• Tidak ada hasil yang ditemukan

SELAMA PENYIMPANAN DENGAN PELAPISAN LILIN

6 PEMBAHASAN UMUM

Permasalahan dalam usaha produksi dan pengembangan jahe putih besar (JPB) antara lain adalah: kebutuhan benih sangat tinggi (2–3 ton ha-1) yang disebabkan oleh ukuran rimpang yang voluminous (40–60 g per bahan tanaman), produksi dan mutu rimpang benih yang masih rendah, serta bobot rimpang benih yang cepat menyusut dan mudah bertunas saat di penyimpanan. Percobaan dengan pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan telah dilakukan untuk meningkatkan produksi dan mutu rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari: (1) Perubahan Morfologi, Fisiologi dan Biokimia selama Pembentukan dan Perkembangan Rimpang Benih Jahe Putih Besar dan (2) Peningkatan Produksi dan Mutu Rimpang Benih Jahe Putih Besar dengan Aplikasi Paclobutrazol. Selanjutnya percobaan dengan pendekatan perubahan fisiologi dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan telah dilakukan untuk meningkatkan daya simpan rimpang benih JPB yaitu dengan mempelajari: (3) Perubahan Mutu Fisiologis Rimpang Benih Jahe Putih Besar selama Penyimpanan pada Umur Panen Berbeda, dan (4) Mutu Fisiologis Rimpang Benih Jahe Putih Besar selama Penyimpanan dengan Pelapisan Lilin dan Aplikasi Paclobutazol.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pola pertumbuhan tajuk dan rimpang JPB selama pembentukan dan perkembangannya secara umum diklasifikasikan atas tiga fase yaitu: fase lambat 1–4 bulan setelah tanam (BST), cepat (> 4–6 BST), dan pemasakan (> 6 BST). Rimpang cabang primer, sekunder dan tersier terbentuk selama fase pertumbuhan lambat. Rimpang cabang kuarter dan rimpang cabang selanjutnya berkembang pesat pada fase cepat. Pada fase pemasakan, peningkatan jumlah rimpang cabang dan bobot basah relatif stabil. Kadar air (85.9±2.3%) dan bobot bahan kering (14.1±2.3%) mulai konstan (Percobaan 1 dan Gambar 33).

Fase pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih erat kaitannya dengan viabilitas sebagai tolok ukur mutu benih, karena viabilitas dipengaruhi oleh tingkat kemasakan rimpang benih. Penggunaan rimpang yang cukup umur (mencapai fase pemasakan) sebagai bahan tanaman merupakan salah satu persyaratan rimpang benih bermutu. Hasil penelitian menunjukkan rimpang benih JPB umur 7 BST (fase pemasakan) sudah layak digunakan sebagai bahan tanaman karena mempunyai pertumbuhan bibit, pertumbuhan tanaman dan produksi yang sama dengan rimpang benih umur 8 dan 9 BST (Percobaan 1 dan 3).

Produksi dan mutu rimpang benih JPB juga sangat ditentukan oleh peran hormon endogen auksin (IAA), asam absisat (ABA), giberelin (GA) dan sitokinin selama pembentukan dan perkembangan rimpang. Hormon endogen disamping berperan dalam meningkatkan ukuran dan jumlah rimpang benih yang dihasilkan, juga berperan dalam mengontrol periode dormansi pada rimpang benih JPB (Percobaan 1 dan 3).

Gambar 33 Grafik hipotetik pola pertumbuhan dan perkembangan rimpang benih JPB yang diproduksi di Bogor

Keterangan:

PR = perkembangan rimpang PT = pertumbuhan tajuk

KA = kadar air

V = Viabilitas ABK = akumulasi bahan kering Rimpang benih yang berasal dari Kelurahan Kayumanis, Bogor ketinggian 200 m dari permukaan laut (dpl), dengan tekstur tanah berupa pasir 3.3%, debu 16.4% dan liat 80.3%, suhu rata-rata 26˚C, jumlah curah hujan rata-rata pada saat produksi 389 mm bulan-1 menghasilkan kandungan ABA yang relatif rendah dan seimbang dengan kandungan sitokinin, GA dan IAA. Kandungan ABA pada rimpang primer umur 7 BST sebesar (874±34 nmol g-1 bahan kering), sitokinin (767±14 nmol g-1 bahan kering ), IAA (656±11 nmol g-1 bahan kering) dan GA (277±46 nmol g-1 bahan kering), dengan rasio ABA/sitokinin 1.1 dan rasio ABA/GA 3.2 (Percobaan 1). Sebaliknya rimpang benih JPB yang berasal dari Desa Nagrak, Sukabumi (550 m dpl) dengan suhu rata-rata 24˚C jumlah curah hujan rata-rata pada saat produksi 190.6 mm bulan-1 menghasilkan kandungan hormon ABA (1 838±314 nmol g-1 bahan kering), yang jauh lebih tinggi dibanding dengan hormon sitokinin (372±28 nmol g-1 bahan kering), IAA (828±251 nmol g-1 bahan kering) dan GA (343±98 nmol g-1 bahan kering) pada umur yang sama, dengan rasio ABA/sitokinin 5.0 dan ABA/GA 5.3 (Percobaan 3).

Dormansi rimpang benih JPB lebih ditentukan oleh rasio ABA/sitokinin dibanding dengan rasio ABA/GA. Rasio ABA/sitokinin (1.1) yang lebih rendah pada rimpang yang berasal dari Bogor tidak menyebabkan terjadinya periode dormansi pada rimpang umur 7 BST (Percobaan 1). Sebaliknya rasio ABA/sitokinin (5.0) yang tinggi untuk rimpang benih JPB yang berasal dari daerah Nagrak, menyebabkan terjadinya periode dormansi pada umur yang sama (Percobaan 3). Suttle (2004) melaporkan bahwa hormon yang berperan dalam regulasi dormansi pada umbi kentang yaitu asam absisat, sitokinin dan etilen. ABA berperan dalam mempertahankan dormansi sedangkan sitokinin terlibat dalam menginduksi

pelepasan dormansi. Hormon IAA dan GA mempunyai peran tidak langsung dalam mengontrol dormansi, yaitu berperan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan tunas.

Hasil penelitian memberikan indikasi bahwa perbedaan lokasi tanam diduga mempengaruhi pola keseimbangan hormon endogen. Daerah Nagrak dengan ketinggian tempat yang lebih tinggi (550 m dpl) dengan suhu (24 ˚C) dan curah hujan lebih rendah (190.6 mm bulan-1) dibanding Bogor (dengan ketinggian 200 m dpl, suhu rata-rata 26˚C, jumlah curah hujan rata-rata pada saat produksi 389 mm bulan-1) menghasilkan kandungan ABA yang lebih tinggi. Hal ini diduga karena tanaman menyesuaikan diri dengan kondisi ketersediaan air dan suhu yang lebih rendah sehingga tanaman akan memproduksi hormon ABA lebih banyak dibanding hormon endogen lainnya sebagai pertahanan terhadap cekaman suhu dan air.

Keseimbangan hormon endogen diduga selain dipengaruhi secara alami oleh perbedaan ketinggian tempat, iklim mikro dan jumlah curah hujan, juga dapat dikontrol dengan pemberian zat pengatur tumbuh yaitu paclobutrazol (PBZ) secara eksogen. Pengontrolan pertumbuhan dalam meningkatkan produksi dan mutu oleh PBZ dilakukan dengan cara merubah keseimbangan hormon penting tanaman termasuk giberelin, ABA dan sitokinin (Fletcher et al. 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi PBZ dipengaruhi oleh umur tanaman waktu diaplikasikan. Aplikasi PBZ 400 ppm pada umur 4 BST (fase lambat) merupakan konsentrasi terbaik dalam meningkatkan: (1) bobot basah (1 148 g tanaman-1 atau setara setara dengan 10 kg petak1 (2.55 m2) dan jumlah rimpang cabang (33 propagul tanaman-1 atau setara dengan 297 propagul petak-1 (2.55 m2), memperkecil ukuran rimpang benih (34.18 g propagul-1), dan meningkatkan mutu fisiologis: daya tumbuh, kecepatan tumbuh, tinggi dan bobot kering bibit dan vigor daya simpan setelah 4 bulan disimpan dibanding tanpa PBZ (Percobaan 1 dan 2).

