• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

BAB 4 KONDISI UMUM

1. Reproduktif Jenis makanan v

5.5 Pembahasan Umum

Guna mendukung pembangunan perikanan pantai yang responsif gender, Dislutkan tidak harus bekerja sendiri tetapi perlu bekerjasama dengan sektor lainnya, antar-sektoral. Kerjasama antar sektoral tersebut dapat terjalin antara dinas teknis (Dislutkan) dengan instansi yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat yaitu BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kabupaten Subang yang menjadi koordinator Forkom Gender yang melaksanakan program pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Subang yang terkait dengan pengembangan SDM masyarakat. KUD Mina yang mengelola TPI pun perlu dilibatkan dalam pelaksanaan program karena KUD Mina juga memperoleh keuntungan dari jerih payah nelayan. Disamping itu, KUD dapat mengembangkan usaha baru dari pemasaran produk baru dari nelayan dan pengolah ikan, tidak seperti saat ini yang hanya mengandalkan pelelangan ikan basah. Kerjasama terintegrasi ini diharapkan akan dapat memberikan hasil yang tepat sasaran (efektif) dan menekan biaya (efisien), karena program pengembangan SDM khususnya kepada masyarakat nelayan berkaitan pada upaya mengubah pola pikir dan perilaku yang membutuhkan usaha jangka panjang dan bersinambung. Hal ini sesuai dengan pernyataan FAO (2005) dan Perpres No. 7 Tahun 2005 bahwa perencanaan dan proses kebijakan terintegrasi antar sektoral akan berpengaruh untuk meningkatkan profil perikanan skala kecil dalam arena kebijakan. Selama ini perikanan skala kecil sering ditinggalkan dari mekanisme perencanaan nasional dan proses pengambilan keputusan yang mengakibatkan perikanan skala kecil diabaikan dalam pembangunan perdesaan atau program pengentasan kemiskinan.

Menurut Charles (2001), empat aspek pembangunan perikanan yang berkelanjutan meliputi aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan ekologi. Tinjauan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai juga terkait dengan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles, namun karena aspek ekologi tidak terkait secara langsung dengan isu gender, maka dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis ekologi. Analisis gender terkait langsung dengan aspek sosio-ekonomi, komunitas dan kelembagaan, sedangkan

dalam bahasan dalam aspek ekologi dikaitkan dengan perilaku nelayan sebagai pemangku kepentingan dalam kegiatan perikanan pantai.

Masyarakat nelayan mengandalkan sumberdaya ikan sebagai sumber matapencahariannya, oleh karena itu kelestarian sumberdaya ikan menjadi sangat penting. Nelayan lokal melaut di wilayah pesisir utara Subang dan kadangkala hingga ke pesisir Kabupaten Karawang, dengan waktu melaut satu hari masih dapat menangkap ikan. Untuk saat ini kondisi ekologi setempat masih memungkinkan untuk habitat ikan, tetapi penggunaan jaring arad yang merusak lingkungan oleh nelayan lokal, cepat atau lambat, akan menghancurkan ekosistem laut, yang berarti aspek ekologi yang berkelanjutan pun akan terancam. Untuk menjamin aspek ekologi berkelanjutan maka program pemerintah berupa penggantian jaring arad dengan jaring yang tidak merusak lingkungan laut (ramah lingkungan) seperti jaring rampus modifikasi seyogyanya dilanjutkan dengan berbagai kemudahan bagi nelayan kecil untuk memperolehnya, sesuai kebutuhan untuk melaut. Sosialisasi tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan jaring arad sudah pernah dilakukan kepada nelayan, tetapi kesulitan memperoleh jaring pengganti menyebabkan jaring arad masih tetap digunakan oleh para nelayan. Kesulitan memperoleh jaring yang ramah lingkungan dapat dilakukan melalui pelatihan pembuatan jaring. Pelatihan ini ditujukan kepada nelayan dan perempuan nelayan. Pada umumnya perempuan nelayan banyak membantu suaminya untuk memperbaiki jaring yang rusak dan membuat jaring baru. Pelatihan ini dapat menjadi salah satu upaya pengembangan SDM dan perekonomian bagi keluarga nelayan. Keluarga nelayan yang mampu membuat jaring yang ramah lingkungan, selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga dapat menjualnya. Dengan demikian, dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi keluarga nelayan.

