• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Sagu (Metroxylon spp.)

Tanaman sagu merupakan jenis palma penghasil karbohidrat tinggi yang berasal dari batang. Potensi karbohidrat yang dapat diperoleh berupa pati kering dari tanaman sagu yaitu sekitar 838 kg/pohon (Saitoh et al. 2004) dan Yamamoto dalam Bintoro (2008) melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Selain itu, tanaman sagu yang tergenang sampai dengan satu bulan memiliki kondisi pati tetap baik. Namun sampai dengan saat ini, pemanfaatan tanaman sagu belum memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal, terutama di daerah Papua.

Indonesia memiliki keragaman genetik tertinggi dan sebaran terluas untuk tanaman sagu. Ehara (2009) menyatakan bahwa sagu merupakan energi pokok di beberapa daerah seperti Pulau Siberut (Sumatera Barat), pulau-pulau di Bagian Timur Indonesia (Maluku dan Papua), Melanesia Bagian Barat (Papua New Guinea). Menurut Bintoro et al. (2010) luas area hutan alami sagu di Indonesia

mencapai lebih dari satu juta hektar dan keragaman sampai dengan 60 jenis sagu di Papua. Daerah sebaran sagu di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Luasan hutan sagu alami sekitar 90% dan keragaman yang tinggi dijumpai di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tanaman sagu di Indonesia merupakan 60% dari area sagu dunia. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki biodiversitas sagu terbesar. Kertopermono (1996) melaporkan bahwa luasan sagu di Indonesia sekitar 1 528 917 ha dan tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Sebaran dan luasan tanaman sagu dibeberapa kawasan di Indonesia diantaranya Irian Jaya 1 406 469 ha, Ambon 41 949 ha, Sulawesi 45 540 ha, Kalimantan 2 795 ha, Jawa Barat 292 ha, dan Sumatra 31 872 ha. Darmoyuwono (1984) menyatakan bahwa luasan hutan sagu untuk Irian Jaya saja sekitar 4.2 juta ha.

Hasil penelitian Abbas et al. (2009) mengelompokkan populasi sagu di Indonesia menjadi dua kelompok besar. Kelompok I yaitu Jayapura, Serui, Sorong, Pontianak, dan Selat Panjang. Kelompok kedua yaitu populasi tanaman sagu dari Manokwari, Ambon, Palopo, dan Bogor. Kelompok pertama dibagi kembali menjadi dua sub kelompok. Sub kelompok pertama yaitu Jayapura, Serui, Sorong, sedangkan sub kelompok kedua yaitu populasi dari Pontianak dan Selat Panjang. Perbedaan hubungan kekerabatan diantara pupulasi tanaman sagu mungkin disebabkan penyerbukan persilangan. Menurut Jong (1995) bahwa secara umum polinasi tanaman sagu terjadi secara menyerbuk silang dengan waktu kedewasaan bunga jantan dan betina yang berbeda. Ditambahkan oleh Latta dan Mitton (1997) bahwa perbedaan populasi mungkin disebabkan adanya migrasi polen.

Ekologi Tanaman Sagu

Tanaman sagu mampu beradaptasi dengan baik pada lahan kering yang lembab dan lahan tergenang. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993)

menyatakan bahwa habitat asli tanaman sagu di sekitar tepian sungai yang cenderung tergenang dan berlumpur tetapi secara berkala mengering. Ditambahkan oleh Flach (1997) bahwa pada lahan kering yang lembab, tanaman sagu kalah bersaing dengan tumbuhan hutan lainnya, akibatnya jumlah anakan berkurang, namun kadar patinya tinggi.

