan pemuliaan tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang ditanam pada dua lokasi, yaitu di Rimbo Panjang dan Leuwikopo. Lokasi pertama dianggap sebagai lokasi target dengan kondisi lahan sub-optimum, selanjutnya lokasi kedua dianggap sebagai lokasi pembentukan keragaman dengan konsidi optimum. Menurut Roy (2000) penanaman dua lokasi dilakukan dengan harapan pengaruh interaksi genetik dan lingkungan dari 20 genotipe potensial dapat dipisahkan dari pengaruh genetiknya.

Rangkaian kegiatan pemuliaan selanjutnya adalah mengkarakterisasi 20 genotipe yang digunakan. Kegiatan diawali dengan pengamatan karakter kuantitatif pada populasi yang digunakan, diikuti dengan membangkitkan parameter genetik dari setiap karakter yang diamati. Parameter genetik yang diamati memiliputi ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi, nilai heritabilitas arti luas, dan koefisien keragaman genetik dari setiap karakter yang diamati. Analisis ragam gabungan menunjukkan nilai koefisien keragaman

genetik dari setiap karakter yang diamati memiliki kriteria luas kecuali karakter umur berbunga dan tinggi tanaman. Selain itu nilai heritabilitas arti luas pada semua karakter yang diamati tergolong pada kriteria tinggi. Karakter dengan nilai heritabilitas yang tinggi berarti pewarisan sifat lebih banyak dipengaruhi oleh ragam genetik dan sedikit dipengaruhi oleh ragam lingkungannya (Fehr 1987). Selanjutnya, berdasarkan parameter genetik pada populasi awal, genotipe cabai dikelompokan berdasarkan tingkat kemiripannya menggunakan analisis gerombol (cluster analysis). Analisis gerombol dilakukan berdasarkan pengamatan karakter kuantitatif sebelumnya membentuk kelompok-kelompok genotipe tertentu (Eisen et al 1998).

Seleksi akan semakin efektif dan efisien jika nilai duga heritabilitas karakter pada kriteria sedang hingga tinggi. Setiap karakter yang diamati memiliki nilai heritabilitas dengan kriteria tinggi. Nilai heritabilitas memberikan gambaran besarnya konstribusi genetik pada suatu karakter yang ditunjukkan oleh ekspresi fenotipe di lapangan (Azrai et al. 2006) dan dapat dijadikan sebagai ukuran suatu karakter dapat diwariskan. Selain nilai heritabilitas, nilai korelasi antar karakter juga menentukan keefektifan dan keefisienan suatu seleksi. Hasil sidak lintas menunjukkan tidak semua karakter memberikan pengaruh langsung terhadap karakter utama, yakni bobot buah per tanaman. Karakter bobot per buah memiliki nilai pengaruh langsung yang lebih besar dari pada pengaruh totalnya terhadap karakter bobot buah per tanaman. Karakter ini memungkinkan untuk dipilih menjadi penanda seleksi untuk mendapatkan cabai berdaya hasil tinggi. Karakter ini diikuti oleh beberapa karakter lain yang memiliki konstribusi terhadap bobot buah per tanaman, dalam kata lain memiliki pengaruh tak langsung kepada karakter utama atau hasil melalui karakter bobot per buah. Karakter panjang buah memiliki pengaruh tak langsung dan nyata terhadap bobot buah per tanaman melalui bobot per buah tertinggi.

Informasi pada Tabel 34 menunjukkan perbandingan nilai heritabilitas arti luas pada dua populasi tanaman cabai. Populasi I merupakan populasi awal yang terdiri dari 20 genotipe yang dianalisis dan dibangkitkan nilai duga heritabilitas arti luasnya menggunakan analisis ragam gabungan (Gomez dan Gomez 2007). Selanjutnya populasi II merupakan populasi yang terdiri atas 6 tetua terpilih dari 20 genotipe awal dan 30 kombinasi full diallel. Kedua populasi berbeda yang dianalisis untuk membangkitkan nilai duga heritabilitas arti luas menggunakan analisis diallel pendekatan Hayman dan Griffing metode 1 (Sigh dan Chaudhary 1979). Nilai duga heritabilitas pada dua populasi memiliki nilai yang cendrung sama. Hal ini dikarenakan pemilihan 6 genotipe terpilih dianggap telah tepat untuk mewakilkan keragaman genetik dari populasi I (awal). Pemilihan tetua yang didasari jarak genetik yang jauh berdasarkan analisis gerombol dapat menduga studi pewarisan suatu karakter dan dapat mewakilkan keragaman genetik populasi awal apabila tetua-tetua tersebut dikawinsilangkan membentuk populasi dialel penuh (full diallel).