Kaum perempuan yang memasarkan ikan mengetahui tentang mutu ikan yang diminta oleh pasar serta harga jualnya. Melalui pengetahuan akan mutu ikan ini, kaum perempuan akan mengingatkan kaum lelaki untuk menangkap ikan secara selektif yaitu yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan demikian, nelayan akan berhati-hati dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, termasuk dalam hal penggunaan jenis jaring ikan, mengingat hasil tangkapan ikan dengan

jaring ikan umumnya adalah ikan dengan mutu rendah yang dihargai rendah juga oleh pasar. Aspek ekologi juga terkait dengan aspek sosio-ekonomi, khususnya dalam hal penggunaan alat tangkap. Perempuan yang beran sebagai penjual ikan merupakan pengambil keputusan dalam hal produksi dengan menentukan jenis dan mutu ikan yang akan dijual.

Ancaman terhadap perairan laut juga datang dari pencemaran air akibat pembuangan limbah. Pada umumnya masyarakat membuang sampah padat dan limbah cair baik dari perumahan atau usaha perikanan ke sungai. Limbah ini dapat merusak habitat ikan, khususnya yang terletak di dekat pantai. Sampai saat ini belum ada tindakan untuk mengurangi pembuangan limbah ke perairan umum. Dengan demikian, perlu ada pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan perempuan tentang bahaya membuang limbah ke perairan lingkungan laut yang dapat mengakibatkan rusaknya habitat ikan karena akan mengganggu stok ikan yang hidup di perairan sekitar pantai dan akhirnya akan merugikan kaum nelayan sendiri. Pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan perempuan tentang lingkungan hidup diharapkan akan menumbuhkan kesadaran mereka terhadap pemeliharaan lingkungan hidup dan mampu meningkatkan partisipasi dalam bertindak dan mempertahankan ekologi agar berkelanjutan, karena mereka sendiri yang akan terkena dampak. Pembinaan ini merupakan suatu upaya pendidikan lingkungan hidup (PLH) kepada komunitas pesisir dan nelayan. Upaya pendidikan lingkungan lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan Kerangka Kerja Komunikasi, Informasi dan Edukasi atau KIE (lihat Subbab 2.3) disertai sosialisasi kesetaraan gender. Dengan demikian, keterlibatan pemangku kepentingan dalam pembangunan perikanan pantai secara nyata ditujukan kepada komunitas pesisir, lelaki dan perempuan. Sikap dan perilaku komunitas pesisir tidak akan dapat berubah tanpa adanya pembinaan dari pemerintah sebagai pihak pengambil keputusan dan pemegang otoritas pengelolaan kelautan dan perikanan. Hal ini memperkuat pernyataan OECD (1996) bahwa melalui intervensi pembangunan maka posisi perempuan dapat diperkuat dan dapat membawa kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Ditinjau dari aspek sosio-ekonomi, bidang perikanan laut di Kabupaten Subang cukup baik, 50 persen dari produksi perikanan pada tahun 2005 adalah hasil penangkapan di laut. Pada tahun 2005 penyerapan tenaga kerja di bidang penangkapan laut meningkat 0,5 persen dibanding tahun 2004, sedangkan penyerapan tenaga kerja bidang pengolahan hasil perikanan pada tahun 2005 meningkat 5 persen dibanding tahun 2004 (lihat Subbab 4.2). Kaum nelayan jarang yang beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Jika ada yang beralih profesi, lingkup pekerjaan barunya tidak jauh dari usaha perikanan laut, seperti pedagang atau pengolah ikan. Dengan demikian, melihat ketergantungan ini maka program pembangunan perikanan pantai seyogyanya memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan.