Tanaman sagu umumnya tumbuh di daerah marginal, seperti halnya di tanah gambut, dibandingkan dengan dengan tanaman lainnya. Tanaman tersebut juga banyak tumbuh di daerah rawa, lebak dan di daerah tergenang. Menurut Bintoro (2008) tanaman sagu masih dapat menghasilkan pati sagu pada lama genangan 9-12 bulan. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) menyatakan bahwa pada agro iklim Oldeman, sagu dapat tumbuh di zone A, B1, B2, C1, C2, D1, D2, dan E1 di Maluku dan Irian Jaya. Sagu dapat tumbuh pada kawasan yang memiliki bulan basah lebih dari 3-9 bulan, tetapi bulan keringnya kurang dari 2 bulan.

Pati sagu yang dihasilkan bervariasi dari 200-900 kg per pohonnya, bergantung pada daerah tumbuh, asal bibit (unggul), kerapatan pertanaman, dan teknik budidaya. Jenis tanah berpengaruh terhadap produksi pati per pohon. Mulyanto dan Suwardi (2000) menyatakan bahwa jenis tanah Sufic fluvaquent (tanah alluvial), Mollic psammaquent (tanah berpasir), Typic sulfaquent (mengandung bahan sulfidik), Typic (normal) dan Vertic (liat) tropaquent (kawasan iklim tropika) memberikan produksi pati per pohon berturut-turut 153, 160, 223, dan 345 kg.

Teknik budidaya juga diperlukan pada tanaman sagu untuk mendapatkan potensi optimal. Bahan tanam, jarak tanam, pemangkasan anakan (thinning out), pengontrolan jumlah anakan, pemenuhan kebutuhan nutrisi, sistem drainase dan periode panen merupakan hal-hal penting terkait budidaya tanaman sagu.

Media Persemaian Polibag

Media yang biasa digunakan sebagai media perbibitan adalah tanah. Selain itu, arang sekam juga dapat digunakan sebagai campuran media pembibitan. Octaviani (2009) menyatakan bahwa arang sekam memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan stek nenas (Ananas comosus L Merr) terutama pada pertumbuhan tinggi tunas, panjang akar, jumlah akar dan persentase stek berakar. Selain itu, media arang sekam lebih mudah diaplikasikan dan sudah dapat dianggap steril, karena proses pembuatannya.

Warna hitam pada media arang sekam menyebabkan daya serap terhadap panas tinggi sehingga menaikkan suhu dan mempercepat perkecambahan. Campuran media tanah dan arang sekam (1:1) lebih baik dibandingkan media tanah, media tersebut menyebabkan media tanam menjadi lebih berpori, sehingga memungkinkan terjadinya aerasi yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman Ki pahang (diameter batang, jumlah helai daun, luas daun, panjang akar, dan jumlah akar). Pencampuran media antara tanah dan arang sekam juga meningkatkan daya pegang air, tanpa menimbulkan air jenuh (Sabur 2011).

Djajadi et al. (2010) menambahkan bahwa pencampuran media yang menyebabkan aerasi yang lebih baik memudahkan respirasi akar. Acquaah (2002) menyatakan bahwa semakin besar ruang pori suatu media tanam akan semakin

8

baik aerasinya. Selain itu, media tanam juga harus mempunyai kemampuan memegang air yang baik, drainase yang baik, dan pH yang sesuai dengan jenis tanaman serta mengandung unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

Pada pertumbuhan vegetatif yang pesat, karbohidrat yang diangkut ke akar lebih sedikit jika dibandingkan ke tajuk, sehingga petumbuhan akar lebih lambat dari pertumbuhan tajuk. Porsi yang didapatkan oleh tajuk lewat indikator luas dan jumlah daun serta tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan dengan akar. Hal tersebut dibuktikan dengan bobot tajuk yang lebih besar dibandingkan dengan bobot akar. Rasio tajuk akar banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, seperti konsentrasi nitrat pada media tanam. Semakin rendah rasio tajuk akar maka konsentrasi nitrat di media tersebut juga rendah. Pada fase vegetatif yang pesat, karbohidrat yang diangkut ke akar relatif sedikit. Akar kekurangan karbohidrat jika dibandingkan tajuk sehingga pertumbuhan akar lebih lambat dibandingkan dengan tajuk, akibatnya rasio tajuk akar menjadi lebih tinggi. Rasio tajuk akar pada tanaman juga berkaitan dengan asimilat yang ditranslokasikan ke daun dan akar. Setelah tanaman membentuk cabang, pembagian asimilat lebih banyak ditrasnlokasikan ke tajuk (batang, cabang, dan daun). Tajuk yang sedang berkembang menyerap karbohidrat lebih banyak, sedangkan akar menyerap lebih sedikit (Darmawan dan Baharsjah 2010).