Hasil Percobaan 4 juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh residu PBZ dalam penghambatan tinggi tanaman setelah ditanam kembali (bibit JPB yang dihasilkan normal dan tidak memendek). Hasil ini didukung oleh penelitian Rusmin

et al. (2015b) (Percobaan 4), rimpang benih JPB yang diaplikasikan dengan PBZ sampai 1500 ppm untuk meningkatkan daya simpan, menghasilkan tinggi bibit yang sama dengan tanpa PBZ setelah ditanam kembali. Satjapradja et al. (2006) juga melaporkan bahwa benih Agathis yang diaplikasikan dengan PBZ untuk meningkatkan daya simpan tidak menurunkan mutu bibit (tinggi bibit) setelah ditanam kembali. Hasil-hasil penelitian lain tentang dampak residu PBZ dilaporkan oleh Neidhart et al. (2006), aplikasi PBZ untuk meningkatkan produksi mangga di luar musim, membuktikan bahwa kandungan PBZ yang ditransfer melewati xylem

dari akar tidak ditemui pada mesokarp buah mangga. Menurut Susanto dan Poerwanto (1999), aplikasi PBZ dalam menginduksi pembungaan tanaman mangga, menyebabkan penghambatan pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan dormansi tunas dan memperpendek panjang tunas. Menurut Poerwanto dan Susanto (1995) untuk mempercepat pecahnya tunas yang dorman dan pembentukan bunga dapat dilakukan dengan pemberian etephon, benzil amino purin (BAP) atau kalium nitrat (KNO3).

Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pembelahan sel dan pemanjangan sel dan batang. Penghambatan biosintesis giberelin oleh aplikasi PBZ akan menghambat pemanjangan sel, tanpa menghambat pembelahan sel, sehingga menghasilkan tanaman yang lebih pendek, dengan ruas-ruas batang yang pendek (Chaney 2005). Penghambatan tinggi tanaman dan panjang batang ini akan mengalihkan arah pertumbuhan vegetatif dengan meningkatkan jumlah anakan, jumlah tunas, dan jumlah daun. Pada tanaman JPB peningkatan jumlah anakan dan jumlah tunas sangat diperlukan dalam peningkatan produksi rimpang benih, karena jumlah anakan dan jumlah tunas merupakan komponen produksi dari rimpang benih JPB. Peningkatan klorofil dan jumlah daun oleh aplikasi PBZ akan meningkatkan aktivitas fotosintesis sehingga asimilat lebih banyak dialihkan ke pertumbuhan dan pengisian rimpang, sehingga produksi dan mutu (pati, viabilitas dan daya simpan) rimpang benih meningkat (Percobaan 2).

Perubahan pola keseimbangan hormonal dalam mempengaruhi mutu rimpang benih JPB juga terjadi selama penyimpanan. Perubahan keseimbangan hormon dapat terjadi secara alami selama proses penyimpanan, dan dapat dipicu melalui aplikasi PBZ pada rimpang benih sebelum disimpan. Perubahan keseimbangan hormonal ini mempengaruhi perubahan mutu fisiologis selama penyimpanan (penyusutan bobot, pertunasan/dormansi pecah, laju respirasi dan viabilitas) (Percobaan 3 dan 4).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan mutu fisiologis yang terjadi secara alami selama penyimpanan rimpang benih JPB (benih asal Nagrak) pada umur panen berbeda yaitu: rimpang benih umur 7, 8 dan 9 BST mulai bertunas saat 2 bulan setelah disimpan (BSS) dengan persentase rimpang bertunas (< 70%) dan panjang