Di lokasi penelitian tampak banyak orang yang mengandalkan hidup pada kegiatan perikanan. Secara individual, nelayan lokal masih hidup secara subsisten. Pendapatan sehari-hari mereka hanya cukup untuk makan. Untuk menambah pendapatan keluarga, banyak perempuan nelayan yang menjadi buruh pengolahan ikan. Pelatihan kepada perempuan nelayan dapat membantu meningkatkan SDM mereka; pembinaan tersebut harus ada pendampingan baik oleh aparat Pemda atau lembaga lain seperti KUD Mina, agar tujuan pembinaan tercapai. Pelatihan tentang pengolahan ikan yang dapat dibarengi dengan pelatihan kewirausahaan. Keterampilan yang diperoleh lewat pembinaan akan membuka kemungkinan bagi mereka untuk dapat mengolah hasil tangkapan ikan suami sehingga hasil produksi ikan yang dijual sudah mempunyai nilai tambah. Tujuan dari pengembangan kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan yang mungkin dapat menurunkan tekanan terhadap stok ikan dan mencegah kerusakan lingkungan alam karena mereka sudah menyeleksi jenis ikan yang diperlukan untuk diolah yang berarti mereka harus menggunakan alat tangkap yang tertentu ukurannya dan yang dapat berarti alat tangkap ramah lingkungan. Namun kendala yang mungkin dihadapi oleh pelaksana program adalah masyarakat pesisir umumnya berorientasi “hari ini” yaitu mereka cukup puas dengan hasil yang diperoleh hari ini dan tidak terlalu memikirkan hari esok. Oleh karena itu, pembinaan tersebut perlu disertai oleh pendampingan karena pelaksanaannya memerlukan waktu yang cukup lama dan bersinambung. Peran KUD Mina pun

menjadi penting, karena mereka harus mengembangkan usaha baru untuk menjual hasil olahan ikan, tidak sekedar melelang ikan basah. SDM dari pengurus dan pegawai KUD Mina pun perlu ditingkatkan untuk keperluan pengembangan usaha baru ini agar KUD pun dapat memetik keuntungan dari diversifikasi usaha mereka. Hal ini memperkuat pendapat Kusumastanto (2003) yang mengemukakan bahwa di Indonesia sulit ditemukan koperasi yang sudah beroperasi pada peningkatan mutu produk, pengolahan hasil, dan pemasaran.

Aspek komunitas ini terkait dengan aspek sosio-ekonomi, karena pelaku kegiatan perikanan merupakan perseorangan yang menjadi anggota dari suatu komunitas. Jika nelayan masih dapat hidup dari hasil menangkap ikan di laut maka keberadaan komunitas nelayan pun akan tetap ada. Kegiatan perikanan laut di lokasi penelitian tertolong dengan adanya nelayan pendatang dengan armada perahu yang lebih moderen sehingga dapat menangkap ikan di wilayah yang jauh dari pantai dan jauh dari wilayah Kabupaten Subang. Namun demikian, perlu adanya inovasi usaha dan pengembangan teknologi tepat-guna di bidang perikanan laut dan pantai agar nelayan lokal yang banyak menganggur di musim paceklik ikan masih dapat menghidupi keluarganya, disamping itu waktu luang tersebut dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan acara pembinaan kepada masyarakat, lelaki dan perempuan.

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, pembinaan kepada masyarakat pesisir bertujuan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam melestarikan lingkungan karena kehidupan mereka banyak tergantung pada sumberdaya ikan. Pembinaan kepada masyarakat harus memperhatikan tiga unsur dalam pendidikan yaitu peningkatan pengetahuan (kognitif), pengubahan sikap ke arah yang positif (afektif) dan pengubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Pembinaan masyarakat ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, pelibatan lintas instansi secara terkoordinasi lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu perubahan perilaku masyarakat pesisir. Pembinaan dan pengembangan SDM masyarakat pesisir, lelaki dan perempuan sebagai pemangku kepentingan, dapat menggunakan upaya KIE atau komunikasi, informasi dan edukasi.