Hartmann et al. (2002) juga mengemukakan bahwa tidak maksimalnya pertumbuhan vegetatif pada fase bibit disebabkan hambatan fisik media tumbuh. Perubahan diameter batang tanaman Ki pahang ternyata mirip dengan perubahan tinggi bibit pada fase vegetatif. Pengaruh media tanam cukup dominan dalam meningkatkan pertumbuhan.

Setiap tanaman memiliki kemampuan hidup yang relatif sama, namun kemampuan adaptasi dan pertumbuhan masing-masing tanaman pada media baru setelah disapih ternyata relatif bervariasi (Sofyan dan Islam 2007). Kondisi seperti ini diduga menjadi penyebab bertambahnya jumlah daun dan luas daun pada media yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda pula. Wicaksono (2009) menyatakan bahwa media tanam cemara gunung (Casuarina junghuhniana Miq) tidak perlu disiapkan secara khusus, campuran antara tanah dan arang sekam sudah dapat meningkatkan pertumbuhan semai.

Rofik dan Murniati (2008) menyatakan bahwa penggunaan media porous dari media arang sekam menghasilkan respon pertumbuhan panjang akar tertinggi pada benih aren jika dibandingkan dengan media lainnya karena banyaknya ruang pori yang memungkinkan akar dapat tumbuh dan berkembang baik. Gruda dan Schnitzler (2004) menambahkan bahwa ketersediaan O2 di dalam media tumbuh sangat esensial untuk respirasi dan pertumbuhan akar. Keberadaan O2 di dalam media tumbuh dipengaruhi oleh kadar air media dan sifat fisik media seperti distribusi ukuran pori, jaringan arsitektur pori, dan tingkat pemadatan media.

Fungsi air sebagai penyusun utama protoplas, bahan baku dalam proses fotosintesis, dan pelarut dalam sejumlah proses hidrolisis. Serapan air yang terbatas akan menyebabkan terhambatnya berbagai aktivitas sel (Taiz dan Zeiger 2012). Stress air yang ringan saja (sekitar -1 sampai -3 bar) sudah dapat menghambat pembelahan dan pembesaran sel, bahkan dapat berhenti sama sekali (Harjadi dan Yahya 1988).

Ketersediaan bibit tanaman sagu sangat diperlukan untuk pengembangan sagu secara nasional. Teknologi persemaian dilakukan dengan mengelola

lingkungan tumbuh yang disesuaikan dengan karakteristik tanaman. Media tanam, kecukupan aerasi tanah, ketersediaan air, dan kondisi bahan tanam berpengaruh terhadap keberhasilan persemaian.

Media tanam yang memiliki aerasi baik akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan akar yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Gardner et al. (1991) bahwa peningkatan porositas akan meningkatkan aerasi sehingga mendorong peningkatan respirasi akar. Dresboll dan Kristensen (2011) menambahkan bahwa melalui proses respirasi akar dihasilkan sejumlah energi yang antara lain digunakan mendukung pertumbuhan tanaman. Hal ini menegaskan pentingnya aerasi dalam hubungannya dengan O2 karena kandungan O2 tersebut dipengaruhi oleh kadar air, porositas media dan derajat pemadatan. Pemadatan media kurang mendukung perkembangan akar. Media padat memberikan daya pegang air yang tinggi tetapi air tersebut tidak dapat tersedia bagi tanaman.