Populasi awal yang digunakan telah dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan tingkat kemiripannya. Luaran (output) analisis gerombol (cluster analysis) adalah dendrogram dengan 7 kelompok yang memiliki tingkat kemiripan 90 (Gambar 3). Pengelompokan genotipe diharapkan dapat membantu dalam pemilihan tetua dalam kegiatan lanjutan untuk merakit varietas cabai unggul baru dengan ukuran buah tertentu dan berdaya hasil tinggi. Studi

pewarisan suatu karakter akan semakin tinggi tingkat keakuratannya, apabila genotipe yang digunakan dalam kegiatan tersebut memiliki jarak genetik yang jauh. Beberapa kelompok genotipe yang dihasilkan menunjukkan dugaan tingkat kemiripan suatu genotipe. Perakitan cabai yang bertujuan untuk mendapatkan varietas cabai dengan tipe semi keriting didapatkan dari hasil persilangan cabai besar dan cabai keriting. Oleh karena itu pemilihan beberapa genotipe cabai untuk diteruskan kepada kegiatan hibridisasi harus meliputi cabai besar hingga keriting. C120 dan C5 dipilih karena berasal dari kelompok yang berbeda jauh, yaitu cabai sumatera keriting panjang dan cabai besar. Selanjutnya C19 dan C2 dipilih sebagai perwakilan cabai yang cukup besar. Terakhir C111 dan C159 dipilih sebagai perwakilan cabai keriting pendek. Pemilihan genotipe yang berasal dari kelompok yang berbeda memberikan manfaat untuk mempelajari pewarisan sifat dari karakter yang diamati.

Tabel 34 Perbandingan nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) pada dua populasi

Karakter

Heritabilitas arti luas (h2bs)

Populasi I (20 genotipe awal)

Populasi II

(6 tetua dengan 30 kombinasinya)

Umur berbunga 0.63 0.84

Umur panen 0.91 0.86

Tinggi tanaman 0.60 0.60

Tinggi dikotomus 0.75 0.90

Panjang buah 0.84 0.93

Panjang tangkai buah 0.78 0.78

Diameter buah 0.82 0.98

Bobot per buah 0.93 0.97

Jumlah buah per tanaman 0.95 0.98

Bobot buah per tanaman 0.80 0.81

Beberapa genotipe terpilih yang didapatkan dari hasil analisis gerombol (cluster analysis) diteruskan untuk kegiatan hibridisasi. Genotipe berperan sebagai tetua dan dilakukan persilangan sesamanya. Seluruh kombinasi persilangan dilakukan dan ditanam untuk membangkitkan informasi pewarisan sifat dan nilai daya gabung setiap tetua yang digunakan pada setiap karakter yang diamati. Informasi pewarisan karakter hasil dan komponennya akan membuat kegiatan seleksi berjalan efektif. Informasi ragam aditif dan ragam dominan yang dihasilkan dapat digunakan untuk menduga arah pengembangan varietas. Menurut Hayman (1954) interaksi gen, pengaruh ragam aditif dan non aditif, proporsi gen dominan terhadap gen resesif dan jumlah gen pengendali sangat penting untuk mengetahui aksi gen dalam mengekspresikan suatu karakter. Program perakitan varietas galur murni dapat dikembangkan jika ragam DGU berpengaruh nyata dan genotipe memiliki nilai duga DGU yang baik. Genotipe C5 merupakan genotipe dengan nilai DGU yang baik pada beberapa karakter yang diamati membuat genotipe ini dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan menjadi varietas galur bersari bebas.