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan kepada masyarakat nelayan dan pesisir, lelaki-perempuan, adalah sulitnya memotivasi mereka untuk bersedia hadir sebagai peserta pembinaan. Masyarakat perlu dimotivasi bahwa tujuan kegiatan pembinaan adalah untuk pengembangan diri mereka. Selama ini ini masyarakat setempat banyak memperhitungkan keuntungan apa yang akan diperoleh jika hadir dalam acara pembinaan dibanding dengan perolehan pekerjaan mereka sebagai bakul atau pengolah ikan yang sehari-hari mereka lakukan dan keuntungan tersebut langsung diperoleh atau tidak. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembinaan kepada masyarakat nelayan sebaiknya dilakukan pada saat paceklik dimana mereka banyak menganggur sehingga mereka bersedia hadir pada acara pembinaan tersebut. Selain itu, pembinaan kepada kaum perempuan sebaiknya diselenggarakan tidak jauh dari tempat tinggal mereka, karena umumnya para suami melarang istri mereka pergi jauh meninggalkan keluarga dan rumah.

Media lain untuk pembinaan adalah melalui kegiatan keagamaan. Ketaatan masyarakat dalam menjalankan perintah agama membuat mereka rajin menghadiri pengajian atau majelis taklim setiap minggu. Untuk memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan diri sendiri, ustadz (guru lelaki) atau ustadzah (guru perempuan) dapat berperan dalam penyampaian informasi atau pengetahuan (knowledge) baru kepada masyarakat sehingga menimbulkan kesadaran atau sikap (attitude) baru yang diharapkan dapat mengubah perilaku mereka yang berorientasi hari ini menjadi berorientasi ke masa depan. Interaksi yang intensif antara guru agama dengan muridnya melalui upaya KIE diharapkan akan dapat memotivasi masyarakat untuk mengembangkan SDM mereka sendiri. Temuan ini memperkuat hasil penelitian Prawoto (2001) yang menyatakan bahwa salah satu motivator di perdesaan adalah ulama atau pemuka agama.

Usaha untuk meningkatkan pengembangan diri masyarakat, khususnya usia dewasa, juga dapat dimulai dengan upaya KIE. Upaya KIE ini bertujuan untuk menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan bagi pengembangan SDM, sehingga mereka bersedia untuk mengikuti paket Kejar dan upaya pembinaan lainnya serta dapat mendorong atau memotivasi anak-anak mereka untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.

Ditinjau dari aspek kelembagaan, pengelolaan perikanan pantai di Kabupaten Subang berada dalam kewewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan). Oleh karena perempuan nelayan berperan aktif dalam kegiatan perikanan laut dan pantai maka diperlukan reformulasi program dan kegiatan Dislutkan agar lebih responsif gender.

Dalam rangka pembinaan kepada masyarakat, Dislutkan perlu meningkatkan kemampuan SDM tenaga penyuluh kelautan dan perikanan baik dari segi kualitas dan kuantitas (lihat Subbab 4.3.3), disamping itu petugas lapangan pun perlu dipilah berdasarkan gender. Berhubung masyarakat pesisir umumnya taat beragama maka akan lebih baik jika pengajar dari acara pembinaan berjenis kelamin yang sama dengan peserta didiknya sehingga interaksi antara pengajar dan peserta akan berlangsung dalam kondisi yang lebih kondusif atau lebih santai dan terbuka.