Unsur hara merupakan ion yang bermuatan positif seperti K+, Ca2+, NH4+, ataupun ion bermuatan negatif seperti NO3-, SO32-, HPO42- yang terlarut dalam air. Ion-ion tersebut berasal dari bahan mineral tanah sebagai hasil dekomposisi bahan organik ataupun dari pupuk yang diberikan. Air merupakan media penggerak bagi ion untuk berdifusi dan bergerak melalui aliran massa sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Air berperan penting dalam membantu ion-ion tersebut menjadi tersedia bagi tanaman. Hal inilah yang menyebabkan jika terjadi kekurangan air maka seringkali diikuti kekurangan hara disebabkan kelarutan hara yang rendah di dalam tanah (Taiz dan Zeiger 2012; Hamim 2007). Tanaman sagu merupakan tanaman monokotil yang memiliki akar primer, sekunder, dan akar nafas. Akar nafas membantu tanaman sagu untuk dapat beradaptasi dengan baik pada tanah-tanah tergenang.

Media Persemaian Rakit

Kegiatan persemaian bibit sagu umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem rakit. Sistem rakit menggunakan pelepah sagu sebagai tempat persemaian. Anakan sagu yang memenuhi kriteria disusun di atas rakit sedemikian rupa agar banir yang terendam dan rakit ditempatkan dalam air yang mengalir di tempat teduh (Haryanto dan Pangloli, 1992). Suryana (2007) mengatakan bahwa bibit yang direndam bagian pangkal bawahnya pada air mengalir akan menghasilkan presentase bibit yang tumbuh lebih dari 80%.

Menurut Papilaya (2009) anakan sagu dapat direndam secara langsung dalam air atau sungai kecil atau kolam yang mengalir. Bintoro et al., (2010) menambahkan bahwa bibit sebelum disemai ter-lebih dahulu direndam pada larutan fungisida biasanya digunakan Manzate 200, Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 gL-1 selama 1-2 menit, kemudian bibit di-keringanginkan. Tujuan perendaman bibit untuk mematikan hama dan penyakit yang mungkin terbawa.

Menurut Listio (2007), bibit yang disemai pada musim hujan akan me- miliki daya hidup yang lebih baik dibandingkan bibit yang disemai pada musim kemarau, karena bibit yang ditanam pada musim kemarau rawan kekeringan dan mengeras sehingga sukar tumbuh.

10

Persemaian bibit sagu selama 3 bulan. Bibit sagu setelah berumur 3 bulan akan memiliki jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit siap ditanam ke lapangan. Persemaian yang terlalu lama akan menyebabkan bibit menjadi besar (akar banyak, daun berkisar 4-6 daun) (Bintoro et al., 2007).

Teknik persemaian bibit sagu dapat menggunakan rakit (sistem kanal), kolam lumpur dan polibag (Schuiling 2009). Pinem (2008) menyatakan bahwa persemaian di media kanal yang paling baik, karena bibit sagu di media kanal selalu mendapatkan air sehingga mendukung penambahan jumlah dan lebar daun. Percepatan pembibitan dengan menggunakan bibit dengan bobot kurang dari 2 kg sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan bibit di lapangan. Menurut Jong (2007) persemaian di kanal memiliki persentase hidup bibit yang tinggi yaitu 80%. Wibisono (2011) menyatakan meskipun persentase bibit hidup di persemaian rakit tinggi yaitu sekitar 80%, namun lebih dari 40% bibit mati pada saat dipindahtanamkan ke lapangan. Pinem (2008) menambahkan bahwa persemaian menggunakan kolam, tinggi air kolam tidak selalu sama, hal tersebut membuat bibit sagu seringkali menjadi stres sehingga pertumbuhannya tidak maksimal.