tunas (≤ 0.15 cm). Pada 3 BSS persentase rimpang bertunas mencapai 93% dengan

panjang tunas 0.76 cm pada rimpang umur 9 BST. Pada 4 BSS persentase rimpang bertunas sudah sama untuk ketiga umur (7, 8 dan 9 BST). Persentase rimpang bertunas selama di gudang penyimpanan sejalan dengan pengujian viabilitas (daya tumbuh) di rumah kaca. Daya tumbuh rendah pada awal simpan (< 50%) untuk ketiga umur panen. Daya tumbuh rimpang benih meningkat setelah 2 BSS, mencapai nilai 95.3% pada rimpang benih dengan umur panen 9 BST. Ketika 3 dan 4 BSS daya tumbuh sudah seragam untuk ketiga umur panen dengan nilai 94–100%. Peningkatan pertunasan dan daya tumbuh diiringi juga dengan peningkatan kembali penyusutan bobot dan laju respirasi pada 4 BSS (Percobaan 3 dan Gambar 34).

Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa rimpang benih JPB asal Nagrak mengalami periode dormansi. Periode dormansi pecah setelah mengalami periode simpan selama 2 bulan. Hal ini diduga karena selama penyimpanan terjadi perubahan aktivitas fisiologis terutama perubahan keseimbangan hormonal yang mengarah pada pelepasan dormansi. Menurut Suttle (2004), dormansi pada umbi kentang akan hilang secara bertahap selama penyimpanan. Pecahnya dormansi umbi disertai dengan perubahan-perubahan biokimia. Peningkatan kandungan dan sensitivitas sitokinin merupakan faktor utama penyebab pecahnya dormansi pada umbi kentang.

Masa dormansi sangat diperlukan, agar tunas tidak muncul selama penyimpanan sehingga mutu rimpang benih dapat dipertahankan. Rasio ABA/sitokinin yang tinggi sangat diperlukan untuk mempertahankan dormansi rimpang benih jahe. Penyimpanan rimpang benih yang baik diharapkan dapat

menunda pertunasan atau dapat menghambat pertumbuhan tunas sehingga tunas tidak memanjang. Periode dormansi (sebelum 2 BSS) merupakan periode kritis atau periode yang tepat untuk aplikasi perlakuan penundaan pertunasan dengan PBZ pada Percobaan 4

Gambar 34 Grafik hipotetik pola perubahan fisiologis selama penyimpanan rimpang benih JPB asal Nagrak

Keterangan: V = viabilitas

RB = persentase rimpang bertunas

PB = penyusutan bobot LR = laju respirasi

Aplikasi PBZ pada rimpang benih JPB sebelum disimpan juga mempengaruhi mutu fisiologis selama penyimpanan (Percobaan 4). Peran PBZ dalam menunda pertunasan rimpang benih di penyimpanan dengan mengatur keseimbangan hormon endogen melalui penghambatan biosintesis giberelin. Penghambatan biosintesis giberelin dilakukan dengan cara memblokir tiga langkah lintasan terpenoid dalam memproduksi giberelin, yaitu dengan menghambat oksidasi ent kaurene, ent kaurenol dan ent kaurenal menjadi asam ent kaurenat (Chaney 2005). Penurunan kandungan giberelin oleh PBZ dapat meningkatkan produksi ABA, karena biosintesis giberelin dan ABA terdapat dalam satu jalur lintasan terpenoid dengan prekursor yang sama yaitu isopentenil firofosfat. Menurut Suttle dan Hultstrand (1994) ABA berperan dalam menginduksi dan mempertahankan dormansi pada umbi kentang mini. Peningkatan konsentrasi ABA diharapkan memicu terjadinya dormansi tunas, sehingga dapat menunda waktu bertunas selama di penyimpanan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan mutu fisiologis selama penyimpanan melalui perlakuan pelapisan lilin lebah dengan aplikasi PBZ sangat dipengaruhi oleh suhu ruang simpan. Suhu penyimpanan 20–22 ˚C, mampu menekan persentase rimpang bertunas (±15%) dibanding suhu 26–28 ˚C sampai 4 BSS. Hal ini diduga karena suhu rendah dapat memicu atau mempertahankan terjadinya dormansi selama penyimpanan. Menurut Voss et al. (2011) penyimpanan umbi kentang pada suhu yang rendah dapat menyebabkan terjadinya dormansi tunas. Keseimbangan hormon endogen diduga berperan dalam pengontrolan dormansi pada

suhu penyimpanan yang berbeda. ABA sebagai hormon yang berperan dalam ketahanan terhadap cekaman suhu rendah diduga meningkat kandungannya apabila ditempatkan pada suhu lebih rendah. Menurut Faltusova et al. (2002) peningkatan kandungan ABA endogen selama cekaman suhu dingin dihubungkan dengan ketahanan tanaman terhadap cekaman suhu dingin.