Kerjasama antar-sektoral, seperti BPMD dan Dinas Pendidikan serta lembaga lain seperti KUD Mina dan perguruan tinggi diperlukan untuk tujuan pengembangan SDM masyarakat pesisir. Kerjasama ini disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, sehingga dalam pelaksanaannya program dapat berjalan efektif dan efisien. Kerjasama dengan BPMD dan Dinas Pendidikan banyak terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan, sehingga masyarakat termotivasi untuk maju dan mensejahterakan diri. Dalam hal pengembangan teknologi perikanan laut dan pantai berbasis lokal, Dislutkan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk mencari inovasi baru yang sesuai dengan kondisi setempat, sehingga masyarakat bersedia ikut berpartisipasi melaksanakannya, karena bermanfaat bagi mereka.

Partisipasi masyarakat nelayan, lelaki dan perempuan, dalam proses pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat dilakukan melalui pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Dengan demikian, program disusun berdasarkan kesepakatan antara kebijakan pengambil keputusan yaitu pemerintah dan kebutuhan masyarakat pelaku lelaki dan perempuan, sehingga masyarakat pun bersedia untuk berpartisipasi sehingga tujuan program tercapai.

Dalam hal kelembagaan, KUD Mina juga memegang peranan penting dalam membantu pelaksanaan program pemerintah yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat. KUD Mina di lokasi penelitian sampai saat ini baru menyediakan jasa pelelangan ikan hasil tangkapan laut dan simpan pinjam uang untuk anggota. Memang tidak dipungkiri bahwa keberadaan KUD Mina telah menghidupkan kegiatan ekonomi di lokasi penelitian, sehingga pasokan ikan untuk dilelang di TPI dapat berlangsung terus tanpa musim, karena ikan laut yang dilelang berasal dari berbagai wilayah, termasuk dari luar wilayah Kabupaten Subang. KUD Mina perlu melakukan pengembangan usaha untuk memajukan nelayan lokal agar lebih sejahtera seperti pemasaran hasil olahan ikan produksi nelayan lokal.

Masalah yang umum dihadapi oleh nelayan kecil adalah modal kerja. Keperluan memperoleh modal kerja bagi nelayan belum dapat dipenuhi seluruhnya oleh KUD Mina. KUD Mina hanya dapat memberikan pinjaman dana berdasarkan kemampuan nelayan memperoleh ikan yang dapat mereka jual ke TPI. Oleh karena itu, di Desa Muara masih dapat dijumpai Bakul Ikan yang memberi pinjaman uang dan fasilitas kepada nelayan dengan kompensasinya adalah nelayan menjual ikan kepada Bakul Ikan tersebut. Di lokasi penelitian sudah ada Bank Rakyat Indonesia (BRI), tetapi nelayan kecil tidak mampu menyediakan agunan untuk permohonan kredit, sehingga jarang nelayan kecil menjadi nasabah BRI. Selain itu, proses peminjaman yang memerlukan waktu lama membuat nelayan terhambat untuk berangkat melaut karena tidak ada modal kerja. Kekurangan modal kerja ini dapat mempengaruhi kinerja nelayan untuk berangkat melaut.

Salah satu lembaga yang mungkin dapat memberi bantuan modal kerja adalah lembaga keuangan mikro dan belum ada di lokasi penelitian. Salah satu bentuk lembaga keuangan mikro adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang membantu nelayan kecil melalui program qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga). Disamping itu, BMT merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip Islam, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat, dengan demikian pemuka dan guru agama lokal dapat membantu terlibat dalam sosialisasi tentang BMT kepada masyarakat. Kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan umumnya adalah kredit macet, karena peminjam tidak dapat atau tidak mau

membayar hutangnya, padahal saat panen nelayan mendapat uang banyak, tetapi kadangkala habis untuk berfoya-foya atau konsumerisme. Selain itu, perlu penanaman prinsip keharusan untuk membayar hutang yang dipinjam kepada nelayan atau kaum lelaki di pesisir melalui ajaran agama sebagai suatu prinsip hidup. Selama ini yang cenderung rajin membayar hutang adalah kaum perempuan, tetapi mereka enggan untuk mengambil kredit karena kuatir tidak dapat membayar hutang tersebut. Oleh karena itu, KUD Mina dan Bakul Ikan menetapkan kebijakan penjualan ikan sebagai kompensasi pemotongan hutang dari nelayan, agar tidak terjadi kredit macet yang dapat merugikan KUD dan Bakul Ikan.