Persemaian Tanaman Sagu

Persemaian anakan sagu pada kondisi yang sesuai merupakan hal penting dalam memaksimalkan persentase tumbuh bibit di persemaian. Anakan sagu yang akan disemai diambil dari induk tanaman sagu dengan kualitas baik. Bahan persemaian diambil pada saaat kondisinya masih segar. Kriteria sumber bibit sagu yang baik yaitu bibit sagu dipilih dari rumpun yang berproduksi tinggi. Bibit diambil saat fase anakan, cadangan energi yang berupa banir (bonggol) sudah keras, memiliki akar yang banyak, berbentuk huruf L, bagian tajuk berwarna hijau tua dan segar, anakan sagu tidak terserang hama atau penyakit, dan bibit tidak menempel pada pohon induk.

Jika sucker sagu yang diambil dari lapangan dalam keadaan segar tidak segera disemai, maka pengkabutan diperlukan untuk mengurangi transpirasi dan menjaga kadar air sucker. Hal yang harus dilakukan pada pengambilan anakan sagu, sebagai bahan persemaian yaitu mempertahankan kelembaban (status air), meminimalisasi terjadinya kekeringan dan serangan patogen.

Penggunaan fungisida sistemik penting diaplikasikan untuk mencegah serangan dari mikroorganisme. Perlakuan fungisida mampu memberikan ketahanan yang akan berimpikasi pada peningkatan kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas akar tanaman. Peningkatan pengakaran bergantung pada metode aplikasi (pembasahan keseluruhan bagian tanaman, perendaman atau penyatuan ke media tanam), spesies tanaman, fase pertumbuhan, dan kondisi lingkungan (Arteca 1996).

Hasil penelitian Andriani (2012) menunjukkan bahwa persentase bibit hidup dengan perlakuan pupuk K dan paranet 70% mengalami penurunan dari awal tanam hingga 10 minggu setelah tanam pada persemaian polibag yaitu 57.6%. Bibit sagu ditanam di bawah naungan paranet 70%, sebelum penanaman eksplan dibersihkan dari jaringan mati, kemudian dipangkas sekitar 30 cm di atas banir. Hasil penelitian Hofsah (2012) menunjukkan aplikasi pupuk P dengan

bobot sucker 500-999 g tidak berpengaruh terhadap persentase bibit hidup rata- rata yaitu 68.2%. Namun demikian, Ahmad (2012) menyatakan bahwa penggunaan bobot sucker 500-999 g dengan perlakuan kontrol (tanpa pupuk), pemberian 3 g/polibag dan 15 g/polibag pupuk N setelah penanaman dan paranet 75% memberikan persentase bibit hidup berturut turut 68.5%, 77.5%, dan 45% pada 10 minggu setelah penanaman di persemaian polibag. Faktor lingkungan se- perti suhu dan kelembaban dalam paranet mempengaruhi tingkat kematian bibit. Suhu mencapai 32.31-34.67°C dan kelembaban 75.38-58.33 % diduga mengakibatkan persentase hidup yang menurun.

Bibit Tanaman Sagu

Tanaman sagu diperbanyak secara vegetatif. Perbanyakan tanaman sagu tersebut memberikan kemudahan memperoleh bibit sebagai bahan tanam sehingga memberikan keuntungan secara komersial bagi pembukaan kebun sagu skala kecil maupun skala luas. Bibit sagu diperoleh dari rumpun tanaman sagu, biasanya dalam satu rumpun dapat diperoleh 5-10 calon bibit, bergantung pada luas rumpun sagu.

Sampai saat ini, bibit sagu yang diambil dari anakan sagu masih menjadi pilihan terbaik untuk perluasan kebun sagu. Bibit sagu yang diambil dari lapangan memiliki keragaman umur dan bobot bibit, sehingga sulit untuk memperoleh bibit dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan bibit skala luas. Masalah utama dalam pembibitan yaitu persentase hidup bibit sagu masih rendah yaitu sekitar 70 % di persemaian rakit, dan 50 % saat ditanam ke lapangan.

Penelitian terkait karakteristik bibit sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bobot optimal yang mampu meningkatkan persentase hidup bibit pada awal pertumbuhan tanaman sagu. Menurut Bintoro et al. (2010), perlakuan pemangkasan sucker sebekum bahan tanam diletakkan di persemaian bertujuan untuk mempercepat inisiasi tunas dan akar. Perlakuan pemangkasan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang daun bibit sagu.