Program perakitan varietas hibrida dapat dilakukan jika ragam DGK berpengaruh nyata dan memiliki nilai duga DGK yang baik pada karakter tertentu. Selain itu, informasi keragaan hibrida terbaik pada setiap karakter juga dapat membantu dalam pemilihan kombinasi persilangan yang akan dikembangkan lebih lanjut. Nilai heterosis yang didukung dengan keragaan yang baik dapat

dipilih untuk diteruskan menjadi calon hibrida. Akan tetapi juga harus diperhatikan bahwa menurut Yustiana (2013) nilai heterosis seringkali tidak berarti jika penampilan karakter belum mencapai tujuan yang diinginkan. Kombinasi persilangan antara C5×C2 memiliki nilai heterosis yang tertinggi (MP=39.82) pada karakter bobot buah per tanaman, namun penampilan karakter bobot buah per tanaman pada pasangan tersebut bukan yang tertinggi (Tabel 35). Penentuan kombinasi persilangan terbaik pada setiap karakter untuk dikembangkan lebih lanjut disesuaikan dengan tujuan pada perbaikan karakter yang dipilih.

Tabel 35. Nilai duga daya gabung khusus (DGK), heterosis (HMP) dan nilai tengah

karakter seleksi persilangan antara tipe cabai besar

Genotipe DB BB BBT DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah C2 × C5 1.54 4.37 18.97 1.41 28.51 11.10 19.02 -0.88 241.71 C2 × C19 -2.63 -13.88 15.76 -0.21 42.03 11.54 44.43 -3.87 259.57 C5 × C2 -0.64 11.39 20.25 -0.77 46.40 12.65 -49.63 39.82 340.96 C5 × C19 1.01 -1.04 18.02 1.38 35.95 11.67 -31.99 -10.96 294.04 C19 × C2 1.68 -32.26 12.40 2.03 -7.96 7.48 -44.99 29.46 349.56 C19 × C5 -1.56 16.08 21.14 -0.52 48.00 12.71 34.96 -32.13 224.12 Keterangan:DGK = daya gabung khusus, HMP = heterosis mid parent, UB = umur berbunga, DB = diameter

buah, BB = bobot per buah, BBT = bobot buah per tanaman

Tabel 36. Nilai duga daya gabung khusus (DGK), heterosis (HMP) dan nilai tengah

karakter seleksi persilangan tipe cabai besar dan keriting

Genotipe DB BB BBT DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah C2 × C111 -0.43 -16.43 10.69 0.43 22.36 6.55 -23.39 -0.63 188.56 C2 × C120 -0.04 2.69 13.42 -0.17 25.60 8.03 -21.02 16.32 253.56 C2 × C159 -0.49 -11.79 11.09 -0.27 8.97 5.52 38.69 67.27 242.21 C5 × C111 -0.58 2.12 12.97 -0.50 14.38 6.65 36.43 24.31 310.71 C5 × C120 1.09 8.29 14.05 0.38 22.89 8.42 -4.80 -3.52 268.41 C5 × C159 -1.21 -4.67 11.90 -0.20 26.35 6.98 -19.47 -28.95 145.67 C19 × C111 0.43 -6.14 12.03 -0.04 12.84 5.98 -9.81 -3.37 266.80 C19 × C120 0.40 9.22 14.31 1.13 65.37 10.48 -32.49 -10.72 271.73 C19 × C159 -0.33 -9.27 11.44 -0.27 18.57 5.94 -47.65 -23.02 177.95 C111 × C2 -0.30 -11.71 11.29 0.06 20.15 6.43 -15.48 15.69 219.52 C111 × C5 0.27 -2.13 12.43 0.00 14.40 6.65 15.91 11.57 278.88 C111 × C19 -0.32 -1.11 12.68 -0.39 27.47 6.75 30.43 -25.42 205.93 C120 × C2 0.81 -9.74 11.79 0.51 9.67 7.01 10.00 7.14 233.55 C120 × C5 -1.54 32.02 17.13 -0.73 44.32 9.89 -22.30 12.51 313.01 C120 × C19 0.76 -2.39 12.79 1.32 23.84 7.85 20.90 -24.45 229.94 C159 × C2 0.45 -19.02 10.18 0.04 7.25 5.43 13.70 48.34 214.80 C159 × C5 0.12 -6.62 11.66 0.35 13.76 6.29 -55.61 25.31 256.90 C159 × C19 0.14 -11.53 11.15 0.12 13.65 5.69 17.03 -37.75 143.89 Keterangan:DGK = daya gabung khusus, HMP = heterosis mid parent, UB = umur berbunga, DB = diameter