Kombinasi pelapisan lilin dengan aplikasi PBZ 1000 ppm pada suhu 20–22 C˚ mampu menekan persentase rimpang bertunas (58.9%) sampai 3 bulan simpan, dan menekan laju respirasi (0.92 mg CO2 kg

-1

jam-1) sampai 4 bulan. Pada 4 BSS, aplikasi PBZ 1000 dan 1500 pada suhu penyimpanan 20–22 ˚C tidak mampu lagi mempertahankan masa dormansi rimpang benih JPB. Hal ini terlihat dari persentase daya tumbuh (> 90%) dan kecepatan tumbuh yang tinggi (> 4 %/etmal). Hal ini disebabkan karena dormansi rimpang benih JPB yang disimpan pada suhu 20–22 ˚C saat 4 BSS sudah pecah, hal ini terlihat dari persentase daya tumbuh pada perlakuan kontrol juga tinggi (> 86%). Hal ini diduga selama penyimpanan kandungan ABA turun sehingga menyebabkan hilangnya periode dormansi. Hal ini sesuai dengan hasil Percobaan 3, bahwa periode dormansi rimpang benih JPB berlangsung sampai 2 BSS, sehingga pada 4 BSS daya tumbuh sudah seragam (94–100%). Hamadina (2011) melaporkan pada umbi yam dan Suttle (1995) pada umbi kentang, bahwa selama penyimpanan terjadi penurunan kandungan ABA seiring dengan hilangnya periode dormansi. Xu et al (2006) melaporkan bahwa terjadi penurunan kandungan ABA endogen pada umbi Lilium rubellum selama penyimpanan (14 hari) pada suhu 5 C˚. Penurunan kandungan ABA tersebut dihubungkan dengan pelepasan periode dormansi selama proses penyimpanan. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa pelapisan lilin dengan aplikasi PBZ sampai konsentrasi 1500 ppm baik pada suhu

26–28 ˚C maupun suhu 20–22 ˚C belum mampu meningkatkan daya simpan rimpang

benih JPB sampai > 4 bulan simpan.

Skema mekanisme umum peningkatan mutu dan produksi melalui pendekatan pola pertumbuhan dan keseimbangan hormonal selama proses produksi di lapangan dan pendekatan perubahan fisiologis dan keseimbangan hormonal selama proses penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 6. Mekanisme umum ini dapat dijadikan sebagai pendekatan penelitian selanjutnya dalam upaya peningkatan produksi dan mutu rimpang JPB selama proses produksi maupun penyimpanan.

Penelitian peningkatan produksi dan mutu rimpang benih JPB dengan mengatur pola pertumbuhan dan keseimbangan hormon ABA, GA, IAA dan sitokinin dapat dilakukan pada berbagai kondisi lingkungan: suhu, ketinggian tempat, ketersediaan air, dan cahaya. Produksi rimpang benih JPB pada daerah Nagrak dengan ketinggian di atas >500 m dpl, curah hujan rata-rata 200 mm perbulan menghasilkan rasio ABA/sitokinin dan rasio ABA/GA yang tinggi sehingga rimpang benih mempunyai derajat dormansi yang lebih tinggi sehingga tahan disimpan.

Peningkatan daya simpan rimpang benih JPB selama disimpan dapat dilakukan dengan mempertahankan rasio ABA/sitokinin dan rasio ABA/GA tetap tinggi selama penyimpanan dengan mengatur kondisi lingkungan simpan (suhu dan RH ruang) dan dengan bahan pelapis lainnya seperti chitosan atau dengan zat pengatur tumbuh secara eksogen.

Dokumen terkait