Omori et al. (2002) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mem- pengaruhi persentase hidup bibit sagu diantaranya memangkas rhizome dan akar, perlakuan naungan di pembibitan, kedalaman penanaman, dan metode pemeliharaan bibit. Sebagai tambahan, rhizome bibit sagu yang mengandung nutrisi (karbohidrat) di bagian intinya diduga secara signifikan berkontribusi terhadap kemampuan hidup selama awal pertumbuhan. Selama pembentukan awal, tingginya kandungan pati juga sangat penting untuk kemunculan organ vegetatif baru seperti daun dan akar baru.

Sucker tanaman sagu mengandung pati. Pati sebagai cadangan energi bibit sebelum bibit sagu memiliki tunas dan akar di persemaian. Al Ghamdi (1988) menyatakan bahwa induksi akar pada anakan kurma bergantung pada bobot diduga disebabkan karena tidak diketahuinya bahan kimia endogenus yang bertugas sebagai promotor pembentuk akar. Anakan berumur 3-4 tahun dengan bobot 12-20 kg dianjurkan untuk perbanyakan yang baik.

12

Jenis Auksin

Auksin komersial yang digunakan merupakan hormon tumbuh yang mampu merangsang tumbuhnya akar dan merupakan gabungan dari beberapa hormon tumbuh dengan komposisi yaitu Naftalenasetamida 0.20%, 2-metil-1- naftalen asetat 0.03%, Idol-3-butirat 0.06%, dan Thiram 4.00%, serta secara ekonomi penggunaannya hemat dan terjangkau. Menurut Suartini (2006), tiga senyawa yang memiliki inti naphathalene berfungsi memperbanyak dan mendorong timbulnya suatu perakaran sedangkan satu senyawa aktif yang mengandung indole bermanfaat untuk memperbanyak dan mempercepat perakaran. Selain itu, Thiram berfungsi sebagai fungisida.

IBA dan NAA masih merupakan auksin yang paling umum digunakan dalam merangsang perakaran (Blazich 1989). IBA dan NAA merupakan kelompok auksin sintetik yang banyak digunakan sebagai penginduksi akar. Sebagian besar tanaman memberikan respon yang baik dan efektif untuk merangsang pengakaran. Keuntungan penggunaan auksin yaitu: 1) stek menghasilkan persentase akar yang tinggi, 2) inisiasi akar lebih cepat, 3) jumlah dan kualitas akar per stek meningkat, dan 4) keseragaman panjang akar meningkat (Arteca 1996).

Metode aplikasi agen induksi perakaran ada tiga cara yaitu aplikasi campuran bubuk auksin, perendaman dalam larutan yang telah diencerkan, dan pencelupan cepat dalam larutan dengan konsentrasi tertentu. Metode pencelupan merupakan metode yang sangat populer karena murah, cepat, mudah, dan diperoleh keseragaman perlakuan stek (Hartmann et al. 1990).

Menurut Gaspar et al. (1996), NAA sangat diperlukan dalam masa pertumbuhan organogenesis termasuk pembentukan tunas daun. Menurut Riyadi dan Tahardi (2005) perlakuan kombinasi NAA dan IBA menghasilkan pengakaran yang lebih tinggi dibanding NAA secara tunggal, meskipun secara tunggal NAA dapat menginduksi pengakaran. Menurut Gaspar et al. (1996) auksin sangat diperlukan dalam pertumbuhan organogenesis termasuk dalam pembentukan akar.

Jika selama ini, bibit yang digunakan cukup terbatas pada bobot sucker sekitar 2.5-5 kg, masih diperlukan alternatif bobot sucker yang lebih kecil untuk meningkatkan ketersediaan bibit siap tanam di lapangan. Percobaan bobot sucker (500-999, 1000-1499, dan 1500-2000 g), penggunaan jenis auksin (IBA, NAA, dan auksin komersial) untuk merangsang perakaran, dan tempat persemaian yaitu polibag dan rakit diperlukan untuk mendapatkan kombinasi perlakuan terbaik, sehingga dapat menjamin ketersediaan bibit yang lebih banyak.

Martin (2003) menyatakan bahwa jenis auksin indole-3-acetic acid (IAA), indole-3-butyric acid (IBA), dan 1-naphthalene-acetic acid (NAA) dilaporkan telah banyak digunakan untuk menginduksi perakaran secara ex-vitro pada tanaman berkayu. Afzal et al. (2011) menambahkan bahwa aplikasi IAA, IBA, NAA, 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) dan gibberellic acid (GA3) pada konsentrasi 1000, 2000 and 3000 mgL-1 serta kombinasinya berhasil menginduksi akar pada anakan (aerial offshoot) kurma kultivar Hallawi.

Nasir (1996) melaporkan bahwa dua jenis anakan kurma, yang pertama dari anakan tidak berakar dengan bobot 12-20 kg, sedangkan yang kedua dari anakan berakar dengan bobot 1-4 kg; 5-11 kg: dan 12-20 kg. Aplikasi zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi (0, 500, 1000, 2000 mgL-1) diberikan pada tanaman

contoh anakan kurma. Aplikasi ZPT pada anakan kurma berakar dengan bobot 11- 20 kg lebih baik dalam menginisiasi perakaran dibandingkan dengan bobot 1-4 kg. Konsentrasi IBA yang lebih tinggi menghasilkan jumlah akar, rambut akar, daun, dan panjang daun serta persentase bibit hidup yang lebih baik. Namun demikian, ketebalan akar menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi IBA. Metabolisme IBA ditemukan pada proses perakaran anakan kurma. Konsentrasi IBA menghasilkan jumlah akar yang lebih lebih banyak dan waktu perakaran yang lebih cepat dibandingkan dengan anakan yang tidak diberikan perlakuan (kontrol). Lebih lanjut, Qaddoury dan Amssa (2004) menyatakan bahwa aktivitas dari IAA oksidase dan peroksidase meningkat, sementara fenol dan tingkat auksin menurun. Jumlah akar yang sedikit dan keterlambatan akar terinduksi telah diamati pada anakan yang tidak diberi perlakuan (kontrol).

Teknologi kultur jaringan tanaman sagu

Teknologi kultur jaringan sudah banyak dikembangkan pada berbagai komoditas tanaman. Perkembangan kultur jaringan tanaman sagu melalui embrio somatik belum banyak memberikan hasil. Tanaman sagu merupakan tanaman monokotil dan tergolong jenis palem yang berkembang biak, baik secara vegetatif maupun generatif. Perbanyakan secara generatif seperti kebanyakan tanaman lainnya, yaitu dengan menggunakan biji. Tanaman sagu dapat menghasilkan biji dalam jumlah yang sangat banyak, namun karena batang tanaman sagu dipanen sebelum berbunga maka produksi biji sagu sangat jarang dan perkecambahannya rendah. Selain itu, terdapat perbedaanwaktu reseptif bungan jantan dan bunga betina sehingga penyerbukan tidak mudah terjadi, meskipun bungan jantan dan betina terletak dalam satu pohon yang sama.

Perbanyakan vegetatif tanaman sagu yaitu dengan menggunakan anakan (sucker). Sampai dengan saat ini, baik masyarakat maupun perkebunan sagu masih menggunakan anakan sebagai bibit dalam perbanyakan tanaman sagu. Namun dengan perluasan pengembangan tanaman sagu dalam skala komersial, perbanyakan tanaman sagu dengan menggunakan anakan menjadi sesuatu yang kurang menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan bahwa tidak seluruhnya anakan sagu yang ada pada satu rumpun dapat digunakan sebagai bibit, ketersediaan bibit sagu sulit diprediksi, dan ketidakjelasan genetik sagu dari indukan tanaman sagu