buah, BB = bobot per buah, BBT = bobot buah per tanaman

Berdasarkan informasi pada Tabel 35, kombinasi persilangan antara cabai besar berpotensi untuk dikembangkan jika memperhatikan nilai tengah pada karakter seleksi yang digunakan adalah C2×C19, C5×C2, C5×C19 dan C19×C2. Kondisi ini karena nilai tengah dari beberapa kombinasi tersebut di atas rata-rata produksi nasional yaitu 250 g tanaman-1 atau 6 ton ha-1 (BPS 2011). Selain itu juga terdapat satu kombinasi potensial lainnya karena memiliki nilai heterosis dan nilai

tengah tertinggi pada karakter seleksi yang digunakan, yaitu C19×C5. Nilai heterosis menjadi pertimbangan dalam pemilihan kombinasi persilangan karena merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam membentuk benih hibrida komersil selain didapatkanya metode yang efisien dan ekonomi (Darlina et al. 1992) dan bentuk penampilan superior hibrida yang dihasilkan dibandingkat dengan kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1995).

Pembentukan hibrida sangat memperhatikan nilai DGK, heterosis dan nilai tengah kombinasi persilangan yang dihasilkan. Dalam hal ini nilai tengah suatu karakter utama menjadi fokus utama dalam pemilihan kombinasi terbaik dengan pertimbangan nilai DGK dan heterosis. Pada persilangan antar cabai besar dan keriting yang dilakukan, terdapat beberapa kombinasi dengan nilai tengah bobot buah per tanaman yang melebihi rata-rata produksi nasional, yaitu C2×C120, C5×C111, C5×C120, C19×C111, C19×C120, C111×C5, C120×C5, C159×C5 (Tabel 36). Selanjutnya terdapat dua kombinasi dengan potensi genetik yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut karena memiliki nilai DGK tertinggi, yaitu C2×C159 dan C120×C19. Kondisi ini diduga penampilan kedua kombinasi tersebut masih dipengaruhi besar oleh kondisi lingkungan yang belum optimal. Tabel 37. Nilai duga daya gabung khusus (DGK), heterosis (HMP) dan nilai tengah

persilangan antara tipe cabai keriting

Genotipe DB BB BBT DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah DGK HMP Nilai tengah C111 × C120 -0.76 -5.34 7.18 -0.27 15.06 4.11 23.71 37.72 308.61 C111 × C159 0.67 -3.86 6.82 0.59 27.43 2.86 -9.30 4.39 157.51 C120 × C111 0.09 -7.63 7.01 0.00 15.15 4.11 34.28 7.13 240.05 C120 × C159 0.53 6.95 7.88 0.32 33.29 4.37 70.04 26.42 226.46 C159 × C111 -0.19 1.63 7.21 -0.16 41.91 3.18 -9.05 16.38 175.61 C159 × C120 -0.21 12.62 8.30 -0.01 34.06 4.40 -56.59 89.59 339.63 Keterangan: DGK = daya gabung khusus, HMP = heterosis mid parent, DB = diameter buah, BB = bobot per

buah, BBT = bobot buah per tanaman

Kombinasi persilangan C111×C120 dan C159×C120 merupakan kombinasi potensial untuk mengembangkan cabai hibrida tipe keriting (Tabel 37), karena memiliki nilai tengah bobot buah per tanaman di atas rata-rata nasional. Nilai tengah pada karakter hasil menjadi informasi awal untuk menghasilkan tanaman berdaya hasil tinggi melalui kegiatan pemuliaan tanaman adalah salah satu patokan dalam memilih hibrida terbaik (Roy 2000). Selain itu kombinasi C111×C159, C120×C159 dan C159×C111 juga memiliki potensi genetik yang baik untuk dikembangkan, terlihat dari nilai DGK dan nilai heterosis yang tergolong tinggi pada karakter seleksi yang diamati.

Pemilihan hibrida terbaik selalu memperhatikan nilai duga DGK (daya gabung khusus), nilai heterosis dan nilai tengah suatu karakter yang diinginkan. Pada penelitian ini terlihat bahwa nilai duga DGK tidak selalu sebanding dengan nilai heterosis yang diperoleh. Kondisi ini memungkinkan terjadi karena nilai DGK diduga dari nilai tengah suatu kombinasi persilangan yang dikoreksi dengan nilai tengah kombinasi persilangan lainnya yang memiliki hubungan half-sib, sedangkan nilai heterosis diduga dari nilai tengah suatu kombinasis persilangan dengan memperhatikan nilai tengah kedua tetuanya tanpa memperhatikan nilai tengah kombinasi persilangan lainnya yang memiliki hubungan half-sib.

7 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait