• Tidak ada hasil yang ditemukan

SECARA IN VITRO

PEMBAHASAN UMUM

Secara global, kenaikan emisi karbondioksida memberikan dampak terhadap peningkatan suhu bumi. Peningkatan suhu bumi yang signifikan menyebabkan perubahan iklim dunia. Berbagai pengaruh yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya meningkatnya permukaan air laut dan ketidakteraturan musim di berbagai belahan dunia. Pada akhirnya, pengaruh perubahan iklim secara tidak langsung menyebabkan berkurangnya produksi pangan dunia. Menurut Konuma (2013) kendala-kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi bahan pangan dunia yaitu 1) perluasan areal mengalami stagnasi, 2) berkurangnya sumber air, 3) penurunan produktivitas, 4) ketidak pastian dalam hal kenaikan harga bahan bakar dan pangan sebagai akibat perubahan iklim, bencana alam, dan perkembangan biofuel.

Pada tahun 2012, penduduk dunia mencapai 7 milyar jiwa dan akan meningkat menjadi 9.2 milyar jiwa pada tahun 2050. Kondisi pangan dunia dalam keadaan kritis, dikarenakan sekitar 0.8 milyar jiwa menderita kelaparan pada tahun 2012. Oleh karena itu, pemanfaatan jenis pangan alternatif selain padi, gandum, sorgum, dan kentang sangat diperlukan.

Jenis komoditas pertanian penting Indonesia antara lain padi, singkong, kelapa sawit, jagung, karet, kelapa, tebu, ubi jalar, kentang, kedelai, kakao, kopi, dan tembakau (Mc Kinsey Global Institute 2012). Tanaman sagu merupakan tanaman dengan keunggulan produktivitas pati yang tinggi belum masuk ke dalam daftar komoditas pertanian penting Indonesia. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (2013) menyatakan bahwa luas potensi indikatif hutan sagu alami di Papua dan Papua Barat saja mencapai 3.2 juta ha. Dengan potensi sekitar 20-40 ton/ha, maka potensi produksi pati sagu yang dapat diperoleh dari luasan tersebut yaitu 64-128 juta ton pati kering. Jika diasumsikan 32 juta ton pati dapat memberi makan 200 juta jiwa, maka dari jumlah 64-128 juta ton pati sagu tersebut dapat memberi makan 800 juta penduduk dunia, sehingga sagu dapat menjadi salah satu jawaban atas masalah kelaparan dunia. Dengan demikian, pengembangan industrialisasi sagu diperlukan untuk menyediakan alternatif pangan.

Pengembangan industrialisasi sagu skala luas untuk pasar baik di dalam dan luar negeri memerlukan kebun sagu yang dikelola dengan baik. Pengelolaan kebun sagu secara baik akan mempertahankan kontinuitas produksi pati sagu. Penataan hutan sagu alami menjadi kebun sagu dan perluasan area kebun sagu membutuhkan bibit dalam jumlah besar. Saat ini, masyarakat telah membudidayakan tanaman sagu secara konvensional dengan menggunakan bahan tanam berupa sucker (anakan sagu). Sucker merupakan bahan tanam hasil perbanyakan vegetatif induk tanaman sagu, sehingga sucker jika ditanam akan sama dengan induknya (true to type).

Rata-rata jumlah rumpun di hutan sagu alami untuk 1 ha yaitu sekitar 75 rumpun sagu (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat 2013). Jika dari setiap rumpun dapat diambil sekitar 3-5 sucker, maka jumlah bibit sagu yang dapat dihasilkan dari setiap ha sekitar 225-375 sucker. Pengembangan industrialisasi sagu membutuhkan penataan hutan alami menjadi kebun sagu. Jika asumsi rata-rata jumlah rumpun per ha sekitar 75 rumpun, maka untuk penataan hutan alami menjadi kebun dengan jarak tanam 8 m x 8 m dibutuhkan 203

94

sucker/ha (asumsi; 20% mati di persemaian dan 50% mati saat transplanting). Pengembangan industrialisasi sagu melalui penataan hutan alami menjadi kebun dari luasan 1 juta ha dibutuhkan sekitar 203 juta sucker. Dengan demikian, teknologi perbanyakan masal (mass propagation) dengan menggunakan teknik in vitro untuk mendapatkan bibit yang seragam, tersedia dalam jumlah banyak, dalam waktu cepat dan true to type sangat diperlukan. Perbanyakan bibit tanaman sagu melalui kultur in vitro baik secara organogenesis maupun embriogenesis telah dilakukan. Namun, penelitian yang telah dilakukan belum mendapatkan hasil optimal dikarenakan kultur asenik yang diperoleh terbatas. Tanaman sagu merupakan tanaman tahunan, sehingga perbanyakan bibit melalui embriogenesis dengan menggunakan eksplan shoot tip maupun organogenesis langsung dengan menggunakan eksplan daun muda (young leaf) memberikan respon yang lambat terhadap peubah-peubah yang diamati.

Perbaikan teknologi persemaian secara konvensional dengan mengguna kan sucker harus dilakukan untuk meningkatkan persentase bibit hidup di persemaian sampai penanaman ke lapangan. Perlakuan jenis auksin dan tiga bobot sucker yaitu 500-999 g, 1000-1499 g, dan 1500-2000 g diharapkan dapat memberikan peningkatan persentase bibit hidup, sehingga dapat mencukupi kebutuhan bibit dalam pengembangan industrialisasi berbasis sagu. Hasil percobaan dengan menggunakan media persemaian polibag menunjukkan bahwa perlakuan jenis auksin 7.04 mM IBA menghasilkan persentase bibit hidup 70% dan perlakuan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan persentase bibit hidup 63.75% sampai dengan 4 BSS. Dengan demikian, rekomendasi kombinasi jenis auksin 7.04 mM IBA dan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan persentase bibit hidup sampai 4 BSS untuk persemaian polibag.

Hasil percobaan dengan menggunakan media persemaian rakit menunjuk kan bahwa perlakuan tanpa auksin (kontrol) menghasilkan persentase bibit hidup yang tertinggi yaitu 63% dan perlakuan bobot sucker 1000-1499 d serta 1500- 2000 g menghasilkan persentase bibit hidup yaitu 65% sampai 4 BSS. Dengan demikian, rekomendasi untuk persemaian media rakit dapat menggunakan bobot sucker 1000-1499 g dan 1500-2000 g tanpa auksin sebagai bahan tanam.

Kombinasi antara perlakuan jenis auksin 7.04 mM NAA dan 7.04 mM AK pada bobot sucker 500-999 g menunjukkan bahwa diameter rachis ke-1 di media persemaian rakit lebih besar dibandingkan dengan media persemaian polibag pada 4 BSS. Kombinasi jenis auksin dengan bobot sucker 1000-1499 g tidak berbeda nyata terhadap diameter rachis ke-1. Kombinasi jenis auksin 7.04 mM AK dengan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan diameter rachis ke-1 yang lebih besar di media persemaian rakit dibandingkan dengan media persemaian polibag, berturut- turut yaitu 5.9 cm dan 1.2 cm.

Secara umum, kombinasi perlakuan tanpa auksin dan bobot sucker 500- 999 g, perlakuan tanpa auksin dan jenis auksin 7.04 mM IBA dan bobot sucker 1000-1499 g, serta perlakuan tanpa auksin, jenis auksin 7.04 mM IBA, 7.04 mM AK dan bobot sucker 1500-2000 g menunjukkan bahwa jumlah akar primer lebih banyak terinisiasi di persemaian polibag dibandingkan dengan persemaian rakit. Perlakuan kombinasi jenis auksin 7.04 mM NAA dengan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan jumlah akar nafas di persemaian rakit yang berbeda nyata dibandingkan dengan persemaian polibag, berturut-turut yaitu 7.08 dan 1.

Berdasarkan hasil percobaan tersebut diduga bahwa fungsi akar primer di media persemaian polibag digantikan oleh akar nafas di media persemaian rakit.

SIMPULAN

Perbanyakan tanaman sagu melalui kultur jaringan diharapkan dapat menjadi solusi bagi perluasan pengembangan sagu skala industri. Penelitian mengenai perbanyakan sagu melalui kultur jaringan pada penelitian ini belum mendapatkan hasil yang optimal.

Hasil percobaan dengan menggunakan media persemaian polibag menunjukkan bahwa perlakuan jenis auksin 7.04 mM IBA menghasilkan persentase bibit hidup 70% dan perlakuan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan persentase bibit hidup 63.75% sampai dengan 4 BSS. Hasil percobaan dengan menggunakan media rakit menunjukkan bahwa perlakuan tanpa auksin (kontrol) menghasilkan persentase bibit hidup yang tertinggi yaitu 63% dan perlakuan bobot sucker 1000-1499 d serta 1500-2000 g menghasilkan persentase bibit hidup yaitu 65% sampai 4 BSS.

Kombinasi perlakuan tanpa auksin dan bobot sucker 500-999 g, perlakuan tanpa auksin dan jenis auksin 7.04 mM IBA dan bobot sucker 1000-1499 g, serta perlakuan tanpa auksin, jenis auksin 7.04 mM IBA, 7.04 mM AK dan bobot sucker 1500-2000 g menunjukkan bahwa jumlah akar primer lebih banyak terinisiasi di persemaian polibag dibandingkan dengan persemaian rakit. Perlakuan kombinasi jenis auksin 7.04 mM NAA dengan bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan jumlah akar nafas di persemaian rakit yang berbeda nyata dibandingkan dengan persemaian polibag, berturut-turut yaitu 7.08 dan 1

Bobot sucker 1000-1499 g dan 1500-2000 g dapat menjadi sumber bibit yang mendukung ketersediaan bibit di lapangan. Akar primer lebih banyak terinisiasi di persemaian polibag dibandingkan dengan persemaian rakit. Akar nafas lebih banyak terinisiasi di persemaian rakit dibandingkan dengan persemaian polibag. Berdasarkan hasil percobaan tersebut diduga bahwa fungsi atau peran akar primer di persemaian polibag dilakukan oleh akar nafas di persemaian rakit.

SARAN

Penelitian lebih lanjut terkait organogenesis dan embriogenesis tanaman sagu perlu dilakukan. Hal tersebut terkait kebutuhan bibit tanaman sagu unggul dalam jumlah besar sangat diperlukan untuk pengembangan sagu nasional. Persemaian rakit dengan kadar lumpur rendah dengan menggunakan ukuran bibit 1000-1499 g dan 1500-2000 perlu dilakukan untuk mendapatkan validasi persentase hidup yang tinggi bobot tersebut sehingga layak dijadikan sumber bibit. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kombinasi perlakuan jenis auksin IBA dan bobot sucker 1500-2000 g untuk meningkatkan persentase bibit hidup yang lebih tinggi di media persemaian polibag.

96