Rekapitulasi dari kegiatan dari program untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender yang dikaitkan dengan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 41.

Tabel 41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang

Aspek pembangunan perikanan yang

berkelanjutan

Program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender

Ekologi Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: sosialisasi tentang

jaring yang merusak lingkungan, sosialisasi tentang pencemaran lingkungan, pelatihan pembuatan jaring yang ramah lingkungan.

Sosio-ekonomi Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: pelatihan tentang pengolahan ikan, pelatihan kewirausahaan

Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan, termasuk budidaya pantai, pengolahan ikan.

Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan, termasuk kemudahan memperoleh modal kerja, pemasaran jaring ramah lingkungan buatan masyarakat lokal.

Komunitas Pembinaan kepada lelaki dan perempuan tentang motivasi diri atau pengembangan diri

Peningkatan pendidikan kepada lelaki dan perempuan, seperti paket Kelompok Belajar (Kejar) A, B dan C

Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan

Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan.

Kelembagaan Pembinaan kepada SDM Dislutkan dan KUD Mina, lelaki dan perempuan tentang pengarusutamaan gender

Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan bagi lelaki dan perempuan

Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan. Kerjasama Dislutkan dengan perguruan tinggi

Pengembangan akses usaha bagi lelaki dan perempuan seperti pendirian lembaga keuangan mikro, pengembangan pemasaran dari KUD Mina dalam bentuk hasil olahan ikan.

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan pada saat ini apakah sudah responsif gender atau belum. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang belum responsif gender. Kesenjangan gender yang terjadi adalah karena pengabaian pentingnya kontribusi peran perempuan pada tahap pra- dan pasca penangkapan ikan seperti persiapan perbekalan, penyortiran dan penjualan ikan dimana pada tahap-tahap tersebut peran perempuan menonjol. Dalam hal pengelolaan keuangan, kontrol perempuan lebih besar daripada lelaki, hal ini disebabkan oleh stereotipi dalam komunitas setempat bahwa perempuan itu pelit dan pintar mengatur keuangan, sebaliknya lelaki itu boros dan tak dapat mengatur keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa isu gender yang mengemuka adalah adanya bias gender dalam proses pencatatan peran produktif di kalangan komunitas nelayan dan dalam partisipasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan yang tidak dilakukan berdasar data terpilah menurut jenis kelamin.

Kaum perempuan menanggung beban lebih banyak dibandingkan dengan kaum lelaki dalam rumahtangga di lokasi penelitian. Hal tersebut tampak dari banyaknya tugas dan alokasi waktu yang harus disediakan kaum perempuan untuk mengerjakan kegiatan dalam lingkup rumahtangga, kegiatan produktif dan kegiatan kemasyarakatan. Namun dari segi pengambilan keputusan, suami merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam urusan pekerjaan produktif dan kemasyarakatan yang bersifat politik, sedangkan istri lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga, termasuk mengelola keuangan. Kebutuhan gender pada komunitas perikanan laut dan pantai saat ini masih ditekankan pada kebutuhan praktis gender (KPG) yaitu memperbaiki kondisi perempuan.

Secara keseluruhan, perempuan terabaikan dari proses pembangunan karena: (1) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil

dalam komunitas; dan (2) menanggung beban ganda. Perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah.

Tujuan kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai. Hasil uji korelasi antara sikap dengan pendidikan formal, pekerjaan, status pekerja dan pendapatan menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi akibat mutu sumberdaya manusia (SDM) lelaki dan perempuan komunitas pesisir yang relatif rendah (umumnya berpendidikan akhir sekolah dasar), pekerjaan yang tergantung pada sumber yang sama yaitu perikanan laut dimana adanya pasokan tergantung musim menyebabkan adanya kesamaan sikap terhadap